"Bahagia atau luka, Aku akan menerima semua takdir yang sudah di tetapkan pada diri ini."
~ Hana.
*****
Mobil mewah kini terpakir dihalaman rumah Hana, suara klakson dibunyikan beberapa kali. Menandakan bahwa tamu yang ditunggu-tunggu sejak kemarin datang untuk memberi kabar sebagai kebijakan atas meninggal dunianya sang putra tercinta.
Pintu mobil kini terbuka nampak seorang wanita yang sudah setengah abad, yang kerap kali disebut dengan panggilan Bu Safa. mengenakan kebaya berwarna hitam dengan manik-manik yang indah dan rambut disanggul rapi, menambah kesan sebagai orang berada dengan harta, wanita itu berlari dengan sedikit tergopoh-gopoh menghambur pelukannya pada Hana sambil terisak menangis di pundak gadis itu.
"Hana ... kita harus kuat ya!" ucapnya pelan pada daun telinga Hana.
Hana hanya tersenyum walau ada rasa nyeri di hati, bagaimana bisa Hana dengan mudah ikhlas atas kepergian Arman, padahal sudah bisa dihitung jari pernikahannya akan segera berlangsung, tapi takdir dan kuasa ilahi tidak bisa ditentangnya.
"Bu, kita masuk ke dalam rumah dulu yuk!" ajak Hana sambil melepas lembut pelukan sang mantan mertuanya.
Hanya anggukan sebagai timpal bicara pada Hana. Kembali wanita itu mengusap lembut punggung Hana dengan telapak tangannya, untuk menguatkan.
"Hana, menantuku ... setelah kemarin Ibu merelakan secara ikhlas Arman diambil Tuhan, kini Ibu harus ikhlas merelakan, kamu menjadi menantu orang lain!" ucapnya dengan berat.
Deg!
Mata Hana langsung memanas air matanya kini luruh menganak sungai berdesakan keluar dari kelopak indahnya. Apa yang dikatakan mantan mertuanya memang benar. Hana juga harus ikhlas atas semuanya, apapun yang terjadi kini bahagia atau luka, tapi Hana harus kuat serta sabar dengan ujian ini.
"Ngeh ... Ibu inshaa Allah!" Hana mengusap sudut matanya yang berembun dengan ibu jari.
"Ibu yakin kamu kuat Hana, segera cari pendamping barumu, ibu ikhlas ... kamu anak sholehah pasti kamu mendapatkan laki-laki terbaik, terimalah kebijakan ini Hana," terangnya sambil mengelus-elus pucuk kepala Hana yang berbalut hijab segiempat berwarna hijau tosca.
Hana tersenyum hambar. Mengingat apa yang telah terjadi sangat pahit melebihi empedu.
"Tapi Hana belum mampu melupakan mas Arman!" Isaknya terus terang.
"Arman, tidak akan kembali ke dunia, itu hal yang sangat mustahil, kamu yang tabah masih ada waktu agar acara pernikahanmu bisa dijalankan Minggu ini," ujarnya sambil membenahi posisi duduk di sofa ruang tamu.
"Sebelum berita kematian Arman menyebar, Ibu hanya kasihan sama tamu undangan yang sudah siap-siap akan datang kesini memberikan ucapan selamat, tidak hanya kasihan pada tamu undangan saja, tapi ibu juga kesihan terhadapmu dan sangat peduli, satu hal yang ibu takutkan, kamu akan dipermalukan sama orang-orang jika acara pernikahanmu akan dibatalkan!" sambung Bu Safa sambil melihat kearah gadis yang berada di sampingnya.
*****
"Duh Sumi bentar lagi punya mantu tampan," ujar Fitri sambil senyum-senyum sendiri memilah sayur-mayur.
'Astagfirulllah haladzim, aku lupa bahwa Arman sudah pergi jauh dan tidak akan kembali, meninggalkan putriku,' gumam Sumi dalam hati.
Gurauan tetangganya membuat sakit hati, seorang Ibu pasti akan ikut sedih saat musibah menimpa anaknya.
"Eh, Bu Sumi, ditanya malah diem!" lanjut Fitri si tetangga rempong itu berujar dengan kecut.
"Iya, Bu Fitri maaf, saya duluan ya!" Sumi langsung membayar sayur kangkung, daging mentah, serta bumbu dapur lainnya.
Pesanannya kini dibungkus kantong keresek hitam.
"Bentar lagi mau hajatan ya jadi, apa-apa suka buru-buru," celoteh Fitri pada Ibu-ibu yang sibuk memilah-milah sayuran.
"Iya pasti Sumi extra sibuk tuh!" timpal Ibu-ibu pembeli sayur lainnya.
Sumi mempercepat langkah kakinya agar tidak mendengar gosip-gosip tetangga, seharusnya gosip tetangganya adalah berita bahagia, tapi itu adalah berita luka buat sang putri bernama Hana.
"Hana ... Ibu pulang!" teriak Sumi yang masih terburu-buru ingin segera cepat masuk kedalam rumah.
"Bapak, lihat Hana?" tanya Sumi saat melihat suaminya sedang melamun di teras depan rumah, dengan menopang dagu dengan satu tangan, pandangannya kosong kearah jalan setapak, pikirannya sama hanya tentang Hana.
"Bapak ditanya melamun terus, mari masuk kerumah!" ajak Sumi.
Laki-laki itu tersenyum terlihat keriput dari wajahnya usianya kian hari kian senja, tapi pikirannya malah tertekan saat melihat kondisi putrinya yang mengkhawatirkan, sebagai seorang ayah Hadi harus mampu menjadi pemimpin ditengah-tengah takdir putrinya.
"Iya, duluan aja, Bapak ingin mencari angin luar dulu!" ucapnya pelan.
Sumi mengangguk cepat dan berlenggang, dengan kantong plastik hitam yang berisi sayuran ditangan.
*****
"Hana, harus kuat, aku pasti bisa!" Hana terus menekan-nekan dadanya agar hatinya kuat.
Tapi kembali rasa sakit itu tumbuh dalam diam. Air matanya kini turun kembali membasahi pipi mulusnya.
Sumi terdiam di ambang pintu kamar Hana, saat melihat putrinya sangat terpukul dengan keadaan. Niat untuk berbicarapun kini Sumi urungkan kembali.
"Malang sekali nasib putriku ya Allah, berikan yang terbaik untuknya dan atas kehendakmu."
"Ibu?" Hana lantas mengahampiri Sumi wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Mata Hana terlihat sedikit membengkak akibat terus-menerus menangis tiap harinya, wajahnya sudah sedikit pucat tidak ada gairah yang terukir disana.
Sumi menghela napas lembut, membawa kembali putrinya kedalam kamar bernuansa cat biru muda. Keduanya duduk dibibir ranjang besi yang kuat.
"Hana, apa benar tadi bu Safa kesini?" tanyanya memulai percakapan.
"Iya Bu, tadi bu Safa kesini, menyampaikan kebijakan, agar aku mampu mengikhlaskan mas Arman, dan segera menikah di hari yang sudah ditentukan kemarin, maksudnya hari dimana aku dan Mas Arman akan menikah," jelas Hana menundukkan kepala.
"Ibu juga satu pendapat dengan Bu Safa!" ujar Sumi antusias dengan pendapat mantan Besannya itu.
Membuat Hana membolakan matanya. Tenggorokannya terasa tercekat saat satu persatu kalimat dari mulut Sumi menanam sakit lagi.
"Kenapa? Ibu hanya ingin kamu cepat melupakan almarhum, jujur Ibu sangat sedih melihat kamu terus-menerus menangis tiap malam bahkan sampai larut kepagi lagi!" Sumi berkata agar putri semata wayangnya mengerti atas semuanya.
"Tapi, siapa yang akan menikah dengan Hana?"
"Tunggu ... saja, nanti Allah akan memberikan jawaban yang tepat, kamu jangan ragu atas kehendaknya." Sumi saling bertatap muka dengan Hana. Ada rasa haru sedih serta ingin cepat membahagiakan putrinya agar segera melupakan Arman.
Hana narik napasnya beberapa kali hingga terdengar hembusan lembutnya.
"Tapi Hana tidak yakin Bu, apa ada orang yang bersedia menikahi Hana dengan rasa cinta dalam keadaan mendesak ini, kalo pun ada apa aku akan mencintai orang tersebut?" keluhnya dengan mata yang mulai berembun kembali."Apa kamu tidak yakin dengan ketentuan Allah? Apa kamu ragu? Kamu coba salat tahajjud meminta arah pada sang pencipta," ucap Sumi lalu kembali terdiam dengan seribu bahasa.
Sejenak Hana ikut terdiam, menyelami pikiran masing-masing.
Suara gemericik air terdengar mengalir dari kamar mandi, tepat pukul 03.00 Hana terbangun untuk melaksanakan salat tahajjud, meminta petunjuk dari sang ilahi, Hana membentangkan sajadahnya kearah kiblat.Dengan mengucap bismillah, gadis itu memohon pada Allah agar segera didatangkan kebahagiaan serta harapan yang sudah terkubur kian hari."Allahuakbar." Suara takbir Hana terdengar pelan.Doa segera dipanjatkan antara takbir dan aamiin menjadi saksinya."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakattuh." Hana memalingkan wajahnya ke kiri dan ke kanan.Gadis itu kini mengusap mukanya dengan kedua tangan."Ya ... Rabb izinkanlah hamba menemukan orang yang tepat untuk mengisi kekosongan ini, dan ikhlaskan hati hamba untuk melepaskan orang yang memang tidak di takdir kan bersama!" Tangannya terus menengadah ada secerca harapan yang dilangitkan, ada rasa sakit yang harus sembuh dan pulih kembali agar luka menjadi tawa bahagia untuk esok hari."Alha
Hari kini berganti malam, Hana masih mondar-mandir di kamarnya sambil memikirkan hal yang tadi ibunya lontarkan. Sebuah kesepakatan yang sudah sejak dulu dikatakan."Apa aku harus menerima perjodohan yang pernah ibu sepakati sejak dini?" gumam Hana menggigit ujung kuku jarinya.Jendela yang tertutup tirai putih, Hana buka dengan lebar terlihat bintang berkelap-kelip genit menatapnya.Hana menggeserkan kursi lebih dekat ke jendela. Angin malam menerpa wajahnya yang cantik tanpa sedikitpun poles dengan bedak make up begitu natural, Hana kini menopang dagunya dengan kedua tangan. Suara napasnya sangat berat. Matanya sengaja di pejamkan berharap ada keajaiban malam, tapi itu sangat mustahil baginya."Jika aku memohon padamu, apa akan segera terkabulkan? Apa perjodohan ini juga adalah sebagian doaku malam itu? Dan kenapa dengan mudahnya aku dapat melupakan mas Arman apa ini yang dinamakan keikhlasan hati?" Hana memiringkan kepalanya melihat bayangan yang sam
Rasa bimbang pada hati semakin besar. Hana menyembunyikan bimbang pada senyuman. Sumi buru-buru mencium kening putrinya yang masih saja dimanja, sebagai anak tunggal dan salehah Hana mendapatkan perlakuan layaknya anak kecil."Katakan bahwa hari ini, kamu bahagia!" Sumi mencoba merayu.Hana menggangukkan kepala. "Hana, bahagia seperti yang Ibu lihat hari ini!" Gadis itu memperlihatkan gigi yang tersusun rapi."Hana, boleh Ibu berpesan sebelum, nanti kamu akan milik Hazmi seutuhnya!"Mata Hana langsung membola, melihat manik senja milik sang Ibu tercinta. Suasana kini berubah seperti pada ujung tanduk kisah."Katakan saja Ibu, Hana pasti akan menuruti pesan atau nasehat yang baik dan benar menurut Ibu dan agama," timpalnya was-was."Sebenarnya Ibu berat sekali melepaskan kamu pada orang lain, jika kamu sudah bersuami ingat pesan Ibu ini." Sumi berucap dengan nada sumbang tuanya miliknya."Apa?" Hana semakin bertanya-tanya p
"Kok kelihatan gelisahan sih?" Aisyah mencoba mengangkat dagu Hana memastikan bahwa temannya itu baik-baik saja."Tidak Aisyah!" Hana tersenyum kearah Aisyah."Syukurlah, aku tidak ingin melihat pengantin cantik ini menangis, terkecuali menangis bahagia karena telah bersanding dengan Gus, coba siapa yang tidak mau menjadi istri Gus tampan?" Aisyah menerangkan sambil terkekeh.Aisyah membelai kepala Hana yang sudah dibaluti kerudung putih polos dengan kebaya pengantin yang sederhana. Kecantikan Hana terlihat sempurna saat itu."Makasih Aisyah karena udah menguatkan aku!" Sekilas Hana melirik Aisyah."Coba lihat dan tatap wajahmu dibalik cermin sangat cantik dengan polesan makeup sederhana ini!" Aisyah membalikan tubuh Hana menghadap cermin seukuran tubuh orang dewasa."Pintar memuji kamu Aisyah!" Hana terlihat bersemu malu dengan pujian sahabatnya itu.Suara riuh dari tamu undangan sudah terdengar sejak pagi tadi. Katanya takut ketingg
Jam menunjukkan pukul 07.30 barang-barang Hana kini sudah dikemas rapi di koper besar berwarna hitam. Matanya menyapu semua ruangan tidak ada yang tersisa disana terkecuali pajangan foto Hana bersama teman-temannya satu pesantren Darul Ulum waktu itu."Ayo, Njenengan sudah kemas semua barangnya 'kan?" tanya Hazmi alisnya dinaikan satu keatas."Iya Gus!""Bersikap biasalah didepan Ibumu, jangan memperlihatkan wajah sendumu!" tegasnya memperingati.Kini Hazmi mengambil alih koper ditangan Hana. "Tersenyumlah untuk hari ini saja jangan gelisah." Hazmi kembali acuh saat ucapannya kini sudah menjadi pesan.Hana membututi Hazmi pergi untuk berpamitan pada kedua orang tua yang sudah renta itu."Ibu Hana pamit!" Hana mencium punggung sang Ibu dengan tadzim."Jaga diri baik-baik Hana, Ibu selalu mendoakan yang terbaik untukmu!" Sumi mencium kening putrinya. Hana mengeratkan pelukannya sepertinya tidak ingin berpisah dengan sang Ibu.
"Wah sekarang sampean sudah beristri ya, Gus, istrimu pasti anak Kiyai atau Ustadzah!" Goda salah satu temannya bernama Ferdi.Begitulah Ferdi selalu banyak bertanya saat Hazmi berada di Pondok pesantren. Dia yang paling mengetahui seluk-beluk cerita status Hazmi.Hazmi menahan napasnya sejenak. "Ya, maunya sih gitu, tapi tidak sesuai dengan kenyataan!" ucap Hazmi sambil menelan salivina."Eh ... tunggu, emang ada yang salah ya Gus?" Ferdi mengerutkan dahi tidak mengerti."Iya, betul!" Hazmi tertawa hambar."Nuwun sewu ... Gus, saya kira ucapan saya tidak menyinggung perasaan sampean ini!" Ferdi menundukkan kepala merasa sangat salah dengan ucapannya."Yoweslah, jangan dibahas lagi!" cicitnya dengan wajah melemas."Bukankah sampean ini punya hubungan sama Ning Amanda, berarti istrinya pasti Ning Amanda yang super duber ayu dan molek itu 'kan?" Kembali Ferdi bertanya padahal barusan sudah diperingatkan jangan membahas hal itu, tapi ras
Jam menunjukkan pukul 15.30 Hana menatap jam berukuran besar itu. Wanita itu kini berlenggang masuk dapur hingga mendapatkan sang mertua sedang melakukan aktivitas memasak menu untuk malam nanti."Ummi, kapan Gus akan pulang?" tanyanya sambil mendongakkan kepalanya dan berjalan pelan kearahnya."Bentar lagi Hana, tunggu saja!" jawabnya ramah sambil mengusap pipi Hana yang mulus.Hana hanya berujar, "Ouh .... baiklah Ummi."Melihat sang mertua mengiris-ngiris bawang serta bumbu dapur lainnya Hana dengan antusias membantunya."Ummi mau bikin menu apa untuk malam ini?""Bikin sayur asam sama sambel tomat." ucapnya yang setia mengiris-ngiris bumbu serta yang lainnya."Mmmmm ...." Hana bergumam dengan bibir yang tertutup rapat."Ini tuh kesukaan Hazmi, dia suka dengan menu ini!" terangnya dengan mencecap rasa pada sayur asam yang masih sedikit mengepul dengan asapnya.Hana membolakan matanya dengan sempurna. "Benarkah U
Jawaban apa? Hazmi menundukkan kepalanya saat mau menjawab pertanyaan itu. "Abah, bukannya tadi di mobil Abah bilang kalo satu tahun lagi saya melamar Ning Amanda?" "Satu tahun, terlalu lama Hazmi!" Abah guru langsung membenahi duduknya dan melihat kearah Hazmi dengan lekat. "Tapi Abah?" "Abah takut terjadi fitnah diantara kalian." Lalu menyesap kopi hitam dengan lembut. "Iya, Abah siap!" Hazmi meremas ujung sarungnya dengan kasar. "Hazmi kalo masih keberatan Abah kasih waktu dua sampai tiga bulan!" terangan berharap Hazmi memahami keringanan itu. Hanya anggukan kepala Hazmi membalasnya. Wajahnya sedikit memelas sekali. ***** "Gus baru pulang?" tanya Hana menyambut suaminya di ambang pintu jam menunjukkan pukul delapan malam, Hazmi memutuskan untuk pulang daripada menginap di pondok pikirnya akan terpecah belah. "Hmmm." "Gus udah makan?" "Hmmmm." Hazmi berlenggang kearah
Jawaban apa? Hazmi menundukkan kepalanya saat mau menjawab pertanyaan itu. "Abah, bukannya tadi di mobil Abah bilang kalo satu tahun lagi saya melamar Ning Amanda?" "Satu tahun, terlalu lama Hazmi!" Abah guru langsung membenahi duduknya dan melihat kearah Hazmi dengan lekat. "Tapi Abah?" "Abah takut terjadi fitnah diantara kalian." Lalu menyesap kopi hitam dengan lembut. "Iya, Abah siap!" Hazmi meremas ujung sarungnya dengan kasar. "Hazmi kalo masih keberatan Abah kasih waktu dua sampai tiga bulan!" terangan berharap Hazmi memahami keringanan itu. Hanya anggukan kepala Hazmi membalasnya. Wajahnya sedikit memelas sekali. ***** "Gus baru pulang?" tanya Hana menyambut suaminya di ambang pintu jam menunjukkan pukul delapan malam, Hazmi memutuskan untuk pulang daripada menginap di pondok pikirnya akan terpecah belah. "Hmmm." "Gus udah makan?" "Hmmmm." Hazmi berlenggang kearah
Jam menunjukkan pukul 15.30 Hana menatap jam berukuran besar itu. Wanita itu kini berlenggang masuk dapur hingga mendapatkan sang mertua sedang melakukan aktivitas memasak menu untuk malam nanti."Ummi, kapan Gus akan pulang?" tanyanya sambil mendongakkan kepalanya dan berjalan pelan kearahnya."Bentar lagi Hana, tunggu saja!" jawabnya ramah sambil mengusap pipi Hana yang mulus.Hana hanya berujar, "Ouh .... baiklah Ummi."Melihat sang mertua mengiris-ngiris bawang serta bumbu dapur lainnya Hana dengan antusias membantunya."Ummi mau bikin menu apa untuk malam ini?""Bikin sayur asam sama sambel tomat." ucapnya yang setia mengiris-ngiris bumbu serta yang lainnya."Mmmmm ...." Hana bergumam dengan bibir yang tertutup rapat."Ini tuh kesukaan Hazmi, dia suka dengan menu ini!" terangnya dengan mencecap rasa pada sayur asam yang masih sedikit mengepul dengan asapnya.Hana membolakan matanya dengan sempurna. "Benarkah U
"Wah sekarang sampean sudah beristri ya, Gus, istrimu pasti anak Kiyai atau Ustadzah!" Goda salah satu temannya bernama Ferdi.Begitulah Ferdi selalu banyak bertanya saat Hazmi berada di Pondok pesantren. Dia yang paling mengetahui seluk-beluk cerita status Hazmi.Hazmi menahan napasnya sejenak. "Ya, maunya sih gitu, tapi tidak sesuai dengan kenyataan!" ucap Hazmi sambil menelan salivina."Eh ... tunggu, emang ada yang salah ya Gus?" Ferdi mengerutkan dahi tidak mengerti."Iya, betul!" Hazmi tertawa hambar."Nuwun sewu ... Gus, saya kira ucapan saya tidak menyinggung perasaan sampean ini!" Ferdi menundukkan kepala merasa sangat salah dengan ucapannya."Yoweslah, jangan dibahas lagi!" cicitnya dengan wajah melemas."Bukankah sampean ini punya hubungan sama Ning Amanda, berarti istrinya pasti Ning Amanda yang super duber ayu dan molek itu 'kan?" Kembali Ferdi bertanya padahal barusan sudah diperingatkan jangan membahas hal itu, tapi ras
Jam menunjukkan pukul 07.30 barang-barang Hana kini sudah dikemas rapi di koper besar berwarna hitam. Matanya menyapu semua ruangan tidak ada yang tersisa disana terkecuali pajangan foto Hana bersama teman-temannya satu pesantren Darul Ulum waktu itu."Ayo, Njenengan sudah kemas semua barangnya 'kan?" tanya Hazmi alisnya dinaikan satu keatas."Iya Gus!""Bersikap biasalah didepan Ibumu, jangan memperlihatkan wajah sendumu!" tegasnya memperingati.Kini Hazmi mengambil alih koper ditangan Hana. "Tersenyumlah untuk hari ini saja jangan gelisah." Hazmi kembali acuh saat ucapannya kini sudah menjadi pesan.Hana membututi Hazmi pergi untuk berpamitan pada kedua orang tua yang sudah renta itu."Ibu Hana pamit!" Hana mencium punggung sang Ibu dengan tadzim."Jaga diri baik-baik Hana, Ibu selalu mendoakan yang terbaik untukmu!" Sumi mencium kening putrinya. Hana mengeratkan pelukannya sepertinya tidak ingin berpisah dengan sang Ibu.
"Kok kelihatan gelisahan sih?" Aisyah mencoba mengangkat dagu Hana memastikan bahwa temannya itu baik-baik saja."Tidak Aisyah!" Hana tersenyum kearah Aisyah."Syukurlah, aku tidak ingin melihat pengantin cantik ini menangis, terkecuali menangis bahagia karena telah bersanding dengan Gus, coba siapa yang tidak mau menjadi istri Gus tampan?" Aisyah menerangkan sambil terkekeh.Aisyah membelai kepala Hana yang sudah dibaluti kerudung putih polos dengan kebaya pengantin yang sederhana. Kecantikan Hana terlihat sempurna saat itu."Makasih Aisyah karena udah menguatkan aku!" Sekilas Hana melirik Aisyah."Coba lihat dan tatap wajahmu dibalik cermin sangat cantik dengan polesan makeup sederhana ini!" Aisyah membalikan tubuh Hana menghadap cermin seukuran tubuh orang dewasa."Pintar memuji kamu Aisyah!" Hana terlihat bersemu malu dengan pujian sahabatnya itu.Suara riuh dari tamu undangan sudah terdengar sejak pagi tadi. Katanya takut ketingg
Rasa bimbang pada hati semakin besar. Hana menyembunyikan bimbang pada senyuman. Sumi buru-buru mencium kening putrinya yang masih saja dimanja, sebagai anak tunggal dan salehah Hana mendapatkan perlakuan layaknya anak kecil."Katakan bahwa hari ini, kamu bahagia!" Sumi mencoba merayu.Hana menggangukkan kepala. "Hana, bahagia seperti yang Ibu lihat hari ini!" Gadis itu memperlihatkan gigi yang tersusun rapi."Hana, boleh Ibu berpesan sebelum, nanti kamu akan milik Hazmi seutuhnya!"Mata Hana langsung membola, melihat manik senja milik sang Ibu tercinta. Suasana kini berubah seperti pada ujung tanduk kisah."Katakan saja Ibu, Hana pasti akan menuruti pesan atau nasehat yang baik dan benar menurut Ibu dan agama," timpalnya was-was."Sebenarnya Ibu berat sekali melepaskan kamu pada orang lain, jika kamu sudah bersuami ingat pesan Ibu ini." Sumi berucap dengan nada sumbang tuanya miliknya."Apa?" Hana semakin bertanya-tanya p
Hari kini berganti malam, Hana masih mondar-mandir di kamarnya sambil memikirkan hal yang tadi ibunya lontarkan. Sebuah kesepakatan yang sudah sejak dulu dikatakan."Apa aku harus menerima perjodohan yang pernah ibu sepakati sejak dini?" gumam Hana menggigit ujung kuku jarinya.Jendela yang tertutup tirai putih, Hana buka dengan lebar terlihat bintang berkelap-kelip genit menatapnya.Hana menggeserkan kursi lebih dekat ke jendela. Angin malam menerpa wajahnya yang cantik tanpa sedikitpun poles dengan bedak make up begitu natural, Hana kini menopang dagunya dengan kedua tangan. Suara napasnya sangat berat. Matanya sengaja di pejamkan berharap ada keajaiban malam, tapi itu sangat mustahil baginya."Jika aku memohon padamu, apa akan segera terkabulkan? Apa perjodohan ini juga adalah sebagian doaku malam itu? Dan kenapa dengan mudahnya aku dapat melupakan mas Arman apa ini yang dinamakan keikhlasan hati?" Hana memiringkan kepalanya melihat bayangan yang sam
Suara gemericik air terdengar mengalir dari kamar mandi, tepat pukul 03.00 Hana terbangun untuk melaksanakan salat tahajjud, meminta petunjuk dari sang ilahi, Hana membentangkan sajadahnya kearah kiblat.Dengan mengucap bismillah, gadis itu memohon pada Allah agar segera didatangkan kebahagiaan serta harapan yang sudah terkubur kian hari."Allahuakbar." Suara takbir Hana terdengar pelan.Doa segera dipanjatkan antara takbir dan aamiin menjadi saksinya."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakattuh." Hana memalingkan wajahnya ke kiri dan ke kanan.Gadis itu kini mengusap mukanya dengan kedua tangan."Ya ... Rabb izinkanlah hamba menemukan orang yang tepat untuk mengisi kekosongan ini, dan ikhlaskan hati hamba untuk melepaskan orang yang memang tidak di takdir kan bersama!" Tangannya terus menengadah ada secerca harapan yang dilangitkan, ada rasa sakit yang harus sembuh dan pulih kembali agar luka menjadi tawa bahagia untuk esok hari."Alha
"Bahagia atau luka, Aku akan menerima semua takdir yang sudah di tetapkan pada diri ini."~ Hana.*****Mobil mewah kini terpakir dihalaman rumah Hana, suara klakson dibunyikan beberapa kali. Menandakan bahwa tamu yang ditunggu-tunggu sejak kemarin datang untuk memberi kabar sebagai kebijakan atas meninggal dunianya sang putra tercinta.Pintu mobil kini terbuka nampak seorang wanita yang sudah setengah abad, yang kerap kali disebut dengan panggilan Bu Safa. mengenakan kebaya berwarna hitam dengan manik-manik yang indah dan rambut disanggul rapi, menambah kesan sebagai orang berada dengan harta, wanita itu berlari dengan sedikit tergopoh-gopoh menghambur pelukannya pada Hana sambil terisak menangis di pundak gadis itu."Hana ... kita harus kuat ya!" ucapnya pelan pada daun telinga Hana.Hana hanya tersenyum walau ada rasa nyeri di hati, bagaimana bisa Hana dengan mudah ikhlas atas kepergian Arman, padahal sudah bisa dihitung jari pernik