Sesampainya di Universitas Janara.
Jayden dan Felicia segera memarkir mobil dan kemudian berjalan ke gedung belakang kampus. Tepatnya gedung bagian histopatologi. Gedung tersebut terdapat di paling pojok dan agak gelap. Mungkin karena terapit dengan gedung-gedung besar di sekelilingnya sehingga cahaya matahari tidak menyinari gedung itu dengan maksimal.
Ucapan Jayden yang sesederhana itu ternyata cukup mengusik benak Felicia. Ia sedikit kecewa mendengarnya. Ia terlanjur berharap bahkan ia berharap pria itu akan mengatakan, "emang bener kan lo cewek gue. Masalah?" Dengan gaya tengilnya seperti biasa. Tapi kenyataannya tidak.Biar cepat aja.Tiga
"Gak kok. Kita teman biasa aja," ucap Felicia sambil tersenyum getir.Ansel merasa sedikit lega setelah mendengar jawaban yang keluar dari mulut gadis itu. Tadinya ia pikir, ia benar-benar sudah kalah dan tidak punya kesempatan sedikit pun untuk mengulang kisahnya kembali dengan Felicia seperti dulu. Melihat Jayden dengan sikapnya yang terlihat begitu spesial dan membuat siapa saja yang melihatnya akan salah paham, salah paham jika mereka memiliki hubungan khusus. "Syukurlah."
Sejak peresmian hubungan Jayden dan Felicia, mereka semakin terlihat dekat dan seakan tak terpisahkan. Meski mereka sudah jarang ke kampus, tapi di luar kampus mereka sering bertemu. Setiap hari. Ke kampus pun kadang hanya untuk bimbingan dengan dosen terkait pembahasan yang sudah mereka susun sembari menunggu penelitian histopatologi mereka dilakukan. Sisanya mereka pergi bersama ke perpustakaan nasional atau belajar bersama di rumah Felicia.Ansel yang menyadari hubungan Felicia dengan Jayden pun seketika kecewa. Ia menatap
Esok harinya Jayden sudah kembali berada di depan rumah Felicia sebelum jam enam pagi. Karena perjalanan ke Puncak akan memakan cukup banyak waktu apalagi di weekend seperti ini. Kesiangan sedikit saja bisa-bisa mereka terjebak macet. Apalagi di weekend biasanya jalanan ke arah Puncak akan memberlakukan jalur satu arah."Masih ngantuk ya?" tanya Jayden ketika mobilnya baru memasuki jalan tol.Felicia menyandarkan kepalanya ke jok mobil Jayden dan melirik sekilas ke pria di sampingnya. "Menurut lo aja? Siapa suruh ngapel sampe jam sepuluh malam. Gue kan tipe yang gak bisa tidur cepet. Gue baru tidur tuh jam dua belasan tau!"Jayden terkekeh geli. Ia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya sekarang seperti bucin banget ke Felicia. Seakan tak mau jauh-jauh dari gadis itu. Ia yang dulu sering dikejar-ke
Setelah membeli berbagai macam oleh-oleh termasuk mochi dan buah berry-berry-an, Jayden dan Felicia memutuskan untuk mencari tempat makan sate maranggi yang terkenal untuk makan siang mereka yang telat. Karena hari sudah menjelang sore dan demi menghindari penutupan jalan, Jayden tidak mengajak Felicia ke tempat wisata lain di Puncak. Apalagi mengingat mereka besok harus penelitian kembali. Ia khawatir jika penyakit typus Felicia kambuh lagi."Kita beli oleh-oleh banyak banget. Udah kayak mau ngasih orang sekampung," ucap Felicia sembari melihat jok belakang mobil Jayden."Gak apa-apa. Buat stok cemilan gue pas ke rumah lo.""Loh. Emang lo gak mau bawa pulang buat orang di rumah?"Jayden menggeleng. "Rumah gue sepi. Nyokap bokap gue baru ke Bandung lagi minggu ini. Nanti gak ada yang makan."Felicia terdiam, memperhatikan wajah Jayden yang terlihat biasa saja. Namun Felicia sedikit m
Felicia menatap rumah mewah di depannya dengan tatapan kagum sekaligus bingung. Ia sengaja naik ojek online menuju rumah Jayden agar tidak tersesat. Tapi ketika tukang ojeknya memasuki kawasan perumahan elit di pusat kota, Felicia seketika berpikir ... sekaya apa pria tengil yang sekarang adalah kekasihnya itu?Dan semua terjawab kini.Rumah mewah bergaya modern itu seakan meledek Felicia dan penampilan sederhananya. Ia hanya tahu sosok Jayden yang suka naik motor matic ke kampus atau mobil sedan biasa selama masa pendekatan mereka. Namun yang dihadapannya kini seketika membuat nyali Felicia ciut."Ini bener alamatnya, Pak?" tanya Felicia yang sedikit berharap jika mereka ternyata tersesat. Dan ini alamat yang salah.Tukang ojek yang
Cahaya matahari masuk menyelinap melalui celah-celah tirai yang dibiarkan tertutup. Cahaya itu mengenai kedua kelopak mata Felicia yang masih terlelap, hingga gadis itu merasa terganggu dan mengerjapkan matanya. Ia kemudian menutupi wajahnya dengan selimut di tubuhnya dan berbalik membelakangi cahaya matahari. Seketika hidungnya mencium aroma familiar. Membuat kedua kelopak matanya terbuka sempurna dan mendapati Jayden yang tengah memperhatikannya sembari tersenyum. "Elo!" Felicia segera beranjak dan baru menyadari jika ia memang menginap di rumah kekasihnya itu."Kenapa kaget gitu sih? Langsung peluk kek apa kek. Jarang-jarang liat pangeran ganteng kayak gue pas lo bangun tidur." Jayden menaik-naikkan alisnya membuat Felicia menutupi wajahnya yang terasa panas."Kok lo gak bangunin gue sih?" Bibir Felicia mengerucut. 
Setelah beristirahat seharian, kesehatan Jayden semakin pulih. Pria itu sudah tidak demam lagi. Flu-nya pun sudah mereda. Felicia jadi bisa lega karena pria itu sudah pulih seperti biasa."Jangan pulang dong. Gue kesepian," ucap Jayden dengan nada manja ketika sore harinya Felicia ingin pulang ke rumah."Gak usah manja deh lo. Udah sembuh juga. Masa gue nginep lagi. Ntar kalo kita digrebek gimana?" Felicia mendelik tajam ke arah Jayden meski sebenarnya ia enggan pergi meninggalkan pria itu."Gak lah. Nyolek lo aja enggak masa digrebek. Mending sekalian deh.""Sekalian apaan?" Felicia memicingkan matanya tapi Jayden malah senyam senyum. "Udah ah! Besok kita kan ketemu di perpus kampus. Kita harus selesain pembahasan biar bisa bimbingan."
Perjalanan hidup memang terkadang tak sesuai ekspektasimu. Banyak rencana yang telah dibuat meski saat merealisasikannya akan sangat berbeda. Namun bukan berarti rencanamu buruk sehingga Tuhan mengubah perjalanan yang sudah kamu rencanakan, Tuhan hanya mengarahkanmu pada tujuan yang sesuai dengan apa yang sudah kamu lakukan selama ini.Tidak ada tujuan hidup yang menyakitkan. Semuanya pasti akan berakhir bahagia meski pada awalnya harus berurai air mata. Meski terkadang mungkin kamu menyesali jika ternyata semua itu tak
Hari itu pun tiba...Hari dimana Martha tak lagi bertahan. Hanya berselang tiga hari pasca operasi pengangkatan ginjalnya. Penurunan kesadaran serta meningkatnya tekanan darah wanita itu mengakibatkan pecahnya saraf di bagian kepalanya sehingga menyebabkan nyawanya tak lagi dapat diselamatkan setelah dua hari berada di masa kritis.
Malam harinya, Glen kembali secepatnya ke rumah demi Felicia. Ia pun sudah sampai di rumah mertuanya, Emily. Saat itu Ibu mertuanya masih sibuk dengan mesin jahitnya. Padahal Felicia dan Glen sudah menyarankan Emily untuk berhenti bekerja karena mereka sudah memenuhi semua kebutuhan Emily. Namun Emily memilih untuk tetap menjahit untuk menghabiskan waktunya. Waktu Emily diajak ke rumah Felicia pun, dia menolak. Katanya rumah ini penuh kenangan dengan suaminya jadi dia tidak bisa meninggalkannya. Bagi Emily, di rumah ini lah dia masih bisa merasakan kehadiran suaminya.
"Mulai sekarang, kamu harus lebih berhati-hati lagi. Karena sekarang ada anak kita di dalam sini," ucap Glen sembari mengusap perut Felicia yang masih rata. Mereka baru sampai di rumah beberapa menit yang lalu. Istrinya sempat mual-mual lagi tapi sudah reda setelah meminum obat anti mual yang diresepkan oleh Brenda. Glen juga sudah menyiapkan teh hangat untuk istrinya demi mereda rasa mualnya.Felicia mengangguk lemah dari atas ranjangnya. Dari matanya terpancar kebahagiaan atas kehadiran calon
Saat operasi telah selesai dan Martha dibawa ke ruang perawatan selagi menunggu wanita itu sadarkan diri, Glen masih berdiri di samping brankar tempat wanita itu berbaring kini. Entah apa yang ia lakukan disini, seakan setia menunggu wanita itu terbangun. Padahal jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Ia seharusnya segera pulang karena Felicia sendirian di rumah. Bukan malah memandangi mantan kekasihnya begini.Farel, salah satu teman kampus Glen saat menempuh kuliah kedokteran dulu jelas memahami kegelisahan pria itu. Ia tahu
Bulan madu, meski terasa singkat tapi sangat membekas dalam benak Felicia. Wanita itu semakin terlihat ceria dan sering tersenyum. Membuat rekan-rekannya di apotek jadi ikut tertular kebahagiaannya."Yang abis bulan madu, bahagia bener. Cieeee," ledek Sani yang sedang menyiapkan obat-obat untuk pasien rawat jalan siang itu.
Setelah lelah dengan perjalanan di hari pertama mereka, Felicia dan Glen memutuskan untuk makan siang di dalam cottage sekaligus beristirahat. Siang telah menjelang tapi cuaca di Dieng selalu terasa sejuk. Bahkan meski kelelahan sekalipun, Felicia sama sekali tidak berkeringat. Membuat wanita itu ingin bergelut di dalam selimut tebal dan rebahan."Wajahmu pucat," ucap Felicia yang khawatir saat melihat Glen yang berbaring di sampingnya tampak melenguh seperti menahan rasa sakit. Ia pun mengulurkan tangannya dan menyentuh
Keesokan harinya, Felicia sudah sibuk memastikan jika bawaannya tidak ada yang lupa. Sally pun sibuk menyiapkan bekal untuk perjalanan Felicia dan Glen nanti."Udah kayak anak TK yang mau jalan-jalan aja sampai dibuatkan bekal segala, Mah," cibir Gladys sembari mencicipi bitterballen buatan Sally.
Keesokan harinya, beberapa rekan dokter di rumah sakit tempat Glen dan Felicia bekerja tampak senyam senyum saat melihat Glen masuk ke ruangan tempat para dokter berkumpul saat pagi hari. Beberapa dokter yang seumuran Glen atau lebih tua hanya beberapa tahun darinya bahkan terang-terangan menarik kerah baju Glen dengan gaya bercanda."Nikah udah tiga bulan tapi tandanya baru kelihatan sekarang. Kemaren-kemaren ditandain dimana?" ledek Abbas, salah satu dokter spesialis bedah dengan wajah khas timur tengah itu.