Fi mengeratkan pelukannya pada tas yang biasa dia pakai untuk ke kampus. berusaha setegar mungkin menerima kenyataan bahwa, dia tak memiliki tempat tujuan sama sekali.
Saat terlarut dalam lamunannya sendiri sebuah mobil melaju dengan begitu kencang di belakangnya, gelapnya malam membuat sosok Fi yang berjalan di pinggir jalan tak terlihat jelas. Pengemudi mobil menjadi panik, dia menurunkan kecepatan dengan drastis saking terkejutnya. Membuat suara decitan terdengar jelas memekakkan telinga, mobil nyaris menabrak tubuh gadis itu.Biarpun tabrakan berhasil terhindarkan namun tetap saja betis Fi tersenggol oleh bagian depan mobil. Cukup parah. Luka goresan di kulitnya mulai mengeluarkan darah, ia meringis kesakitan dan tak begitu lama seseorang keluar dari mobilnya dengan wajah yang sangat khawatir."Mbak? Mbak gak apa-apa?" suara tersebut terdengar tak begitu asing, ia mengangkat kepalanya agar dapat melihat lelaki itu. Di bawah hujan gerimis disertai lampu jalanan yang redup, kedua mata mereka bertemu. Seorang pria yang memiliki paras tampan, dalam balutan jas kedokteran melebarkan matanya."Kamu---?" kata pria tersebut."Kamu---!?" Fi sedikit tertegun, padahal tadi pagi dia sudah berdoa untuk tidak dipertemukan oleh orang ini. Entah kenapa saat dirinya berharap akan sesuatu justru yang terjadi malah sebaliknya. Mereka sama-sama membatu untuk sepersekian detik hingga akhirnya pria itu berdehem kecil."Kakimu, gak apa-apa?"Dalam hati Fi ingin sekali menjerit, bagaimana tidak sudah jelas-jelas kakinya berdarah begini dan dia malah bertanya layaknya orang bodoh. "Kok diam? Saya nanya loh," ucapnya. Seolah-olah pertanyaan itu sangat penting untuk kelanjutan hidupnya. Fi tidak mempermasalahkan itu, dia memilih bangun dengan segera."Udah gak apa, saya masih bisa jalan.""Kakimu berdarah. Mau saya antar ke rumah sakit?"Lah itu tau kaki ku berdarah masih nanya lagi. Ish ish. Batin Fi kesal."Gak. Makasih." Dia berlalu begitu saja, tidak menghiraukan lagi rasa sakit di sekujur tubuhnya. Karena sedari kecil terbiasa dipukuli hingga rasa sakit seperti ini tidak berarti sama sekali."Yakin?""Ya.""Oke ya sudah."Fi menghela napas, akhirnya dia bisa pergi jauh-jauh dari orang tersebut. Mengingat seberapa menyebalkannya orang itu tadi pagi.Terdengar suara pintu mobil yang tertutup, Fi enggan menengok ke belakang. Merasa pria itu telah pergi, tapi lagi-lagi dugaannya salah. Mobil di belakang dikemudikan tepat di sampingnya, jendela mobil terbuka hampir setengah."Kalau gak mau ke rumah sakit, ya sudah ke rumah saya aja."Kontan lawan bicaranya terhenti sejenak, bukannya merasa omongannya patut dipertanyakan sosok dalam kemeja putih itu justru memasang wajah yang seratus kali lebih serius dari sebelumnya. "Maaf?" Sebagai perempuan tentu Fi harus berhati-hati dengan yang namanya laki-laki. Walau setampan apapun dan sekaya apapun orang di sampingnya itu, bisa saja terdapat niat buruk di dalamnya. "Jangan berpikir yang enggak-enggak. Saya di sini cuma mau meminta maaf, walaupun sebenarnya ini juga salah kamu karena jalan di tengah jalan. Setidaknya luka kamu itu harus diobati, lagipula memangnya kamu malam-malam begini yakin mau tetap jalan sendirian?"Dibilang begitu Fi hanya bisa terdiam, sedikit tak terima karena disalahkan oleh pria itu. Memang salahnya berjalan di pinggir jalan apa? Bukannya lelaki itu yang asal ngebut dan menabraknya tadi? Sudahlah ia sudah terlalu lelah dengan semuanya."Kalau kamu jalan lagi ke depan, di sana bakal ada tempat tongkrongan preman-preman." Masih kekeh untuk memaksanya, dia terus menjelaskan. "Apalagi malem-malem begini, geng motor pun ada. Bisa penuh jalan sama mereka."Fi mendengus kecil, mungkin ada benarnya juga omongan laki-laki itu. Jika niatnya memang baik mungkin dirinya harus bersyukur, setidaknya di saat seperti ini dia masih tertolong. Satu-satunya harapan adalah menerima ajakannya, selagi Fi masih belum tahu dia akan tinggal dengan siapa mulai hari ini."Oke, oke. Saya ikut." Dengan berat hati Fi mengatakannya.°°°Sepanjang perjalanan keduanya hanya saling diam, tidak ada inisiatif untuk saling membuka pembicaraan terlebih lagi dengan orang asing. Fi masih memikirkan bagaimana selanjutnya yang akan dilakukannya. Meminta tolong pada Mia, dan tinggal di rumahnya?Tapi dia tidak yakin, mengingat Mama sahabatnya itu sangat ketus padanya, tatapan tak sukanya pasti akan selalu menghantui jika Fi memilih tinggal di sana. Akan tetapi selain Mia, dia sudah tak memiliki teman akrab lain. Selagi tenggelam dalam lamunannya sendiri, tiba-tiba pundaknya terasa di tepuk."Hei saya ngomong didengerin!""Eh, kenapa ya?" Terdengar gerutuan malas dari mulutnya, "Saya dari tadi ngomong lho.""Jadi?" Fi masih tidak mengerti."Lupakan. Jadi nama kamu siapa?""Adefi, Adefi Putri Trisya. Panggil aja Fi." Jawabnya."Hans Rangga Putera. Terserah mau panggil Rangga atau Hans." Bicaranya terdengar agak cuek, mungkin karena hampir setengah jam dia berbicara dan Fi sama sekali tidak mendengarkannya. "Kamu kabur dari rumah?""Hu um." "Dasar anak jaman sekarang, ada masalah dikit kabur. Bukannya dihadapi." Melihat dari wajahnya Fi bisa menebak Hans berumur sekitar 28 atau lebih, untuk orang seumurannya seharusnya Fi lebih berhati-hati. Siapa tau lelaki itu sudah beristri, dan nanti malah dirinya akan terlibat masalah lain."Kalau cuma permasalahan sepele juga aku gak akan lari dari rumah.."Hans mengerutkan alisnya, mencoba mengalihkan pandangannya sedikit ke arah Fi dan mendapati banyak luka memar di lengan dan betisnya. Akibat pukulan ayahnya tadi malam. Gadis itu berusaha menutupi walaupun Hans sudah lebih dulu melihatnya."Kamu dipukul?"Dibilang seperti itu lagi-lagi matanya memanas, mengingat ayahnya kini. Entah lelaki itu akan mencarinya atau tidak. Sementara Hans tak berani menyahut lagi, hanya sanggup menerka-nerka dalam pikirannya."Atau kamu yang bandel, gak mau dengerin omongan orang tuamu?"Di saat-saat seperti ini Hans masih saja menyebalkan."Aku dijodohin sama laki-laki tua, buat nebus utang ayah," katanya."Daripada dinikahin sama laki-laki bejat itu mendingan aku kabur. Aku juga udah berbakti sama ayah selama ini jadi kupikir peranku sebagai anak juga udah selesai."
Tak terdengar apapun lagi, Hans tidak mau menjawab takut perkataannya malah akan membuat gadis itu menangis. Beberapa saat kemudian laju mobil berhenti tepat di sebuah rumah besar yang tergolong mewah. Fi menutup mata perlahan. Bersiap-siap dimarahi oleh istri lelaki ini.Rangga sudah keluar dari mobilnya lalu membukakan pintu untuk Fi, sembari memapahnya masuk ke dalam rumah. Di daun pintu terlihat seorang wanita yang agak tua dengan dandanannya membuat umurnya lebih muda dari umur aslinya keluar, memasang wajah cemas karena anaknya tidak pulang hingga selarut ini. Tak lupa juga dengan pembantunya yang baru bekerja 3 hari di sana ikut keluar."Astaghfirullah Rangga! Anak siapa kamu tabrak ini?!" suara tersebut terdengar cukup keras, raut wajah cemas terlihat jelas di mukanya. Wanita tersebut buru-buru membawa Fi ke dalam rumah untuk menghentikan pendarahan di kakinya.Fi dibawa ke ruang tamu, usai diobati oleh Ibu Rangga wanita itu meminta maaf. Anaknya itu sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri. Gadis itu menoleh ke sekelilingnya, tampaknya hanya ada Rangga, ibunya dan juga satu pembantu di rumah besar ini."Nyari menantu saya, ya?""Eh?" Dia menjadi malu, tahu isi kepal
Adefi Putri Trisya, hanya seorang gadis berumur 19 tahun dengan keadaan ekonomi pas-pasan serta penampakan biasa. Depan-belakang sangat biasa, tanpa ada lekukan di tubuhnya membuat orang-orang yang minim ahklak memanggilnya tepos, papan cucian, triplek, daun lidi dan segala hinaan lainnya yang membuat Fi- nama panggilan Adefi sakit hati.Sebagai anak satu-satunya dalam keluarga Fi diharuskan untuk bekerja keras, menanggung semua beban di pundaknya sendirian. Mungkin selama ini anggapan bahwa anak satu-satunya akan menjadi anak emas yang selalu disayang salah. Selama ini Fi tidak pernah merasakan kebahagiaan tersebut.Saat teman-temannya sibuk hangout di cafe-cafe terkenal, Fi sibuk mencuci pakaian laundry di tempat orang. Ketika mereka disibukkan dengan hubungan percintaan, Fi menutup dirinya dan memilih belajar mati-matian untuk meraih cita-citanya. Dia cukup sadar diri, sebagai anak dengan keadaan ekonomi yang menyedihkan tidak seharusnya mengharapk
Drrtt... Drrrrrtt... Drrrttttt...Ponsel Adefi berdering di atas meja, gadis itu terbangun beberapa detik kemudian. Melihat sekitarnya dan tak mendapati ayahnya telah pulang. Lalu menyadari semalam dirinya tertidur di lantai ruang tamu tanpa selimut, gadis itu bangun dengan langkah gontai agar bisa menggapai ponselnya.Tertera nama MamaMia di layar ponsel, sahabatnya saat dia masih sering main air kobokan. Mia, gadis itu satu-satunya sahabat yang Fi miliki. Walaupun dari segi mana pun, Mia jauh berkebalikan darinya.Mia memiliki wajah yang manis, lelaki manapun bakal melirik dua kali kalau berpas-pasan dengannya. Dengan kulit bening serta senyuman yang memikat. Ditambah lagi dia berasal dari keluarga kaya. Bagi Mia mendapatkan pacar sama halnya seperti menangkap nyamuk. Hanya dalam sekali tepuk, ya begitulah."Assalamualaikum, waalaikumsalam!" teriak Mia semangat."Apaan sih Mia." Masih dengan nada serak, Fi
Dari kejauhan terdengar suara air hujan mulai jatuh membasahi bumi, aliran air mulai muncul di atas tanah mengarah ke arah selokan. Untungnya Fi sudah lebih dulu sampai ke rumah, tas yang tadinya digunakan untuk melindungi kepalanya kini ia tepuk-tepuk."Anak ayah... Ayo masuk dulu."Tiba-tiba terdengar ayahnya memanggil dari belakang, entah mengapa sikapnya begitu lembut ia juga tak tahu. Lelaki tua itu telah menunggunya di ruang tamu yang hanya beralaskan tikar, dengan sepiring gorengan di depan dan juga makanan yang terlihat enak. Sangat jarang sekali lelaki itu membelikan makanan warung."Makan dulu."Banyak pertanyaan muncul di benaknya namun Fi juga tak mau menyia-nyiakan kebaikan ayahnya yang sangat langka ini. Meskipun dia tahu lelaki itu sebentar lagi akan menikahkannya dengan pria hidung belang. Fi masih menganggapnya sebagai ayah.Tidak terucap satu patah kata pun dari mulut lelaki itu, sebelum akhirny
Rangga sudah keluar dari mobilnya lalu membukakan pintu untuk Fi, sembari memapahnya masuk ke dalam rumah. Di daun pintu terlihat seorang wanita yang agak tua dengan dandanannya membuat umurnya lebih muda dari umur aslinya keluar, memasang wajah cemas karena anaknya tidak pulang hingga selarut ini. Tak lupa juga dengan pembantunya yang baru bekerja 3 hari di sana ikut keluar."Astaghfirullah Rangga! Anak siapa kamu tabrak ini?!" suara tersebut terdengar cukup keras, raut wajah cemas terlihat jelas di mukanya. Wanita tersebut buru-buru membawa Fi ke dalam rumah untuk menghentikan pendarahan di kakinya.Fi dibawa ke ruang tamu, usai diobati oleh Ibu Rangga wanita itu meminta maaf. Anaknya itu sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri. Gadis itu menoleh ke sekelilingnya, tampaknya hanya ada Rangga, ibunya dan juga satu pembantu di rumah besar ini."Nyari menantu saya, ya?""Eh?" Dia menjadi malu, tahu isi kepal
Dua jam berlalu, akhirnya Fi memilih mencari tempat lain yang lebih layak untuk berteduh, dia takut jika tidur di pemberhentian bus akan ada lelaki bejat yang mengganggunya. Kakinya berjalan tak tentu arah, entah ke mana nasib akan membawanya nanti.Fi mengeratkan pelukannya pada tas yang biasa dia pakai untuk ke kampus. berusaha setegar mungkin menerima kenyataan bahwa, dia tak memiliki tempat tujuan sama sekali.Saat terlarut dalam lamunannya sendiri sebuah mobil melaju dengan begitu kencang di belakangnya, gelapnya malam membuat sosok Fi yang berjalan di pinggir jalan tak terlihat jelas. Pengemudi mobil menjadi panik, dia menurunkan kecepatan dengan drastis saking terkejutnya. Membuat suara decitan terdengar jelas memekakkan telinga, mobil nyaris menabrak tubuh gadis itu.Biarpun tabrakan berhasil terhindarkan namun tetap saja betis Fi tersenggol oleh bagian depan mobil. Cukup parah. Luka goresan di kulitnya mulai mengeluarkan darah, i
Dari kejauhan terdengar suara air hujan mulai jatuh membasahi bumi, aliran air mulai muncul di atas tanah mengarah ke arah selokan. Untungnya Fi sudah lebih dulu sampai ke rumah, tas yang tadinya digunakan untuk melindungi kepalanya kini ia tepuk-tepuk."Anak ayah... Ayo masuk dulu."Tiba-tiba terdengar ayahnya memanggil dari belakang, entah mengapa sikapnya begitu lembut ia juga tak tahu. Lelaki tua itu telah menunggunya di ruang tamu yang hanya beralaskan tikar, dengan sepiring gorengan di depan dan juga makanan yang terlihat enak. Sangat jarang sekali lelaki itu membelikan makanan warung."Makan dulu."Banyak pertanyaan muncul di benaknya namun Fi juga tak mau menyia-nyiakan kebaikan ayahnya yang sangat langka ini. Meskipun dia tahu lelaki itu sebentar lagi akan menikahkannya dengan pria hidung belang. Fi masih menganggapnya sebagai ayah.Tidak terucap satu patah kata pun dari mulut lelaki itu, sebelum akhirny
Drrtt... Drrrrrtt... Drrrttttt...Ponsel Adefi berdering di atas meja, gadis itu terbangun beberapa detik kemudian. Melihat sekitarnya dan tak mendapati ayahnya telah pulang. Lalu menyadari semalam dirinya tertidur di lantai ruang tamu tanpa selimut, gadis itu bangun dengan langkah gontai agar bisa menggapai ponselnya.Tertera nama MamaMia di layar ponsel, sahabatnya saat dia masih sering main air kobokan. Mia, gadis itu satu-satunya sahabat yang Fi miliki. Walaupun dari segi mana pun, Mia jauh berkebalikan darinya.Mia memiliki wajah yang manis, lelaki manapun bakal melirik dua kali kalau berpas-pasan dengannya. Dengan kulit bening serta senyuman yang memikat. Ditambah lagi dia berasal dari keluarga kaya. Bagi Mia mendapatkan pacar sama halnya seperti menangkap nyamuk. Hanya dalam sekali tepuk, ya begitulah."Assalamualaikum, waalaikumsalam!" teriak Mia semangat."Apaan sih Mia." Masih dengan nada serak, Fi
Adefi Putri Trisya, hanya seorang gadis berumur 19 tahun dengan keadaan ekonomi pas-pasan serta penampakan biasa. Depan-belakang sangat biasa, tanpa ada lekukan di tubuhnya membuat orang-orang yang minim ahklak memanggilnya tepos, papan cucian, triplek, daun lidi dan segala hinaan lainnya yang membuat Fi- nama panggilan Adefi sakit hati.Sebagai anak satu-satunya dalam keluarga Fi diharuskan untuk bekerja keras, menanggung semua beban di pundaknya sendirian. Mungkin selama ini anggapan bahwa anak satu-satunya akan menjadi anak emas yang selalu disayang salah. Selama ini Fi tidak pernah merasakan kebahagiaan tersebut.Saat teman-temannya sibuk hangout di cafe-cafe terkenal, Fi sibuk mencuci pakaian laundry di tempat orang. Ketika mereka disibukkan dengan hubungan percintaan, Fi menutup dirinya dan memilih belajar mati-matian untuk meraih cita-citanya. Dia cukup sadar diri, sebagai anak dengan keadaan ekonomi yang menyedihkan tidak seharusnya mengharapk