Merasakan rasanya didewasakan saat dirinya masih terlalu kecil untuk memahami kerasnya kehidupan.
Hingga saat dirinya menginjak bangku perkuliahan, ayahnya sama sekali tak mendukung niat baiknya itu. Dia justru memaksa putri semata wayangnya untuk bekerja lagi dan lagi agar dirinya bisa terus berjudi.Tidak ada yang bisa Fi lakukan, selain dirinya tidak ingin kehilangan satu-satunya keluarga yang dimiliki, dia masih yakin ayahnya akan berubah suatu saat nanti. Meskipun dengan bayaran dia akan terus menerima tamparan dari tangan kasar lelaki itu.
Hingga pada suatu hari yang mendung, di saat dia baru saja pulang dari rumah majikannya. Dengan tubuh letih kehabisan tenaga, Fi mengetuk pintu rumah dan mendapati seorang lelaki tua duduk di hadapan Ayahnya. Dengan kumis tebal di sertai dengan mata keranjangnya yang memicing tajam. Mereka seolah telah sampai pada kesepakatan terakhir.Di detik itu entah mengapa jantung Fi seolah berhenti, dia dapat membaca ekspresi Ayahnya tersebut. Ekspresi puas yang hanya ditunjukkannya sewaktu dia mendapatkan uang hasil bekerjanya.Lelaki berkumis tebal itu keluar, Fi bukannya tidak kenal dengannya. Lelaki yang telah menikahi 3 orang wanita muda di desa mereka. Lelaki mata keranjang itu belakangan dikatakan sedang mencari calon istri lagi dan baru kemarin juga ayahnya mengatakan bahwa dirinya memiliki utang kepada orang tersebut."Ayah... Jangan bilang..." Pelupuk gadis itu digenangi air mata, pundaknya seolah jatuh ke lantai. Tak sanggup lagi dirinya jika mendengar kata-kata tersebut keluar dari ayahnya. "Kamu bakal dinikahkan dengan Pak Jamal, maafin Ayah, Fi.""Yah... Gak bisa gitu. Selagi aku masih ada tangan sama kaki, aku masih bisa nyari uang. Berapapun aku kumpulin, kalau ayah butuh uang juga selama ini aku kasih kan? Asalkan jangan dinikahin begini Yah."Tenggorokan gadis itu tercekat, dia masih berusaha menahan isak tangis, menggigit bibirnya sekuat tenaga hingga akhirnya tak bisa tertahan lagi.
"Pak Jamal bakal datang melamar, jangan keras kepala atau kamu yang ayah tampar." Ayahnya seolah tak mempedulikan kata-kata anak semata wayangnya, yang terbayang di kepalanya saat ini hanya segepok uang. Dia tak membutuhkan gadis itu lagi. "Ayah!""Jaga bicaramu, Adefi!!" Bentak ayahnya lebih keras, kaki gadis itu mundur beberapa langkah. Merinding jika ayahnya itu mengamuk dan menghantamkan kepalanya di sudut laci meja seperti biasanya. Fi gemetaran kala nyalang merah di mata ayahnya menatap tajam."Keputusan ayah sudah bulat, kamu bakal dinikahkan. Memang kamu pikir mau jadi apa dengan kuliahmu itu, hah?!" Saat-saat seperti ini Fi tahu ke mana arah pembicaraan akan berakhir, dia menyandarkan punggungnya di dinding kayu. Suaranya tertahan dan terdengar ketakutan. "Aku udah berjuang dari kecil, buat bisa sekolah, biar bisa sukses dan bahagiakan Ayah. Dan berharap Ibu bakal kembali kalau lihat aku udah kaya.Kurang apa aku jadi anak? Sekali ini aja yah, Fi minta tolong. Jangan nikahin aku sama orang tua itu!"Pak Jamal yang dimaksud Fi memang sudah menginjak umur 50 tahun, siapa yang ingin dinikahkan dengan lelaki bau tanah berhidung belang sepertinya. Mimpi buruk. Adefi tidak bisa membayangkan kehidupannya setelah menikah nanti.
"Fi, kamu sayang sama ayah kan?" Tiba-tiba nada bicara laki itu melembut, membuat lagi-lagi Fi tak sanggup menahan kesedihannya.
"Sayang, Ayah..."Suaranya melemah."Kalau begitu ikut kata ayah. Ini semua demi kebaikan kamu. Kebaikan kita. Ayah gak akan sanggup nafkahin kamu. Kalau ayah mati nanti, cuma suami kamu yang bisa menjaga kamu. Kasih makan kamu. Jadi tolong jangan buat Ayah kecewa, ya."Pintu rumah tertutup, meninggalkan Fi menangis di sudut ruangan tamu. Menangis dalam diam. Bibirnya bergetar hebat. Bunyi hujan yang begitu gemuruh di atas genteng tenggelam, sama sekali tak dirasakannya apapun lagi."Semuanya yang aku punya, semua yang aku lakuin buat kalian. Kenapa gak ada sedikitpun rasa peduli sama aku, Ayah... Ibuk..."Drrtt... Drrrrrtt... Drrrttttt...Ponsel Adefi berdering di atas meja, gadis itu terbangun beberapa detik kemudian. Melihat sekitarnya dan tak mendapati ayahnya telah pulang. Lalu menyadari semalam dirinya tertidur di lantai ruang tamu tanpa selimut, gadis itu bangun dengan langkah gontai agar bisa menggapai ponselnya.Tertera nama MamaMia di layar ponsel, sahabatnya saat dia masih sering main air kobokan. Mia, gadis itu satu-satunya sahabat yang Fi miliki. Walaupun dari segi mana pun, Mia jauh berkebalikan darinya.Mia memiliki wajah yang manis, lelaki manapun bakal melirik dua kali kalau berpas-pasan dengannya. Dengan kulit bening serta senyuman yang memikat. Ditambah lagi dia berasal dari keluarga kaya. Bagi Mia mendapatkan pacar sama halnya seperti menangkap nyamuk. Hanya dalam sekali tepuk, ya begitulah."Assalamualaikum, waalaikumsalam!" teriak Mia semangat."Apaan sih Mia." Masih dengan nada serak, Fi
Dari kejauhan terdengar suara air hujan mulai jatuh membasahi bumi, aliran air mulai muncul di atas tanah mengarah ke arah selokan. Untungnya Fi sudah lebih dulu sampai ke rumah, tas yang tadinya digunakan untuk melindungi kepalanya kini ia tepuk-tepuk."Anak ayah... Ayo masuk dulu."Tiba-tiba terdengar ayahnya memanggil dari belakang, entah mengapa sikapnya begitu lembut ia juga tak tahu. Lelaki tua itu telah menunggunya di ruang tamu yang hanya beralaskan tikar, dengan sepiring gorengan di depan dan juga makanan yang terlihat enak. Sangat jarang sekali lelaki itu membelikan makanan warung."Makan dulu."Banyak pertanyaan muncul di benaknya namun Fi juga tak mau menyia-nyiakan kebaikan ayahnya yang sangat langka ini. Meskipun dia tahu lelaki itu sebentar lagi akan menikahkannya dengan pria hidung belang. Fi masih menganggapnya sebagai ayah.Tidak terucap satu patah kata pun dari mulut lelaki itu, sebelum akhirny
Dua jam berlalu, akhirnya Fi memilih mencari tempat lain yang lebih layak untuk berteduh, dia takut jika tidur di pemberhentian bus akan ada lelaki bejat yang mengganggunya. Kakinya berjalan tak tentu arah, entah ke mana nasib akan membawanya nanti.Fi mengeratkan pelukannya pada tas yang biasa dia pakai untuk ke kampus. berusaha setegar mungkin menerima kenyataan bahwa, dia tak memiliki tempat tujuan sama sekali.Saat terlarut dalam lamunannya sendiri sebuah mobil melaju dengan begitu kencang di belakangnya, gelapnya malam membuat sosok Fi yang berjalan di pinggir jalan tak terlihat jelas. Pengemudi mobil menjadi panik, dia menurunkan kecepatan dengan drastis saking terkejutnya. Membuat suara decitan terdengar jelas memekakkan telinga, mobil nyaris menabrak tubuh gadis itu.Biarpun tabrakan berhasil terhindarkan namun tetap saja betis Fi tersenggol oleh bagian depan mobil. Cukup parah. Luka goresan di kulitnya mulai mengeluarkan darah, i
Rangga sudah keluar dari mobilnya lalu membukakan pintu untuk Fi, sembari memapahnya masuk ke dalam rumah. Di daun pintu terlihat seorang wanita yang agak tua dengan dandanannya membuat umurnya lebih muda dari umur aslinya keluar, memasang wajah cemas karena anaknya tidak pulang hingga selarut ini. Tak lupa juga dengan pembantunya yang baru bekerja 3 hari di sana ikut keluar."Astaghfirullah Rangga! Anak siapa kamu tabrak ini?!" suara tersebut terdengar cukup keras, raut wajah cemas terlihat jelas di mukanya. Wanita tersebut buru-buru membawa Fi ke dalam rumah untuk menghentikan pendarahan di kakinya.Fi dibawa ke ruang tamu, usai diobati oleh Ibu Rangga wanita itu meminta maaf. Anaknya itu sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri. Gadis itu menoleh ke sekelilingnya, tampaknya hanya ada Rangga, ibunya dan juga satu pembantu di rumah besar ini."Nyari menantu saya, ya?""Eh?" Dia menjadi malu, tahu isi kepal
Rangga sudah keluar dari mobilnya lalu membukakan pintu untuk Fi, sembari memapahnya masuk ke dalam rumah. Di daun pintu terlihat seorang wanita yang agak tua dengan dandanannya membuat umurnya lebih muda dari umur aslinya keluar, memasang wajah cemas karena anaknya tidak pulang hingga selarut ini. Tak lupa juga dengan pembantunya yang baru bekerja 3 hari di sana ikut keluar."Astaghfirullah Rangga! Anak siapa kamu tabrak ini?!" suara tersebut terdengar cukup keras, raut wajah cemas terlihat jelas di mukanya. Wanita tersebut buru-buru membawa Fi ke dalam rumah untuk menghentikan pendarahan di kakinya.Fi dibawa ke ruang tamu, usai diobati oleh Ibu Rangga wanita itu meminta maaf. Anaknya itu sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri. Gadis itu menoleh ke sekelilingnya, tampaknya hanya ada Rangga, ibunya dan juga satu pembantu di rumah besar ini."Nyari menantu saya, ya?""Eh?" Dia menjadi malu, tahu isi kepal
Dua jam berlalu, akhirnya Fi memilih mencari tempat lain yang lebih layak untuk berteduh, dia takut jika tidur di pemberhentian bus akan ada lelaki bejat yang mengganggunya. Kakinya berjalan tak tentu arah, entah ke mana nasib akan membawanya nanti.Fi mengeratkan pelukannya pada tas yang biasa dia pakai untuk ke kampus. berusaha setegar mungkin menerima kenyataan bahwa, dia tak memiliki tempat tujuan sama sekali.Saat terlarut dalam lamunannya sendiri sebuah mobil melaju dengan begitu kencang di belakangnya, gelapnya malam membuat sosok Fi yang berjalan di pinggir jalan tak terlihat jelas. Pengemudi mobil menjadi panik, dia menurunkan kecepatan dengan drastis saking terkejutnya. Membuat suara decitan terdengar jelas memekakkan telinga, mobil nyaris menabrak tubuh gadis itu.Biarpun tabrakan berhasil terhindarkan namun tetap saja betis Fi tersenggol oleh bagian depan mobil. Cukup parah. Luka goresan di kulitnya mulai mengeluarkan darah, i
Dari kejauhan terdengar suara air hujan mulai jatuh membasahi bumi, aliran air mulai muncul di atas tanah mengarah ke arah selokan. Untungnya Fi sudah lebih dulu sampai ke rumah, tas yang tadinya digunakan untuk melindungi kepalanya kini ia tepuk-tepuk."Anak ayah... Ayo masuk dulu."Tiba-tiba terdengar ayahnya memanggil dari belakang, entah mengapa sikapnya begitu lembut ia juga tak tahu. Lelaki tua itu telah menunggunya di ruang tamu yang hanya beralaskan tikar, dengan sepiring gorengan di depan dan juga makanan yang terlihat enak. Sangat jarang sekali lelaki itu membelikan makanan warung."Makan dulu."Banyak pertanyaan muncul di benaknya namun Fi juga tak mau menyia-nyiakan kebaikan ayahnya yang sangat langka ini. Meskipun dia tahu lelaki itu sebentar lagi akan menikahkannya dengan pria hidung belang. Fi masih menganggapnya sebagai ayah.Tidak terucap satu patah kata pun dari mulut lelaki itu, sebelum akhirny
Drrtt... Drrrrrtt... Drrrttttt...Ponsel Adefi berdering di atas meja, gadis itu terbangun beberapa detik kemudian. Melihat sekitarnya dan tak mendapati ayahnya telah pulang. Lalu menyadari semalam dirinya tertidur di lantai ruang tamu tanpa selimut, gadis itu bangun dengan langkah gontai agar bisa menggapai ponselnya.Tertera nama MamaMia di layar ponsel, sahabatnya saat dia masih sering main air kobokan. Mia, gadis itu satu-satunya sahabat yang Fi miliki. Walaupun dari segi mana pun, Mia jauh berkebalikan darinya.Mia memiliki wajah yang manis, lelaki manapun bakal melirik dua kali kalau berpas-pasan dengannya. Dengan kulit bening serta senyuman yang memikat. Ditambah lagi dia berasal dari keluarga kaya. Bagi Mia mendapatkan pacar sama halnya seperti menangkap nyamuk. Hanya dalam sekali tepuk, ya begitulah."Assalamualaikum, waalaikumsalam!" teriak Mia semangat."Apaan sih Mia." Masih dengan nada serak, Fi
Adefi Putri Trisya, hanya seorang gadis berumur 19 tahun dengan keadaan ekonomi pas-pasan serta penampakan biasa. Depan-belakang sangat biasa, tanpa ada lekukan di tubuhnya membuat orang-orang yang minim ahklak memanggilnya tepos, papan cucian, triplek, daun lidi dan segala hinaan lainnya yang membuat Fi- nama panggilan Adefi sakit hati.Sebagai anak satu-satunya dalam keluarga Fi diharuskan untuk bekerja keras, menanggung semua beban di pundaknya sendirian. Mungkin selama ini anggapan bahwa anak satu-satunya akan menjadi anak emas yang selalu disayang salah. Selama ini Fi tidak pernah merasakan kebahagiaan tersebut.Saat teman-temannya sibuk hangout di cafe-cafe terkenal, Fi sibuk mencuci pakaian laundry di tempat orang. Ketika mereka disibukkan dengan hubungan percintaan, Fi menutup dirinya dan memilih belajar mati-matian untuk meraih cita-citanya. Dia cukup sadar diri, sebagai anak dengan keadaan ekonomi yang menyedihkan tidak seharusnya mengharapk