"Atau saya salah sebut nama? Yang bener Mangga atau Mas Rangga sih, mbak?" Perempuan itu malah bertanya pada Adefi yang tidak tahu-menahu. Dia memilih angkat tangan.
Ibu Rangga langsung memotong omongan Rika dengan berdehem pelan, maklum mungkin pembantunya itu masih belum mengerti apapun di dalam rumah ini. Terdengar suara derap kaki, seseorang menuruni tangga dengan membawa salap di tangannya. Juga terlihat seorang gadis berjalan di belakangnya, kemungkinan masih anak SMA. Tatapannya dan Fi bertemu beberapa detik, anak perempuan itu berubah antusias."Widih kakak ipar baru ini bang?" "Enak banget ya, liat cewek langsung nuduh calon," gerutu Rangga saat menuruni anak tangga. "Yaiyalah, mama aja setres tuh mikirin calon-calon mantunya pada lari semua. Abang, sih, ngeselin. Pantes gak laku sampe umur 28. Hidih! Gak malu tuh sama cicak yang udah beranak-pinak bang?"Fi hampir tertawa, jika bukan karena kasihan melihat mama Rangga yang sudah memasang wajah depresi itu. Sedikit tak tega juga melihatnya. Rangga duduk tepat di hadapan Fi, lalu menjulurkan sesuatu. "Nih, salep pemberian nenek. Olesin di lukamu itu supaya rasa sakitnya berkurang."Fi menerimanya, namun Rangga menahan salep tersebut di tangan."Hemat hemat pakainya. Ini salep paling manjur, pemberian nenek saya soalnya."
"Iya, iya." Gadis itu masih berusaha sabar. Dia perlahan mengoleskan salep tersebut ke dekat lukanya, walaupun terasa agak perih. Masih terdengar suara Rangga, merasa tidak senang melihat apa yang dilakukan Fi."Bukan diolesin begitu, jangan sembarangan pakainya.""Eh? Eh? Kenapa emangnya?" Tanyanya, takut salah pemakaian. Bisa saja obat itu malah membuat kakinya bengkak hanya karena beda teknik dalam mengoles tentunya."Soalnya ini salep pemberian nenek saya."Mama Rangga menepuk pundak, lelah jiwa dan raga melihat anaknya ini. Seandainya suaminya masih ada pasti laki-laki itu akan bersifat sama dengan anaknya ini.Rangga mengoleskan obat tersebut sangat hati-hati, setelah itu berbicara pada ibunya. "Fi untuk sementara tinggal di sini, sampai kakinya sembuh Ma.""Gak dicariin orang tuanya? Takutnya nanti dicariin lho."Rangga mengarahkan tatapannya pada Fi, seolah meminta untuk menjelaskan pada mamanya. Tak memiliki pilihan lain, gadis itu segera menceritakan kejadian yang menimpanya, membuat Mama Rangga sedikit terkejut. Tatapan mata kasihan itu membuat Fi semakin terpuruk, mengingatkannya pada sang bibi yang mentah-mentah menolak saat dirinya ingin tinggal di sana, setidaknya malam ini dia tidak perlu khawatir harus tidur di mana."Ngomong-ngomong, Ma," Rangga bercelutuk dengan wajah berpaling."Rangga menolak dijodohin sama Sarah. Dia bukan tipe Rangga sama sekali."
"Rangga." Meskipun terlihat tenang, Mama Rangga mulai geram. Terlihat dari rahangnya yang mengeras seolah rasa kesalyang ditahannya sudah bertumpuk-tumpuk. Keduanya sama-sama tidak peduli jika di dekat mereka ada orang asing yang sama sekali tak mengerti pembicaraan mereka. Fi merasa canggung, seharusnya dia tidak ada di tengah-tengah mereka."Ini sudah perempuan ke-31 yang mama cariin buat kamu, dan dari sekian banyaknya mereka, gak ada satupun yang bisa mama harapkan? Sekarang masalahmu apa lagi? Cara makannya gak bener? Jalannya kurang simetris? Atau malah dandanannya terlalu menor?""Sarah ngebentak anak panti asuhan, di depan banyak orang cuma gara-gara dia kotor."Mama Rangga menumpukan sikutnya di paha, memegang dahinya kesakitan. Umurnya kini sudah tak muda lagi, mengharapkan anak tertuanya untuk menikah dan memberikan cucu kepadanya adalah harapan terakhir yang sangat dia inginkan.Hanya saja anaknya itu, hingga di umurnya yang hampir tiga puluh, sama sekali tak menemukan pasangannya. Sudah berbagai macam cara dilakukan dan sama sekali tidak berhasil."Mama gak perlu memusingkan urusan Rangga lagi. Rangga udah muak.""Rangga! Kamu-!" Marah mamanya tertahankan usai mendapati anaknya telah menghilang. Tak sempat dirinya mengomel, padahal Rangga sudah memasuki usia matang dan dengan profesinya sebagai dokter semua perempuan akan mengejar-ngejarnya. Namun anaknya itu tetap merasa tidak cocok dengan manusia manapun.Rika menyodorkan segelas air putih pada Mama Rangga, membiarkannya menarik napas sejenak. "Hah... Bertahun-tahun sudah saya begini, udah sampai putus urat malu saya pas ditanya sama teman saya. Si Rangga masih aja belum menikah, sampai dikira belok ...." Rika mengangguk kecil, menyimak dengan sepenuh hati. Begitupun dengan Fi. "Kalau begini terus, sampai saya gak ada pun, dia gak akan menikah. Rangga, Rangga. Pusing saya dibuatnya." Terjadi keheningan di antara mereka, Mama Rangga perlahan-lahan mengangkat wajahnya-dengan senyuman yang sangat cerah- menatap Fi layaknya satu-satunya penyelamat hidup anaknya Rangga. Fi memasang penuh tanda tanya, ancaman dapat dirasakan kala tatapan tersebut seperti berharap padanya."Kamu pasti gak tahu mau tinggal di mana setelah ini, kan?"Meskipun hatinya ingin sekali mengatakan dirinya pasti akan mendapatkan tempat tinggal baru, namun mulutnya berkata lain."Iya.""Kalau begitu kamu tinggal sama saya saja. Saya bisa jamin kamu gak akan bertemu dengan ayahmu lagi. Di sini kamu aman. Kalaupun kamu tinggal dengan teman atau kerabatmu, ayahmu pasti akan mudah menemukan kamu."Di balik senyuman tersebut ia sadar ada harga yang harus dibayar, benar saja Mama Rangga mengatakan maksudnya sambil berbisik pelan."Asal kamu mau menikah dengan anak saya, dan memberikan saya cucu. Kamu bisa tinggal di sini, saya berikan waktu selama 30 hari."Membuat seseorang jatuh cinta hanya dalam 30 hari? Dikira masa tenggang kartu SIM kali, ya? batin gadis itu. Tatapan yang begitu meyakinkan dari Ibu Rangga seolah mendiktenya untuk menurut. Fi mengangguk tanpa sadar, tiba-tiba saja Ibu Rangga menjabat tangannya sambil tersenyum sumringah."Baik, kita sudah sepakat. Saya akan memantau kamu dalam waktu tiga puluh hari ke depan. Jangan membuat saya kecewa, Fi."
Wanita itu tersenyum, entah mengapa itu justru membuat Fi merasa tertekan.
Adefi Putri Trisya, hanya seorang gadis berumur 19 tahun dengan keadaan ekonomi pas-pasan serta penampakan biasa. Depan-belakang sangat biasa, tanpa ada lekukan di tubuhnya membuat orang-orang yang minim ahklak memanggilnya tepos, papan cucian, triplek, daun lidi dan segala hinaan lainnya yang membuat Fi- nama panggilan Adefi sakit hati.Sebagai anak satu-satunya dalam keluarga Fi diharuskan untuk bekerja keras, menanggung semua beban di pundaknya sendirian. Mungkin selama ini anggapan bahwa anak satu-satunya akan menjadi anak emas yang selalu disayang salah. Selama ini Fi tidak pernah merasakan kebahagiaan tersebut.Saat teman-temannya sibuk hangout di cafe-cafe terkenal, Fi sibuk mencuci pakaian laundry di tempat orang. Ketika mereka disibukkan dengan hubungan percintaan, Fi menutup dirinya dan memilih belajar mati-matian untuk meraih cita-citanya. Dia cukup sadar diri, sebagai anak dengan keadaan ekonomi yang menyedihkan tidak seharusnya mengharapk
Drrtt... Drrrrrtt... Drrrttttt...Ponsel Adefi berdering di atas meja, gadis itu terbangun beberapa detik kemudian. Melihat sekitarnya dan tak mendapati ayahnya telah pulang. Lalu menyadari semalam dirinya tertidur di lantai ruang tamu tanpa selimut, gadis itu bangun dengan langkah gontai agar bisa menggapai ponselnya.Tertera nama MamaMia di layar ponsel, sahabatnya saat dia masih sering main air kobokan. Mia, gadis itu satu-satunya sahabat yang Fi miliki. Walaupun dari segi mana pun, Mia jauh berkebalikan darinya.Mia memiliki wajah yang manis, lelaki manapun bakal melirik dua kali kalau berpas-pasan dengannya. Dengan kulit bening serta senyuman yang memikat. Ditambah lagi dia berasal dari keluarga kaya. Bagi Mia mendapatkan pacar sama halnya seperti menangkap nyamuk. Hanya dalam sekali tepuk, ya begitulah."Assalamualaikum, waalaikumsalam!" teriak Mia semangat."Apaan sih Mia." Masih dengan nada serak, Fi
Dari kejauhan terdengar suara air hujan mulai jatuh membasahi bumi, aliran air mulai muncul di atas tanah mengarah ke arah selokan. Untungnya Fi sudah lebih dulu sampai ke rumah, tas yang tadinya digunakan untuk melindungi kepalanya kini ia tepuk-tepuk."Anak ayah... Ayo masuk dulu."Tiba-tiba terdengar ayahnya memanggil dari belakang, entah mengapa sikapnya begitu lembut ia juga tak tahu. Lelaki tua itu telah menunggunya di ruang tamu yang hanya beralaskan tikar, dengan sepiring gorengan di depan dan juga makanan yang terlihat enak. Sangat jarang sekali lelaki itu membelikan makanan warung."Makan dulu."Banyak pertanyaan muncul di benaknya namun Fi juga tak mau menyia-nyiakan kebaikan ayahnya yang sangat langka ini. Meskipun dia tahu lelaki itu sebentar lagi akan menikahkannya dengan pria hidung belang. Fi masih menganggapnya sebagai ayah.Tidak terucap satu patah kata pun dari mulut lelaki itu, sebelum akhirny
Dua jam berlalu, akhirnya Fi memilih mencari tempat lain yang lebih layak untuk berteduh, dia takut jika tidur di pemberhentian bus akan ada lelaki bejat yang mengganggunya. Kakinya berjalan tak tentu arah, entah ke mana nasib akan membawanya nanti.Fi mengeratkan pelukannya pada tas yang biasa dia pakai untuk ke kampus. berusaha setegar mungkin menerima kenyataan bahwa, dia tak memiliki tempat tujuan sama sekali.Saat terlarut dalam lamunannya sendiri sebuah mobil melaju dengan begitu kencang di belakangnya, gelapnya malam membuat sosok Fi yang berjalan di pinggir jalan tak terlihat jelas. Pengemudi mobil menjadi panik, dia menurunkan kecepatan dengan drastis saking terkejutnya. Membuat suara decitan terdengar jelas memekakkan telinga, mobil nyaris menabrak tubuh gadis itu.Biarpun tabrakan berhasil terhindarkan namun tetap saja betis Fi tersenggol oleh bagian depan mobil. Cukup parah. Luka goresan di kulitnya mulai mengeluarkan darah, i
Rangga sudah keluar dari mobilnya lalu membukakan pintu untuk Fi, sembari memapahnya masuk ke dalam rumah. Di daun pintu terlihat seorang wanita yang agak tua dengan dandanannya membuat umurnya lebih muda dari umur aslinya keluar, memasang wajah cemas karena anaknya tidak pulang hingga selarut ini. Tak lupa juga dengan pembantunya yang baru bekerja 3 hari di sana ikut keluar."Astaghfirullah Rangga! Anak siapa kamu tabrak ini?!" suara tersebut terdengar cukup keras, raut wajah cemas terlihat jelas di mukanya. Wanita tersebut buru-buru membawa Fi ke dalam rumah untuk menghentikan pendarahan di kakinya.Fi dibawa ke ruang tamu, usai diobati oleh Ibu Rangga wanita itu meminta maaf. Anaknya itu sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri. Gadis itu menoleh ke sekelilingnya, tampaknya hanya ada Rangga, ibunya dan juga satu pembantu di rumah besar ini."Nyari menantu saya, ya?""Eh?" Dia menjadi malu, tahu isi kepal
Dua jam berlalu, akhirnya Fi memilih mencari tempat lain yang lebih layak untuk berteduh, dia takut jika tidur di pemberhentian bus akan ada lelaki bejat yang mengganggunya. Kakinya berjalan tak tentu arah, entah ke mana nasib akan membawanya nanti.Fi mengeratkan pelukannya pada tas yang biasa dia pakai untuk ke kampus. berusaha setegar mungkin menerima kenyataan bahwa, dia tak memiliki tempat tujuan sama sekali.Saat terlarut dalam lamunannya sendiri sebuah mobil melaju dengan begitu kencang di belakangnya, gelapnya malam membuat sosok Fi yang berjalan di pinggir jalan tak terlihat jelas. Pengemudi mobil menjadi panik, dia menurunkan kecepatan dengan drastis saking terkejutnya. Membuat suara decitan terdengar jelas memekakkan telinga, mobil nyaris menabrak tubuh gadis itu.Biarpun tabrakan berhasil terhindarkan namun tetap saja betis Fi tersenggol oleh bagian depan mobil. Cukup parah. Luka goresan di kulitnya mulai mengeluarkan darah, i
Dari kejauhan terdengar suara air hujan mulai jatuh membasahi bumi, aliran air mulai muncul di atas tanah mengarah ke arah selokan. Untungnya Fi sudah lebih dulu sampai ke rumah, tas yang tadinya digunakan untuk melindungi kepalanya kini ia tepuk-tepuk."Anak ayah... Ayo masuk dulu."Tiba-tiba terdengar ayahnya memanggil dari belakang, entah mengapa sikapnya begitu lembut ia juga tak tahu. Lelaki tua itu telah menunggunya di ruang tamu yang hanya beralaskan tikar, dengan sepiring gorengan di depan dan juga makanan yang terlihat enak. Sangat jarang sekali lelaki itu membelikan makanan warung."Makan dulu."Banyak pertanyaan muncul di benaknya namun Fi juga tak mau menyia-nyiakan kebaikan ayahnya yang sangat langka ini. Meskipun dia tahu lelaki itu sebentar lagi akan menikahkannya dengan pria hidung belang. Fi masih menganggapnya sebagai ayah.Tidak terucap satu patah kata pun dari mulut lelaki itu, sebelum akhirny
Drrtt... Drrrrrtt... Drrrttttt...Ponsel Adefi berdering di atas meja, gadis itu terbangun beberapa detik kemudian. Melihat sekitarnya dan tak mendapati ayahnya telah pulang. Lalu menyadari semalam dirinya tertidur di lantai ruang tamu tanpa selimut, gadis itu bangun dengan langkah gontai agar bisa menggapai ponselnya.Tertera nama MamaMia di layar ponsel, sahabatnya saat dia masih sering main air kobokan. Mia, gadis itu satu-satunya sahabat yang Fi miliki. Walaupun dari segi mana pun, Mia jauh berkebalikan darinya.Mia memiliki wajah yang manis, lelaki manapun bakal melirik dua kali kalau berpas-pasan dengannya. Dengan kulit bening serta senyuman yang memikat. Ditambah lagi dia berasal dari keluarga kaya. Bagi Mia mendapatkan pacar sama halnya seperti menangkap nyamuk. Hanya dalam sekali tepuk, ya begitulah."Assalamualaikum, waalaikumsalam!" teriak Mia semangat."Apaan sih Mia." Masih dengan nada serak, Fi
Adefi Putri Trisya, hanya seorang gadis berumur 19 tahun dengan keadaan ekonomi pas-pasan serta penampakan biasa. Depan-belakang sangat biasa, tanpa ada lekukan di tubuhnya membuat orang-orang yang minim ahklak memanggilnya tepos, papan cucian, triplek, daun lidi dan segala hinaan lainnya yang membuat Fi- nama panggilan Adefi sakit hati.Sebagai anak satu-satunya dalam keluarga Fi diharuskan untuk bekerja keras, menanggung semua beban di pundaknya sendirian. Mungkin selama ini anggapan bahwa anak satu-satunya akan menjadi anak emas yang selalu disayang salah. Selama ini Fi tidak pernah merasakan kebahagiaan tersebut.Saat teman-temannya sibuk hangout di cafe-cafe terkenal, Fi sibuk mencuci pakaian laundry di tempat orang. Ketika mereka disibukkan dengan hubungan percintaan, Fi menutup dirinya dan memilih belajar mati-matian untuk meraih cita-citanya. Dia cukup sadar diri, sebagai anak dengan keadaan ekonomi yang menyedihkan tidak seharusnya mengharapk