“Ay, susu formulanya Ansel habis. Apa mama boleh ajak keluar Ansel sekalian jalan-jalan?” tanya Suci bicara dengan Ayana melalui panggilan telepon.“Iya boleh, Ma. Nanti minta sopir saja buat antar,” jawab Ayana dari seberang panggilan.“Baiklah, mama minta izin dulu, takutnya kamu ga ngebolehin Ansel diajak keluar di tempat umum,” ujar Suci lagi.“Bolehlah, Ma,” jawab Ayana, “Ma, aku ada rapat, kalau ada apa-apa kabari saja, ya.”Suci membalas ucapan Ayana, lantas mengakhiri panggilan.“Akhirnya bisa ajak kamu jalan-jalan ya, Ans.” Suci mencium pipi gembul cucunya itu karena sangat menggemaskan.“Mau ke mana?” tanya Jonathan yang tiba-tiba muncul di rumah.“Lho, bukannya kamu seharusnya di kantor?” tanya Suci keheranan melihat Jonathan di rumah.“Oh ya seharusnya, tapi aku tadi baru saja ada urusan di luar, jadi sekalian mampir pulang,” jawab Jonathan menjelaskan.Suci pun membentuk huruf O dengan bibir, lantas menjawab pertanyaan Jonathan sebelumnya.“Susu Ansel habis, jadi aku bere
“Pak Jonathan, Anda bersama ….”Carisa menghampiri dan menyapa Jonathan, hingga terkejut melihat wanita lain pergi bersama Jonathan, lantas dia melirik Ansel yang ada di stroller. Dia juga melihat Andre yang membawa banyak barang belanjaan.“Ah … belanja bulanan untuk si kecil. Dia baby sitternya?” tanya Carisa karena tak pernah melihat Suci.Suci sangat terkejut dipanggil sebagai baby sitter, dia ingin menjelaskan tapi Jonathan lebih dulu bicara.“Dia omanya Ansel,” jawab Jonathan memperkenalkan Suci, dia tidak salah memperkenalkan Suci sebagai nenek Ansel, bukankah itu benar.“Oma?” Carisa sangat terkejut mendengar ucapan Jonathan, hingga kemudian menebak. “Oh … mantan istri Anda?”Jonathan memulas senyum mendengar tebakan Carisa, sedangkan Suci melongo karena Carisa begitu kepo dengan statusnya.“Bukan mantan,” balas Jonathan yang bicara ambigu.Carisa pun terkejut, kini tebakan demi tebakan muncul di kepala karena ucapan Jonathan yang ambigu hingga membuat seseorang berspekulasi s
Ive langsung menggenggam telapak tangan Alex saat melihat nomor yang menghubunginya. Dia menoleh Alex, hingga pria itu memberi isyarat dengan cara mengangguk agar Ive menjawab panggilan itu.Ive pun akhirnya menggeser tombol hijau di layar, lantas menempelkan benda pipih itu di telinga.“Halo.” Ive menjawab panggilan itu dengan suara sedikit gemetar.“Halo, kamu benar Evelyn?” Suara seseorang terdengar dari seberang panggilan.‘I-iya.” Ive sampai tergagap karena terkejut juga tak tahu apa yang dirasakannya sekarang.“Apa kita bisa bertemu? Di mana kamu? Aku akan menemuimu.”Ive menoleh Alex lagi, lantas menjawab, “Aku masih di London dan dalam perjalanan menuju bandara untuk kembali ke Indonesia.”Terdengar hening dari seberang panggilan setelah Ive menjawab, hingga kembali terdengar suara dari seberang panggilan.“Baiklah, aku akan menunggumu. Hubungi aku jika sudah sampai.”“Tunggu! Siapa kamu sebenarnya?” tanya Ive yang tak bisa membendung rasa penasarannya.“Kamu akan tahu setelah
“Evelyn?” Suara dengan bariton tinggi dan tegas, tapi terkesan lembut karena diucapkan penuh kehati-hatian itu mampu membuat jantung Ive berdegup dengan cepat. Evelyn melihat seorang pria seumuran Alex berdiri dari duduknya, ada satu pria lagi berumur 60 an berdiri di belakang pria itu. “Kamu benar Evelyn?” tanya pria itu lagi karena Ive hanya diam. Alex menoleh Ive, melihat istrinya yang hanya diam. Dia pun menyentuh pundak istrinya untuk menyadarkan dari lamunan. “Iya,” jawab Ive saat tersadar dari lamunannya. Pria itu mendekat ke Ive dan Alex. Dia berdiri tepat di hadapan Ive, lantas melihat liontin yang dipakai oleh Ive. Ive memandang pria yang lebih tinggi darinya itu. Pria tampan dengan rahang kokoh yang ditumbuhi bulu tipis di area rahang pria itu. “Siapa nama lengkapmu?” tanya pria itu seolah masih memastikan jika benar dia Evelyn yang dicarinya. “Evelyn Blossom Cheverlyn.” Pria itu tersenyum saat mendengar nama lengkap Ive, hingga dia tiba-tiba memeluk Evelyn. “Akh
“Apa kamu yang mengambil semua barang-barangku di apartemen?” tanya Ive karena masih berharap foto keluarganya kembali. “Barang?” Damian bingung hingga dahinya berkerut mendengar pertanyaan Ive. “Iya, barang di apartemenku di London,” ucap Ive menjelaskan. Damian menoleh ke Ronald, lantas kembali memandang Ive. “Tidak, bahkan kami tidak tahu kamu pernah tinggal di sana,” balas Damian. Ive langsung menoleh Alex, keduanya saling tatap karena merasa aneh. Jika bukan Damian, lalu siapa yang membawa barang-barangnya. “Apa ada yang berharga?” tanya Damian saat melihat ekspresi wajah Ive yang sedih. “Tidak ada, hanya saja aku kehilangan foto kedua orang tua yang sudah merawatku,” jawab Ive sambil menunduk sedih. Damian memandang Alex yang hanya menggelengkan kepala pelan. Damian ternyata menyewa sebuah apartemen di kota itu. Dia mengajak Ive dan Alex ke sana agar tahu di mana tempat tinggal sementaranya di kota itu. “Aku lega melihat Ive baik-baik saja,” ujar Damian saat hanya berd
“Jadi Ive punya saudara kandung?” tanya Ayana saat mendengar cerita ke mana Alex dan Ive pergi.“Iya, jadi memang ada alasan kenapa keduanya berpisah,” jawab Alex mengiakan pertanyaan Ayana.Ayana mengangguk-angguk paham, hingga kemudian bicara.“Baguslah, setidaknya dia memiliki saudara yang peduli kepadanya, bukan hanya bisanya menghina,” ujar Ayana.“Oh ya, aku sudah mendapatkan informasi soal orang yang membobol apartemen.” Ayana mengambil ponselnya, lantas membuka data yang didapatnya dari Al.“Aku meminta Al untuk menyelidiki lebih lanjut karena kemarin ada beberapa orang yang memiliki ciri sama dengan pelaku,” ujar Ayana menjelaskan sambil memberikan ponselnya ke Alex.Alex pun mengambil ponsel Ayana, lantas membaca data yang ada di sana lengkap dengan foto terduga pelaku.“Dia satu-satunya orang yang mirip dengan pelaku, juga dia pernah terlihat di sekitar gedung apartemen,” ujar Ayana.Teman Ayana butuh beberapa hari untuk menyelidiki semua orang yang dicurigai sebagai pelaku
Ive ikut rapat bersama Alex. Dia di sana memang untuk belajar sambil memahami apa saja yang dibutuhkan perusahaan agar bisa bertahan.“Jadi ini ide yang sudah kami kembangkan, apa ada masukan dari Anda, Pak?” tanya staff yang didatangkan khusus dari London.Siang itu Alex memang mengadakan rapat tertutup dengan staff kepercayaannya.“Ive.” Alex menoleh Ive untuk meminta pendapat istrinya itu sebab Ive yang memberikan ide itu sebelumnya.Ive terkejut mendengar Alex memanggil karena sedang fokus mencatat, hingga dia menyadari jika tatapan semua orang tertuju kepadanya.“Bagaimana pendapatmu soal pengembangan ide yang dibuat oleh tim kita?” tanya Alex.Ive menunduk untuk membaca ulang catatannya, lantas mulai mengemukakan pendapat.“Pengembangannya aku nilai sangat kreatif dan menarik. Konsepnya pun sudah sesuai dengan target pasar kita. Jadi kurasa tak ada yang perlu diubah atau dikritik lagi karena sudah cocok dengan apa yang ingin kita kembangkan,” ujar Ive memberikan penilaiannya, se
“Setiap makan di restoran kamu selalu reservasi untuk private room, apa kamu tidak nyaman makan di tempat terbuka?” tanya Alex karena kakak iparnya itu seperti anti sosial. “Ya, karena terbiasa bersembunyi dan jarang memperlihatkan diri ke publik, membuatku lebih nyaman di tempat tertutup,” ujar Damian lantas menyesap kopi yang dipesannya sambil menunggu Ive dan Alex datang. Damian meletakkan cangkir di meja, lantas mengambil alat makan yang tersedia karena makan siang mereka sudah tersaji. “Kenapa kalian tidak mulai makan?” tanya Damian keheranan. Ive pun mengangguk, lantas mengambil alat makan untuk mulai menyantap hidangan yang ada. Mereka pun makan siang bersama sambil membicarakan bagaimana Damian bisa bertahan sampai sekarang. Di luar restoran. Pria suruhan Emanuel masih menunggu di mobil untuk memantau Ive dan Alex. Dia sudah berusaha masuk, tapi pelayan restoran mencegah karena tak memesan meja di sana. Ponsel pria itu berdering. Nama Emanuel terpampang di layar. “Apa