“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Ayana karena melihat Ive seperti ketakutan sejak masuk mobil.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana. Dia menoleh wanita itu, lantas menggelengkan kepala.“Aku baik-baik saja,” jawab Ive sambil melebarkan senyum.“Apa Alex memarahimu karena kamu pergi denganku? Kalau ya, katakan saja. Aku yang akan menceramahinya,” ucap Ayana karena tak ingin Ive ditindas Alex.Ive tertawa kecil mendengar ucapan Ayana, hingga kemudian membalas, “Mana berani dia memarahi atau melarangku pergi dengan Kakak. Dia baik kepadaku, meski kadang caranya sedikit kasar.”Ayana menoleh sekilas setelah mendengar apa yang dikatakan Ive. Dia melihat gadis itu tersenyum tipis, kemudian kembali fokus ke jalanan.“Ya, begitulah Alex. Dia memang sedikit arogan, tapi tidak jahat. Bahkan pertemuan pertama kami, dipenuhi amarah dan tuduhan aneh darinya, membuatku jadi ingin tertawa kalau ingat saat-saat itu,” ujar Ayana mengingat bagaimana arogan dan angkuhnya Alex saat menemuinya, sampai
Ive memperhatikan kafe yang mereka datangi. Kafe dengan konsep semi jadul itu terlihat begitu ramai di jam istirahat. “Ini kafe milik suamiku. Kita makan di sini sekalian ketemu sama yang lain,” kata Ayana yang baru saja mematikan mesin mobil. “Oh … jadi ini.” Ive mengangguk-angguk lantas melepas seat belt untuk bisa segera turun bersama Ayana. Saat baru saja keluar dari mobil. Ive melihat mobil Alex di sana, dia pun keheranan lantas menoleh Ayana. Ayana yang seperti paham akan arti tatapan Ive, lantas berkata, “Aku tadi menghubunginya untuk makan siang bersama.” Ive mengangguk paham, awalnya berpikir jika kebetulan sekali Alex di kafe itu juga. Saat baru saja masuk kafe, pelayan langsung menyambut keduanya. “Mas Deon sama yang lain ada di lantai atas.” Pelayan itu menunjuk ke lantai dua. Ayana mengangguk lantas mengajak Ive pergi ke lantai dua. Ive sendiri sempat mengamati seluruh meja di ruangan itu yang hampir penuh dengan pengunjung yang rata-rata kalangan mahasiswa. “Apa
Ive ikut mobil Alex setelah selesai makan siang bersama Ayana. Dia hanya membawa barang pribadi yang dibelikan Ayana, selebihnya dibawa Ayana untuk mahar.Saat masih berada di mobil, Ive melihat ponselnya kembali berdering. Itu panggilan dari Eric yang sejak tadi menghubunginya tanpa henti meski Ive sudah menolak panggilan itu berkali-kali.“Siapa?” tanya Alex terganggu mendengar suara ponsel Ive berkali-kali tapi tidak dijawab oleh gadis itu.“Eric,” jawab Ive singkat karena malas menyebut nama mantan kekasihnya itu.Alex langsung mengambil ponsel Ive, membuat gadis itu begitu terkejut.Alex langsung memblokir nomor Eric, lantas menghapus nomor mantan kekasih Ive itu, sebelum mengembalikan benda pipih itu ke Ive.“Blokir semua yang dirasa mengganggu, untuk apa juga kamu masih menyimpan nomor pria itu,” gerutu Alex tak senang.Ive tak membalas ucapan Alex, memilih diam sambil menerima ponselnya kembali.Alex menoleh Ive sekilas. Dia melihat gadis itu hanya diam murung, padahal tadi bi
“Pakai handukmu! Kenapa kamu berteriak saat tak memakai pakaian seperti itu?”Alex sangat panik saat melihat Ive tanpa busana. Dia langsung membalikkan badan sambil memejamkan kelopak mata.Ive pun terkejut dengan ucapan Alex. Dia sedang dalam kondisi panik, sehingga tak menyadari kondisi tubuhnya. Ive pun buru-buru meraih handuk ketika Alex membalikkan badan.“Kenapa kamu berteriak sekencang itu? Jangan salahkan aku yang tiba-tiba menerobos masuk!” Alex mencoba membela diri sebelum disalahkan oleh Ive.“Maaf, aku panik karena lampunya tiba-tiba mati. Aku takut gelap.”Alex menghela napas kasar mendengar ucapan Ive, hingga kemudian bertanya, “Sudah pakai handuk?”“Sudah,” jawab Ive.Alex akhirnya membalikkan badan, menatap Ive yang terlihat panik. Dia lantas mendongak, melihat lampu kamar mandi yang padam.“Pindah ke kamar mandi di kamar satunya, biar aku panggil petugas pemeliharaan gedung untuk mengganti lampunya,” ujar Alex lantas buru-buru keluar dari kamar mandi.Ive terkejut mel
“Jangan! Jangan kurung aku, Ma! Kumohon jangan!”Teriakan pilu itu tak didengar oleh siapa pun di rumah itu meski ada yang melihat. Semua bungkam dan menutup mata seolah tak melihat gadis kecil itu diseret paksa masuk ke sebuah gudang.“Ini balasan karena kamu berani memakan kueku! Kamu pikir aku membeli itu untuk dimakan kamu, hah!”Wanita itu menyeret beringas dengan cara menarik lengan gadis berumur sepuluh tahun itu. Dia tidak merasa iba atau kasihan meski gadis kecil itu menangis terus menerus.Hingga gadis itu didorong masuk ke sebuah gudang berdebu yang gelap, dia jatuh tersungkur dengan air mata yang jatuh membasahi lantai.“Ini hukuman bagimu! Kalau kamu merengek dan mengadu ke suamiku, maka aku akan menambah hukumanmu!” ancam wanita itu sebelum kemudian menutup pintu.Gadis kecil di gudang itu menangis sesenggukan, meringkuk sambil memeluk tubuhnya sendiri untuk bersembunyi dari rasa takut yang menghampiri.**“Ive! Ive bangun!” Alex menepuk kedua pipi Ive agar mau bangun.A
“Aku akan tidur di sofa,” ucap Ive sambil memeluk bantak. Alex tak punya pilihan selain membiarkan Ive tidur sekamar dengannya. Dia hanya tak tega melihat Ive tidur sendirian lantas bermimpi buruk lagi. Alex menatap Ive yang terlihat lebih tenang bisa tidur sekamar dengannya, hingga dia pun mengangguk membiarkan Ive tidur di tempat mana pun yang disukai. Ive sendiri tak keberatan tidur di sofa, dia juga tak berharap Alex menawarinya tidur di ranjang karena yang terpenting baginya ada yang menemani tidur. “Selamat malam.” Ive berjalan ke sofa, lantas mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Alex pun berjalan ke ranjang, lantas berhenti melangkah tepat di samping ranjang besar itu. Dia menoleh ke Ive, melihat gadis itu sudah berbaring dengan seulas senyum di wajah. “Apa aku sekejam ini?” Alex merasa bersalah membiarkan Ive tidur di sofa. “Ive,” panggil Alex. Ive membuka mata lantas menatap Alex. “Ya?” “Jika kamu mau, tidur di ranjang. Itu pun ….” Alex menjeda ucapannya karena me
“Sial, dia benar-benar memblokir nomorku.”Emanuel terlihat sangat kesal karena sejak semalam nomor Ive tidak bisa dihubungi. Bahkan pesannya pun tidak terkirim, membuat pria itu meradang.“Dia berani melawanku hanya karena sekarang mendapat dukungan. Dia pikir bisa mengalahkanku?”Emanuel geram sendiri karena tak menyangka Ive akan seberani ini kepadanya. Dia pun berpikir dengan keras, hingga tiba-tiba tersenyum.Emanuel pun keluar dari kamar karena harus bersiap ke kantor. Saat melewati kamar Carisa, Emanuel berpapasan dengan ibunya yang baru saja keluar dari kamar.“Mau ke kantor?” tanya Carisa.“Ya,” jawab Emanuel singkat.Pria itu pun berjalan menuju ruang makan untuk sarapan sebelum berangkat.“Siang ini jangan lupa, kita harus menemui pengacara untuk membahas sisa warisan yang dimiliki mendiang papamu,” ujar Carisa tak sabar melihat pengacara membacakan surat peninggalan suaminya sebelum meninggal.Emanuel menghentikan langkah mendengar ucapan Carisa, lantas menoleh ke sang mam
Carisa dan Emanuel pergi ke kantor pengacara mendiang suaminya. Mereka tentu saja ingin segera mengetahui isi wasiat, juga jumlah sisa harta yang dimiliki termasuk rumah yang mereka huni sekarang.“Bagaimana kalau Ive mendapat bagian harta Papa?” tanya Emanuel saat berjalan masuk gedung pengacara.“Kamu pikir aku akan membiarkannya? Aku tidak akan pernah membiarkan Ive mendapatkan apa pun dari papamu. Dia pikir siapa? Hanya anak tanpa hubungan apa pun, dia berhak apa?” Carisa langsung sewot mendengar Emanuel membahas tentang Ive.Emanuel hanya melirik mendengar ucapan Carisa, hingga akhirnya memilih diam.Mereka sudah sampai di depan ruangan pengacara, lantas masuk setelah dipersilakan asisten pengacara.“Kalian datang untuk mendengar surat wasiat dari Pak Adit?” tanya pengacara itu saat melihat Carisa dan Emanuel masuk ke ruangannya.“Tentu saja kami datang untuk itu. Kami cukup bersabar menunggu karena suamiku malah memilih tanggal ini untuk membacakan surat wasiatnya,” balas Carisa