“Aku ingin fasilitasnya lengkap. Konsep desainnya bisa untuk remaja atau dewasa. Karena di sini target pengunjung berusia 17 sampai 40 puluh tahunan.”Ayana memberikan instruksi ke Mike—kepala arsitek perusahaan yang diberi tanggung jawab untuk membuat desain kafe yang sedang ingin dibangun Ayana.Mike berpikir sejenak. Biasanya dia mendesain perumahan, gedung, atau pusat perbelanjaan, sekarang hanya diminta membuat desain untuk renovasi tanpa membongkar seinci pun dari bangunan asli.“Memangnya kamu sudah membahas ini dengan anak di bawah umur itu, bagaimana kalau dia tidak suka dengan konsep yang kamu ajukan?” tanya Kyle yang tetap saja menyebut Deon anak di bawah umur.Mike langsung menata Kyle, sedangkan Ayana memicingkan mata ke asistennya itu.“Dia sudah dewasa, Kyle! Sampai kapan kamu akan menyebutnya anak-anak.” Ayana menatap asistennya sambil melipat kedua tangan di depan dada.“Tetap saja, dia anak-anak. Meski dia bisa menghamilimu, tetap saja bagiku anak-anak,” ujar Kyle de
Deon keluar dari kafe untuk membuang sampah, hingga saat baru saja memasukkan kantong plastik hitam ke tempat sampah besar di ujung parkiran kafe, dia melihat gadis yang biasa datang ke kafe saling bisik ketika melihat dirinya.Deon tidak tahan, ingin tahu lebih jauh alasan orang-orang tidak datang ke kafe, juga kenapa pandangan para gadis jadi aneh kepadanya, sedangkan dia tidak pernah melakukan kesalahan.“Maaf, permisi!” Deon memanggil dengan sopan, ingin bertanya karena tidak bisa lagi mengabaikan rasa penasarannya.Dua gadis itu terkejut mendengar panggilan Deon, ingin menghindar tapi pemuda itu sudah berada di depan mereka.“Maaf jika saya lancang. Tapi ada hal yang benar-benar ingin saya tanyakan dan saya berterima kasih jika kalian mau menjawabnya,” ujar Deon sopan karena membutuhkan jawaban dua gadis itu.Dua gadis itu saling tatap, sebelum kemudian memandang Deon dan mengangguk bersamaan, meski ada rasa cemas yang terlihat jelas dari raut wajah dua gadis itu.“Maaf sebelumny
Deon turun dengan cepat dari taksi, melihat mobil Ayana yang menabrak pohon di bahu jalan. Banyak orang di sana, hingga Deon mencari keberadaan sang istri, menemukannya duduk tak jauh dari mobil bersama seorang wanita yang menyodorkan minum.“Ay!” Deon setengah berlari menghampiri.Orang yang ada di sana menoleh, melihat Deon yang langsung berlutut di depan Ayana, memandang wajah sang istri yang menunduk meski dirinya sudah menyebut namanya.“Ada apa? Kenapa bisa kecelakaan seperti ini?” tanya Deon panik, menangkup kedua pipi Ayana lantas mengarahkan kepadanya. Dia melihat kening Ayana yang berdarah dan memar.Ayana menatap Deon, hingga kemudian menggelengkan kepala pelan sebelum kembali menurunkan pandangan.Deon melihat tatapan sedih dan kecewa dari mata Ayana. Dia pun memeluk istrinya itu untuk menenangkan.Setelah berterima kasih ke orang yang menolong Ayana dan menghubunginya, Deon pun mengajak Ayana pulang menggunakan taksi, sedangkan mobil sudah diurus oleh bengkel yang dihubun
Sore itu, sebelum Ayana mengalami kecelakaan. Wanita itu pergi ke rumah Firman karena sang papa meminta bertemu dengannya.Sejak kejadian Ayana memergoki Firman memberikan uang ke Satria, dia memang tidak pernah menemui atau berkunjung ke rumah orang tuanya.Ayana mengemudikan mobil masuk ke halaman rumah orang tuanya, memarkirkan mobil di depan garasi, lantas berjalan masuk rumah. Di sana ternyata sudah ada Firman dan Suci sudah menunggunya.Tanpa menyapa layaknya anak yang lama tidak pulang, Ayana memilih langsung duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya. Bukan tanpa sebab Ayana tidak mau menyapa, dia terlalu muak dengan sikap orang tuanya.“Papa ingin bicara apa?” tanya Ayana to the point, ingin semua yang dibicarakan segera selesai agar dia bisa pergi dari rumah itu.“Apa begini sikapmu saat bertemu orang tuamu? Bahkan kamu tidak menyapa atau menanyakan kabar kami?” Suci menatap Ayana heran.Ayana memandang sang mama, hingga kemudian membalas, “Kalian tampak sehat, untuk apa aku
Deon duduk bersandar headboard. Masih memeluk Ayana yang sesenggukan selepas bercerita. Deon memaksa istrinya untuk menceritakan apa yang terjadi, hingga akhirnya pemuda itu tahu penyebab kenapa Ayana sampai seperti ini.“Aku selalu diam, menerima semua keputusan mereka. Tapi kenapa mereka tidak pernah mau memahami dan mengerti perasaanku.” Ayana bicara lagi, meluapkan apa yang dirasakan ke Deon. Bahkan terdengar sesekali sesenggukan karena menangis tiada henti.“Sudah tidak apa? Biarkan mereka tidak percaya, tapi aku di sini untuk memercayaimu. Aku akan berdiri di sampingmu,” ujar Deon menenangkan.Mendengar Ayana menangis, rasanya sesuatu yang sangat tidak nyata. Wanita tegar itu menangis seperti anak kecil yang rapuh dan penuh dengan ketakutan.Andai Deon bukan dari keluarga biasa. Andai dia lebih berkuasa dari keluarga Ayana, sudah pasti Deon akan maju, berdiri di barisan paling depan untuk melawan siapapun yang menindas istrinya. Namun, untuk saat ini Deon bukanlah siapa-siapa, s
“Kamu yakin akan pergi ke perusahaan?” tanya Deon sambil menatap Ayana yang sedang memakai blazer. Ayana membalikkan badan sambil membetulkan blazer, lantas balik bertanya, “Apa masih kelihatan bengkak?” Ayana mendadak cemas jika kelopak matanya masih bengkak, padahal harus bertemu klien penting. Deon mendekat ke Ayana, menangkup kedua pipi wanita itu dan menatap dalam-dalam mata istrinya itu. Ayana pun begitu cemas, hingga kemudian tersenyum. “Kelihatan sedikit, tapi kamu tetap cantik,” ucap Deon penuh nada godaan. Tentu saja Ayana terkejut tapi juga gemas sampai memukul lengan pemuda itu. Dia sudah sangat cemas, tapi suaminya malah bercanda. “Ayo sarapan!” ajak Deon sambil menggandeng tangan Ayana, padahal tanpa digandeng pun Ayana bisa jalan sendiri dan tidak akan hilang. Ayana berjalan bersama Deon, sikap manis pemuda itu sejak awal mereka bertemu dan menikah, selalu membuat Ayana terpesona. “Kamu akan ke kampus hari ini?” tanya Ayana sambil menyantap roti isi buatan Deon.
Deon pergi ke kafe setelah bimbingan. Dia sudah di sana sejak satu jam lalu, tapi masih tidak ada pengunjung yang datang.“Sepertinya memang akan terus berlanjut seperti ini,” ucap Gery mulai putus asa.Sejak Gery bekerja di kafe itu, baru kali ini kafe sangat sepi.Deon terlihat berpikir, masih terus memandang keluar dan melihat orang yang berlalu-lalang di sana.“Sepertinya aku memang harus keluar dari kafe,” ucap Deon tiba-tiba.Gery menoleh Deon dengan cepat, hingga kemudian bertanya, “Memangnya mau keluar ke mana?”Gery menepis maksud sebenarnya dari ucapan Deon.Deon menoleh ke Gery, hingga kemudian menjawab, “Keluar dari pekerjaan agar kafe ini kembali ramai.”Gery langsung menegakkan badan mendengar ucapan Deon. Benar-benar tidak paham dan tidak menyangka jika sahabatnya akan berkata demikian.“Kenapa kamu bicara seperti itu? Bukankah sudah kubilang kalau masalah kafe yang sepi jangan dijadikan alasan untuk keluar. Aku yakin, Pak Anta pun tidak keberatan kamu tetap bekerja, me
“Semoga kerjasama kita berjalan lancar.”Perwakilan dari Singapore mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Ayana setelah mereka selesai menandatangani kontrak kerjasama.“Saya juga berharap begitu,” balas Ayana sambil membalas jabat tangan rekan bisnisnya.Rekan bisnis dan staffnya pamit setelah semua selesai. Ayana, Kyle, dan Amel juga menuju parkiran untuk bisa segera kembali ke perusahaan.“Nanti buat laporan pertemuan tadi,” ujar Ayana memberi perintah ke Amel.“Baik, Bu.”Kyle memperhatikan Ayana yang sedang memberi perintah, hingga membuka pintu mobil untuk bosnya itu.Kyle yang menyetir, Amel duduk di samping Kyle sedangkan Ayana di belakang.Saat mobil melaju di jalanan, Ayana melihat seseorang yang tampak dikenalnya. Seseorang yang berjalan di bahu jalan dan hanya tampak dari belakang.“Kyle, menepilah!” perintah Ayana.Kyle keheranan tapi memilih menepi sesuai dengan permintaan Ayana. Saat menepi di bahu jalan, Kyle akhirnya paham kenapa Ayana meminta menepi.Ayana menurunk