Sore itu, sebelum Ayana mengalami kecelakaan. Wanita itu pergi ke rumah Firman karena sang papa meminta bertemu dengannya.Sejak kejadian Ayana memergoki Firman memberikan uang ke Satria, dia memang tidak pernah menemui atau berkunjung ke rumah orang tuanya.Ayana mengemudikan mobil masuk ke halaman rumah orang tuanya, memarkirkan mobil di depan garasi, lantas berjalan masuk rumah. Di sana ternyata sudah ada Firman dan Suci sudah menunggunya.Tanpa menyapa layaknya anak yang lama tidak pulang, Ayana memilih langsung duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya. Bukan tanpa sebab Ayana tidak mau menyapa, dia terlalu muak dengan sikap orang tuanya.“Papa ingin bicara apa?” tanya Ayana to the point, ingin semua yang dibicarakan segera selesai agar dia bisa pergi dari rumah itu.“Apa begini sikapmu saat bertemu orang tuamu? Bahkan kamu tidak menyapa atau menanyakan kabar kami?” Suci menatap Ayana heran.Ayana memandang sang mama, hingga kemudian membalas, “Kalian tampak sehat, untuk apa aku
Deon duduk bersandar headboard. Masih memeluk Ayana yang sesenggukan selepas bercerita. Deon memaksa istrinya untuk menceritakan apa yang terjadi, hingga akhirnya pemuda itu tahu penyebab kenapa Ayana sampai seperti ini.“Aku selalu diam, menerima semua keputusan mereka. Tapi kenapa mereka tidak pernah mau memahami dan mengerti perasaanku.” Ayana bicara lagi, meluapkan apa yang dirasakan ke Deon. Bahkan terdengar sesekali sesenggukan karena menangis tiada henti.“Sudah tidak apa? Biarkan mereka tidak percaya, tapi aku di sini untuk memercayaimu. Aku akan berdiri di sampingmu,” ujar Deon menenangkan.Mendengar Ayana menangis, rasanya sesuatu yang sangat tidak nyata. Wanita tegar itu menangis seperti anak kecil yang rapuh dan penuh dengan ketakutan.Andai Deon bukan dari keluarga biasa. Andai dia lebih berkuasa dari keluarga Ayana, sudah pasti Deon akan maju, berdiri di barisan paling depan untuk melawan siapapun yang menindas istrinya. Namun, untuk saat ini Deon bukanlah siapa-siapa, s
“Kamu yakin akan pergi ke perusahaan?” tanya Deon sambil menatap Ayana yang sedang memakai blazer. Ayana membalikkan badan sambil membetulkan blazer, lantas balik bertanya, “Apa masih kelihatan bengkak?” Ayana mendadak cemas jika kelopak matanya masih bengkak, padahal harus bertemu klien penting. Deon mendekat ke Ayana, menangkup kedua pipi wanita itu dan menatap dalam-dalam mata istrinya itu. Ayana pun begitu cemas, hingga kemudian tersenyum. “Kelihatan sedikit, tapi kamu tetap cantik,” ucap Deon penuh nada godaan. Tentu saja Ayana terkejut tapi juga gemas sampai memukul lengan pemuda itu. Dia sudah sangat cemas, tapi suaminya malah bercanda. “Ayo sarapan!” ajak Deon sambil menggandeng tangan Ayana, padahal tanpa digandeng pun Ayana bisa jalan sendiri dan tidak akan hilang. Ayana berjalan bersama Deon, sikap manis pemuda itu sejak awal mereka bertemu dan menikah, selalu membuat Ayana terpesona. “Kamu akan ke kampus hari ini?” tanya Ayana sambil menyantap roti isi buatan Deon.
Deon pergi ke kafe setelah bimbingan. Dia sudah di sana sejak satu jam lalu, tapi masih tidak ada pengunjung yang datang.“Sepertinya memang akan terus berlanjut seperti ini,” ucap Gery mulai putus asa.Sejak Gery bekerja di kafe itu, baru kali ini kafe sangat sepi.Deon terlihat berpikir, masih terus memandang keluar dan melihat orang yang berlalu-lalang di sana.“Sepertinya aku memang harus keluar dari kafe,” ucap Deon tiba-tiba.Gery menoleh Deon dengan cepat, hingga kemudian bertanya, “Memangnya mau keluar ke mana?”Gery menepis maksud sebenarnya dari ucapan Deon.Deon menoleh ke Gery, hingga kemudian menjawab, “Keluar dari pekerjaan agar kafe ini kembali ramai.”Gery langsung menegakkan badan mendengar ucapan Deon. Benar-benar tidak paham dan tidak menyangka jika sahabatnya akan berkata demikian.“Kenapa kamu bicara seperti itu? Bukankah sudah kubilang kalau masalah kafe yang sepi jangan dijadikan alasan untuk keluar. Aku yakin, Pak Anta pun tidak keberatan kamu tetap bekerja, me
“Semoga kerjasama kita berjalan lancar.”Perwakilan dari Singapore mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Ayana setelah mereka selesai menandatangani kontrak kerjasama.“Saya juga berharap begitu,” balas Ayana sambil membalas jabat tangan rekan bisnisnya.Rekan bisnis dan staffnya pamit setelah semua selesai. Ayana, Kyle, dan Amel juga menuju parkiran untuk bisa segera kembali ke perusahaan.“Nanti buat laporan pertemuan tadi,” ujar Ayana memberi perintah ke Amel.“Baik, Bu.”Kyle memperhatikan Ayana yang sedang memberi perintah, hingga membuka pintu mobil untuk bosnya itu.Kyle yang menyetir, Amel duduk di samping Kyle sedangkan Ayana di belakang.Saat mobil melaju di jalanan, Ayana melihat seseorang yang tampak dikenalnya. Seseorang yang berjalan di bahu jalan dan hanya tampak dari belakang.“Kyle, menepilah!” perintah Ayana.Kyle keheranan tapi memilih menepi sesuai dengan permintaan Ayana. Saat menepi di bahu jalan, Kyle akhirnya paham kenapa Ayana meminta menepi.Ayana menurunk
Ayana terkejut mendengar ucapan Deon. Dia pun kembali menatap amplop itu lantas beralih menatap Deon.“Ini uangmu, seharusnya kamu yang menggunakannya.” Ayana tidak mau menerima uang Deon bukan karena tidak menghargai, hanya saja tahu bagaimana usaha pemuda itu bekerja, sehingga membuatnya tidak tega menerimanya.“Ay, ini uangku tapi kamu istriku dan berhak atas uang ini. Terimalah, jika menolak berarti kamu tidak menganggapku sebagai suamimu,” ujar Deon menjelaskan dengan sedikit memaksa.Ayana menatap Deon sedikit ragu, tapi akhirnya mengambil amplop itu.“Baiklah, aku akan simpan uang ini untukmu,” ujar Ayana masih setengah menerima.“Jangan disimpan, Ay. Aku akan lebih senang jika kamu membeli sesuatu menggunakan uangku. Itu memang tidak seberapa, tapi saat kamu menggunakannya untuk kebutuhanmu, itu akan terasa spesial untukku,” balas Deon tidak ingin Ayana berhemat dengan uang itu.Deon tahu jika selama ini sebenarnya pun berhemat untuk mencukupi kebutuhan dan biaya kuliah. Namun
Deon mengerjapkan kelopak mata sedikit bingung. Bahkan dia sampai menoleh ke Ayana, kemudian ke plang nama yang terdapat di sisi kirinya secara bergantian.“Ay.” Deon menatap Ayana seolah menuntut sebuah penjelasan dari istrinya.Ayana baru saja memarkirkan mobil di depan pagar halaman panti asuhan. Dia lantas menoleh Deon yang sedang penasaran dan bingung.“Hm … ini pasti asuhan yang aku dirikan dibantu beberapa pengurus sejak beberapa tahun lalu. Tidak ada yang tahu soal ini, kamu adalah orang pertama yang tahu.” Ayana menoleh dan tersenyum ke Deon setelah mengatakan itu, kemudian melepas seatbelt dan turun dari mobil.Deon benar-benar tidak menyangka jika Ayana sampai memiliki panti asuhan. Wanita yang dianggap semua orang sangat sombong, tapi ternyata sangat baik.Ayana sudah turun dari mobil dan berjalan di halaman panti, sedangkan Deon baru saja turun dan memandang istrinya kini dikerumuni anak-anak.“Apa Kak Ayana bawa mainan?”“Tidak bawa camilan?”“Aku mau boneka baru.”Anak-
Ponsel Deon terus berdering saat sedang mengantri es krim bersama Ayana. Dia dan Ayana mengajak anak-anak panti ke mall, berbelanja juga membelikan kebutuhan panti. Ponsel Deon sejak tadi berdering, tapi pemuda itu mengabaikan. Hingga saat sedang mengantri es krim, Deon mencoba melihat siapa yang menghubungi. Melihat nama yang terpampang di layar, Deon memilih mengabaikan. “Siapa?” tanya Ayana karena melihat Deon hanya menatap ponselnya. “Tidak penting,” jawab Deon yang kembali mengabaikan ponselnya meski berdering berulang kali. Ayana menatap curiga, hingga kemudian bertanya, “Apa kamu tidak mau menjawabnya dulu? Siapa tahu penting.” Deon menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Ayana. Dia lantas mengambil dua cup es krim yang diulurkan pelayan. “Aku akan memberikan ini ke anak-anak dulu,” kata Deon sambil berlalu meninggalkan Ayana. Ayana pun memandang Deon yang menghampiri anak-anak juga pengurus panti yang ikut. ** Setelah menghabiskan waktu seharian mengajak anak-anak pa