“Semoga kerjasama kita berjalan lancar.”Perwakilan dari Singapore mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Ayana setelah mereka selesai menandatangani kontrak kerjasama.“Saya juga berharap begitu,” balas Ayana sambil membalas jabat tangan rekan bisnisnya.Rekan bisnis dan staffnya pamit setelah semua selesai. Ayana, Kyle, dan Amel juga menuju parkiran untuk bisa segera kembali ke perusahaan.“Nanti buat laporan pertemuan tadi,” ujar Ayana memberi perintah ke Amel.“Baik, Bu.”Kyle memperhatikan Ayana yang sedang memberi perintah, hingga membuka pintu mobil untuk bosnya itu.Kyle yang menyetir, Amel duduk di samping Kyle sedangkan Ayana di belakang.Saat mobil melaju di jalanan, Ayana melihat seseorang yang tampak dikenalnya. Seseorang yang berjalan di bahu jalan dan hanya tampak dari belakang.“Kyle, menepilah!” perintah Ayana.Kyle keheranan tapi memilih menepi sesuai dengan permintaan Ayana. Saat menepi di bahu jalan, Kyle akhirnya paham kenapa Ayana meminta menepi.Ayana menurunk
Ayana terkejut mendengar ucapan Deon. Dia pun kembali menatap amplop itu lantas beralih menatap Deon.“Ini uangmu, seharusnya kamu yang menggunakannya.” Ayana tidak mau menerima uang Deon bukan karena tidak menghargai, hanya saja tahu bagaimana usaha pemuda itu bekerja, sehingga membuatnya tidak tega menerimanya.“Ay, ini uangku tapi kamu istriku dan berhak atas uang ini. Terimalah, jika menolak berarti kamu tidak menganggapku sebagai suamimu,” ujar Deon menjelaskan dengan sedikit memaksa.Ayana menatap Deon sedikit ragu, tapi akhirnya mengambil amplop itu.“Baiklah, aku akan simpan uang ini untukmu,” ujar Ayana masih setengah menerima.“Jangan disimpan, Ay. Aku akan lebih senang jika kamu membeli sesuatu menggunakan uangku. Itu memang tidak seberapa, tapi saat kamu menggunakannya untuk kebutuhanmu, itu akan terasa spesial untukku,” balas Deon tidak ingin Ayana berhemat dengan uang itu.Deon tahu jika selama ini sebenarnya pun berhemat untuk mencukupi kebutuhan dan biaya kuliah. Namun
Deon mengerjapkan kelopak mata sedikit bingung. Bahkan dia sampai menoleh ke Ayana, kemudian ke plang nama yang terdapat di sisi kirinya secara bergantian.“Ay.” Deon menatap Ayana seolah menuntut sebuah penjelasan dari istrinya.Ayana baru saja memarkirkan mobil di depan pagar halaman panti asuhan. Dia lantas menoleh Deon yang sedang penasaran dan bingung.“Hm … ini pasti asuhan yang aku dirikan dibantu beberapa pengurus sejak beberapa tahun lalu. Tidak ada yang tahu soal ini, kamu adalah orang pertama yang tahu.” Ayana menoleh dan tersenyum ke Deon setelah mengatakan itu, kemudian melepas seatbelt dan turun dari mobil.Deon benar-benar tidak menyangka jika Ayana sampai memiliki panti asuhan. Wanita yang dianggap semua orang sangat sombong, tapi ternyata sangat baik.Ayana sudah turun dari mobil dan berjalan di halaman panti, sedangkan Deon baru saja turun dan memandang istrinya kini dikerumuni anak-anak.“Apa Kak Ayana bawa mainan?”“Tidak bawa camilan?”“Aku mau boneka baru.”Anak-
Ponsel Deon terus berdering saat sedang mengantri es krim bersama Ayana. Dia dan Ayana mengajak anak-anak panti ke mall, berbelanja juga membelikan kebutuhan panti. Ponsel Deon sejak tadi berdering, tapi pemuda itu mengabaikan. Hingga saat sedang mengantri es krim, Deon mencoba melihat siapa yang menghubungi. Melihat nama yang terpampang di layar, Deon memilih mengabaikan. “Siapa?” tanya Ayana karena melihat Deon hanya menatap ponselnya. “Tidak penting,” jawab Deon yang kembali mengabaikan ponselnya meski berdering berulang kali. Ayana menatap curiga, hingga kemudian bertanya, “Apa kamu tidak mau menjawabnya dulu? Siapa tahu penting.” Deon menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Ayana. Dia lantas mengambil dua cup es krim yang diulurkan pelayan. “Aku akan memberikan ini ke anak-anak dulu,” kata Deon sambil berlalu meninggalkan Ayana. Ayana pun memandang Deon yang menghampiri anak-anak juga pengurus panti yang ikut. ** Setelah menghabiskan waktu seharian mengajak anak-anak pa
“Apa kamu ada urusan dengannya? Sampai-sampai dia terus menghubungimu seperti ini?” tanya Ayana sambil menunjukkan rasa tidak sukanya.“Tidak ada. Aku pun tidak tahu kenapa dia menghubungiku terus,” jawab Deon meyakinkan.Ayana menyodorkan ponselnya ke Deon, hingga kemudian berkata, “Jawab dulu, jangan sampai dia terus menghubungimu. Jujur, aku terganggu.”Ayana menyodorkan paksa, meminta agar Deon menerima panggilan itu.Deon menatap Ayana, melihat kekesalan di wajah istrinya itu. Dia masih belum menerima panggilan itu meski ponselnya terus berdering.“Kenapa tidak dijawab? Dia menghubungimu pasti karena ada sesuatu yang dibicarakan. Selesaikan urusan kalian agar dia tidak terus menghubungimu.”Ayana mengambil tangan Deon, lantas memberikan paksa ponsel itu sebelum kemudian memilih meninggalkan Deon di kamar sendiri. Dia juga tidak berniat mendengarkan apa yang akan dibicarakan oleh suaminya dengan Hyuna.Deon menghela napas frustasi. Dia mencoba mengabaikan dan berharap Hyuna menyad
Ayana membuka kelopak matanya perlahan. Kepalanya terasa pusing, hingga dia menekan kepala kuat-kuat dengan tangan.“Kenapa kepalaku sangat sakit?” Ayana menggerutu sambil terus menekan kepala.Dia mencoba membuka mata yang terasa berat, bahkan tubuhnya pun terasa berat seolah ada sesuatu yang menimpa. Hingga Ayana baru menyadari jika ada tangan yang melingkar di perut, membuatnya melirik ke bawah. Dia pun baru menyadari jika tidur tanpa busana.“Tunggu!” Ayana mencoba mengumpulkan kesadaran yang baru saja datang.“Kamu sudah bangun? Mau jus?” Suara serak dan sedikit berat itu mengalun di telinga Ayana.Ayana menggeser posisi tubuh, melihat Deon yang masih memejamkan mata sambil memeluk posesif.“Kenapa? Tunggu?” Ayana masih mencoba mencerna apa yang terjadi.Deon membuka mata, melihat Ayana yang sedang menatapnya bingung.“Kepalamu pusing? Mau aku buatkan jus lemon untuk meredakan efek alkohol agar kepalamu tidak pusing?” tanya Deon sambil terus menatap Ayana.Ayana kembali melirik k
“Apa ini sudah semua?” tanya Ayana saat berjalan di lorong sebuah supermarket bersama Deon.Ayana dan Deon berbelanja bersama, menghabiskan waktu bersama berdua untuk mempererat hubungan mereka.“Kita belum membeli buah. Kamu suka semangka, kan?” Deon menjawab sambil mendorong troli yang dibawa.Ayana terkejut Deon langsung bisa menebak buah kesukaannya, padahal dia tidak memberitahu, di rumah pun tidak hanya menyimpan buah semangka, bahkan ada buah lainnya.Deon mengambil satu buah semangka berukuran sedang, mencoba memastikan buah itu sudah matang sempurna dan berwarna merah.“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Ayana saat memperhatikan Deon mengetuk-ngetuk semangka.“Memastikan semangka ini bagus dan siap konsumsi,” jawab Deon masih memilih.“Memangnya kamu paham? Bukankah yang di sini tandanya sudah layak konsumsi?” tanya Ayana keheranan.Deon menurunkan semangka dari samping telinga, kemudian menjawab pertanyaan Ayana.“Ya, memang sudah layak makan. Tapi terkadang ada yang warna
Ayana pergi ke perusahaan seperti biasa. Namun, kali ini dia harus mengatur jadwalnya hanya dibantu Amel karena Kyle ambil cuti. Ayana sendiri tidak ingin mengambil asisten sementara karena baginya tidak ada yang memiliki kinerja bagus selain Kyle.“Bu, siang ini Anda ada makan siang dengan perwakilan dari Lne Group. Sorenya meeting dengan staf marketing,” ujar Amel membacakan kegiatan Ayana sambil berjalan di lobi.Keduanya baru saja menghadiri rapat di salah satu perusahaan besar yang bekerjasama dengan perusahaan Ayana. Baru saja sampai sudah membahas pertemuan lain yang bisa dikatakan tidak akan ada habisnya.“Ingatkan aku satu jam sebelum pertemuan,” ujar Ayana ke Amel.“Baik, Bu.” Amel mencatat di buku agenda, bahkan menyalakan alarm agar tidak lupa untuk mengingatkan Ayana.Saat Ayana menunggu lift terbuka, tiba-tiba ada yang memanggil membuatnya dan Amel langsung menoleh.Rey lagi-lagi datang menemui Ayana, membuat wanita itu merasa kesal dan malas.“Kita perlu bicara, Ay.” Re
“Dia cantik sekali,” ucap Ayana sambil menggendong bayi mungil Ive. Bayi berjenis kelamin perempuan itu sehat dengan pipi chubby yang menggemaskan. “Tentu saja cantik, apalagi ayahnya tampan seperti ini,” balas Alex menanggapi ucapan Ayana. Ayana langsung memicingkan mata mendengar adiknya yang terlalu percaya diri. “Yang benar itu dia cantik seperti ibunya, bukan karena ayahnya,” ucap Ayana sewot sendiri karena ucapan Alex. Ive hanya menahan tawa mendengar balasan Ayana, sedangkan Alex langsung mendekat kemudian ikut memandang putrinya. “Lihat saja, alisnya tebal seperti milikku. Bibirnya kecil sepertiku. Lihat hidungnya yang mancung, sama sepertiku juga,” ucap Alex membandingkan wajah bayinya dengan dirinya. “Semua mirip kamu, terus Ive hanya dapat hikmahnya gitu,” balas Ayana karena Alex makin mengada-ada. Alex melebarkan senyum, lantas membalas, “Iya, kan bibitnya dariku.” Ayana gemas mendengar ucapan Alex hingga langsung memukul lengan adiknya itu. “Kepedean!” seloroh Ay
“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Ayana saat melihat wajah Ive yang pucat.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana karena sedang tak berkonsentrasi. Dia melihat, Ayana dan yang lain kini sedang memandangnya.“Wajahmu sangat pucat, Ive. Apa kamu sakit?” tanya Jonathan.Alex langsung menyentuh kening Ive. Dia merasakan kulit wajah Ive yang sangat dingin.“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Alex yang cemas.“Sebenarnya sejak semalam perutku terasa mulas, tapi tidak bisa ke kamar mandi. Ini juga rasanya tidak nyaman,” jawab Ive yang menahan sakit dari kemarin sore sampai pagi tanpa memberitahu siapa pun.Ayana terkejut mendengar jawaban Ive. Dia langsung berdiri, lantas menyentuhkan tangan di kening Ive.“Kita ke rumah sakit, ya. Aku takut kamu sudah kontraksi tapi tidak paham,” ujar Ayana yang cemas.Semua orang pun terkejut mendengar ucapan Ayana. Alex langsung berdiri untuk membantu Ive berdiri.“Ayo, Ive. Kita ke rumah sakit untuk memastikan kondisimu,” kata Alex yang tak bisa membiarka
Tak terasa sudah enam bulan berlalu, kini usia kandungan Ive sudah memasuki usia delapan bulan. Ive sendiri mulai kesulitan melakukan aktivitasnya karena perutnya yang besar.“Kamu mau buah, Ive?” tanya Ayana saat melihat adik iparnya itu datang ke dapur.“Iya, Kak.” Ive menjawab sambil berjalan mendekat. Dia lantas duduk di kursi samping stroller Ansel.Ayana menoleh sekilas ke Ive sambil tersenyum, lantas mengambilkan buah yang biasa dimakan Ive.“Kamu sudah minum susu?” tanya Ive mengajak bicara Ansel yang kini berumur 9 bulan.Ive memberikan telunjuknya agar digenggam Ansel. Dia sangat suka dengan keponakannya yang lucu dan menggemaskan itu.“Hari ini kamu jatah cek kandungan? Tadi Alex memperingatkanku untuk mengantarmu karena dia ada rapat penting pagi ini?” tanya Ayana sambil mengupas apel.Ive menoleh Ayana, kemudian menjawab, “Iya, Kak. Dokternya baru datang jam sepuluh, jadi ke sana jam sembilan ambil antrian tidak masalah.”Ayana menghampiri Ive sambil membawa apel yang sud
Hyuna sangat terkejut dengan jawaban Azlan, bagaimana bisa calon suaminya itu melupakan cincin pernikahan mereka.Azlan menoleh Ayana, memberikan mimik wajah sedih karena cincinnya dan Hyuna tertinggal.“Kenapa dia?” tanya Alex keheranan melihat Azlan yang bingung.Azlan memberi isyarat dengan menggerakkan jemarinya, membuat Alex dan Ayana langsung paham.“Dasar, ceroboh sekali dia,” gerutu Alex.Alex melepas cincin pernikahannya, lantas meminta Ive melepas cincinnya juga. Dia kemudian pergi ke altar untuk memberikan cincinnya agar dipakai Azlan lebih dulu.Ayana dan yang lain terkejut dengan apa yang dilakukan Alex, tapi hal itu juga membuat bangga karena Alex mau membantu kepanikan Azlan.“Pakai ini! Tapi kamu harus membayar bantuanku,” ucap Alex dengan nada candaan.Meski Alex terkadang menyebalkan, tapi nyatanya dia perhatian hingga membuat Azlan hanya menganggukkan kepala.Alex kembali ke kursinya, hingga langsung mendapat pujian dari Ayana.Prosesi pernikahan itu pun kembali ber
Alex begitu terkejut sampai mundur karena melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. Dia memegang dada karena terkejut melihat wanita tua sedang menatapnya.“Mau apa tengok-tengok rumah?” tanya wanita berumur 70 an tahun itu.“Maaf. Saya hanya ingin meminta mangga muda, kalau tidak boleh diminta ya saya beli,” kata Alex berusaha sopan ke wanita tua itu, apalagi sudah menjadi kebiasaan di negara itu jika harus sopan ke orang yang lebih tua.“Mangga muda?” Wanita tua itu mungkin keheranan karena Alex malah minta mangga muda.“Ah … ya. Istri saya sedang hamil. Dia katanya ingin makan mangga muda itu,” ujar Alex menjelaskan sambil menunjuk ke mobil lantas ke pohon mangga.“Oh … bilang dari tadi. Aku pikir mau maling atau sales menawari barang,” balas wanita tua itu dengan entengnya kemudian mengeluarkan kunci mobil dari saku baju yang dipakai.Alex terkejut karena dikira sales barang, tapi demi Ive dia harus menahan diri agar tidak tersinggung.Wanita tua itu membuka gerbang, lantas me
“Kita mau ke mana?” tanya Ive bingung karena Alex mengajaknya pergi keluar padahal baru saja sampai rumah.“Aku ingin mengajakmu tadi siang, tapi karena siang tadi pekerjaanku sangat banyak, jadi baru bisa sekarang. Aku tidak mau menundanya, jadi meski sore aku tetap ingin mengajakmu ke sana,” jawab Alex sambil menoleh Ive dengan senyum di wajah.Ive mengerutkan dahi mendengar jawaban Alex. Dia benar-benar penasaran ke mana suaminya itu akan mengajak pergi.Ive memperhatikan jalanan yang mereka lewati, hingga mobil yang ditumpangi masuk ke area perumahan yang sedang dibangun. Sudah ada beberapa rumah berdiri megah, tapi ada pula yang sedang dalam proses pembangunan.“Mau apa ke sini?” tanya Ive bingung. Dia pun memperhatikan sekitar.Alex menoleh Ive sekilas, lantas sedikit memperlambat laju mobilnya.“Melihat hadiah yang diberikan Ayana. Dia memberi kita hadiah, tapi aku belum sempat melihatnya langsung,” jawab Alex.Dahi Ive semakin berkerut halus mendengar jawaban Alex. Dia pun kem
“Ternyata benar, nabung.” Azlan langsung meledek Alex yang baru saja datang bergabung dengannya, Ayana, dan Ive. Ayana melirik Ive, lantas memberi isyarat untuk menyingkir daripada mendengarkan perdebatan Azlan dan Alex. Alex bingung mendengar ucapan Azlan, hingga dia melihat Ayana dan Ive yang pergi. “Apanya nabung? Kalau punya uang, ya pasti nabung,” balas Alex masih tak paham dengan maksud ucapan Azlan. “Pura-pura tidak paham. Pantas saja kamu ngebet mau nikah, bahkan berani mendahuluiku, ternyata sudah bikin Ive hamil dulu,” ledek Azlan sambil memicingkan mata. Alex sedang minum saat Azlan bicara, hingga dia tersedak karena terkejut mendengar ucapan Azlan, sampai-sampai air yang baru saja masuk ke kerongkongan langsung menyembur keluar. “Sikapmu saja ini sudah cukup membuktikan kalau ucapanku benar. Kamu sudah bikin Ive hamil dulu, lalu mendesak minta nikah biar ga ada yang curiga kalau Ive hamil,” ucap Azlan memperjelas maksudnya agar Alex tak mengelak. Alex mengusap permu
Ive dan Alex pergi bersama Jonathan untuk mengurus proses balik nama sertifikat rumah mendiang ayah Ive.Ive benar-benar masih seperti mimpi bisa memiliki rumah itu, meski sebenarnya dia merasa sangat berat jika diminta meninggalinya. Ada kenangan pahit dan manis yang bersamaan dirasakan tatkala menginjak rumah itu.“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Alex sambil menatap Ive.Ive sedang diam, memandangi setiap sudut ruangan, dinding, juga langit-langit kamar itu. Mengingat ada tawa saat bersama ayah dan ibu yang merawatnya, tapi juga ada kepedihan ketika ditindas Carisa.“Entahlah, aku masih bingung. Selain kenangan manis bersama Mama, di rumah ini juga penuh kenangan menyakitkan,” jawab Ive sambil mengedarkan pandangan.Alex melihat bola mata Ive yang berkaca-kaca, hingga dia pun menautkan jemari mereka.“Tidak usah dipaksa jika tak ingin. Ini hadiah dari Papa, kita terima meski tak ditinggali,” ucap Alex a
“Karena membantuku, kamu jadi ikut celaka,” ucap Ive penuh penyesalan begitu bertemu dengan Damian.Ive dan Damian sudah keluar dari rumah sakit, mereka kini berada di rumah Jonathan.Ive menatap perban yang terpasang di pelipis karena hantaman dari orang yang menyerang kakaknya itu.“Tidak apa, kamu jangan terlalu memikirkan ini,” balas Damian, “dulu aku tidak bisa melindungimu, jadi sekarang aku harus melindungimu, meski nyawaku taruhannya,” ucap Damian sambil memulas senyum manis di wajah.Tetap saja Ive merasa bersalah meski Damian berkata jika tak masalah terluka untuk melindunginya.“Bagaimana proses hukum Emanuel dan Eric?” tanya Damian sambil menatap Alex yang duduk di seberangnya.“Polisi sedang memprosesnya, kemungkinan berkas perkaranya akan segera naik ke kejaksaan mengingat bukti-bukti yang kita miliki sangat kuat. Nantinya baik aku, kamu, atau Ive tetap harus menghadiri sida