Deon duduk bersandar headboard. Masih memeluk Ayana yang sesenggukan selepas bercerita. Deon memaksa istrinya untuk menceritakan apa yang terjadi, hingga akhirnya pemuda itu tahu penyebab kenapa Ayana sampai seperti ini.“Aku selalu diam, menerima semua keputusan mereka. Tapi kenapa mereka tidak pernah mau memahami dan mengerti perasaanku.” Ayana bicara lagi, meluapkan apa yang dirasakan ke Deon. Bahkan terdengar sesekali sesenggukan karena menangis tiada henti.“Sudah tidak apa? Biarkan mereka tidak percaya, tapi aku di sini untuk memercayaimu. Aku akan berdiri di sampingmu,” ujar Deon menenangkan.Mendengar Ayana menangis, rasanya sesuatu yang sangat tidak nyata. Wanita tegar itu menangis seperti anak kecil yang rapuh dan penuh dengan ketakutan.Andai Deon bukan dari keluarga biasa. Andai dia lebih berkuasa dari keluarga Ayana, sudah pasti Deon akan maju, berdiri di barisan paling depan untuk melawan siapapun yang menindas istrinya. Namun, untuk saat ini Deon bukanlah siapa-siapa, s
“Kamu yakin akan pergi ke perusahaan?” tanya Deon sambil menatap Ayana yang sedang memakai blazer. Ayana membalikkan badan sambil membetulkan blazer, lantas balik bertanya, “Apa masih kelihatan bengkak?” Ayana mendadak cemas jika kelopak matanya masih bengkak, padahal harus bertemu klien penting. Deon mendekat ke Ayana, menangkup kedua pipi wanita itu dan menatap dalam-dalam mata istrinya itu. Ayana pun begitu cemas, hingga kemudian tersenyum. “Kelihatan sedikit, tapi kamu tetap cantik,” ucap Deon penuh nada godaan. Tentu saja Ayana terkejut tapi juga gemas sampai memukul lengan pemuda itu. Dia sudah sangat cemas, tapi suaminya malah bercanda. “Ayo sarapan!” ajak Deon sambil menggandeng tangan Ayana, padahal tanpa digandeng pun Ayana bisa jalan sendiri dan tidak akan hilang. Ayana berjalan bersama Deon, sikap manis pemuda itu sejak awal mereka bertemu dan menikah, selalu membuat Ayana terpesona. “Kamu akan ke kampus hari ini?” tanya Ayana sambil menyantap roti isi buatan Deon.
Deon pergi ke kafe setelah bimbingan. Dia sudah di sana sejak satu jam lalu, tapi masih tidak ada pengunjung yang datang.“Sepertinya memang akan terus berlanjut seperti ini,” ucap Gery mulai putus asa.Sejak Gery bekerja di kafe itu, baru kali ini kafe sangat sepi.Deon terlihat berpikir, masih terus memandang keluar dan melihat orang yang berlalu-lalang di sana.“Sepertinya aku memang harus keluar dari kafe,” ucap Deon tiba-tiba.Gery menoleh Deon dengan cepat, hingga kemudian bertanya, “Memangnya mau keluar ke mana?”Gery menepis maksud sebenarnya dari ucapan Deon.Deon menoleh ke Gery, hingga kemudian menjawab, “Keluar dari pekerjaan agar kafe ini kembali ramai.”Gery langsung menegakkan badan mendengar ucapan Deon. Benar-benar tidak paham dan tidak menyangka jika sahabatnya akan berkata demikian.“Kenapa kamu bicara seperti itu? Bukankah sudah kubilang kalau masalah kafe yang sepi jangan dijadikan alasan untuk keluar. Aku yakin, Pak Anta pun tidak keberatan kamu tetap bekerja, me
“Semoga kerjasama kita berjalan lancar.”Perwakilan dari Singapore mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Ayana setelah mereka selesai menandatangani kontrak kerjasama.“Saya juga berharap begitu,” balas Ayana sambil membalas jabat tangan rekan bisnisnya.Rekan bisnis dan staffnya pamit setelah semua selesai. Ayana, Kyle, dan Amel juga menuju parkiran untuk bisa segera kembali ke perusahaan.“Nanti buat laporan pertemuan tadi,” ujar Ayana memberi perintah ke Amel.“Baik, Bu.”Kyle memperhatikan Ayana yang sedang memberi perintah, hingga membuka pintu mobil untuk bosnya itu.Kyle yang menyetir, Amel duduk di samping Kyle sedangkan Ayana di belakang.Saat mobil melaju di jalanan, Ayana melihat seseorang yang tampak dikenalnya. Seseorang yang berjalan di bahu jalan dan hanya tampak dari belakang.“Kyle, menepilah!” perintah Ayana.Kyle keheranan tapi memilih menepi sesuai dengan permintaan Ayana. Saat menepi di bahu jalan, Kyle akhirnya paham kenapa Ayana meminta menepi.Ayana menurunk
Ayana terkejut mendengar ucapan Deon. Dia pun kembali menatap amplop itu lantas beralih menatap Deon.“Ini uangmu, seharusnya kamu yang menggunakannya.” Ayana tidak mau menerima uang Deon bukan karena tidak menghargai, hanya saja tahu bagaimana usaha pemuda itu bekerja, sehingga membuatnya tidak tega menerimanya.“Ay, ini uangku tapi kamu istriku dan berhak atas uang ini. Terimalah, jika menolak berarti kamu tidak menganggapku sebagai suamimu,” ujar Deon menjelaskan dengan sedikit memaksa.Ayana menatap Deon sedikit ragu, tapi akhirnya mengambil amplop itu.“Baiklah, aku akan simpan uang ini untukmu,” ujar Ayana masih setengah menerima.“Jangan disimpan, Ay. Aku akan lebih senang jika kamu membeli sesuatu menggunakan uangku. Itu memang tidak seberapa, tapi saat kamu menggunakannya untuk kebutuhanmu, itu akan terasa spesial untukku,” balas Deon tidak ingin Ayana berhemat dengan uang itu.Deon tahu jika selama ini sebenarnya pun berhemat untuk mencukupi kebutuhan dan biaya kuliah. Namun
Deon mengerjapkan kelopak mata sedikit bingung. Bahkan dia sampai menoleh ke Ayana, kemudian ke plang nama yang terdapat di sisi kirinya secara bergantian.“Ay.” Deon menatap Ayana seolah menuntut sebuah penjelasan dari istrinya.Ayana baru saja memarkirkan mobil di depan pagar halaman panti asuhan. Dia lantas menoleh Deon yang sedang penasaran dan bingung.“Hm … ini pasti asuhan yang aku dirikan dibantu beberapa pengurus sejak beberapa tahun lalu. Tidak ada yang tahu soal ini, kamu adalah orang pertama yang tahu.” Ayana menoleh dan tersenyum ke Deon setelah mengatakan itu, kemudian melepas seatbelt dan turun dari mobil.Deon benar-benar tidak menyangka jika Ayana sampai memiliki panti asuhan. Wanita yang dianggap semua orang sangat sombong, tapi ternyata sangat baik.Ayana sudah turun dari mobil dan berjalan di halaman panti, sedangkan Deon baru saja turun dan memandang istrinya kini dikerumuni anak-anak.“Apa Kak Ayana bawa mainan?”“Tidak bawa camilan?”“Aku mau boneka baru.”Anak-
Ponsel Deon terus berdering saat sedang mengantri es krim bersama Ayana. Dia dan Ayana mengajak anak-anak panti ke mall, berbelanja juga membelikan kebutuhan panti. Ponsel Deon sejak tadi berdering, tapi pemuda itu mengabaikan. Hingga saat sedang mengantri es krim, Deon mencoba melihat siapa yang menghubungi. Melihat nama yang terpampang di layar, Deon memilih mengabaikan. “Siapa?” tanya Ayana karena melihat Deon hanya menatap ponselnya. “Tidak penting,” jawab Deon yang kembali mengabaikan ponselnya meski berdering berulang kali. Ayana menatap curiga, hingga kemudian bertanya, “Apa kamu tidak mau menjawabnya dulu? Siapa tahu penting.” Deon menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Ayana. Dia lantas mengambil dua cup es krim yang diulurkan pelayan. “Aku akan memberikan ini ke anak-anak dulu,” kata Deon sambil berlalu meninggalkan Ayana. Ayana pun memandang Deon yang menghampiri anak-anak juga pengurus panti yang ikut. ** Setelah menghabiskan waktu seharian mengajak anak-anak pa
“Apa kamu ada urusan dengannya? Sampai-sampai dia terus menghubungimu seperti ini?” tanya Ayana sambil menunjukkan rasa tidak sukanya.“Tidak ada. Aku pun tidak tahu kenapa dia menghubungiku terus,” jawab Deon meyakinkan.Ayana menyodorkan ponselnya ke Deon, hingga kemudian berkata, “Jawab dulu, jangan sampai dia terus menghubungimu. Jujur, aku terganggu.”Ayana menyodorkan paksa, meminta agar Deon menerima panggilan itu.Deon menatap Ayana, melihat kekesalan di wajah istrinya itu. Dia masih belum menerima panggilan itu meski ponselnya terus berdering.“Kenapa tidak dijawab? Dia menghubungimu pasti karena ada sesuatu yang dibicarakan. Selesaikan urusan kalian agar dia tidak terus menghubungimu.”Ayana mengambil tangan Deon, lantas memberikan paksa ponsel itu sebelum kemudian memilih meninggalkan Deon di kamar sendiri. Dia juga tidak berniat mendengarkan apa yang akan dibicarakan oleh suaminya dengan Hyuna.Deon menghela napas frustasi. Dia mencoba mengabaikan dan berharap Hyuna menyad
“Dia cantik sekali,” ucap Ayana sambil menggendong bayi mungil Ive. Bayi berjenis kelamin perempuan itu sehat dengan pipi chubby yang menggemaskan. “Tentu saja cantik, apalagi ayahnya tampan seperti ini,” balas Alex menanggapi ucapan Ayana. Ayana langsung memicingkan mata mendengar adiknya yang terlalu percaya diri. “Yang benar itu dia cantik seperti ibunya, bukan karena ayahnya,” ucap Ayana sewot sendiri karena ucapan Alex. Ive hanya menahan tawa mendengar balasan Ayana, sedangkan Alex langsung mendekat kemudian ikut memandang putrinya. “Lihat saja, alisnya tebal seperti milikku. Bibirnya kecil sepertiku. Lihat hidungnya yang mancung, sama sepertiku juga,” ucap Alex membandingkan wajah bayinya dengan dirinya. “Semua mirip kamu, terus Ive hanya dapat hikmahnya gitu,” balas Ayana karena Alex makin mengada-ada. Alex melebarkan senyum, lantas membalas, “Iya, kan bibitnya dariku.” Ayana gemas mendengar ucapan Alex hingga langsung memukul lengan adiknya itu. “Kepedean!” seloroh Ay
“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Ayana saat melihat wajah Ive yang pucat.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana karena sedang tak berkonsentrasi. Dia melihat, Ayana dan yang lain kini sedang memandangnya.“Wajahmu sangat pucat, Ive. Apa kamu sakit?” tanya Jonathan.Alex langsung menyentuh kening Ive. Dia merasakan kulit wajah Ive yang sangat dingin.“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Alex yang cemas.“Sebenarnya sejak semalam perutku terasa mulas, tapi tidak bisa ke kamar mandi. Ini juga rasanya tidak nyaman,” jawab Ive yang menahan sakit dari kemarin sore sampai pagi tanpa memberitahu siapa pun.Ayana terkejut mendengar jawaban Ive. Dia langsung berdiri, lantas menyentuhkan tangan di kening Ive.“Kita ke rumah sakit, ya. Aku takut kamu sudah kontraksi tapi tidak paham,” ujar Ayana yang cemas.Semua orang pun terkejut mendengar ucapan Ayana. Alex langsung berdiri untuk membantu Ive berdiri.“Ayo, Ive. Kita ke rumah sakit untuk memastikan kondisimu,” kata Alex yang tak bisa membiarka
Tak terasa sudah enam bulan berlalu, kini usia kandungan Ive sudah memasuki usia delapan bulan. Ive sendiri mulai kesulitan melakukan aktivitasnya karena perutnya yang besar.“Kamu mau buah, Ive?” tanya Ayana saat melihat adik iparnya itu datang ke dapur.“Iya, Kak.” Ive menjawab sambil berjalan mendekat. Dia lantas duduk di kursi samping stroller Ansel.Ayana menoleh sekilas ke Ive sambil tersenyum, lantas mengambilkan buah yang biasa dimakan Ive.“Kamu sudah minum susu?” tanya Ive mengajak bicara Ansel yang kini berumur 9 bulan.Ive memberikan telunjuknya agar digenggam Ansel. Dia sangat suka dengan keponakannya yang lucu dan menggemaskan itu.“Hari ini kamu jatah cek kandungan? Tadi Alex memperingatkanku untuk mengantarmu karena dia ada rapat penting pagi ini?” tanya Ayana sambil mengupas apel.Ive menoleh Ayana, kemudian menjawab, “Iya, Kak. Dokternya baru datang jam sepuluh, jadi ke sana jam sembilan ambil antrian tidak masalah.”Ayana menghampiri Ive sambil membawa apel yang sud
Hyuna sangat terkejut dengan jawaban Azlan, bagaimana bisa calon suaminya itu melupakan cincin pernikahan mereka.Azlan menoleh Ayana, memberikan mimik wajah sedih karena cincinnya dan Hyuna tertinggal.“Kenapa dia?” tanya Alex keheranan melihat Azlan yang bingung.Azlan memberi isyarat dengan menggerakkan jemarinya, membuat Alex dan Ayana langsung paham.“Dasar, ceroboh sekali dia,” gerutu Alex.Alex melepas cincin pernikahannya, lantas meminta Ive melepas cincinnya juga. Dia kemudian pergi ke altar untuk memberikan cincinnya agar dipakai Azlan lebih dulu.Ayana dan yang lain terkejut dengan apa yang dilakukan Alex, tapi hal itu juga membuat bangga karena Alex mau membantu kepanikan Azlan.“Pakai ini! Tapi kamu harus membayar bantuanku,” ucap Alex dengan nada candaan.Meski Alex terkadang menyebalkan, tapi nyatanya dia perhatian hingga membuat Azlan hanya menganggukkan kepala.Alex kembali ke kursinya, hingga langsung mendapat pujian dari Ayana.Prosesi pernikahan itu pun kembali ber
Alex begitu terkejut sampai mundur karena melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. Dia memegang dada karena terkejut melihat wanita tua sedang menatapnya.“Mau apa tengok-tengok rumah?” tanya wanita berumur 70 an tahun itu.“Maaf. Saya hanya ingin meminta mangga muda, kalau tidak boleh diminta ya saya beli,” kata Alex berusaha sopan ke wanita tua itu, apalagi sudah menjadi kebiasaan di negara itu jika harus sopan ke orang yang lebih tua.“Mangga muda?” Wanita tua itu mungkin keheranan karena Alex malah minta mangga muda.“Ah … ya. Istri saya sedang hamil. Dia katanya ingin makan mangga muda itu,” ujar Alex menjelaskan sambil menunjuk ke mobil lantas ke pohon mangga.“Oh … bilang dari tadi. Aku pikir mau maling atau sales menawari barang,” balas wanita tua itu dengan entengnya kemudian mengeluarkan kunci mobil dari saku baju yang dipakai.Alex terkejut karena dikira sales barang, tapi demi Ive dia harus menahan diri agar tidak tersinggung.Wanita tua itu membuka gerbang, lantas me
“Kita mau ke mana?” tanya Ive bingung karena Alex mengajaknya pergi keluar padahal baru saja sampai rumah.“Aku ingin mengajakmu tadi siang, tapi karena siang tadi pekerjaanku sangat banyak, jadi baru bisa sekarang. Aku tidak mau menundanya, jadi meski sore aku tetap ingin mengajakmu ke sana,” jawab Alex sambil menoleh Ive dengan senyum di wajah.Ive mengerutkan dahi mendengar jawaban Alex. Dia benar-benar penasaran ke mana suaminya itu akan mengajak pergi.Ive memperhatikan jalanan yang mereka lewati, hingga mobil yang ditumpangi masuk ke area perumahan yang sedang dibangun. Sudah ada beberapa rumah berdiri megah, tapi ada pula yang sedang dalam proses pembangunan.“Mau apa ke sini?” tanya Ive bingung. Dia pun memperhatikan sekitar.Alex menoleh Ive sekilas, lantas sedikit memperlambat laju mobilnya.“Melihat hadiah yang diberikan Ayana. Dia memberi kita hadiah, tapi aku belum sempat melihatnya langsung,” jawab Alex.Dahi Ive semakin berkerut halus mendengar jawaban Alex. Dia pun kem
“Ternyata benar, nabung.” Azlan langsung meledek Alex yang baru saja datang bergabung dengannya, Ayana, dan Ive. Ayana melirik Ive, lantas memberi isyarat untuk menyingkir daripada mendengarkan perdebatan Azlan dan Alex. Alex bingung mendengar ucapan Azlan, hingga dia melihat Ayana dan Ive yang pergi. “Apanya nabung? Kalau punya uang, ya pasti nabung,” balas Alex masih tak paham dengan maksud ucapan Azlan. “Pura-pura tidak paham. Pantas saja kamu ngebet mau nikah, bahkan berani mendahuluiku, ternyata sudah bikin Ive hamil dulu,” ledek Azlan sambil memicingkan mata. Alex sedang minum saat Azlan bicara, hingga dia tersedak karena terkejut mendengar ucapan Azlan, sampai-sampai air yang baru saja masuk ke kerongkongan langsung menyembur keluar. “Sikapmu saja ini sudah cukup membuktikan kalau ucapanku benar. Kamu sudah bikin Ive hamil dulu, lalu mendesak minta nikah biar ga ada yang curiga kalau Ive hamil,” ucap Azlan memperjelas maksudnya agar Alex tak mengelak. Alex mengusap permu
Ive dan Alex pergi bersama Jonathan untuk mengurus proses balik nama sertifikat rumah mendiang ayah Ive.Ive benar-benar masih seperti mimpi bisa memiliki rumah itu, meski sebenarnya dia merasa sangat berat jika diminta meninggalinya. Ada kenangan pahit dan manis yang bersamaan dirasakan tatkala menginjak rumah itu.“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Alex sambil menatap Ive.Ive sedang diam, memandangi setiap sudut ruangan, dinding, juga langit-langit kamar itu. Mengingat ada tawa saat bersama ayah dan ibu yang merawatnya, tapi juga ada kepedihan ketika ditindas Carisa.“Entahlah, aku masih bingung. Selain kenangan manis bersama Mama, di rumah ini juga penuh kenangan menyakitkan,” jawab Ive sambil mengedarkan pandangan.Alex melihat bola mata Ive yang berkaca-kaca, hingga dia pun menautkan jemari mereka.“Tidak usah dipaksa jika tak ingin. Ini hadiah dari Papa, kita terima meski tak ditinggali,” ucap Alex a
“Karena membantuku, kamu jadi ikut celaka,” ucap Ive penuh penyesalan begitu bertemu dengan Damian.Ive dan Damian sudah keluar dari rumah sakit, mereka kini berada di rumah Jonathan.Ive menatap perban yang terpasang di pelipis karena hantaman dari orang yang menyerang kakaknya itu.“Tidak apa, kamu jangan terlalu memikirkan ini,” balas Damian, “dulu aku tidak bisa melindungimu, jadi sekarang aku harus melindungimu, meski nyawaku taruhannya,” ucap Damian sambil memulas senyum manis di wajah.Tetap saja Ive merasa bersalah meski Damian berkata jika tak masalah terluka untuk melindunginya.“Bagaimana proses hukum Emanuel dan Eric?” tanya Damian sambil menatap Alex yang duduk di seberangnya.“Polisi sedang memprosesnya, kemungkinan berkas perkaranya akan segera naik ke kejaksaan mengingat bukti-bukti yang kita miliki sangat kuat. Nantinya baik aku, kamu, atau Ive tetap harus menghadiri sida