“Kamar satunya belum dibersihkan. Nanti aku akan minta orang membersihkannya,” ucap Ayana sambil membuka salah satu kamar yang ada di apartemen miliknya.
Ayana dan Deon sudah sampai di apartemen. Unit itu memang tidak terlalu besar, hanya ada dua kamar, dapur tanpa sekat yang tampak dari ruang tamu.
“Tidak masalah, aku akan membersihkannya nanti. Tidak usah panggil orang untuk membersihkannya, lebih baik hemat uangmu untuk hal lain,” balas Deon sambil melihat kamar berukuran lumayan besar.
Bagi Ayana, apartemen itu sederhana dan kecil, tapi bagi Deon apartemen itu cukup besar, bahkan bisa dibilang lebih besar dari rumah orang tuanya.
Ayana terkejut mendengar ucapan Deon, hingga mencoba memaklumi pemikiran itu sebab selama ini Deon memang hidup sederhana.
“Baiklah, terserah kamu saja,” jawab Ayana. Dia lantas pergi ke kamarnya yang berhadapan dengan kamar satunya.
Deon menatap Ayana, melihat wanita itu hilang di balik pintu kamar. Dia pun kembali memandang kamar yang masih berantakan dengan banyak kardus juga barang yang tidak dipakai.
“Bersih-bersih kamar, bukankah ini hal biasa,” gumam Deon.
Pemuda itu melepas jaket dan meletakkan tas miliknya di lantai luar kamar, lantas mencari sapu dan alat kebersihan lain, untuk mulai merapikan kamar yang akan ditempatinya.
Ayana berada di kamar, duduk di tepian ranjang sambil memegang benda pipih di tangan.
“Halo.” Ayana ternyata menghubungi pengacara kepercayaannya.
“Apa kamu sudah membuat surat perjanjian yang aku minta?” tanya Ayana begitu panggilannya dijawab oleh sang pengacara.
“Ay, apa kamu yakin? Bukankah kemarin baru menikah, kamu juga tampak bahagia meski pengantinmu bukan Rey. Ya, aku bersyukur kamu tidak menikah dengan sibrengsek itu, tapi aku juga terkejut kamu malah ingin membuat surat perjanjian kontrak nikah.”
Bukannya menjawab pertanyaan Ayana, pengacara yang juga sahabat Ayana itu malah mempertanyakan niat Ayana.
Ayana memijat kening mendengar ucapan sahabatnya itu. Dia pun menghela napas berat, meski terlihat baik-baik saja dari luar, tapi banyak hal yang sedang dipikirkannya untuk saat ini.
“Ay, jangan bilang kamu hanya memanfaatkan pemuda polos itu?” tanya sahabat Ayana dari seberang panggilan karena tidak mendapat balasan dari pertanyaan sebelumnya.
Ayana terkejut mendengar ucapan sahabatnya, hingga gelagapan karena bingung bagaimana membalasnya.
“Kita bertemu saja. Kamu di kantor?” tanya Ayana karena tidak mungkin menjelaskan di telepon. Saat pernikahannya pun Ayana tidak mengatakan apa pun ke sahabatnya itu.
“Ya, aku di kantor. Datanglah agar kamu bisa leluasa bicara,” jawab sahabat Ayana.
“Baiklah, aku akan segera ke sana,” balas Ayana.
Ayana mengakhiri panggilan, lantas memilih membersihkan diri dan berganti pakaian sebelum pergi.
Di kamar satunya. Deon membersihkan kamar itu, menyingkirkan kardus yang tidak terpakai dan meletakkan di luar kamar untuk sementara, lantas mulai menyapu hingga mengepel.
Beberapa saat berlalu, hingga akhirnya kamar itu bersih dari debu dan lainnya, bahkan sangat bersih tanpa ranjang dan lemari di dalamnya.
“Selesai juga,” gumam Deon lantas menengok ke jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan.
Ayana keluar dari kamar karena ingin pergi, hingga terkejut melihat kardus bertumpuk di luar kamar.
“Apa ada barang yang masih terpakai? Aku ingin membuangnya langsung keluar, tapi takut kamu masih membutuhkan barang ini,” kata Deon.
Ayana memandangi satu persatu kardus itu, lantas menggelengkan kepala.
“Buang saja,” balas Ayana.
Deon mengangguk-angguk paham, lantas mengamati penampilan Ayana yang sudah rapi.
“Kamu ingin pergi?” tanya Deon.
Ayana mengangguk-angguk. Dia lantas melirik kamar yang dibersihkan Deon, bersih tanpa ada satu perabot pun di sana.
“Aku akan memesan ranjang, lemari, dan juga meja belajar untukmu,” ucap Ayana merasa harus bertanggung jawab, sebab dia yang membawa Deon masuk ke dalam hidupnya.
“Aku masih bisa tidur di lantai jika memang tidak ada ranjang, jangan cemaskan apa pun,” balas Deon sambil menoleh ke kamar.
Ayana menatap pemuda itu, pemuda yang tampaknya tidak akan memanfaatkan dirinya sama sekali, pemuda polos yang berhati besar mau menolongnya, meski Ayana tahu jika Deon terpaksa.
“Baiklah,” ucap Ayana. Tidak tahu maksud kata baik untuk hal apa.
Ayana pun berjalan ke arah pintu apartemen, hingga langkahnya berhenti saat mendengar suara dering ponsel.
Deon buru-buru merogoh ponsel di saku yang berdering, hingga melihat nama yang terpampang di sana. Pemuda itu tersenyum, lantas menggeser tombol hijau untuk menjawab.
“Halo, Hyuna.” Deon menjawab panggilan itu dengan suara lembut.
“De, kamu tidak ke kampus hari ini?” Suara wanita terdengar dari seberang panggilan.
“Tentu saja, aku akan ke kampus dalam satu jam. Bisa bantu aku absen jika terlambat datang?” tanya Deon menanggapi ucapan wanita bernama Hyuna.
Ayana masih berdiri di tempatnya, mendengar nama yang disebut Deon dengan lembut. Bahkan cara bicara pemuda itu sangat berbeda dari sebelumnya.
“Hyuna, apa itu kekasihnya? Apa aku akan menghancurkan hubungan orang lain karena masalahku? Bukankah aku akan seperti sekretaris sialan itu yang tega merusak hubungan orang lain?”
Tiba-tiba saja Ayana merasa bersalah jika memang benar Deon sudah memiliki kekasih.
Deon masih bicara dengan wanita bernama Hyuna, hingga tatapan tertuju ke punggung Ayana yang berdiri sebelum pintu. Dia menatap lekat punggung yang tertutup rambut panjang hitam pekat itu, bertanya-tanya kenapa Ayana tidak kunjung pergi.
“Jadi, apa yang mau kamu ceritakan?” tanya Nabila—pengacara sekaligus sahabat Ayana.Bukannya menjawab pertanyaan Nabila, Ayana malah duduk sambil menggigit ujung kuku jempolnya. Dia melamun saat baru saja sampai di kantor Nabila.Nabila pun mengerutkan alis melihat Ayana yang malah melamun, bahkan sampai melambaikan tangan di depan sahabatnya itu, tapi tetap saja Ayana tidak tersadar dari lamunan.“Ay!” Nabila memanggil dengan suara keras, bahkan sampai memukul meja.Ayana berjengit karena terkejut, hingga menatap Nabila yang sudah memandangnya.“Hah! Apa?” tanya Ayana yang baru kembali dari lamunan.Nabila langsung mencebik mendengar pertanyaan Ayana.“Kamu ke sini untuk cerita masalahmu, atau ke sini hanya untuk numpang melamun,” sindir Nabila sambil merapikan blazer.Ayana tersenyum canggung, kemudian menggaruk pelipis menggunaka telunjuk.“Entahlah, aku harus cerita apa. Sesampainya di sini aku malah bingung,” ucap Ayana yang duduk sambil menyandarkan punggung. Ekspresi wajah men
“De, kenapa kamu diam?” Hyuna menatap Deon curiga, merasa aneh karena pemuda itu terlihat panik dan gugup. “Tidak ada,” kilah Deon, “hanya terkejut saja kamu sudah tahu soal masalah di pesta pernikahan kemarin,” ucap Deon mengelak. Dia belum siap memberitahu gadis itu jika yang menggantikan pengantin pria di pesta kemarin adalah dirinya. Hyuna menatap curiga ke Deon, ingin kembali bicara, tapi karena dosen mereka sudah masuk terlebih dahulu, membuat Hyuna memilih menundanya karena harus fokus belajar. Dua jam berlalu, akhirnya sesi kelas siang itu selesai. Dosen mengakhiri kelas setelah memberikan tugas untuk mahasiswa yang mengikuti kelasnya. Deon merapikan buku, lantas memasukkan ke tas. “De, kamu belum menceritakan yang terjadi di hotel kemarin,” kata Hyuna. “Mau menceritakan apa, Hyuna? Tidak ada yang bisa diceritakan, selain pekerjaan melayani tamu,” balas Deon. Deon menoleh Hyuna, memandang gadis yang sejak tadi menatapnya. “Aku penasaran soal pengantin yang menyewa ballr
Ayana berdiri di sana, mendengarkan setiap kalimat biasa tapi entah kenapa sangat menyakitkan baginya. Kedua tangan mengepal erat, bahkan kuku-kuku jarinya sampai terlihat begitu pucat. “Pokoknya kamu rahasiakan soal ini, jangan sampai orang lain tahu, kalau kami membayar kalian agar adikmu menikah dengan putriku. Jika sampai masalah ini bocor, aku pastikan kamu menanggung semua akibat yang terjadi.” Firman bicara dengan nada penekanan agar Satria tidak membocorkan masalah itu, atau mau ditaruh mana mukanya. “Anda tenang saja, saya akan menutup rapat mulut saya. Lagi pula, sekarang saya juga keluarga Anda, kan? Mana mungkin menjatuhkan keluarga sendiri,” ucap Satria dengan senyum miring di wajah. Firman terpaksa melakukan ini semua jika bukan karena gengsi yang begitu besar. Bukan salahnya jika terkesan menawarkan anak sendiri, sebab Ayana yang sudah berulang kali gagal menikah dan kejadian kemarin adalah yang terfatal. “Sudah, ambil uangmu dan pergilah!” perintah Firman kemudian.
Deon bekerja di sebuah kafe. Dia akan kerja paruh waktu di tempat lain jika memang mendapat tawaran, seperti saat menjadi pelayan di hotel kemarin.Masih tidak ada yang tahu soal statusnya yang sudah menikah. Jika memang ada yang tahu, dia tidak akan mengelak dari statusnya, hanya akan menutupi jika pernikahan itu hanya sebuah kontrak.“Selamat siang, silakan mau pesan apa?” Deon menyambut pengunjung yang hendak memesan.Seperti biasa, pengunjung kafe itu kebanyakan para gadis yang memang datang untuk melihat wajah tampan pemuda itu. Manis, ramah, juga baik hati, gadis mana yang tidak akan menyukai pemuda itu.“Chocolatte ice, tapi gulanya sedikit,” jawab seorang gadis berpakaian SMA.“Oke.” Deon memainkan jari di atas layar tablet untuk mencetak struk pesanan gadis itu.“Kakak, kamu masih tidak mau memberiku nomor ponselmu?” tanya gadis berseragam SMA itu penuh harap.Deon mengalihkan pandangan dari tablet ke gadis tadi, kemudian tersenyum manis membuat para gadis di kafe itu terpuka
Deon dan Ayana sama-sama menatap ke sumber suara. Melihat seorang gadis berdiri dengan tatapan tidak senang ke Ayana dan Deon.“Hyuna.” Deon menyebut nama gadis itu.Ayana terkejut mendengar nama yang disebut, hingga tatapan langsung beralih ke Deon.“Jadi gadis itu kekasihnya,” gumam Ayana dalam hati.Deon berdiri untuk menghampiri Hyuna, tentu saja hal itu semakin membuat Ayana yakin jika Hyuna memang kekasih Deon.Ayana menoleh ke arah Hyuna, hingga menyadari jik gadis itu terus menatap tidak senang ke arahnya.“Kamu mau minum?” tanya Deon saat sudah berdiri berhadapan dengan Hyuna.Hyuna mengalihkan pandangan dari Ayana ke Deon, masih terlihat jelas ekspresi kesal tercetak di wajah.“Aku ingin bicara denganmu,” ucap Hyuna kesal.Deon mengerutkan alis mendengar ucapan Hyuna, tapi kemudian memilih menganggukkan kepala untuk bicara dengan sahabatnya itu.Ayana sendiri duduk dengan tenang, lantas mengambil cangkir di meja dan menyesap kopi buatan Deon.Hyuna mengajak Deon bicara di lu
Deon pulang saat waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ayana memberi kunci apartemen agar pemuda itu bisa masuk sewaktu-waktu, sedangkan wanita itu sendiri masuk menggunakan sidik jari. Dia belum menambahkan sidik jari Deon. Saat baru saja masuk, lampu apartemen semuanya padam, hanya lampu depan pintu yang menyala otomatis ketika ada orang lewat dan akan mati saat tidak ada orang. Pemuda itu berjalan ke kamar, hingga melihat ke bawah celah pintu lampu kamar Ayana masih menyala. Dia memilih mengabaikan dan masuk ke kamarnya. Deon terkejut saat melihat kamar sudah terisi ranjang, sofa, lemari, bahkan meja belajar. “Dia benar-benar membelikan semua yang diperlukan,” gumam Deon. Deon memilih masuk dan melihat perabotan yang ada di kamar. Ranjang berukuran sedang, sofa empuk, lemari pintu tiga, juga meja belajar yang tampak nyaman untuk digunakan tempat belajar. Deon membuang napas kasar, lantas duduk di kursi belajarnya. Menggoyangkan ke kanan dan kiri menikmati nyamannya kursi
Ayana menatap tidak senang ke arah pintu. Sekretaris Ayana langsung menunduk dan memilih undur diri dari ruangan itu karena tidak mau jadi penonton di sana.Ayana memalingkan wajah ingin mengabaikan orang yang masuk ke ruangannya tanpa permisi.Rey datang ke perusahaan karena tahu jika Ayana tidak mungkin pergi bulan madu. Dia mendekat ke arah meja Ayana untuk mengajak bicara wanita itu.“Mau apa lagi kamu?” tanya Ayana kini menatap Rey dengan ekspresi wajah datar.“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan, Ay. Kamu memilih membatalkan pernikahan denganku, lantas menikah dengan pria lain? Jangan-jangan kamu memang sudah bersama pria itu lama, sehingga saat pernikahan kita batal, kamu dengan mudah bisa mendapatkan penggantiku.” Rey bicara dengan kedua tangan yang bertumpu di atas meja.Satu sudut bibir Ayana tertarik ke atas mendengar ucapan Rey. Tentu saja dia tidak akan takut atau menyesal bahkan tersentuh Rey mendatanginya.“Kamu masih tidak bercermin, Rey. Semua yang terjad
Deon benar-benar murka. Dia pasrah menikahi Ayana agar keluarganya tidak mendapat masalah, tapi ternyata keputusannya malah dimanfaatkan oleh sang kakak.“Kembalikan semua uang itu!” perintah Deon sambil menengadahkan tangan.Mita bingung dan panik menatap Deon yang marah, sedangkan Satria terlihat tidak merasa bersalah sama sekali.“Uang sudah dikasih, untuk apa dikembalikan. Lagi pula orang tuanya yang menawari, bukan aku yang minta,” balas Satria yang tidak mau mengembalikan uang pemberian orang tua Ayana.Deon begitu geram mendengar ucapan Satria. Dia mendekat cepat dengan telapak tangan mengepal, bersiap memukul sang kakak yang selalu saja serakah.“De, sudah. Jangan bertengkar dengan kakakmu,” ucap Mita menahan tangan Deon.Telapak tangan Deon masih terkepal erat. Tatapannya penuh rasa malu dan kecewa ke sang kakak yang tidak pernah berubah jika sudah menyangkut soal uang.“Sepertinya menikah adalah pilihan terbaik untukku. Meski kami tidak saling mencintai, tapi setidaknya pern
“Dia cantik sekali,” ucap Ayana sambil menggendong bayi mungil Ive. Bayi berjenis kelamin perempuan itu sehat dengan pipi chubby yang menggemaskan. “Tentu saja cantik, apalagi ayahnya tampan seperti ini,” balas Alex menanggapi ucapan Ayana. Ayana langsung memicingkan mata mendengar adiknya yang terlalu percaya diri. “Yang benar itu dia cantik seperti ibunya, bukan karena ayahnya,” ucap Ayana sewot sendiri karena ucapan Alex. Ive hanya menahan tawa mendengar balasan Ayana, sedangkan Alex langsung mendekat kemudian ikut memandang putrinya. “Lihat saja, alisnya tebal seperti milikku. Bibirnya kecil sepertiku. Lihat hidungnya yang mancung, sama sepertiku juga,” ucap Alex membandingkan wajah bayinya dengan dirinya. “Semua mirip kamu, terus Ive hanya dapat hikmahnya gitu,” balas Ayana karena Alex makin mengada-ada. Alex melebarkan senyum, lantas membalas, “Iya, kan bibitnya dariku.” Ayana gemas mendengar ucapan Alex hingga langsung memukul lengan adiknya itu. “Kepedean!” seloroh Ay
“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Ayana saat melihat wajah Ive yang pucat.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana karena sedang tak berkonsentrasi. Dia melihat, Ayana dan yang lain kini sedang memandangnya.“Wajahmu sangat pucat, Ive. Apa kamu sakit?” tanya Jonathan.Alex langsung menyentuh kening Ive. Dia merasakan kulit wajah Ive yang sangat dingin.“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Alex yang cemas.“Sebenarnya sejak semalam perutku terasa mulas, tapi tidak bisa ke kamar mandi. Ini juga rasanya tidak nyaman,” jawab Ive yang menahan sakit dari kemarin sore sampai pagi tanpa memberitahu siapa pun.Ayana terkejut mendengar jawaban Ive. Dia langsung berdiri, lantas menyentuhkan tangan di kening Ive.“Kita ke rumah sakit, ya. Aku takut kamu sudah kontraksi tapi tidak paham,” ujar Ayana yang cemas.Semua orang pun terkejut mendengar ucapan Ayana. Alex langsung berdiri untuk membantu Ive berdiri.“Ayo, Ive. Kita ke rumah sakit untuk memastikan kondisimu,” kata Alex yang tak bisa membiarka
Tak terasa sudah enam bulan berlalu, kini usia kandungan Ive sudah memasuki usia delapan bulan. Ive sendiri mulai kesulitan melakukan aktivitasnya karena perutnya yang besar.“Kamu mau buah, Ive?” tanya Ayana saat melihat adik iparnya itu datang ke dapur.“Iya, Kak.” Ive menjawab sambil berjalan mendekat. Dia lantas duduk di kursi samping stroller Ansel.Ayana menoleh sekilas ke Ive sambil tersenyum, lantas mengambilkan buah yang biasa dimakan Ive.“Kamu sudah minum susu?” tanya Ive mengajak bicara Ansel yang kini berumur 9 bulan.Ive memberikan telunjuknya agar digenggam Ansel. Dia sangat suka dengan keponakannya yang lucu dan menggemaskan itu.“Hari ini kamu jatah cek kandungan? Tadi Alex memperingatkanku untuk mengantarmu karena dia ada rapat penting pagi ini?” tanya Ayana sambil mengupas apel.Ive menoleh Ayana, kemudian menjawab, “Iya, Kak. Dokternya baru datang jam sepuluh, jadi ke sana jam sembilan ambil antrian tidak masalah.”Ayana menghampiri Ive sambil membawa apel yang sud
Hyuna sangat terkejut dengan jawaban Azlan, bagaimana bisa calon suaminya itu melupakan cincin pernikahan mereka.Azlan menoleh Ayana, memberikan mimik wajah sedih karena cincinnya dan Hyuna tertinggal.“Kenapa dia?” tanya Alex keheranan melihat Azlan yang bingung.Azlan memberi isyarat dengan menggerakkan jemarinya, membuat Alex dan Ayana langsung paham.“Dasar, ceroboh sekali dia,” gerutu Alex.Alex melepas cincin pernikahannya, lantas meminta Ive melepas cincinnya juga. Dia kemudian pergi ke altar untuk memberikan cincinnya agar dipakai Azlan lebih dulu.Ayana dan yang lain terkejut dengan apa yang dilakukan Alex, tapi hal itu juga membuat bangga karena Alex mau membantu kepanikan Azlan.“Pakai ini! Tapi kamu harus membayar bantuanku,” ucap Alex dengan nada candaan.Meski Alex terkadang menyebalkan, tapi nyatanya dia perhatian hingga membuat Azlan hanya menganggukkan kepala.Alex kembali ke kursinya, hingga langsung mendapat pujian dari Ayana.Prosesi pernikahan itu pun kembali ber
Alex begitu terkejut sampai mundur karena melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. Dia memegang dada karena terkejut melihat wanita tua sedang menatapnya.“Mau apa tengok-tengok rumah?” tanya wanita berumur 70 an tahun itu.“Maaf. Saya hanya ingin meminta mangga muda, kalau tidak boleh diminta ya saya beli,” kata Alex berusaha sopan ke wanita tua itu, apalagi sudah menjadi kebiasaan di negara itu jika harus sopan ke orang yang lebih tua.“Mangga muda?” Wanita tua itu mungkin keheranan karena Alex malah minta mangga muda.“Ah … ya. Istri saya sedang hamil. Dia katanya ingin makan mangga muda itu,” ujar Alex menjelaskan sambil menunjuk ke mobil lantas ke pohon mangga.“Oh … bilang dari tadi. Aku pikir mau maling atau sales menawari barang,” balas wanita tua itu dengan entengnya kemudian mengeluarkan kunci mobil dari saku baju yang dipakai.Alex terkejut karena dikira sales barang, tapi demi Ive dia harus menahan diri agar tidak tersinggung.Wanita tua itu membuka gerbang, lantas me
“Kita mau ke mana?” tanya Ive bingung karena Alex mengajaknya pergi keluar padahal baru saja sampai rumah.“Aku ingin mengajakmu tadi siang, tapi karena siang tadi pekerjaanku sangat banyak, jadi baru bisa sekarang. Aku tidak mau menundanya, jadi meski sore aku tetap ingin mengajakmu ke sana,” jawab Alex sambil menoleh Ive dengan senyum di wajah.Ive mengerutkan dahi mendengar jawaban Alex. Dia benar-benar penasaran ke mana suaminya itu akan mengajak pergi.Ive memperhatikan jalanan yang mereka lewati, hingga mobil yang ditumpangi masuk ke area perumahan yang sedang dibangun. Sudah ada beberapa rumah berdiri megah, tapi ada pula yang sedang dalam proses pembangunan.“Mau apa ke sini?” tanya Ive bingung. Dia pun memperhatikan sekitar.Alex menoleh Ive sekilas, lantas sedikit memperlambat laju mobilnya.“Melihat hadiah yang diberikan Ayana. Dia memberi kita hadiah, tapi aku belum sempat melihatnya langsung,” jawab Alex.Dahi Ive semakin berkerut halus mendengar jawaban Alex. Dia pun kem
“Ternyata benar, nabung.” Azlan langsung meledek Alex yang baru saja datang bergabung dengannya, Ayana, dan Ive. Ayana melirik Ive, lantas memberi isyarat untuk menyingkir daripada mendengarkan perdebatan Azlan dan Alex. Alex bingung mendengar ucapan Azlan, hingga dia melihat Ayana dan Ive yang pergi. “Apanya nabung? Kalau punya uang, ya pasti nabung,” balas Alex masih tak paham dengan maksud ucapan Azlan. “Pura-pura tidak paham. Pantas saja kamu ngebet mau nikah, bahkan berani mendahuluiku, ternyata sudah bikin Ive hamil dulu,” ledek Azlan sambil memicingkan mata. Alex sedang minum saat Azlan bicara, hingga dia tersedak karena terkejut mendengar ucapan Azlan, sampai-sampai air yang baru saja masuk ke kerongkongan langsung menyembur keluar. “Sikapmu saja ini sudah cukup membuktikan kalau ucapanku benar. Kamu sudah bikin Ive hamil dulu, lalu mendesak minta nikah biar ga ada yang curiga kalau Ive hamil,” ucap Azlan memperjelas maksudnya agar Alex tak mengelak. Alex mengusap permu
Ive dan Alex pergi bersama Jonathan untuk mengurus proses balik nama sertifikat rumah mendiang ayah Ive.Ive benar-benar masih seperti mimpi bisa memiliki rumah itu, meski sebenarnya dia merasa sangat berat jika diminta meninggalinya. Ada kenangan pahit dan manis yang bersamaan dirasakan tatkala menginjak rumah itu.“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Alex sambil menatap Ive.Ive sedang diam, memandangi setiap sudut ruangan, dinding, juga langit-langit kamar itu. Mengingat ada tawa saat bersama ayah dan ibu yang merawatnya, tapi juga ada kepedihan ketika ditindas Carisa.“Entahlah, aku masih bingung. Selain kenangan manis bersama Mama, di rumah ini juga penuh kenangan menyakitkan,” jawab Ive sambil mengedarkan pandangan.Alex melihat bola mata Ive yang berkaca-kaca, hingga dia pun menautkan jemari mereka.“Tidak usah dipaksa jika tak ingin. Ini hadiah dari Papa, kita terima meski tak ditinggali,” ucap Alex a
“Karena membantuku, kamu jadi ikut celaka,” ucap Ive penuh penyesalan begitu bertemu dengan Damian.Ive dan Damian sudah keluar dari rumah sakit, mereka kini berada di rumah Jonathan.Ive menatap perban yang terpasang di pelipis karena hantaman dari orang yang menyerang kakaknya itu.“Tidak apa, kamu jangan terlalu memikirkan ini,” balas Damian, “dulu aku tidak bisa melindungimu, jadi sekarang aku harus melindungimu, meski nyawaku taruhannya,” ucap Damian sambil memulas senyum manis di wajah.Tetap saja Ive merasa bersalah meski Damian berkata jika tak masalah terluka untuk melindunginya.“Bagaimana proses hukum Emanuel dan Eric?” tanya Damian sambil menatap Alex yang duduk di seberangnya.“Polisi sedang memprosesnya, kemungkinan berkas perkaranya akan segera naik ke kejaksaan mengingat bukti-bukti yang kita miliki sangat kuat. Nantinya baik aku, kamu, atau Ive tetap harus menghadiri sida