“Kamar satunya belum dibersihkan. Nanti aku akan minta orang membersihkannya,” ucap Ayana sambil membuka salah satu kamar yang ada di apartemen miliknya.
Ayana dan Deon sudah sampai di apartemen. Unit itu memang tidak terlalu besar, hanya ada dua kamar, dapur tanpa sekat yang tampak dari ruang tamu.
“Tidak masalah, aku akan membersihkannya nanti. Tidak usah panggil orang untuk membersihkannya, lebih baik hemat uangmu untuk hal lain,” balas Deon sambil melihat kamar berukuran lumayan besar.
Bagi Ayana, apartemen itu sederhana dan kecil, tapi bagi Deon apartemen itu cukup besar, bahkan bisa dibilang lebih besar dari rumah orang tuanya.
Ayana terkejut mendengar ucapan Deon, hingga mencoba memaklumi pemikiran itu sebab selama ini Deon memang hidup sederhana.
“Baiklah, terserah kamu saja,” jawab Ayana. Dia lantas pergi ke kamarnya yang berhadapan dengan kamar satunya.
Deon menatap Ayana, melihat wanita itu hilang di balik pintu kamar. Dia pun kembali memandang kamar yang masih berantakan dengan banyak kardus juga barang yang tidak dipakai.
“Bersih-bersih kamar, bukankah ini hal biasa,” gumam Deon.
Pemuda itu melepas jaket dan meletakkan tas miliknya di lantai luar kamar, lantas mencari sapu dan alat kebersihan lain, untuk mulai merapikan kamar yang akan ditempatinya.
Ayana berada di kamar, duduk di tepian ranjang sambil memegang benda pipih di tangan.
“Halo.” Ayana ternyata menghubungi pengacara kepercayaannya.
“Apa kamu sudah membuat surat perjanjian yang aku minta?” tanya Ayana begitu panggilannya dijawab oleh sang pengacara.
“Ay, apa kamu yakin? Bukankah kemarin baru menikah, kamu juga tampak bahagia meski pengantinmu bukan Rey. Ya, aku bersyukur kamu tidak menikah dengan sibrengsek itu, tapi aku juga terkejut kamu malah ingin membuat surat perjanjian kontrak nikah.”
Bukannya menjawab pertanyaan Ayana, pengacara yang juga sahabat Ayana itu malah mempertanyakan niat Ayana.
Ayana memijat kening mendengar ucapan sahabatnya itu. Dia pun menghela napas berat, meski terlihat baik-baik saja dari luar, tapi banyak hal yang sedang dipikirkannya untuk saat ini.
“Ay, jangan bilang kamu hanya memanfaatkan pemuda polos itu?” tanya sahabat Ayana dari seberang panggilan karena tidak mendapat balasan dari pertanyaan sebelumnya.
Ayana terkejut mendengar ucapan sahabatnya, hingga gelagapan karena bingung bagaimana membalasnya.
“Kita bertemu saja. Kamu di kantor?” tanya Ayana karena tidak mungkin menjelaskan di telepon. Saat pernikahannya pun Ayana tidak mengatakan apa pun ke sahabatnya itu.
“Ya, aku di kantor. Datanglah agar kamu bisa leluasa bicara,” jawab sahabat Ayana.
“Baiklah, aku akan segera ke sana,” balas Ayana.
Ayana mengakhiri panggilan, lantas memilih membersihkan diri dan berganti pakaian sebelum pergi.
Di kamar satunya. Deon membersihkan kamar itu, menyingkirkan kardus yang tidak terpakai dan meletakkan di luar kamar untuk sementara, lantas mulai menyapu hingga mengepel.
Beberapa saat berlalu, hingga akhirnya kamar itu bersih dari debu dan lainnya, bahkan sangat bersih tanpa ranjang dan lemari di dalamnya.
“Selesai juga,” gumam Deon lantas menengok ke jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan.
Ayana keluar dari kamar karena ingin pergi, hingga terkejut melihat kardus bertumpuk di luar kamar.
“Apa ada barang yang masih terpakai? Aku ingin membuangnya langsung keluar, tapi takut kamu masih membutuhkan barang ini,” kata Deon.
Ayana memandangi satu persatu kardus itu, lantas menggelengkan kepala.
“Buang saja,” balas Ayana.
Deon mengangguk-angguk paham, lantas mengamati penampilan Ayana yang sudah rapi.
“Kamu ingin pergi?” tanya Deon.
Ayana mengangguk-angguk. Dia lantas melirik kamar yang dibersihkan Deon, bersih tanpa ada satu perabot pun di sana.
“Aku akan memesan ranjang, lemari, dan juga meja belajar untukmu,” ucap Ayana merasa harus bertanggung jawab, sebab dia yang membawa Deon masuk ke dalam hidupnya.
“Aku masih bisa tidur di lantai jika memang tidak ada ranjang, jangan cemaskan apa pun,” balas Deon sambil menoleh ke kamar.
Ayana menatap pemuda itu, pemuda yang tampaknya tidak akan memanfaatkan dirinya sama sekali, pemuda polos yang berhati besar mau menolongnya, meski Ayana tahu jika Deon terpaksa.
“Baiklah,” ucap Ayana. Tidak tahu maksud kata baik untuk hal apa.
Ayana pun berjalan ke arah pintu apartemen, hingga langkahnya berhenti saat mendengar suara dering ponsel.
Deon buru-buru merogoh ponsel di saku yang berdering, hingga melihat nama yang terpampang di sana. Pemuda itu tersenyum, lantas menggeser tombol hijau untuk menjawab.
“Halo, Hyuna.” Deon menjawab panggilan itu dengan suara lembut.
“De, kamu tidak ke kampus hari ini?” Suara wanita terdengar dari seberang panggilan.
“Tentu saja, aku akan ke kampus dalam satu jam. Bisa bantu aku absen jika terlambat datang?” tanya Deon menanggapi ucapan wanita bernama Hyuna.
Ayana masih berdiri di tempatnya, mendengar nama yang disebut Deon dengan lembut. Bahkan cara bicara pemuda itu sangat berbeda dari sebelumnya.
“Hyuna, apa itu kekasihnya? Apa aku akan menghancurkan hubungan orang lain karena masalahku? Bukankah aku akan seperti sekretaris sialan itu yang tega merusak hubungan orang lain?”
Tiba-tiba saja Ayana merasa bersalah jika memang benar Deon sudah memiliki kekasih.
Deon masih bicara dengan wanita bernama Hyuna, hingga tatapan tertuju ke punggung Ayana yang berdiri sebelum pintu. Dia menatap lekat punggung yang tertutup rambut panjang hitam pekat itu, bertanya-tanya kenapa Ayana tidak kunjung pergi.
“Jadi, apa yang mau kamu ceritakan?” tanya Nabila—pengacara sekaligus sahabat Ayana.Bukannya menjawab pertanyaan Nabila, Ayana malah duduk sambil menggigit ujung kuku jempolnya. Dia melamun saat baru saja sampai di kantor Nabila.Nabila pun mengerutkan alis melihat Ayana yang malah melamun, bahkan sampai melambaikan tangan di depan sahabatnya itu, tapi tetap saja Ayana tidak tersadar dari lamunan.“Ay!” Nabila memanggil dengan suara keras, bahkan sampai memukul meja.Ayana berjengit karena terkejut, hingga menatap Nabila yang sudah memandangnya.“Hah! Apa?” tanya Ayana yang baru kembali dari lamunan.Nabila langsung mencebik mendengar pertanyaan Ayana.“Kamu ke sini untuk cerita masalahmu, atau ke sini hanya untuk numpang melamun,” sindir Nabila sambil merapikan blazer.Ayana tersenyum canggung, kemudian menggaruk pelipis menggunaka telunjuk.“Entahlah, aku harus cerita apa. Sesampainya di sini aku malah bingung,” ucap Ayana yang duduk sambil menyandarkan punggung. Ekspresi wajah men
“De, kenapa kamu diam?” Hyuna menatap Deon curiga, merasa aneh karena pemuda itu terlihat panik dan gugup. “Tidak ada,” kilah Deon, “hanya terkejut saja kamu sudah tahu soal masalah di pesta pernikahan kemarin,” ucap Deon mengelak. Dia belum siap memberitahu gadis itu jika yang menggantikan pengantin pria di pesta kemarin adalah dirinya. Hyuna menatap curiga ke Deon, ingin kembali bicara, tapi karena dosen mereka sudah masuk terlebih dahulu, membuat Hyuna memilih menundanya karena harus fokus belajar. Dua jam berlalu, akhirnya sesi kelas siang itu selesai. Dosen mengakhiri kelas setelah memberikan tugas untuk mahasiswa yang mengikuti kelasnya. Deon merapikan buku, lantas memasukkan ke tas. “De, kamu belum menceritakan yang terjadi di hotel kemarin,” kata Hyuna. “Mau menceritakan apa, Hyuna? Tidak ada yang bisa diceritakan, selain pekerjaan melayani tamu,” balas Deon. Deon menoleh Hyuna, memandang gadis yang sejak tadi menatapnya. “Aku penasaran soal pengantin yang menyewa ballr
Ayana berdiri di sana, mendengarkan setiap kalimat biasa tapi entah kenapa sangat menyakitkan baginya. Kedua tangan mengepal erat, bahkan kuku-kuku jarinya sampai terlihat begitu pucat. “Pokoknya kamu rahasiakan soal ini, jangan sampai orang lain tahu, kalau kami membayar kalian agar adikmu menikah dengan putriku. Jika sampai masalah ini bocor, aku pastikan kamu menanggung semua akibat yang terjadi.” Firman bicara dengan nada penekanan agar Satria tidak membocorkan masalah itu, atau mau ditaruh mana mukanya. “Anda tenang saja, saya akan menutup rapat mulut saya. Lagi pula, sekarang saya juga keluarga Anda, kan? Mana mungkin menjatuhkan keluarga sendiri,” ucap Satria dengan senyum miring di wajah. Firman terpaksa melakukan ini semua jika bukan karena gengsi yang begitu besar. Bukan salahnya jika terkesan menawarkan anak sendiri, sebab Ayana yang sudah berulang kali gagal menikah dan kejadian kemarin adalah yang terfatal. “Sudah, ambil uangmu dan pergilah!” perintah Firman kemudian.
Deon bekerja di sebuah kafe. Dia akan kerja paruh waktu di tempat lain jika memang mendapat tawaran, seperti saat menjadi pelayan di hotel kemarin.Masih tidak ada yang tahu soal statusnya yang sudah menikah. Jika memang ada yang tahu, dia tidak akan mengelak dari statusnya, hanya akan menutupi jika pernikahan itu hanya sebuah kontrak.“Selamat siang, silakan mau pesan apa?” Deon menyambut pengunjung yang hendak memesan.Seperti biasa, pengunjung kafe itu kebanyakan para gadis yang memang datang untuk melihat wajah tampan pemuda itu. Manis, ramah, juga baik hati, gadis mana yang tidak akan menyukai pemuda itu.“Chocolatte ice, tapi gulanya sedikit,” jawab seorang gadis berpakaian SMA.“Oke.” Deon memainkan jari di atas layar tablet untuk mencetak struk pesanan gadis itu.“Kakak, kamu masih tidak mau memberiku nomor ponselmu?” tanya gadis berseragam SMA itu penuh harap.Deon mengalihkan pandangan dari tablet ke gadis tadi, kemudian tersenyum manis membuat para gadis di kafe itu terpuka
Deon dan Ayana sama-sama menatap ke sumber suara. Melihat seorang gadis berdiri dengan tatapan tidak senang ke Ayana dan Deon.“Hyuna.” Deon menyebut nama gadis itu.Ayana terkejut mendengar nama yang disebut, hingga tatapan langsung beralih ke Deon.“Jadi gadis itu kekasihnya,” gumam Ayana dalam hati.Deon berdiri untuk menghampiri Hyuna, tentu saja hal itu semakin membuat Ayana yakin jika Hyuna memang kekasih Deon.Ayana menoleh ke arah Hyuna, hingga menyadari jik gadis itu terus menatap tidak senang ke arahnya.“Kamu mau minum?” tanya Deon saat sudah berdiri berhadapan dengan Hyuna.Hyuna mengalihkan pandangan dari Ayana ke Deon, masih terlihat jelas ekspresi kesal tercetak di wajah.“Aku ingin bicara denganmu,” ucap Hyuna kesal.Deon mengerutkan alis mendengar ucapan Hyuna, tapi kemudian memilih menganggukkan kepala untuk bicara dengan sahabatnya itu.Ayana sendiri duduk dengan tenang, lantas mengambil cangkir di meja dan menyesap kopi buatan Deon.Hyuna mengajak Deon bicara di lu
Deon pulang saat waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ayana memberi kunci apartemen agar pemuda itu bisa masuk sewaktu-waktu, sedangkan wanita itu sendiri masuk menggunakan sidik jari. Dia belum menambahkan sidik jari Deon. Saat baru saja masuk, lampu apartemen semuanya padam, hanya lampu depan pintu yang menyala otomatis ketika ada orang lewat dan akan mati saat tidak ada orang. Pemuda itu berjalan ke kamar, hingga melihat ke bawah celah pintu lampu kamar Ayana masih menyala. Dia memilih mengabaikan dan masuk ke kamarnya. Deon terkejut saat melihat kamar sudah terisi ranjang, sofa, lemari, bahkan meja belajar. “Dia benar-benar membelikan semua yang diperlukan,” gumam Deon. Deon memilih masuk dan melihat perabotan yang ada di kamar. Ranjang berukuran sedang, sofa empuk, lemari pintu tiga, juga meja belajar yang tampak nyaman untuk digunakan tempat belajar. Deon membuang napas kasar, lantas duduk di kursi belajarnya. Menggoyangkan ke kanan dan kiri menikmati nyamannya kursi
Ayana menatap tidak senang ke arah pintu. Sekretaris Ayana langsung menunduk dan memilih undur diri dari ruangan itu karena tidak mau jadi penonton di sana.Ayana memalingkan wajah ingin mengabaikan orang yang masuk ke ruangannya tanpa permisi.Rey datang ke perusahaan karena tahu jika Ayana tidak mungkin pergi bulan madu. Dia mendekat ke arah meja Ayana untuk mengajak bicara wanita itu.“Mau apa lagi kamu?” tanya Ayana kini menatap Rey dengan ekspresi wajah datar.“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan, Ay. Kamu memilih membatalkan pernikahan denganku, lantas menikah dengan pria lain? Jangan-jangan kamu memang sudah bersama pria itu lama, sehingga saat pernikahan kita batal, kamu dengan mudah bisa mendapatkan penggantiku.” Rey bicara dengan kedua tangan yang bertumpu di atas meja.Satu sudut bibir Ayana tertarik ke atas mendengar ucapan Rey. Tentu saja dia tidak akan takut atau menyesal bahkan tersentuh Rey mendatanginya.“Kamu masih tidak bercermin, Rey. Semua yang terjad
Deon benar-benar murka. Dia pasrah menikahi Ayana agar keluarganya tidak mendapat masalah, tapi ternyata keputusannya malah dimanfaatkan oleh sang kakak.“Kembalikan semua uang itu!” perintah Deon sambil menengadahkan tangan.Mita bingung dan panik menatap Deon yang marah, sedangkan Satria terlihat tidak merasa bersalah sama sekali.“Uang sudah dikasih, untuk apa dikembalikan. Lagi pula orang tuanya yang menawari, bukan aku yang minta,” balas Satria yang tidak mau mengembalikan uang pemberian orang tua Ayana.Deon begitu geram mendengar ucapan Satria. Dia mendekat cepat dengan telapak tangan mengepal, bersiap memukul sang kakak yang selalu saja serakah.“De, sudah. Jangan bertengkar dengan kakakmu,” ucap Mita menahan tangan Deon.Telapak tangan Deon masih terkepal erat. Tatapannya penuh rasa malu dan kecewa ke sang kakak yang tidak pernah berubah jika sudah menyangkut soal uang.“Sepertinya menikah adalah pilihan terbaik untukku. Meski kami tidak saling mencintai, tapi setidaknya pern