Ayana menatap tidak senang ke arah pintu. Sekretaris Ayana langsung menunduk dan memilih undur diri dari ruangan itu karena tidak mau jadi penonton di sana.Ayana memalingkan wajah ingin mengabaikan orang yang masuk ke ruangannya tanpa permisi.Rey datang ke perusahaan karena tahu jika Ayana tidak mungkin pergi bulan madu. Dia mendekat ke arah meja Ayana untuk mengajak bicara wanita itu.“Mau apa lagi kamu?” tanya Ayana kini menatap Rey dengan ekspresi wajah datar.“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan, Ay. Kamu memilih membatalkan pernikahan denganku, lantas menikah dengan pria lain? Jangan-jangan kamu memang sudah bersama pria itu lama, sehingga saat pernikahan kita batal, kamu dengan mudah bisa mendapatkan penggantiku.” Rey bicara dengan kedua tangan yang bertumpu di atas meja.Satu sudut bibir Ayana tertarik ke atas mendengar ucapan Rey. Tentu saja dia tidak akan takut atau menyesal bahkan tersentuh Rey mendatanginya.“Kamu masih tidak bercermin, Rey. Semua yang terjad
Deon benar-benar murka. Dia pasrah menikahi Ayana agar keluarganya tidak mendapat masalah, tapi ternyata keputusannya malah dimanfaatkan oleh sang kakak.“Kembalikan semua uang itu!” perintah Deon sambil menengadahkan tangan.Mita bingung dan panik menatap Deon yang marah, sedangkan Satria terlihat tidak merasa bersalah sama sekali.“Uang sudah dikasih, untuk apa dikembalikan. Lagi pula orang tuanya yang menawari, bukan aku yang minta,” balas Satria yang tidak mau mengembalikan uang pemberian orang tua Ayana.Deon begitu geram mendengar ucapan Satria. Dia mendekat cepat dengan telapak tangan mengepal, bersiap memukul sang kakak yang selalu saja serakah.“De, sudah. Jangan bertengkar dengan kakakmu,” ucap Mita menahan tangan Deon.Telapak tangan Deon masih terkepal erat. Tatapannya penuh rasa malu dan kecewa ke sang kakak yang tidak pernah berubah jika sudah menyangkut soal uang.“Sepertinya menikah adalah pilihan terbaik untukku. Meski kami tidak saling mencintai, tapi setidaknya pern
Deon masuk kamar Ayana, melihat interior kamar yang sangat di luar prediksi. Dia mengira Ayana akan mendesain kamarnya dengan nuansa soft, cat kamar berwarna merah muda atau peace yang sesuai dengan kepribadian Ayana yang feminim. Namun dugaannya salah, kamar Ayana begitu elegan, cat kamar biru gelap, ranjang berukuran besar dengan sprei motif kotak berwarna gelap.“Duduklah di sana,” kata Ayana sambil menunjuk ranjang.Deon terkejut hingga menatap Ayana yang berjalan ke arah pintu lain di kamar itu. Kenapa Ayana mengajaknya masuk kamar dan sekarang menyuruh duduk di ranjang wanita itu.Deon masih berdiri mematung karena bingung harus bagaimana, hingga Ayana keluar dari pintu yang tadi dimasuki, membuat Deon terkejut dan menatap wanita itu.Ayana dan Deon saling tatap. Ayana pun bingung kenapa Deon masih berdiri.Deon melirik ke tangan Ayana, melihat hairdryer di tangan wanita itu.“Kenapa kamu masih berdiri?” tanya Ayana yang berjalan menuju ranjang melewati Deon berdiri.Deon menaha
Ayana masuk kamar dan buru-buru mengunci pintu. Dia bahkan naik ke ranjang dengan ekspresi wajah panik.“Apa yang kamu lakukan, Ay?”Ayana panik, bingung, dan malu bercampur jadi satu. Setan apa yang masuk ke otaknya, sampai dia ingin menyentuh jakun Deon.“Ayana, kamu gila!”Ayana mengacak rambutnya sendiri. Bahkan sampai berbaring tengkurap dan menyembunyikan wajah.Bagaimana Ayana tidak panik. Dia melontarkan permintaan yang sangat tidak masuk akal. Belum lagi Deon memandangnya aneh, entah apa yang ada di pikiran pemuda itu.Ayana mengingat ekspresi wajah Deon yang terkejut, hingga dia mengacak-acak rambutnya lagi.“Mau ditaruh mana mukamu, Ay!”Ayana terus menggerutu, meski hal itu tidak akan membuatnya lepas dari rasa malu.Di sisi lain. Deon masih duduk di ruang makan menatap dua mangkuk mie yang belum habis. Dia mengingat permintaan Ayana yang memang membuatnya terkejut. Sampai-sampai Deon menyentuh jakunnya sendiri.Pemuda itu tersenyum sambil mengulum bibir, menunduk menahan
Gery terkejut mendengar wanita yang baru saja datang itu mencari Deon. Dia lantas menoleh ke Deon yang ternyata mendengar ada yang menyebut namanya.Deon berdiri dan terkejut melihat siapa yang mencari. Gery pun memilih mundur agar Deon bisa bicara dengan wanita itu.“Bibi.” Ternyata wanita berpenampilan elegan itu ibu Hyuna.“Aku ingin bicara denganmu,” kata wanita itu sambil memperlihatkan ekspresi wajah datar. “Apa masih ada tempat di sini untuk kita bicara?” tanya wanita itu kemudian.Deon mengedarkan pandangan, melihat semua meja di sana sudah penuh.“Jika Bibi mau, kita bisa bicara di ruang ganti,” kata Deon. Dia pun tidak mungkin meninggalkan Gery di kafe sendirian.Untung saja wanita itu mau bicara di ruang ganti, sehingga Deon tidak perlu izin keluar kafe hanya untuk bicara.“Apa begini caramu memperlakukan Hyuna? Kurang apa dia sampai kamu mengabaikannya?”Pertanyaan yang dilontarkan wanita itu membuat Deon terkejut.“Apa maksud Bibi?” tanya Deon dengan dahi berkerut halus.
Deon menatap Hyuna dengan rasa tidak percaya. Dia baru tahu jika gadis itu menyukainya. Meski Hyuna memang selalu manja dan sangat dekat dengannya, tapi Deon menanggapi semua itu dengan cara yang berbeda.“Aku kurang apa sih, De? Aku pikir kamu memiliki perasaan sama denganku, tapi apa? Kamu malah menikah dengan wanita itu.” Hyuna benar-benar meluapkan perasaannya setelah merasa kecewa.Hyuna menatap Deon yang hanya diam. Kekecewaannya benar-benar bercokol di dada.“Kamu menikahi wanita itu karena terpaksa ‘kan, De? Aku tahu kalau dia adalah wanita yang ditinggal calon suaminya. Kamu menikahinya hanya karena terpaksa, kan?”Hyuna mencari informasi tentang siapa yang menikah di hotel keluarganya, hingga akhirnya tahu jika pengantin prianya Deon. Bukan tanpa sebab Hyuna curiga jika Deon yang diceritakan semua orang sebagai pengantin pengganti, semua karena waktu pernikahan Deon dengan berita di hotel itu sama.Deon melihat Hyuna yang sangat berbeda dari biasanya, mungkin karena gadis it
Deon masih menatap Ayana sambil mengatur detak jantung yang tidak beraturan. Ayana sendiri berusaha menghentikan darah yang keluar, hingga wanita itu baru menyadari apa yang sedang dilakukannya.Ayana menatap Deon dengan rasa canggung, sedangkan pemuda itu memalingkan muka sambil menahan senyum.“Reflek, aku kebiasaan melakukan itu jika terluka,” ucap Ayana sebagai sebuah pembelaan atas apa yang dilakukannya.“Ya,” balas Deon agar Ayana tidak merasa canggung.Ayana menarik tangan Deon, lantas mengalirkan air untuk membasuh luka di jari pemuda itu.Deon terus memperhatikan Ayana, tidak menyangka jika Ayana akan bereaksi seperti itu. Dia terus memandang Ayana yang kini sedang membersihkan lukanya.“Keringkan dulu menggunakan tisu, akan aku ambilkan obat,” ujar Ayana yang sudah selesai membersihkan jari Deon. Dia bicara sambil memperhatikan jari Deon yang terluka dan sudah tidak mengalirkan darah.Ayana tidak mendengar suara Deon. Hingga dia pun menatap pemuda itu, membuat tatapan mereka
Deon duduk sambil memandang telunjuknya. Mengamati jari yang terbalut plester karena terluka. Dia berada di kamar, duduk di belakang meja kerja sambil tersenyum-senyum sendiri.“Ternyata dia sangat manis dan baik,” gumam pemuda itu dengan senyum yang tak lekang dari wajah.Awalnya Deon mengira jika Ayana galak, judes, juga sombong. Sejujurnya, dia pernah melihat Ayana beberapa kali sebelum acara pernikahan itu terjadi.Ayana pernah membeli kopi di kafe tempatnya bekerja, tapi wanita itu terlihat dingin dan terus fokus ke ponsel. Deon mengingat wajah Ayana, sedangkan wanita itu tidak. Bahkan Ayana mungkin lupa jika beberapa kali membeli kopi di kafe itu.Hingga saat Deon melihat Ayana yang sedang bertengkar dengan Rey, membuat Deon memilih mendekat dan membantu, tapi siapa sangka jika takdir malah membuat keduanya menikah.“Apa benar ini takdir?”Deon menatap langit-langit kamar, seolah di sana bisa menemukan jawaban yang mengganggu pikirannya. Dia tidak tahu, kenapa merasa tenang saat