Sulur surya mulai merambat masuk menembus kaca dinding dan gorden, mengusik penghuni kamar yang sejak semalam gelisah dan tidak bisa tidur nyenyak, sebab bingung berada satu kamar, dengan seseorang yang baru saja menikahinya.
Ayana membuka mata, melihat matahari mulai menampakkan cahayanya. Dia mengucek mata, sebelum akhirnya bangun dan melihat seseorang tidur di sofa. Ayana diam sejenak, duduk memandang Deon yang tidur di sofa dengan kedua tangan dilipat di dada. Ukuran sofa itu jelas tidak sepanjang tinggi badan Deon, sehingga pemuda itu tidur dengan posisi kaki ditekuk.Semalam mereka sempat berdebat, Ayana berkata jika tidak masalah kalau Deon hendak tidur satu ranjang dengannya, tapi Deon menolak, mungkin karena merasa kalau pernikahan mereka hanyalah sebuah kontrak, seperti yang Ayana katakan, hingga akhirnya membuat Deon memilih tidur di sofa.“Kamu sudah bangun.” Ayana baru saja selesai mandi, dilihatnya Deon yang duduk dengan rambut berantakan dan terlihat masih mengumpulkan sisa kesadaran.Deon menoleh, wajah bantalnya begitu menggemaskan. Dia menggaruk pipi, kemudian mengangguk mendengar ucapan Ayana.“Mandilah, setelah ini kita pulang,” ucap Ayana. Dia berjalan ke arah lemari untuk mengambil pakaian gantinya yang tergantung di sana.“Pulang ke mana?” tanya Deon yang kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya.Ayana diam sejenak, benar juga. Mau pulang ke mana mereka? Ke rumah orangtua Deon, itu tidak mungkin. Ke rumah orangtua Ayana, kontrak pernikahan mereka akan cepat ketahuan.Ayana menoleh ke Deon, melihat pemuda itu masih menguap dan terlihat lelah, mungkin karena semalaman tidur dengan posisi yang tidak nyaman.“Aku akan atur semua,” jawab Ayana pada akhirnya. “Apa kamu mau mengambil barang-barangmu di rumah, sebelum kita pindah?” tanya Ayana kemudian.Deon bergeming mendengar pertanyaan Ayana, benar jika dia sudah menikah dan tentunya tidak akan tinggal serumah lagi dengan orangtuanya.“Hm … ya. Ada beberapa buku dan barang yang harus aku bawa.”Ayana mengantar Deon pergi ke rumah orangtua pemuda itu. Melewati gang yang sempit, akhirnya mereka sampai di rumah Deon.“Ini rumahmu?” tanya Ayana saat melihat rumah kecil dan sederhana di sisi kanan mobil yang terparkir di bahu jalan.“Ya,” jawab Deon singkat. Dia melepas seat belt dan siap turun, tapi urung membuka pintu dan menoleh ke Ayana yang masih memperhatikan rumahnya.“Kamu tidak akan turun? Meski kita menikah kontrak, tapi orangtuaku tidak tahu. Jika kamu tidak ikut masuk, mereka pasti akan bertanya,” ujar Deon menjelaskan.Ayana menatap Deon mendengar ucapan pemuda itu, meski ragu akhirnya Ayana ikut turun untuk masuk ke rumah orangtua Deon.Ada kerikil-kerikil kecil di tanah yang dilewati Ayana agar bisa sampai di rumah Deon, tentu saja hal itu membuat Ayana kesusahan berjalan, sebab dia memakai high heels, bahkan cara jalan Ayana sangat lambat karena beberapa kali hampir terseok.Deon melihat Ayana yang kesusahan berjalan, hingga menghentikan langkah kemudian mengulurkan tangan ke Ayana.“Pegang tanganku, biar aku bantu jalan,” kata Deon.Ayana terkejut Deon mengulurkan tangan ke arahnya, hingga dia pun mengangguk dan menggapai tangan Deon. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah.“Maaf, rumah kami ya begini. Mungkin tidak semewah rumah Non Ayana,” kata ibu yang sungkan. Dia langsung menyambut Ayana dan Deon, begitu melihat keduanya masuk.Ayana terkejut mendengar ibu Deon memanggilnya dengan sebutan ‘Nona’, hingga dia pun mencoba meralatnya.“Panggil Ayana saja, Bu. Bukankah sekarang saya juga anak Ibu?” tanya Ayana dengan senyum manis di wajahnya.Mita—ibu Deon, sangat terkejut mendengar ucapan Ayana yang sangat sopan, padahal dia berpikir kalau Ayana akan bersikap sombong dan angkuh, mengingat kalau Ayana lebih kaya dari mereka. Namun, semua pemikiran itu terbantah oleh sikap Ayana yang santun.“Ah … begitu ya.” Mita sedikit kikuk dan canggung, hingga dia melirik Deon.“Jadi manggil Nak Ay saja juga ga papa, ya?” tanya Mita lagi.“Tentu saja, Bu. Aku tidak keberatan,” jawab Ayana.Deon meninggalkan Ayana bersama ibu, sedangkan dia ke kamar untuk mengemas beberapa barangnya. Satria yang mengetahui kepulangan Deon, langsung saja masuk ke kamar adiknya itu.“Bagaimana malam pertamamu?” tanya Satria sambil melipat kedua tangan di dada.Deon menoleh sejenak ke arah Satria, kemudian membalas, “Malam pertama apa, aku tidak tahu maksudmu.”Deon memasukkan buku-bukunya ke tas besar, kemudian mengambil pakaiannya dari lemari dan memasukkan ke tas juga.“Ayolah, kamu tahu maksudku,” ujar Satria menggoda adiknya. “Apa dia benar-benar masih perawan, bukanlah mustahil wanita kaya yang suka hidup mewah, masih perawan di usianya sekarang?”Satria terlihat sangat penasaran dengan hubungan ranjang sang adik yang baru saja menikah.Deon merasa telinganya panas mendengar perkataan Satria, hingga dia sengaja membanting buku tebalnya di lantai, sampai menciptakan suara yang mengejutkan.Satria terkejut dan menatap Deon yang memasang wajah tidak senang, hingga pria itu pun berdecak dan mengurai lipatan kedua tangan yang sejak tadi dilipat di depan dada.“Aku hanya tanya, kenapa kamu harus marah? Seharusnya kamu itu bersyukur, karena bisa menikah wanita kaya dan aku jamin, hidupmu habis ini enak. Kalau sudah hidup enak, jangan lupakan kami.”Satria meninggalkan Deon setelah mengatakan itu semua, sedangkan Deon begitu geram mendengar setiap kalimat yang diucapkan sang kakak. Dia pun yakin, jika keputusan ayah dan ibunya, pasti karena dipengaruhi oleh Satria.Ayana bingung harus melakukan apa, saat Mita pamit mau melanjutkan membuat sarapan, Ayana ikut ke dapur.“Itu apa, Bu?” tanya Ayana saat melihat sayur di panci.“Sayur daun singkong, Nak. Kamu belum pernah makan itu?” tanya Mita ketika melihat raut keheranan di wajah Ayana.Ayana menggelengkan kepala, tentu saja dia tidak pernah makan seperti itu.“Ini enak, kalau Nak Ay mau. Sarapan di sini dulu sebelum pergi,” kata Mita. Dia tahu kalau Ayana dan Deon setelah ini akan pergi, sehingga berpikir tidak ada salahnya menawari sarapan.Ayana sedikit ragu, dia hanya tidak terbiasa makan-makanan seperti itu.“Biasanya Nak Ay sarapan apa kalau di rumah? Barangkali sama sayur ini ga cocok, jadi Ibu bisa masakin yang lain,” kata Mita.“Roti sama selai, kadang sama telur,” jawab Ayana.Mita kini yang terlihat bingung. Mana ada roti di rumahnya, misal ada juga buat camilan bukan buat sarapan.“Kalau gitu ibu belikan di warung dulu, di rumah ga ada roti.” Mita buru-buru mematikan kompor dan berhenti menggoreng ikan karena mendengar Ayana biasa makan roti. Dia hendak ke warung membeli roti yang diinginkan Ayana.Ayana terkejut mendengar Mita hendak membeli roti untuknya, merasa bersalah sebab sudah merepotkan.“Bu, ga usah. Aku bisa makan apa pun kok. Mungkin agak aneh karena aku tidak pernah makan itu, tapi aku juga tidak pilih-pilih makanan kok, Bu. Biar aku nyoba sayur itu,” kata Ayana.Mita terkejut karena Ayana benar-benar sangat pengertian, hingga mengangguk dan urung pergi. Ayana di dapur memperhatikan Mita menyelesaikan membuat sarapan. Dia jarang ke dapur, sehingga tidak tahu harus melakukan apa.Tanpa Ayana duga, Deon sejak tadi memperhatikan dan mendengarkan percakapan antara Mita dan Ayana. Pemuda itu tersenyum tipis, tidak menyangka jika Ayana mampu menghargai dan menerima kondisi keluarganya. Padahal Deon sudah berpikiran jika Ayana pasti akan membuat ulah dan merepotkan orangtuanya, sebab Ayana kaya dan serba berkecukupan, tapi semua pemikiran Deon salah.“Wanita yang sangat menarik.”“Kamar satunya belum dibersihkan. Nanti aku akan minta orang membersihkannya,” ucap Ayana sambil membuka salah satu kamar yang ada di apartemen miliknya.Ayana dan Deon sudah sampai di apartemen. Unit itu memang tidak terlalu besar, hanya ada dua kamar, dapur tanpa sekat yang tampak dari ruang tamu.“Tidak masalah, aku akan membersihkannya nanti. Tidak usah panggil orang untuk membersihkannya, lebih baik hemat uangmu untuk hal lain,” balas Deon sambil melihat kamar berukuran lumayan besar.Bagi Ayana, apartemen itu sederhana dan kecil, tapi bagi Deon apartemen itu cukup besar, bahkan bisa dibilang lebih besar dari rumah orang tuanya.Ayana terkejut mendengar ucapan Deon, hingga mencoba memaklumi pemikiran itu sebab selama ini Deon memang hidup sederhana.“Baiklah, terserah kamu saja,” jawab Ayana. Dia lantas pergi ke kamarnya yang berhadapan dengan kamar satunya.Deon menatap Ayana, melihat wanita itu hilang di balik pintu kamar. Dia pun kembali memandang kamar yang masih berantakan d
“Jadi, apa yang mau kamu ceritakan?” tanya Nabila—pengacara sekaligus sahabat Ayana.Bukannya menjawab pertanyaan Nabila, Ayana malah duduk sambil menggigit ujung kuku jempolnya. Dia melamun saat baru saja sampai di kantor Nabila.Nabila pun mengerutkan alis melihat Ayana yang malah melamun, bahkan sampai melambaikan tangan di depan sahabatnya itu, tapi tetap saja Ayana tidak tersadar dari lamunan.“Ay!” Nabila memanggil dengan suara keras, bahkan sampai memukul meja.Ayana berjengit karena terkejut, hingga menatap Nabila yang sudah memandangnya.“Hah! Apa?” tanya Ayana yang baru kembali dari lamunan.Nabila langsung mencebik mendengar pertanyaan Ayana.“Kamu ke sini untuk cerita masalahmu, atau ke sini hanya untuk numpang melamun,” sindir Nabila sambil merapikan blazer.Ayana tersenyum canggung, kemudian menggaruk pelipis menggunaka telunjuk.“Entahlah, aku harus cerita apa. Sesampainya di sini aku malah bingung,” ucap Ayana yang duduk sambil menyandarkan punggung. Ekspresi wajah men
“De, kenapa kamu diam?” Hyuna menatap Deon curiga, merasa aneh karena pemuda itu terlihat panik dan gugup. “Tidak ada,” kilah Deon, “hanya terkejut saja kamu sudah tahu soal masalah di pesta pernikahan kemarin,” ucap Deon mengelak. Dia belum siap memberitahu gadis itu jika yang menggantikan pengantin pria di pesta kemarin adalah dirinya. Hyuna menatap curiga ke Deon, ingin kembali bicara, tapi karena dosen mereka sudah masuk terlebih dahulu, membuat Hyuna memilih menundanya karena harus fokus belajar. Dua jam berlalu, akhirnya sesi kelas siang itu selesai. Dosen mengakhiri kelas setelah memberikan tugas untuk mahasiswa yang mengikuti kelasnya. Deon merapikan buku, lantas memasukkan ke tas. “De, kamu belum menceritakan yang terjadi di hotel kemarin,” kata Hyuna. “Mau menceritakan apa, Hyuna? Tidak ada yang bisa diceritakan, selain pekerjaan melayani tamu,” balas Deon. Deon menoleh Hyuna, memandang gadis yang sejak tadi menatapnya. “Aku penasaran soal pengantin yang menyewa ballr
Ayana berdiri di sana, mendengarkan setiap kalimat biasa tapi entah kenapa sangat menyakitkan baginya. Kedua tangan mengepal erat, bahkan kuku-kuku jarinya sampai terlihat begitu pucat. “Pokoknya kamu rahasiakan soal ini, jangan sampai orang lain tahu, kalau kami membayar kalian agar adikmu menikah dengan putriku. Jika sampai masalah ini bocor, aku pastikan kamu menanggung semua akibat yang terjadi.” Firman bicara dengan nada penekanan agar Satria tidak membocorkan masalah itu, atau mau ditaruh mana mukanya. “Anda tenang saja, saya akan menutup rapat mulut saya. Lagi pula, sekarang saya juga keluarga Anda, kan? Mana mungkin menjatuhkan keluarga sendiri,” ucap Satria dengan senyum miring di wajah. Firman terpaksa melakukan ini semua jika bukan karena gengsi yang begitu besar. Bukan salahnya jika terkesan menawarkan anak sendiri, sebab Ayana yang sudah berulang kali gagal menikah dan kejadian kemarin adalah yang terfatal. “Sudah, ambil uangmu dan pergilah!” perintah Firman kemudian.
Deon bekerja di sebuah kafe. Dia akan kerja paruh waktu di tempat lain jika memang mendapat tawaran, seperti saat menjadi pelayan di hotel kemarin.Masih tidak ada yang tahu soal statusnya yang sudah menikah. Jika memang ada yang tahu, dia tidak akan mengelak dari statusnya, hanya akan menutupi jika pernikahan itu hanya sebuah kontrak.“Selamat siang, silakan mau pesan apa?” Deon menyambut pengunjung yang hendak memesan.Seperti biasa, pengunjung kafe itu kebanyakan para gadis yang memang datang untuk melihat wajah tampan pemuda itu. Manis, ramah, juga baik hati, gadis mana yang tidak akan menyukai pemuda itu.“Chocolatte ice, tapi gulanya sedikit,” jawab seorang gadis berpakaian SMA.“Oke.” Deon memainkan jari di atas layar tablet untuk mencetak struk pesanan gadis itu.“Kakak, kamu masih tidak mau memberiku nomor ponselmu?” tanya gadis berseragam SMA itu penuh harap.Deon mengalihkan pandangan dari tablet ke gadis tadi, kemudian tersenyum manis membuat para gadis di kafe itu terpuka
Deon dan Ayana sama-sama menatap ke sumber suara. Melihat seorang gadis berdiri dengan tatapan tidak senang ke Ayana dan Deon.“Hyuna.” Deon menyebut nama gadis itu.Ayana terkejut mendengar nama yang disebut, hingga tatapan langsung beralih ke Deon.“Jadi gadis itu kekasihnya,” gumam Ayana dalam hati.Deon berdiri untuk menghampiri Hyuna, tentu saja hal itu semakin membuat Ayana yakin jika Hyuna memang kekasih Deon.Ayana menoleh ke arah Hyuna, hingga menyadari jik gadis itu terus menatap tidak senang ke arahnya.“Kamu mau minum?” tanya Deon saat sudah berdiri berhadapan dengan Hyuna.Hyuna mengalihkan pandangan dari Ayana ke Deon, masih terlihat jelas ekspresi kesal tercetak di wajah.“Aku ingin bicara denganmu,” ucap Hyuna kesal.Deon mengerutkan alis mendengar ucapan Hyuna, tapi kemudian memilih menganggukkan kepala untuk bicara dengan sahabatnya itu.Ayana sendiri duduk dengan tenang, lantas mengambil cangkir di meja dan menyesap kopi buatan Deon.Hyuna mengajak Deon bicara di lu
Deon pulang saat waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ayana memberi kunci apartemen agar pemuda itu bisa masuk sewaktu-waktu, sedangkan wanita itu sendiri masuk menggunakan sidik jari. Dia belum menambahkan sidik jari Deon. Saat baru saja masuk, lampu apartemen semuanya padam, hanya lampu depan pintu yang menyala otomatis ketika ada orang lewat dan akan mati saat tidak ada orang. Pemuda itu berjalan ke kamar, hingga melihat ke bawah celah pintu lampu kamar Ayana masih menyala. Dia memilih mengabaikan dan masuk ke kamarnya. Deon terkejut saat melihat kamar sudah terisi ranjang, sofa, lemari, bahkan meja belajar. “Dia benar-benar membelikan semua yang diperlukan,” gumam Deon. Deon memilih masuk dan melihat perabotan yang ada di kamar. Ranjang berukuran sedang, sofa empuk, lemari pintu tiga, juga meja belajar yang tampak nyaman untuk digunakan tempat belajar. Deon membuang napas kasar, lantas duduk di kursi belajarnya. Menggoyangkan ke kanan dan kiri menikmati nyamannya kursi
Ayana menatap tidak senang ke arah pintu. Sekretaris Ayana langsung menunduk dan memilih undur diri dari ruangan itu karena tidak mau jadi penonton di sana.Ayana memalingkan wajah ingin mengabaikan orang yang masuk ke ruangannya tanpa permisi.Rey datang ke perusahaan karena tahu jika Ayana tidak mungkin pergi bulan madu. Dia mendekat ke arah meja Ayana untuk mengajak bicara wanita itu.“Mau apa lagi kamu?” tanya Ayana kini menatap Rey dengan ekspresi wajah datar.“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan, Ay. Kamu memilih membatalkan pernikahan denganku, lantas menikah dengan pria lain? Jangan-jangan kamu memang sudah bersama pria itu lama, sehingga saat pernikahan kita batal, kamu dengan mudah bisa mendapatkan penggantiku.” Rey bicara dengan kedua tangan yang bertumpu di atas meja.Satu sudut bibir Ayana tertarik ke atas mendengar ucapan Rey. Tentu saja dia tidak akan takut atau menyesal bahkan tersentuh Rey mendatanginya.“Kamu masih tidak bercermin, Rey. Semua yang terjad