Jangan lupa tinggalkan komentar ya. Ngetik ini, aku ikutan mules, wkwkwkwkwk
“Lebih baik kamu jujur saja, Sat. jangan memperkeruh keadaan!” Haikal memaksa Satria untuk mengakui semua perbuatan yang sudah dilakukan. Satria menatap kesal ke ayahnya, hingga kemudian membalas, “Aku tidak melakukannya, lalu bagaimana bisa aku mengaku!” Polisi memandang perdebatan Haikal dan Satria, hingga mencoba menengahi masalah ini. “Pada tanggal 4, apa kamu tidak masuk ke rumah saudara Haikal, lantas mengobrak-abrik lemari dan mengambil sejumlah uang juga sertifikat rumah?” tanya polisi lagi setelah sebelumnya dibantah Satria. “Sudah aku bilang berapa kali. Aku tidak masuk ke sana setelah bertengkar dengan Ibu!” Satria tetap kekeh dengan penjelasannya sejak awal. “Kamu punya kunci rumah, Sat. Bagaimana bisa kamu bilang tidak mengambil, kemudian menjual rumah tanpa izin kami.” Haikal tetap berusaha membuat Satria mengaku. Satria menjambak rambutnya sendiri karena terus ditekan. Hingga dia terdiam seperti mengingat sesuatu. Polisi dan Haikal pun menatap Satria, menunggu ap
“Yang mencuri dan menjual rumah, ternyata memang benar bukan Satria.”Haikal datang ke rumah sakit, lantas menceritakan fakta yang baru saja diketahuinya.Deon dan Mita tentunya sangat terkejut mendengar hal itu. Bahkan Deon sangat tidak percaya dengan ucapan sang papa.“Mana mungkin, aku yakin jika ada campur tangannya,” ujar Deon yang sudah terlanjur benci ke kakaknya itu.“Ayah pun awalnya tak percaya, De. Polisi dan pengacara tadi langsung bertindak, pembelinya bilang kalau memang bukan Satria yang datang ke sana saat menjual, tapi istrinya,” ujar Haikal menjelaskan.Deon semakin geram. Dia mengepalkan tangan mengetahui fakta itu.“Tetap saja, Yah. Satria harus bertanggung jawab atas perbuatan istrinya itu. Dia itu terlalu memanjakan istrinya, kalau tidak dimanja dengan segala kebutuhan diberikan, mana mungkin wanita itu berani mencuri dan menjual rumah hanya untuk kesenangannya!” Deon tetap tak bisa mengontrol emosi jika sudah menyangkut tentang keluarga.“Iya, ayah paham.” Haik
Deon mendorong kursi roda yang diduduki Ayana. Setelah 24 jam, Ayana akhirnya bisa bangun. Kini dia diantar Deon menggunakan kursi roda untuk bisa melihat bayi mereka.“Itu bayi kita.” Deon menunjuk ke dalam ruangan tempat bayi mereka diinkubator.Bayi mereka terlihat jelas dari luar kaca, berada di kotak khusus untuk perawatan bayi lahir prematur.“Perkembangan bayinya bagus.” Salah satu perawat mendekat untuk menyampaikan kondisi bayi Deon dan Ayana.Ayana menoleh ke perawat, terlihat senang mendengar ucapan perawat itu.“Kondisi alat vitalnya bagus. Sekarang ini kita tinggal menunggu apakah bayinya sudah bisa menyusu tanpa alat bantu atau tidak. Berat badannya juga bertambah meski baru sehari, kami akan memantaunya terus sampai tubuh bayi siap keluar dari inkubator,” ujar perawat itu menjelaskan lagi.“Saya harap dia segera bisa keluar dan ada di pelukan,” ucap Ayana sambil memandang bayinya.“Tentu saja. Kami pun akan berusaha merawat dengan baik bayi Anda,” balas perawat.Ayana d
“Di mana bayinya?” tanya Gery yang sore itu datang untuk menjenguk Ayana dan bayinya.“Masih diinkubator. Karena lahir prematur dengan berat badan di bawah normal, membuatnya harus tetap berada di inkubator sampai kondisinya stabil,” jawab Deon.Shirly juga datang menjenguk, dia menatap Ayana yang sedikit sedih karena belum bisa bersama bayinya.“Ah … begitu.” Gery mengangguk sambil menoleh Ayana.Ayana sendiri mencoba tersenyum meski masih sedih belum bisa menggendong bayinya.“Tidak apa, Bu. Yang terpenting bayinya lahir dengan sehat dan selamat. Bukankah hanya berat badan yang membuatnya diinkubator, jadi tak masalah kalau sekarang belum bisa melihatnya langsung,” ujar Shirly mencoba memberi semangat untuk Ayana.“Iya.” Ayana mengangguk untuk membalas ucapan Shirly.Deon dan Gery duduk di sofa, sedangkan Shirly menemani Ayana membahas masalah bayi.“Aku akan menikahi Shirly, tapi menunggu sampai bayinya berumur 6 bulan, itu yang Shirly mau,” ujar Gery menyampaikan niatnya.“Benarka
“Kenapa kamu terlihat kesal sejak tadi?” tanya Ayana saat melihat ekspresi suaminya berbeda dari sebelumnya, setelah kedatangan Nabila.“Tidak ada,” jawab Deon tak mungkin jujur dengan apa yang dikatakan suami Nabila tadi.Ayana terus memperhatikan Deon, hingga kemudian berkata, “Tidak mungkin tidak ada, jika ekspresi wajahmu saja seperti itu, De.”Ayana tak mungkin percaya begitu saja, sedangkan Deon terlihat begitu kesal.Deon mencoba menenangkan diri. Dia menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan. Dia hanya tak ingin Ayana mencemaskan Nabila jika sampai tahu kelakuan busuk suami temannya itu. Lagi pula, Deon juga tak yakin jika Ayana akan percaya dengan ucapannya.“Apa tadi suami Nabila mengatakan sesuatu yang membuatmu kesal? Kulihat tadi kamu hanya diam setelah bicara dengan suami Nabila?” tanya Ayana menebak.Deon langsung menatap begitu mendengar pertanyaan Ayana, tapi masih saja tak mau bicara karena merasa yang terpenting dirinya tak seperti pria itu.“Tidak ada, ha
“Akhirnya istri kakakmu sudah ditangkap.”Deon sedang berada di luar ketika Ayana dijaga oleh Suci dan Jonathan. Dia memang memilih bicara dengan kedua orang tuanya untuk membahas masalah Satria.“Jadi benar kalau dia yang mencuri juga menjual rumah Ibu dan Ayah?” tanya Deon kembali geram karena kelakuan iparnya yang tak tahu diri itu.“Ya. Kata pengacara yang menemui Ayah, dia mengakui semuanya. Katanya menjual karena kesal kakakmu tidak pernah memberi apa-apa kepadanya. Dia ditangkap di luar kota karena kabur. Untungnya polisi sigap menangkapnya,” ujar Haikal menceritakan yang diketahuinya.“Lalu, bagaimana dengan rumahnya? Apa bisa dikembalikan?” tanya Deon lagi.Haikal dan Mita saling tatap mendengar pertanyaan Deon, hingga kemudian keduanya memandang sang putra dengan ekspresi wajah sedih.“Tidak bisa, meski kita bisa mempidanakan kakak iparmu, tapi rumah itu tidak bisa dikembalikan, apalagi pembelinya juga menolak memberikan kalau uangnya tidak dikembalikan. Lagi pula rumah itu
“Apa semuanya sudah dikemas?” tanya Suci memastikan barang keperluan Ayana dan Ansel sudah siap diangkut. Ayana hari ini sudah diperbolehkan pulang setelah dirawat 4 hari. Suci dan Firman di sana untuk membantu serta mengantar Ayana pulang. “Sudah semua, Ma.” Deon yang menjawab sambil mengecek tas yang ada di sofa. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal. Suci menggendong bayi Ayana, sedangkan Deon membantu Ayana berjalan perlahan. Firman sendiri berjalan membawakan tas, sambil sesekali memandang Ansel yang tidur pulas dalam gendongan Suci. Mereka naik mobil Firman. Deon yang mengemudi karena tak mungkin membiarkan mertuanya yang menyetir. Mobil mereka langsung menuju ke rumah Jonathan karena semua orang sudah menunggu di sana. Setelah perjalanan hampir setengah jam karena macet, mobil mereka pun sampai di rumah mewah yang dibeli Jonathan untuk Ayana. Saat baru saja sampai di depan garasi, Azlan dan yang lain menghampiri untuk membantu membawakan barang Ayana dan Ansel. “A
“Kamu tidak tidur?” tanya Ayana ketika terbangun tengah malam, melihat Deon yang sedang menggendong Ansel. “Baru mau tidur, tapi Ansel bangun, jadi aku menggendongnya dulu,” ujar Deon sambil menimang bayinya yang masih menangis. Ayana bangun perlahan, lantas duduk bersandar headboard. Dia meminta Deon memberikan Ansel ke pangkuannya. “Mungkin dia lapar, makanya bangun.” Ayana sudah mengulurkan kedua tangan untuk menerima Ansel dari tangan Deon. Deon dengan perlahan memberikan Ansel ke tangan Ayana, lantas menemani istrinya itu menyusui bayi mereka. Ayana memang berkomitmen memberikan Asi selama dia cuti. Dia ingin memberikan yang terbaik, karena Ansel pun butuh perhatian khusus. Dia tidak mau langsung memberikan Ansel susu formula, selama bayinya itu masih puas dengan Asi yang didapat. “Perlu buatkan susu lagi?” tanya Deon yang cemas jika Ansel tak puas hanya minum Asi. “Tidak usah, sepertinya dia sudah minum dengan cukup,” jawab Ayana sambil memperhatikan Ansel yang sudah meme
“Dia cantik sekali,” ucap Ayana sambil menggendong bayi mungil Ive. Bayi berjenis kelamin perempuan itu sehat dengan pipi chubby yang menggemaskan. “Tentu saja cantik, apalagi ayahnya tampan seperti ini,” balas Alex menanggapi ucapan Ayana. Ayana langsung memicingkan mata mendengar adiknya yang terlalu percaya diri. “Yang benar itu dia cantik seperti ibunya, bukan karena ayahnya,” ucap Ayana sewot sendiri karena ucapan Alex. Ive hanya menahan tawa mendengar balasan Ayana, sedangkan Alex langsung mendekat kemudian ikut memandang putrinya. “Lihat saja, alisnya tebal seperti milikku. Bibirnya kecil sepertiku. Lihat hidungnya yang mancung, sama sepertiku juga,” ucap Alex membandingkan wajah bayinya dengan dirinya. “Semua mirip kamu, terus Ive hanya dapat hikmahnya gitu,” balas Ayana karena Alex makin mengada-ada. Alex melebarkan senyum, lantas membalas, “Iya, kan bibitnya dariku.” Ayana gemas mendengar ucapan Alex hingga langsung memukul lengan adiknya itu. “Kepedean!” seloroh Ay
“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Ayana saat melihat wajah Ive yang pucat.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana karena sedang tak berkonsentrasi. Dia melihat, Ayana dan yang lain kini sedang memandangnya.“Wajahmu sangat pucat, Ive. Apa kamu sakit?” tanya Jonathan.Alex langsung menyentuh kening Ive. Dia merasakan kulit wajah Ive yang sangat dingin.“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Alex yang cemas.“Sebenarnya sejak semalam perutku terasa mulas, tapi tidak bisa ke kamar mandi. Ini juga rasanya tidak nyaman,” jawab Ive yang menahan sakit dari kemarin sore sampai pagi tanpa memberitahu siapa pun.Ayana terkejut mendengar jawaban Ive. Dia langsung berdiri, lantas menyentuhkan tangan di kening Ive.“Kita ke rumah sakit, ya. Aku takut kamu sudah kontraksi tapi tidak paham,” ujar Ayana yang cemas.Semua orang pun terkejut mendengar ucapan Ayana. Alex langsung berdiri untuk membantu Ive berdiri.“Ayo, Ive. Kita ke rumah sakit untuk memastikan kondisimu,” kata Alex yang tak bisa membiarka
Tak terasa sudah enam bulan berlalu, kini usia kandungan Ive sudah memasuki usia delapan bulan. Ive sendiri mulai kesulitan melakukan aktivitasnya karena perutnya yang besar.“Kamu mau buah, Ive?” tanya Ayana saat melihat adik iparnya itu datang ke dapur.“Iya, Kak.” Ive menjawab sambil berjalan mendekat. Dia lantas duduk di kursi samping stroller Ansel.Ayana menoleh sekilas ke Ive sambil tersenyum, lantas mengambilkan buah yang biasa dimakan Ive.“Kamu sudah minum susu?” tanya Ive mengajak bicara Ansel yang kini berumur 9 bulan.Ive memberikan telunjuknya agar digenggam Ansel. Dia sangat suka dengan keponakannya yang lucu dan menggemaskan itu.“Hari ini kamu jatah cek kandungan? Tadi Alex memperingatkanku untuk mengantarmu karena dia ada rapat penting pagi ini?” tanya Ayana sambil mengupas apel.Ive menoleh Ayana, kemudian menjawab, “Iya, Kak. Dokternya baru datang jam sepuluh, jadi ke sana jam sembilan ambil antrian tidak masalah.”Ayana menghampiri Ive sambil membawa apel yang sud
Hyuna sangat terkejut dengan jawaban Azlan, bagaimana bisa calon suaminya itu melupakan cincin pernikahan mereka.Azlan menoleh Ayana, memberikan mimik wajah sedih karena cincinnya dan Hyuna tertinggal.“Kenapa dia?” tanya Alex keheranan melihat Azlan yang bingung.Azlan memberi isyarat dengan menggerakkan jemarinya, membuat Alex dan Ayana langsung paham.“Dasar, ceroboh sekali dia,” gerutu Alex.Alex melepas cincin pernikahannya, lantas meminta Ive melepas cincinnya juga. Dia kemudian pergi ke altar untuk memberikan cincinnya agar dipakai Azlan lebih dulu.Ayana dan yang lain terkejut dengan apa yang dilakukan Alex, tapi hal itu juga membuat bangga karena Alex mau membantu kepanikan Azlan.“Pakai ini! Tapi kamu harus membayar bantuanku,” ucap Alex dengan nada candaan.Meski Alex terkadang menyebalkan, tapi nyatanya dia perhatian hingga membuat Azlan hanya menganggukkan kepala.Alex kembali ke kursinya, hingga langsung mendapat pujian dari Ayana.Prosesi pernikahan itu pun kembali ber
Alex begitu terkejut sampai mundur karena melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. Dia memegang dada karena terkejut melihat wanita tua sedang menatapnya.“Mau apa tengok-tengok rumah?” tanya wanita berumur 70 an tahun itu.“Maaf. Saya hanya ingin meminta mangga muda, kalau tidak boleh diminta ya saya beli,” kata Alex berusaha sopan ke wanita tua itu, apalagi sudah menjadi kebiasaan di negara itu jika harus sopan ke orang yang lebih tua.“Mangga muda?” Wanita tua itu mungkin keheranan karena Alex malah minta mangga muda.“Ah … ya. Istri saya sedang hamil. Dia katanya ingin makan mangga muda itu,” ujar Alex menjelaskan sambil menunjuk ke mobil lantas ke pohon mangga.“Oh … bilang dari tadi. Aku pikir mau maling atau sales menawari barang,” balas wanita tua itu dengan entengnya kemudian mengeluarkan kunci mobil dari saku baju yang dipakai.Alex terkejut karena dikira sales barang, tapi demi Ive dia harus menahan diri agar tidak tersinggung.Wanita tua itu membuka gerbang, lantas me
“Kita mau ke mana?” tanya Ive bingung karena Alex mengajaknya pergi keluar padahal baru saja sampai rumah.“Aku ingin mengajakmu tadi siang, tapi karena siang tadi pekerjaanku sangat banyak, jadi baru bisa sekarang. Aku tidak mau menundanya, jadi meski sore aku tetap ingin mengajakmu ke sana,” jawab Alex sambil menoleh Ive dengan senyum di wajah.Ive mengerutkan dahi mendengar jawaban Alex. Dia benar-benar penasaran ke mana suaminya itu akan mengajak pergi.Ive memperhatikan jalanan yang mereka lewati, hingga mobil yang ditumpangi masuk ke area perumahan yang sedang dibangun. Sudah ada beberapa rumah berdiri megah, tapi ada pula yang sedang dalam proses pembangunan.“Mau apa ke sini?” tanya Ive bingung. Dia pun memperhatikan sekitar.Alex menoleh Ive sekilas, lantas sedikit memperlambat laju mobilnya.“Melihat hadiah yang diberikan Ayana. Dia memberi kita hadiah, tapi aku belum sempat melihatnya langsung,” jawab Alex.Dahi Ive semakin berkerut halus mendengar jawaban Alex. Dia pun kem
“Ternyata benar, nabung.” Azlan langsung meledek Alex yang baru saja datang bergabung dengannya, Ayana, dan Ive. Ayana melirik Ive, lantas memberi isyarat untuk menyingkir daripada mendengarkan perdebatan Azlan dan Alex. Alex bingung mendengar ucapan Azlan, hingga dia melihat Ayana dan Ive yang pergi. “Apanya nabung? Kalau punya uang, ya pasti nabung,” balas Alex masih tak paham dengan maksud ucapan Azlan. “Pura-pura tidak paham. Pantas saja kamu ngebet mau nikah, bahkan berani mendahuluiku, ternyata sudah bikin Ive hamil dulu,” ledek Azlan sambil memicingkan mata. Alex sedang minum saat Azlan bicara, hingga dia tersedak karena terkejut mendengar ucapan Azlan, sampai-sampai air yang baru saja masuk ke kerongkongan langsung menyembur keluar. “Sikapmu saja ini sudah cukup membuktikan kalau ucapanku benar. Kamu sudah bikin Ive hamil dulu, lalu mendesak minta nikah biar ga ada yang curiga kalau Ive hamil,” ucap Azlan memperjelas maksudnya agar Alex tak mengelak. Alex mengusap permu
Ive dan Alex pergi bersama Jonathan untuk mengurus proses balik nama sertifikat rumah mendiang ayah Ive.Ive benar-benar masih seperti mimpi bisa memiliki rumah itu, meski sebenarnya dia merasa sangat berat jika diminta meninggalinya. Ada kenangan pahit dan manis yang bersamaan dirasakan tatkala menginjak rumah itu.“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Alex sambil menatap Ive.Ive sedang diam, memandangi setiap sudut ruangan, dinding, juga langit-langit kamar itu. Mengingat ada tawa saat bersama ayah dan ibu yang merawatnya, tapi juga ada kepedihan ketika ditindas Carisa.“Entahlah, aku masih bingung. Selain kenangan manis bersama Mama, di rumah ini juga penuh kenangan menyakitkan,” jawab Ive sambil mengedarkan pandangan.Alex melihat bola mata Ive yang berkaca-kaca, hingga dia pun menautkan jemari mereka.“Tidak usah dipaksa jika tak ingin. Ini hadiah dari Papa, kita terima meski tak ditinggali,” ucap Alex a
“Karena membantuku, kamu jadi ikut celaka,” ucap Ive penuh penyesalan begitu bertemu dengan Damian.Ive dan Damian sudah keluar dari rumah sakit, mereka kini berada di rumah Jonathan.Ive menatap perban yang terpasang di pelipis karena hantaman dari orang yang menyerang kakaknya itu.“Tidak apa, kamu jangan terlalu memikirkan ini,” balas Damian, “dulu aku tidak bisa melindungimu, jadi sekarang aku harus melindungimu, meski nyawaku taruhannya,” ucap Damian sambil memulas senyum manis di wajah.Tetap saja Ive merasa bersalah meski Damian berkata jika tak masalah terluka untuk melindunginya.“Bagaimana proses hukum Emanuel dan Eric?” tanya Damian sambil menatap Alex yang duduk di seberangnya.“Polisi sedang memprosesnya, kemungkinan berkas perkaranya akan segera naik ke kejaksaan mengingat bukti-bukti yang kita miliki sangat kuat. Nantinya baik aku, kamu, atau Ive tetap harus menghadiri sida