Anastasya Vienca gadis muda berusia 25 tahunan itu tengah berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang terasa seperti rumahnya sendiri.
Bukan! Bukan karena gadis itu menyukainya atau memang benar-benar tinggal disana, melainkan keterpaksaan karena sebenarnya ia sangat benci suasana rumah sakit. Bau obat-obatan yang menyengat, serta jeritan suara pasien yang baru saja datang karena kecelakaan di suatu tempat, justru membuatnya muak dan ingin segera pergi dari sana. Ana benci ... benci sekali rumah sakit. Namun sepertinya takdir tidak ingin Ana membenci sesuatu, karena semua hal yang Ana benci akan berbalik menyerangnya dan menjadi suatu kebutuhan untuk Ana. Pernahkah mendengar istilah benci jadi cinta? Dalam kasus Ana benci jadi butuh.
Seperti saat dulu ketika Ana benci sekali dengan sepeda sebab tidak bisa menggunakan benda itu, karena saat menggunakannya jika tidak lututnya yang terluka pasti dagu wanita itu yang akan luka. Ya ampun, bukankah sepeda benda yang berbahaya? Ana tidak suka, tapi tidak benar-benar tidak menyukainya. Maka dari itu seperti yang sudah dikatakan Ana tidak boleh membenci sesuatu karena seperti pada kasus sepeda itu, setelahnya ia harus menggunakannya sebagai kendaraan tetapnya untuk mengantar-jemput adik kecilnya ke sekolah.
Dan sekarang, sama halnya dengan sepeda, Ana yang benci suasana rumah sakit, kini justru tempat inilah yang menjadi rumah keduanya setelah adiknya Mikail Vienca di diagnosis kanker darah stadium akhir yang membuatnya harus menetap disana karena kondisinya yang mudah menurun.
Awalnya terasa sulit, Ana yang hanya memiliki Mikail, kesulitan mencari rumah sakit yang mau menolongnya sebab Ana tak memiliki banyak biaya. Beruntung ada dokter baik kenalan mendiang ibunya yang bersedia merawat mikail, sehingga Ana tidak perlu pusing mencari biaya perawatan yang harganya bisa membuat orang menjadi gila.
Tungkai kakinya terhenti di depan pintu berwarna putih milik kamar mikail. Perlahan Ana membuka pintu itu dengan pelan, biasanya saat ini mikail tengah terlelap sehabis melakukan kemo. Tapi saat pintu terbuka lebar anak kecil itu tengah terduduk dengan punggung yang disandarkan pada kepala ranjang sembari menatap layar tv yang sedang menampilkan kartun kesukaannya.
Agaknya Mikail tidak tahu jika ia kedatangan seseorang sampai saat kakaknya duduk disamping ranjang miliknya. Mikail menoleh menatap Ana. "Kakak terlambat," ucapnya dengan bibir mengerucut kedepan."Maaf Kail, kakak ada urusan tadi. Bagaimana keadaanmu, ada yang sakit?" Mikail menggelengkan kepalanya pelan dengan senyuman terpantri diwajahnya, melihat itu Ana ikut tersenyum juga. Tapi beberapa detik setelahnya senyumnya berganti dengan wajah khawatir Ana saat melihat luka di sikut Mikail.
"Oh Kail astaga, apa yang terjadi? Kenapa sikut lenganmu terluka hm?"
"Ah kakak, tadi aku ... aku jatuh saat bermain," ucap mikail dengan gugup lalu menundukan wajahnya. Melihat adiknya yang ketakutan Ana menurunkan intonasi suaranya, Ana memang sangat posesif dengan Mikail, ia tidak bisa mengontrol emosinya jika menyangkut adiknya, apalagi mendengar adiknya terluka, tidak terluka saja mikail masih merasakan sakit.
"Maaf, kakak hanya khawatir," jawabnya sedih
"Kail tidak sakit kok. Tadi saja saat jatuh kail tidak menangis."
"Benarkah?" Mikail mengangguk dengan semangat. "Dasar bocah nakal! Baiklah kau sebaiknya istirahat, sudah minum obat dari dokter rachel, kan?" Lagi-lagi Mikail mengangguk lalu membaringkan tubuhnya. Ana yang disampingnya mengusap pucak kepala Mikail yang botak karena melakukan kemo dengan lembut.
"Kakak ada urusan apa tadi?" tanya Mikail.
"Pekerjaan Kakak belum selesai, ada beberapa tamu yang masih memesan makanan.""Oh begitu ... tadi dokter Rachel mencari kakak, tapi kakak belum datang.""Benarkah?" Mikail mengangguk, matanya mulai terpejam, sebenarnya sudah sejak tadi dia mengantuk tapi karena menunggu Ana, Mikail jadi menahan kantuknya. "Kakak ... Mikail ngantuk. Tapi Kakak jangan tinggalkan Kail ya, kalau Mikail tidur.""Ya sayang, tidurlah. Kakak akan disini sampai Mikail bangun."🌹🌹
Hari ini Ana mengacaukan segalanya, tidak ada pekerjaan yang dilakukannya dengan benar. Sudah berulang kali customer cafe mengkomplain pekerjaan Ana karena kesalahan yang dilakukannya. Dari salah pesanan hingga melakukan hal ceroboh yang sampai merusak perabotan makan. Lalu Manager cafe yang mendengar itu segera melaporkan Ana pada atasanya, maka Hobi sebagai sahabat sekaligus pemilik cafe yang menjadi bos Ana, memanggil Ana ke ruang kerjanya.Ana duduk didepan Hobi, pria yang bernama Husein Kato produksi asli dari demak keturunan jepang itu tengah bersedekap menatapnya. Entah dari mana nama Hobi melekat padanya yang pasti pria itu akan marah jika seseorang memanggil nama aslinya. Katanya nama itu kuno tidak modern padahal menurut Ana namanya sangat unik.
"Anastasya Vienca! Sial aku suka sekali namamu." Ana mengernyitkan keningnya, keheranan dengan tingkah konyol bosnya.
"Kau memanggilku hanya ingin memuji namaku?"
"Hey jangan judes begitu, seharusnya aku yang marah-marah. Kau ini kenapa? Ingin mengusir pelangganku secara halus atau bagaimana?"
Ana mengerti maksud pertanyaan pria dihadapannya ini, Ana menyadari prilakunya yang hilang fokus. Pikirannya kacau, diotaknya hanya terputar ucapan dokter Rachel mengenai kondisi Mikail yang seperti kaset kusut.
Semalam, setelah Mikail tertidur Ana menemui Rachel, dokter itu menjelaskan kondisi Mikail yang memprihatinkan, karena bergantung pada obat-obatan, ginjal Mikail menjadi rusak dan harus melakukan operasi. Masalahnya meski dokter Rachel membantu biaya pengobatan Mikail, kali ini dokter cantik itu tidak dapat membantunya lagi karena keterbatasan biaya, sehingga Ana harus mencari uang 350jt agar Mikail bisa dioperasi dengan segera. Walaupun Rachel masih berusaha mencari dana itu, tapi Ana tahu dia tidak bisa lebih banyak lagi merepotkan Rachel. Tanpa sadar dia menghela nafasnya dengan gusar dan melihat itu Hobi secara otomatis menggenggam jemari Ana guna memberinya kekuatan.
"Ceritakan padaku Ana." Detik itu juga tumpahlah air mata yang sedari tadi Ana tahan, ia tidak sanggup lagi menanggung semuanya, rasanya Tuhan terlalu benci dengannya hingga Dia selalu mengambil semua milik Ana, pertama ibunya, lalu ayahnya. Oh tidak Ana mohon kali ini saja, DIA biarkan Mikail tetap bersamanya, karena sungguh Ana tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini.
Hobi membiarkan wanita itu menangis menumpahkan semua kesedihannya, karena sebagai sahabat wanita itu sudah sejak lama, Hobi tahu betapa berat beban yang ditanggung Ana. Setelah tangisnya berhenti, Ana menceritakan semuanya mengenai apa yang dibicarakan dokter Rachel padanya.
"Kau tahu ... aku bisa memberikannya padamu," kata Hobi menanggapi, Ana memandang sedih sahabatnya, kemudian menggeleng pelan.
"Kau sudah banyak membantuku. Aku tidak ingin lagi menyusahkanmu."
"Aku tidak pernah merasa begitu. Kau tidak pernah menyusahkanku Ana. Dengar ... jangan merasa sungkan padaku, jika kau tidak ingin aku memberikannya, kau bisa meminjamnya. Bayar padaku kapanpun kau bisa. Bagaimana? " Meskipun terdengar menggiurkan, Ana tetap menggelengkan kepalanya, sudah banyak yang Hobi lakukan untuknya. Ana tidak ingin seperti orang yang memanfaatkan kebaikannya.
Untuk beberapa saat, mereka tetap diam dengan pikirannya masing-masing. Sampai akhirnya Hobi meremas jari-jemari Ana sambil menatap penuh keraguan.
"Kalau kau tetap menolak kebaikanku. Ana, sebenarnya aku ada ide gila untukmu, kau juga bisa mendapatkan uang itu dengan cepat. Tapi aku yakin kau pasti menolak."
"Katakan saja dulu, agar aku bisa mempertimbangkannya. Asal saja kau tidak menyuruhku menjadi pelacur." Astaga meski sedang sedih begitu kejudesan Ana tidak menghilang. Hobi mendengus kesal sekaligus lega karena meski begitu Ia cukup senang Ananya tetap wanita yang kuat.
"Aku jadi takut mengatakannya, tapi Ana ini benar-benar bisa membuatmu mendapatkan uang."
"Hobi, jangan bertele-tele katakan saja."
"Baiklah ... sebenarnya kenalanku mencari seorang istri bayaran. Ia akan membayar berapapun asal calonnya sesuai kriteria. Dan setelah kupikirkan, menurutku kriterianya sangat cocok denganmu Ana." Bola mata Ana mendadak membesar setelah mendengar penjelasan Hobi. Ia sangat terkejut sampai bertanya-tanya apa isi kepala pria tampan itu? Sangat jelas tadi dia mengatakan tidak akan mau menjual dirinya.
"Kau gila??? Itu sama saja aku menjual diri Hobi."
"Tidak Ana, apa ya biasanya orang bilang. Ah pernikahan kontrak! Ya kau hanya perlu menjadi istri kontrak."
"Ya Tuhan! Istri kontrak? Tidak akan! Pernikahan itu sakral. Aku tidak mau kualat karena mempermainkannya," tolak Ana dengan tegas, sebenarnya Hobi sudah menduga Ana akan menolak, lagipula ia hanya memberi solusi atau sekedar tipuan untuk Ana agar ia menerima bantuanya, mengingat Ana selalu menolak. Mereka kembali terdiam namun beberapa saat setelahnya keheningan mereka terpecah dengan suara dering ponsel milik Ana. Ana mengangkat panggilan itu, ekspresinya menegang mendengar ucapan seseorang disana. Air matanya kembali turun menatap Hobi yang terlihat cemas. Masih dengan ponsel ditelinganya Ana memanggil nama Hobi dengan suara bergetar.
"Hobi"
"Y-ya? Ada apa Ana?"
"Pe- pertemukan a- aku dengan orang itu"
"Ana ... kau yakin ingin melakukannya?" tanya Hobi sembari menatap gelisah wajah Ana yang tengah duduk termenung dengan tangan menopang wajah kecilnya. Wanita itu seperti tidak benar-benar ada di sini. Raganya memang ada di depan Hobi, tapi tidak tahu bagaimana rohnya. Matanya kosong, wajahnya pucat meski masih tampak terlihat cantik.Kini mereka di dalam ruang vip sebuah restauran yang dijanjikan untuk menunggu kedatangan calon suami "kontrak" Ana. Bahkan sampai sekarang Ana tidak tahu siapa dia, Hobi tidak menjelaskannya dan Ana tidak mau juga mencari tahu. Saat ia mengatakan ingin melakukan hal gila itu, Ana hanya memikirkan bahwa ia melakukan hal ini demi adiknya dan Ana berjanji hanya akan meminta bayaran senilai biaya operasi. Ia tidak mau meminta lebih banyak dari itu, tidak! Ana tidak mau semakin merendahkan dirinya sendiri dengan berprilaku seperti jalang.Ana menghela nafasnya ketika menatap sendu sahabatnya. Ditatap seperti itu Hobi semakin merasa bersal
Perjanjian Kontrak1. Pihak satu akan menikahi pihak dua selama enam bulan lamanya.2. Setelah menikah pihak dua sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab pihak satu selama enam bulan. Jadi pihak satu berhak menolak dan mengatur pihak dua agar tidak merugikan pihak satu.3. Pihak dua berhak mendapatkan apapun yang ia mau selama itu dibatas wajar.4. Pihak dua berhak mendapatkan keselamatannya terjamin selama enam bulan bersama.5. Kedua belah pihak diperbolehkan menjalin hubungan dengan pasanganya masing-masing.6. Kedua belah pihak tidak boleh saling jatuh cinta.Enam point perjanjian yang diketik pada selembar kertas itu kembali Ana baca, setelah menandatangani surat tersebut tiga hari lalu, Ana belum lagi bertemu dengan Keanu. Mengetahui kabarnya pun tidak. Ana hanya menunggu kelanjutan tanpa berniat bertanya pada Hobi. Dia sadar, dirinya terlihat terlalu tidak peduli dengan ini tapi sebenarnya bukan karena dia tidak peduli, Ana hanya mencoba membuat in
Kei dan Ana memasuki pekarangan rumah orang tua Kei. Pertama kali melihatnya Ana dibuat takjub, sungguh yang ada dihadapannya kini bukan rumah melainkan istana, halaman rumahnya saja berkali-kali lipat luasnya dengan rumah yang ia tempati saat ini, apalagi didalamnya? Kei lebih dulu keluar dari mobil, lalu berjalan kearah samping membuka pintu milik Ana. Rasanya Ana ingin pulang saja, tidak berani masuk kedalam rumah besar itu dan bertemu kedua orang tua Kei, nyali Ana menghilang sejak pertama kali mobil ini melewati gerbang."Kau akan baik-baik saja." ucap Kei tiba-tiba, lalu menautkan jemari tangannya dengan milik Ana. Pria itu menarik Ana dengan lembut untuk segera masuk kedalam. Sebenarnya Kei sama gugupnya dengan Ana. Tapi ia tidak mau menunjukkannya, karena pasti akan berdampak pada Ana.Ternyata kedatangan mereka telah dinantikan kedua orang tua Kei, ibu pria itu langsung menghampiri Kei dan Ana. Ana segera memberi salam dengan sopan."Bu kenalkan ini Ana, p
Pernikahan itu berjalan dengan lancar, tidak banyak tamu yang diundang, mengingat Kei hanya ingin pernikahannya dihadiri keluarga juga teman dekat. Sedangkan Ana? Tentu saja dia tidak mengundang siapapun kecuali Hobi, dokter Rachel serta beberapa suster kenalannya. Sayang satu-satunya keluarga Ana, mikail tidak bisa berada disisinya karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk keluar dari kamar. Dan untuk pertama kalinya Ana bertemu dengan Nita kekasih Kei yang baru Ana ketahui juga kalau wanita itu sekretaris Suami kontraknya. Kesan pertama saat Ana bertemu dengannya, wanita itu sangat anggun, cantik, tubuhnya yang kecil membuat wanita itu terlihat imut, beda sekali dengan Ana yang memiliki tubuh sintal ini. Ana jadi heran kenapa ibu kei sangat membenci Nita?Ana tengah melihat-lihat rumah yang akan ditempatinya selama enam bulan kedepan, rumah ini tidak terlalu besar dibandingkan rumah orang tua Kei namun terkesan mewah dengan style pria muda yang minimalist, perabo
Sinar matahari yang merengsek masuk melalui celah gorden kamar itu mengganggu ketenangan tidur Nita, wanita itu mengerjapkan matanya dan bangun lebih dulu dibanding Kei yang masih terlelap disampingnya, ia kemudian melirik jam yang tertempel di dinding, yang ternyata sudah menunjukkan pukul 11 siang. Pantas saja sinarnya begitu menyilaukan mata memaksa siapapun yang terkena sinarnya untuk segera beranjak pergi dari sana, tapi sepertinya Nita tidak mempedulikannya, ia masih betah pada posisinya saat ini, memandangi wajah Kei dari samping, dan mengaguminya secara diam.Memang, kegiatan ini menjadi kegiatan favorite wanita itu, saat melakukannya ia merasa tinggi hati karena banyak wanita yang ingin berada di posisinya, dan ia menjadi wanita beruntung itu yang bisa leluasa memandangi serta menyentuh wajah kekasih tampannya. Apalagi merasakan kejantanan Kei, sungguh Kei merupakan partner ranjang terbaik yang pernah Nita rasakan.Lalu ketika ia menikmati kegiatan menyena
Ana menyeruput kopinya di kantin rumah sakit dengan nikmat, sembari mendengar ocehan Hobi tentang wanita pujaannya. Selama bertahun-tahun mengenalnya baru kali ini Ana melihat pria itu begitu antusias menceritakan seorang wanita. Dulu Ana pernah sampai berpikiran buruk bahkan pernah bertanya secara langsung apakah pria itu tidak menyukai wanita atau dia menderita penyakit imponten sampai ia merasa malu mendekati perempuan manapun, teman perempuannya saja hanya Ana seorang. Bukannya apa-apa, Ia sungguh merasa cemas, ingin membantu meringankan beban Hobi namun bukan jawaban yang ia dapat justru yang ia dapati adalah toyoran keras di kepalanya. Jika diingat-ingat masa lalu Ana ternyata suram sekali."Kau mendengarkanku tidak sih?" Hobi mendengus melihat Ana yang tampak enggan mendengar ceritanya."Memangnya kau pikir aku sedang apa? Ini kan sedang mendengarkanmu.""Kau nampak malas menanggapiku.""Bagaimana tidak? Kau selalu menceritakan hal sama, berapa kali ku
Seingat Ana terakhir kali ia tersadar, ia sedang duduk disamping Mikail, menceritakan dongeng sebelum tidur lalu tanpa sadar tertidur disana. Ana yakin dengan rentetan kejadian itu namun yang membuatnya heran, pagi tadi tiba-tiba saja ia terbangun di atas sofa dengan selimut membungkus tubuhnya. Ana jadi heran sejak kapan ia memindahkan tubuhnya sendiri kesana? Atau ada seseorang yang mengangkatnya? Tidak mungkin kan seseorang mengangkatnya saat tidur tapi dia tidak bangun sama sekali.Ya, Ana rasa itu tidak mungkin! Ana pasti sadar, ia tipe orang yang mudah terbangun meskipun hanya karena suara kecil. Sebenarnya Ana ingat semalam bermimpi Kei datang kerumah sakit, lalu pria itu memindahkan Ana ke atas sofa. Tapi Ana tidak yakin apakah itu mimpi atau bukan karena semuanya tampak samar, lagipula untuk apa Kei datang ke rumah sakit? Memangnya dia tahu? Ah! Atau mungkin ia memang tidak sadar telah melangkahkan kakinya sendiri dan berpindah tidur di atas sofa. Entalah, Ana t
Kegaduhan terdengar begitu jelas dari kamar Ana, membuat gadis itu mendadak membuka matanya dengan terpaksa. Ana melirik jam di atas nakas yang masih menunjukkan pukul 2 dini hari. Jantungnya berdegub kencang saat terdengar lagi suara pecahan piring atau gelas, Ana tidak tahu itu, yang pasti ia mulai ketakutan. Ana jadi berpikiran yang tidak-tidak mengingat sekarang dirinya hanya seorang diri saat ini. Kemarin pagi Kei sudah mulai bekerja karena batas cuti menikahnya sudah habis, sebenarnya Ana juga seharusnya sudah mulai bekerja, tapi ia urungkan niatnya mengingat jadwal operasi Mikail besok lusa, untungnya yang menjadi atasanya adalah Hobi, sehingga ia tidak perlu khawatir dipecat karena terlalu banyak mengambil libur, memang terkesan tidak profesional, namun Ana sudah meminta sangsi pada Hobi, pria itu bisa memotong gajinya. Tidak masalah untuk Ana karena yang jadi masalah Ana saat ini adalah Kei yang tidak pulang malam ini karena lembur. Lalu siapa yang membuat kegaduhan? Jangan
"Jadi seperti ini rasanya." Kei bergumam ketika Ana menghampirinya sembari membawa hidangan yang baru saja ia masak. Ana menatapnya bingung namun Kei tidak menjelaskan apapun padanya. Setelah ia meletakkannya di atas meja makan, Ana duduk dihadapannya."Terima kasih, kau sungguh tidak lapar?" Ana menggelengkan kepalanya. "Aku sudah kenyang."Tidak ada percakapan lain, Kei mulai menghabiskan makanannya. Ana memperhatikan pria itu makan dengan lahap. Baru kali ini dia melihat sisi lain dari Kei, pria itu terlihat seperti manusia biasa pada umumnya. Umm meskipun sebenarnya dia memang manusia biasa. Hanya saja penampilannya yang selalu terlihat elegan membuat Ana merasa Kei seperti putera mahkota yang tidak bisa dijangkau."Ada apa? Kenapa kau terus melihatku? Ada yg salah?" Ana terkesiap, pipinya perlahan-lahan memerah karena malu. Dia segera menundukkan kepalanya saat Kei tiba-tiba saja memergokinya tengah memandanginya. Ana tidak tahu harus mengatakan apa selain
Ana menutup matanya rapat-rapat. Ia telah bersiap diri menerima tamparan keras yang menyakitkan itu lagi. Namun setelah beberapa detik ketika ia tidak merasakan apapun dan malah ia mendengar suara dentuman keras disusul pekikan seseorang. Ana segera membuka matanya dengan ragu-ragu dan saat mata itu terbuka matanya membelalak, ia melihat lelaki itu sudah terbaring di lantai, merintih kesakitan sembari memegang perutnya.Kei baru saja menendangnya, ia berdiri tegak di hadapan Ana memunggunginya. Ana tidak bisa melihat ekspresi Kei, tapi dari helaan nafas yang berat dan suara geraman yang tertahan membuat Ana yakin kalau Kei sedang marah besar. Ya Tuhan! Semua orang tahu seberapa mengerikannya Kei saat ini!"Sayanggg?! Kurang ajar beraninya kau pada kekasihku!" pekik wanita itu keras-keras, ia mendekati kekasihnya. Namun alih-alih menanggapi, Kei malah melangkah dengan tenang. Ketenangannya seperti laut dalam di samudra. Tenang namun mematikan. Tidak ada yang berani meng
"Bukan hanya kekasih tetapi wanita ini sudah memiliki suami."Kalimat yang dikatakan secara posesif itu terus menerus berputar di kepalanya, seperti kaset kusut yang berputar tanpa henti. Padahal hanya kalimat sederhana tapi efeknya membuat Ana terus-terusan berdegub kencang. Ana menghentikan kegiatannya lalu menarik nafasnya dalam-dalam guna menenangkan hatinya.Kenapa sih Kei harus berbicara seperti itu, dari ribuan kata yang ada kenapa dia memilih rangkaian kata seperti itu? memang sih dia tidak mengatakan hal yang salah atau mungkin bahkan memang tidak ada artinya untuk Kei tapi untuk Ana ... jelas kalimat itu tidak se sederhana kelihatannya. Ketika Kei mengatakannya secara posesif, entah mengapa Ana menjadi besar kepala.Ia tiba-tiba saja menjadi gelisah namun gelisah yang aneh. Ana merasa senang ketika Kei mangatakan itu pada seseorang, tapi kenapa? Ana tidak mengerti. Kenapa dia merasa senang? padahal perasaan seperti itu jelas melenceng dari isi ko
Ana mendengar suara gelak tawa dari ruangan adiknya, suara orang dewasa dan tentu saja suara Mikail. Aneh? Ini masih terlalu pagi untuk seseorang berkunjung, lagipula Ana tak merasa punya kerabat selain Hobi yang biasa mengunjunginya. Ah atau itu mungkin suster? Ana menekan handle pintu lalu mendorongnya, sedikit terkejut melihat presensi ibu Kei sudah datang dan sedang bermain dengan Mikail."Loh bu, pagi-pagi sudah datang? Aku dan Kei baru saja mengantar Mona kerumah ibu." Ana menghampiri Ibu Kei yang duduk di atas karpet bulu bersama dengan Mikail beserta mainannya, sepertinya karpet itu baru saja dibawa ibunya Kei dari rumah. Ana ikut duduk disana, setelah mencium pipi ibu."Mona sudah sampai? Nanti sore saja ketemunya, Ibu kangennya sama Mikail," ucap ibu sembari memeluk Mikail, Ana tersenyum haru melihat kedekatan mereka, mereka nampak seperti ibu dan anak sesungguhnya. Setidaknya Mikail bisa merasakan pelukan seorang ibu, meski bukan berasal dari ibu
Pria itu menekan kode pass unit apartemen yang ia dapat dari temannya yang seorang hacker. Senyumannya tersungging di wajahnya saat ia berhasil menekan handle pintu lalu mendorongnya kedepan. Pintu itu dengan mudahnya terbuka menampilkan ruangan mewah dengan perabotan mahal. Ia meyakini harga semua barang disana mampu menghidupinya bertahun-tahun. Tapi bukan itu tujuannya datang kesana. Itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang akan ia lakukan nanti. Kakinya melangkah masuk lalu menutup pintu dengan perlahan. Ia mengamati ruangan yang tampak lenggang sepertinya tidak ada siapapun. Lalu Mengamati semua foto yang terpampang dan mendengus remeh dengan apa yang ia lihat. Sungguh semua foto yang ada disana membuatnya ingin meludahi wajah wanita itu. Tangannya mengepal saat memorinya memaksakan dirinya melihat rentetan kenangan masa lalu dirinya dengan dia. Sial!!! Wanita itu terlalu membekas dalam hidupnya. Ia mengitari seluruh ruangan dengan leluasa, mencari sosok yang ingin s
"Hai Ana? Apa Kei sudah bangun?"Wanita itu menatap Ana yang kebingungan dengan senyuman tersungging di wajahnya."Maaf nona, tapi anda siapa?" tanya Ana kepada wanita cantik dihadapannya, wanita itu tampak tak asing, tapi Ana tidak mengenalnya sama sekali. Ia memiliki rambut berwarna ash grey dengan panjang sebahu, saat ini memakai topi dengan kaos hitam kebesaran yang ditutupi jaket jeans berwana senada dengan celana jeans ketatnya, tidak luput dari pandangannya juga sepatu boots lalu dua koper besar disamping kanan kirinya. Ana tidak bisa jelas melihat wajahnya karena wanita itu menggunakan kacamata hitam.Apalagi yang membuatnya semakin bingung, wanita itu mengetahui namanya. Bukankah itu menandakan bahwa wanita itu mengenalnya? Tapi kenapa Ana tidak ingat sama sekali?"Aku tahu kau pasti saat ini sedang bingung, nanti saja ya perkenalannya karena aku sedang kesal sekali. Aish mana pria brengsek itu," ujarnya lalu melangkah masuk begitu saj
Kegaduhan terdengar begitu jelas dari kamar Ana, membuat gadis itu mendadak membuka matanya dengan terpaksa. Ana melirik jam di atas nakas yang masih menunjukkan pukul 2 dini hari. Jantungnya berdegub kencang saat terdengar lagi suara pecahan piring atau gelas, Ana tidak tahu itu, yang pasti ia mulai ketakutan. Ana jadi berpikiran yang tidak-tidak mengingat sekarang dirinya hanya seorang diri saat ini. Kemarin pagi Kei sudah mulai bekerja karena batas cuti menikahnya sudah habis, sebenarnya Ana juga seharusnya sudah mulai bekerja, tapi ia urungkan niatnya mengingat jadwal operasi Mikail besok lusa, untungnya yang menjadi atasanya adalah Hobi, sehingga ia tidak perlu khawatir dipecat karena terlalu banyak mengambil libur, memang terkesan tidak profesional, namun Ana sudah meminta sangsi pada Hobi, pria itu bisa memotong gajinya. Tidak masalah untuk Ana karena yang jadi masalah Ana saat ini adalah Kei yang tidak pulang malam ini karena lembur. Lalu siapa yang membuat kegaduhan? Jangan
Seingat Ana terakhir kali ia tersadar, ia sedang duduk disamping Mikail, menceritakan dongeng sebelum tidur lalu tanpa sadar tertidur disana. Ana yakin dengan rentetan kejadian itu namun yang membuatnya heran, pagi tadi tiba-tiba saja ia terbangun di atas sofa dengan selimut membungkus tubuhnya. Ana jadi heran sejak kapan ia memindahkan tubuhnya sendiri kesana? Atau ada seseorang yang mengangkatnya? Tidak mungkin kan seseorang mengangkatnya saat tidur tapi dia tidak bangun sama sekali.Ya, Ana rasa itu tidak mungkin! Ana pasti sadar, ia tipe orang yang mudah terbangun meskipun hanya karena suara kecil. Sebenarnya Ana ingat semalam bermimpi Kei datang kerumah sakit, lalu pria itu memindahkan Ana ke atas sofa. Tapi Ana tidak yakin apakah itu mimpi atau bukan karena semuanya tampak samar, lagipula untuk apa Kei datang ke rumah sakit? Memangnya dia tahu? Ah! Atau mungkin ia memang tidak sadar telah melangkahkan kakinya sendiri dan berpindah tidur di atas sofa. Entalah, Ana t
Ana menyeruput kopinya di kantin rumah sakit dengan nikmat, sembari mendengar ocehan Hobi tentang wanita pujaannya. Selama bertahun-tahun mengenalnya baru kali ini Ana melihat pria itu begitu antusias menceritakan seorang wanita. Dulu Ana pernah sampai berpikiran buruk bahkan pernah bertanya secara langsung apakah pria itu tidak menyukai wanita atau dia menderita penyakit imponten sampai ia merasa malu mendekati perempuan manapun, teman perempuannya saja hanya Ana seorang. Bukannya apa-apa, Ia sungguh merasa cemas, ingin membantu meringankan beban Hobi namun bukan jawaban yang ia dapat justru yang ia dapati adalah toyoran keras di kepalanya. Jika diingat-ingat masa lalu Ana ternyata suram sekali."Kau mendengarkanku tidak sih?" Hobi mendengus melihat Ana yang tampak enggan mendengar ceritanya."Memangnya kau pikir aku sedang apa? Ini kan sedang mendengarkanmu.""Kau nampak malas menanggapiku.""Bagaimana tidak? Kau selalu menceritakan hal sama, berapa kali ku