Sinar matahari yang merengsek masuk melalui celah gorden kamar itu mengganggu ketenangan tidur Nita, wanita itu mengerjapkan matanya dan bangun lebih dulu dibanding Kei yang masih terlelap disampingnya, ia kemudian melirik jam yang tertempel di dinding, yang ternyata sudah menunjukkan pukul 11 siang. Pantas saja sinarnya begitu menyilaukan mata memaksa siapapun yang terkena sinarnya untuk segera beranjak pergi dari sana, tapi sepertinya Nita tidak mempedulikannya, ia masih betah pada posisinya saat ini, memandangi wajah Kei dari samping, dan mengaguminya secara diam.
Memang, kegiatan ini menjadi kegiatan favorite wanita itu, saat melakukannya ia merasa tinggi hati karena banyak wanita yang ingin berada di posisinya, dan ia menjadi wanita beruntung itu yang bisa leluasa memandangi serta menyentuh wajah kekasih tampannya. Apalagi merasakan kejantanan Kei, sungguh Kei merupakan partner ranjang terbaik yang pernah Nita rasakan.
Lalu ketika ia menikmati kegiatan menyena
Ana menyeruput kopinya di kantin rumah sakit dengan nikmat, sembari mendengar ocehan Hobi tentang wanita pujaannya. Selama bertahun-tahun mengenalnya baru kali ini Ana melihat pria itu begitu antusias menceritakan seorang wanita. Dulu Ana pernah sampai berpikiran buruk bahkan pernah bertanya secara langsung apakah pria itu tidak menyukai wanita atau dia menderita penyakit imponten sampai ia merasa malu mendekati perempuan manapun, teman perempuannya saja hanya Ana seorang. Bukannya apa-apa, Ia sungguh merasa cemas, ingin membantu meringankan beban Hobi namun bukan jawaban yang ia dapat justru yang ia dapati adalah toyoran keras di kepalanya. Jika diingat-ingat masa lalu Ana ternyata suram sekali."Kau mendengarkanku tidak sih?" Hobi mendengus melihat Ana yang tampak enggan mendengar ceritanya."Memangnya kau pikir aku sedang apa? Ini kan sedang mendengarkanmu.""Kau nampak malas menanggapiku.""Bagaimana tidak? Kau selalu menceritakan hal sama, berapa kali ku
Seingat Ana terakhir kali ia tersadar, ia sedang duduk disamping Mikail, menceritakan dongeng sebelum tidur lalu tanpa sadar tertidur disana. Ana yakin dengan rentetan kejadian itu namun yang membuatnya heran, pagi tadi tiba-tiba saja ia terbangun di atas sofa dengan selimut membungkus tubuhnya. Ana jadi heran sejak kapan ia memindahkan tubuhnya sendiri kesana? Atau ada seseorang yang mengangkatnya? Tidak mungkin kan seseorang mengangkatnya saat tidur tapi dia tidak bangun sama sekali.Ya, Ana rasa itu tidak mungkin! Ana pasti sadar, ia tipe orang yang mudah terbangun meskipun hanya karena suara kecil. Sebenarnya Ana ingat semalam bermimpi Kei datang kerumah sakit, lalu pria itu memindahkan Ana ke atas sofa. Tapi Ana tidak yakin apakah itu mimpi atau bukan karena semuanya tampak samar, lagipula untuk apa Kei datang ke rumah sakit? Memangnya dia tahu? Ah! Atau mungkin ia memang tidak sadar telah melangkahkan kakinya sendiri dan berpindah tidur di atas sofa. Entalah, Ana t
Kegaduhan terdengar begitu jelas dari kamar Ana, membuat gadis itu mendadak membuka matanya dengan terpaksa. Ana melirik jam di atas nakas yang masih menunjukkan pukul 2 dini hari. Jantungnya berdegub kencang saat terdengar lagi suara pecahan piring atau gelas, Ana tidak tahu itu, yang pasti ia mulai ketakutan. Ana jadi berpikiran yang tidak-tidak mengingat sekarang dirinya hanya seorang diri saat ini. Kemarin pagi Kei sudah mulai bekerja karena batas cuti menikahnya sudah habis, sebenarnya Ana juga seharusnya sudah mulai bekerja, tapi ia urungkan niatnya mengingat jadwal operasi Mikail besok lusa, untungnya yang menjadi atasanya adalah Hobi, sehingga ia tidak perlu khawatir dipecat karena terlalu banyak mengambil libur, memang terkesan tidak profesional, namun Ana sudah meminta sangsi pada Hobi, pria itu bisa memotong gajinya. Tidak masalah untuk Ana karena yang jadi masalah Ana saat ini adalah Kei yang tidak pulang malam ini karena lembur. Lalu siapa yang membuat kegaduhan? Jangan
"Hai Ana? Apa Kei sudah bangun?"Wanita itu menatap Ana yang kebingungan dengan senyuman tersungging di wajahnya."Maaf nona, tapi anda siapa?" tanya Ana kepada wanita cantik dihadapannya, wanita itu tampak tak asing, tapi Ana tidak mengenalnya sama sekali. Ia memiliki rambut berwarna ash grey dengan panjang sebahu, saat ini memakai topi dengan kaos hitam kebesaran yang ditutupi jaket jeans berwana senada dengan celana jeans ketatnya, tidak luput dari pandangannya juga sepatu boots lalu dua koper besar disamping kanan kirinya. Ana tidak bisa jelas melihat wajahnya karena wanita itu menggunakan kacamata hitam.Apalagi yang membuatnya semakin bingung, wanita itu mengetahui namanya. Bukankah itu menandakan bahwa wanita itu mengenalnya? Tapi kenapa Ana tidak ingat sama sekali?"Aku tahu kau pasti saat ini sedang bingung, nanti saja ya perkenalannya karena aku sedang kesal sekali. Aish mana pria brengsek itu," ujarnya lalu melangkah masuk begitu saj
Pria itu menekan kode pass unit apartemen yang ia dapat dari temannya yang seorang hacker. Senyumannya tersungging di wajahnya saat ia berhasil menekan handle pintu lalu mendorongnya kedepan. Pintu itu dengan mudahnya terbuka menampilkan ruangan mewah dengan perabotan mahal. Ia meyakini harga semua barang disana mampu menghidupinya bertahun-tahun. Tapi bukan itu tujuannya datang kesana. Itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang akan ia lakukan nanti. Kakinya melangkah masuk lalu menutup pintu dengan perlahan. Ia mengamati ruangan yang tampak lenggang sepertinya tidak ada siapapun. Lalu Mengamati semua foto yang terpampang dan mendengus remeh dengan apa yang ia lihat. Sungguh semua foto yang ada disana membuatnya ingin meludahi wajah wanita itu. Tangannya mengepal saat memorinya memaksakan dirinya melihat rentetan kenangan masa lalu dirinya dengan dia. Sial!!! Wanita itu terlalu membekas dalam hidupnya. Ia mengitari seluruh ruangan dengan leluasa, mencari sosok yang ingin s
Ana mendengar suara gelak tawa dari ruangan adiknya, suara orang dewasa dan tentu saja suara Mikail. Aneh? Ini masih terlalu pagi untuk seseorang berkunjung, lagipula Ana tak merasa punya kerabat selain Hobi yang biasa mengunjunginya. Ah atau itu mungkin suster? Ana menekan handle pintu lalu mendorongnya, sedikit terkejut melihat presensi ibu Kei sudah datang dan sedang bermain dengan Mikail."Loh bu, pagi-pagi sudah datang? Aku dan Kei baru saja mengantar Mona kerumah ibu." Ana menghampiri Ibu Kei yang duduk di atas karpet bulu bersama dengan Mikail beserta mainannya, sepertinya karpet itu baru saja dibawa ibunya Kei dari rumah. Ana ikut duduk disana, setelah mencium pipi ibu."Mona sudah sampai? Nanti sore saja ketemunya, Ibu kangennya sama Mikail," ucap ibu sembari memeluk Mikail, Ana tersenyum haru melihat kedekatan mereka, mereka nampak seperti ibu dan anak sesungguhnya. Setidaknya Mikail bisa merasakan pelukan seorang ibu, meski bukan berasal dari ibu
"Bukan hanya kekasih tetapi wanita ini sudah memiliki suami."Kalimat yang dikatakan secara posesif itu terus menerus berputar di kepalanya, seperti kaset kusut yang berputar tanpa henti. Padahal hanya kalimat sederhana tapi efeknya membuat Ana terus-terusan berdegub kencang. Ana menghentikan kegiatannya lalu menarik nafasnya dalam-dalam guna menenangkan hatinya.Kenapa sih Kei harus berbicara seperti itu, dari ribuan kata yang ada kenapa dia memilih rangkaian kata seperti itu? memang sih dia tidak mengatakan hal yang salah atau mungkin bahkan memang tidak ada artinya untuk Kei tapi untuk Ana ... jelas kalimat itu tidak se sederhana kelihatannya. Ketika Kei mengatakannya secara posesif, entah mengapa Ana menjadi besar kepala.Ia tiba-tiba saja menjadi gelisah namun gelisah yang aneh. Ana merasa senang ketika Kei mangatakan itu pada seseorang, tapi kenapa? Ana tidak mengerti. Kenapa dia merasa senang? padahal perasaan seperti itu jelas melenceng dari isi ko
Ana menutup matanya rapat-rapat. Ia telah bersiap diri menerima tamparan keras yang menyakitkan itu lagi. Namun setelah beberapa detik ketika ia tidak merasakan apapun dan malah ia mendengar suara dentuman keras disusul pekikan seseorang. Ana segera membuka matanya dengan ragu-ragu dan saat mata itu terbuka matanya membelalak, ia melihat lelaki itu sudah terbaring di lantai, merintih kesakitan sembari memegang perutnya.Kei baru saja menendangnya, ia berdiri tegak di hadapan Ana memunggunginya. Ana tidak bisa melihat ekspresi Kei, tapi dari helaan nafas yang berat dan suara geraman yang tertahan membuat Ana yakin kalau Kei sedang marah besar. Ya Tuhan! Semua orang tahu seberapa mengerikannya Kei saat ini!"Sayanggg?! Kurang ajar beraninya kau pada kekasihku!" pekik wanita itu keras-keras, ia mendekati kekasihnya. Namun alih-alih menanggapi, Kei malah melangkah dengan tenang. Ketenangannya seperti laut dalam di samudra. Tenang namun mematikan. Tidak ada yang berani meng
"Jadi seperti ini rasanya." Kei bergumam ketika Ana menghampirinya sembari membawa hidangan yang baru saja ia masak. Ana menatapnya bingung namun Kei tidak menjelaskan apapun padanya. Setelah ia meletakkannya di atas meja makan, Ana duduk dihadapannya."Terima kasih, kau sungguh tidak lapar?" Ana menggelengkan kepalanya. "Aku sudah kenyang."Tidak ada percakapan lain, Kei mulai menghabiskan makanannya. Ana memperhatikan pria itu makan dengan lahap. Baru kali ini dia melihat sisi lain dari Kei, pria itu terlihat seperti manusia biasa pada umumnya. Umm meskipun sebenarnya dia memang manusia biasa. Hanya saja penampilannya yang selalu terlihat elegan membuat Ana merasa Kei seperti putera mahkota yang tidak bisa dijangkau."Ada apa? Kenapa kau terus melihatku? Ada yg salah?" Ana terkesiap, pipinya perlahan-lahan memerah karena malu. Dia segera menundukkan kepalanya saat Kei tiba-tiba saja memergokinya tengah memandanginya. Ana tidak tahu harus mengatakan apa selain
Ana menutup matanya rapat-rapat. Ia telah bersiap diri menerima tamparan keras yang menyakitkan itu lagi. Namun setelah beberapa detik ketika ia tidak merasakan apapun dan malah ia mendengar suara dentuman keras disusul pekikan seseorang. Ana segera membuka matanya dengan ragu-ragu dan saat mata itu terbuka matanya membelalak, ia melihat lelaki itu sudah terbaring di lantai, merintih kesakitan sembari memegang perutnya.Kei baru saja menendangnya, ia berdiri tegak di hadapan Ana memunggunginya. Ana tidak bisa melihat ekspresi Kei, tapi dari helaan nafas yang berat dan suara geraman yang tertahan membuat Ana yakin kalau Kei sedang marah besar. Ya Tuhan! Semua orang tahu seberapa mengerikannya Kei saat ini!"Sayanggg?! Kurang ajar beraninya kau pada kekasihku!" pekik wanita itu keras-keras, ia mendekati kekasihnya. Namun alih-alih menanggapi, Kei malah melangkah dengan tenang. Ketenangannya seperti laut dalam di samudra. Tenang namun mematikan. Tidak ada yang berani meng
"Bukan hanya kekasih tetapi wanita ini sudah memiliki suami."Kalimat yang dikatakan secara posesif itu terus menerus berputar di kepalanya, seperti kaset kusut yang berputar tanpa henti. Padahal hanya kalimat sederhana tapi efeknya membuat Ana terus-terusan berdegub kencang. Ana menghentikan kegiatannya lalu menarik nafasnya dalam-dalam guna menenangkan hatinya.Kenapa sih Kei harus berbicara seperti itu, dari ribuan kata yang ada kenapa dia memilih rangkaian kata seperti itu? memang sih dia tidak mengatakan hal yang salah atau mungkin bahkan memang tidak ada artinya untuk Kei tapi untuk Ana ... jelas kalimat itu tidak se sederhana kelihatannya. Ketika Kei mengatakannya secara posesif, entah mengapa Ana menjadi besar kepala.Ia tiba-tiba saja menjadi gelisah namun gelisah yang aneh. Ana merasa senang ketika Kei mangatakan itu pada seseorang, tapi kenapa? Ana tidak mengerti. Kenapa dia merasa senang? padahal perasaan seperti itu jelas melenceng dari isi ko
Ana mendengar suara gelak tawa dari ruangan adiknya, suara orang dewasa dan tentu saja suara Mikail. Aneh? Ini masih terlalu pagi untuk seseorang berkunjung, lagipula Ana tak merasa punya kerabat selain Hobi yang biasa mengunjunginya. Ah atau itu mungkin suster? Ana menekan handle pintu lalu mendorongnya, sedikit terkejut melihat presensi ibu Kei sudah datang dan sedang bermain dengan Mikail."Loh bu, pagi-pagi sudah datang? Aku dan Kei baru saja mengantar Mona kerumah ibu." Ana menghampiri Ibu Kei yang duduk di atas karpet bulu bersama dengan Mikail beserta mainannya, sepertinya karpet itu baru saja dibawa ibunya Kei dari rumah. Ana ikut duduk disana, setelah mencium pipi ibu."Mona sudah sampai? Nanti sore saja ketemunya, Ibu kangennya sama Mikail," ucap ibu sembari memeluk Mikail, Ana tersenyum haru melihat kedekatan mereka, mereka nampak seperti ibu dan anak sesungguhnya. Setidaknya Mikail bisa merasakan pelukan seorang ibu, meski bukan berasal dari ibu
Pria itu menekan kode pass unit apartemen yang ia dapat dari temannya yang seorang hacker. Senyumannya tersungging di wajahnya saat ia berhasil menekan handle pintu lalu mendorongnya kedepan. Pintu itu dengan mudahnya terbuka menampilkan ruangan mewah dengan perabotan mahal. Ia meyakini harga semua barang disana mampu menghidupinya bertahun-tahun. Tapi bukan itu tujuannya datang kesana. Itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang akan ia lakukan nanti. Kakinya melangkah masuk lalu menutup pintu dengan perlahan. Ia mengamati ruangan yang tampak lenggang sepertinya tidak ada siapapun. Lalu Mengamati semua foto yang terpampang dan mendengus remeh dengan apa yang ia lihat. Sungguh semua foto yang ada disana membuatnya ingin meludahi wajah wanita itu. Tangannya mengepal saat memorinya memaksakan dirinya melihat rentetan kenangan masa lalu dirinya dengan dia. Sial!!! Wanita itu terlalu membekas dalam hidupnya. Ia mengitari seluruh ruangan dengan leluasa, mencari sosok yang ingin s
"Hai Ana? Apa Kei sudah bangun?"Wanita itu menatap Ana yang kebingungan dengan senyuman tersungging di wajahnya."Maaf nona, tapi anda siapa?" tanya Ana kepada wanita cantik dihadapannya, wanita itu tampak tak asing, tapi Ana tidak mengenalnya sama sekali. Ia memiliki rambut berwarna ash grey dengan panjang sebahu, saat ini memakai topi dengan kaos hitam kebesaran yang ditutupi jaket jeans berwana senada dengan celana jeans ketatnya, tidak luput dari pandangannya juga sepatu boots lalu dua koper besar disamping kanan kirinya. Ana tidak bisa jelas melihat wajahnya karena wanita itu menggunakan kacamata hitam.Apalagi yang membuatnya semakin bingung, wanita itu mengetahui namanya. Bukankah itu menandakan bahwa wanita itu mengenalnya? Tapi kenapa Ana tidak ingat sama sekali?"Aku tahu kau pasti saat ini sedang bingung, nanti saja ya perkenalannya karena aku sedang kesal sekali. Aish mana pria brengsek itu," ujarnya lalu melangkah masuk begitu saj
Kegaduhan terdengar begitu jelas dari kamar Ana, membuat gadis itu mendadak membuka matanya dengan terpaksa. Ana melirik jam di atas nakas yang masih menunjukkan pukul 2 dini hari. Jantungnya berdegub kencang saat terdengar lagi suara pecahan piring atau gelas, Ana tidak tahu itu, yang pasti ia mulai ketakutan. Ana jadi berpikiran yang tidak-tidak mengingat sekarang dirinya hanya seorang diri saat ini. Kemarin pagi Kei sudah mulai bekerja karena batas cuti menikahnya sudah habis, sebenarnya Ana juga seharusnya sudah mulai bekerja, tapi ia urungkan niatnya mengingat jadwal operasi Mikail besok lusa, untungnya yang menjadi atasanya adalah Hobi, sehingga ia tidak perlu khawatir dipecat karena terlalu banyak mengambil libur, memang terkesan tidak profesional, namun Ana sudah meminta sangsi pada Hobi, pria itu bisa memotong gajinya. Tidak masalah untuk Ana karena yang jadi masalah Ana saat ini adalah Kei yang tidak pulang malam ini karena lembur. Lalu siapa yang membuat kegaduhan? Jangan
Seingat Ana terakhir kali ia tersadar, ia sedang duduk disamping Mikail, menceritakan dongeng sebelum tidur lalu tanpa sadar tertidur disana. Ana yakin dengan rentetan kejadian itu namun yang membuatnya heran, pagi tadi tiba-tiba saja ia terbangun di atas sofa dengan selimut membungkus tubuhnya. Ana jadi heran sejak kapan ia memindahkan tubuhnya sendiri kesana? Atau ada seseorang yang mengangkatnya? Tidak mungkin kan seseorang mengangkatnya saat tidur tapi dia tidak bangun sama sekali.Ya, Ana rasa itu tidak mungkin! Ana pasti sadar, ia tipe orang yang mudah terbangun meskipun hanya karena suara kecil. Sebenarnya Ana ingat semalam bermimpi Kei datang kerumah sakit, lalu pria itu memindahkan Ana ke atas sofa. Tapi Ana tidak yakin apakah itu mimpi atau bukan karena semuanya tampak samar, lagipula untuk apa Kei datang ke rumah sakit? Memangnya dia tahu? Ah! Atau mungkin ia memang tidak sadar telah melangkahkan kakinya sendiri dan berpindah tidur di atas sofa. Entalah, Ana t
Ana menyeruput kopinya di kantin rumah sakit dengan nikmat, sembari mendengar ocehan Hobi tentang wanita pujaannya. Selama bertahun-tahun mengenalnya baru kali ini Ana melihat pria itu begitu antusias menceritakan seorang wanita. Dulu Ana pernah sampai berpikiran buruk bahkan pernah bertanya secara langsung apakah pria itu tidak menyukai wanita atau dia menderita penyakit imponten sampai ia merasa malu mendekati perempuan manapun, teman perempuannya saja hanya Ana seorang. Bukannya apa-apa, Ia sungguh merasa cemas, ingin membantu meringankan beban Hobi namun bukan jawaban yang ia dapat justru yang ia dapati adalah toyoran keras di kepalanya. Jika diingat-ingat masa lalu Ana ternyata suram sekali."Kau mendengarkanku tidak sih?" Hobi mendengus melihat Ana yang tampak enggan mendengar ceritanya."Memangnya kau pikir aku sedang apa? Ini kan sedang mendengarkanmu.""Kau nampak malas menanggapiku.""Bagaimana tidak? Kau selalu menceritakan hal sama, berapa kali ku