"Jadi ... apa ini berarti lo jawab iya buat permintaan gue tadi?" tanya Ares begitu aku kembali ke meja tempat Ares menunggu.
"Hah? Belum. Aku masih harus mikirin lagi. Emangnya gampang ngebolak-balikin hati," sungutku mengalihkan tatapan ke buku menu. Mendadak jantungku kembali berlompatan tak karuan.
"Ya, mungkin karena Tuhan berkehendak kita bersama, Dia ngebalikin hati lo. Kami nomi zo shiru(hanya Tuhan yang tahu),"sahutnya dengan gaya santai dan tersenyum jail.
"Nan da yo!" (Apaan, sih!) Wajahku mendadak memanas.
"Ha-ha, tadi pas lo wa minta buat ngaku jadi pacar lo aja gue dah seneng banget, Li. Pengen nerusin beneran gitu," kekehnya makin menggodaku.
"Ih, udahan, deh. Ntar kal
Aku langsung keluar kamar setelah menutup percakapan dengan Ares. Sayup-sayup kudengar suara Buk Rom membaca ayat suci Al-Qur'an dari kamarnya, kemudian berhenti ketika aku mengetuk pintu. Suara seraknya menyahut dari dalam menyuruhku untuk masuk."Maaf ganggu, Buk," ucapku mengintip cari celah pintu yang sedikit terbuka."Nggak kok, ibuk juga sudah mau beres," ujarnya sambil menutup mushaf yang ada di pangkuannya.Aku masuk dan duduk di samping Huk Rom."Mama suruh Lia nganterin Ibuk ke pasar," kataku sambil memperhatikan Buk Rom menyimpan mushaf dan melipat mukenanya."Ada tamu yang mau datang?" tanya Buk Rom berbalik sambil merapikan gulungan rambut dan menutupnya dengan ciput.Aku mengangguk. "Teman Lia. Mau makan siang di sini," sahutku tak mampu menyembunyikan rasa panas yang menjalar ke pipi saat mengingat Ares."Laki-laki?" tanya Buk Rom tersenyum penuh arti.Sekali lagi aku mengangguk tak dapat menahan se
Tidak ada penolakan atau keberatan yang ditunjukkan Papa ketika Ares meminta restu. Rasanya bagai sebuah keajaiban. Ini seperti sebuah mimpi. Bahkan ketika Mama membiarkanku menghabiskan waktu berdua dengan Ares pun rasanya bagai sesuatu hal yang mustahil yang terjadi.Setelah mengurus tiket untuk keberangkatanku ke Jakarta besok, aku menyempatkan diri untuk mengajak Ares untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kota kelahiranku. Mengajaknya menikmati kuliner khas daerahku.Hal yang tak sempat kulakukan ketika dulu Rio datang ke kotaku dan meminta restu, sama seperti yang Ares lakukan saat ini.Di sepanjang perjalanan, kulihat wajah Ares tersenyum semringah. Rasanya baru kemarin dengan berat hati harus melepaskannya ketika dia menyerah dengan perasaannya. Kini kami kembali bersama. Memulai kembali petualangan baru yang membuat jantungku berlompatan tak karuan seperti saat bersamanya dulu.Ah! Ternyata hatiku
Ketakutan itu kembali muncul. Bagaimana jika sebenarnya Ares bukan orang yang tepat mendampingiku. Bagaimana jika sebenarnya Tuhan sudah memberi sinyal padaku enam tahun yang lalu, bahwa Ares memang tak layak untuk menjadi mendampingiku.Dia masih belum mampu melepas luka masa lalunya. Bagaimana mungkin dia akan mampu membantuku untuk mengobati luka masa laluku? Kami dua orang yang sama-sama membawa luka. Akankah sanggup melewati ujian yang lebih berat ketika berumah tangga kelak?"Nggak, gue anter ke hotel," tolaknya. Kali ini kecepatan mobilnya telah berkurang. Lalu kembali hening. Hanya suara deru ban mobil menjejak aspal, yang terdengar. Beruntung jalanan kali ini tidak terlalu macet, hingga tak perlu terjebak lama-lama dengan laki-laki yang tengah berjuang keras meredakan emosinya itu.*****Ares mengantarku ke hotel yang terletak tak jauh dari lokasi kantor rumah produksi yang menawarkan kerjasama pe
Lelah menjejak jelas di wajah Ares ketika dia datang menjemputku ke rumah Mama Yasmin. Kantung matanya menghitam dan sedikit sembab. Namun ia tetap berusaha menyembunyikannya dibalik senyum."Kamu kurang tidur?" tanyaku khawatir."Iya, mikirin lo," sahutnya dengan kedua sudut bibir tertarik ke atas, berusaha terlihat biasa."Res, aku minta maaf. Karena menganggap masalahmu sepele. Aku memang nggak ngerti gimana perasaan kamu tempo hari ...."Nggak apa-apa, Li. Kejadiannya sudah sembilan belas tahun yang lalu, harusnya gue sudah bisa berdamai dengan masa lalu. Padahal kemarin gue yang sok bijak ngajarin lo buat saling menguatkan," potongnya dengan senyum lemah."Sekarang, kamu beneran udah siap?" Aku menatap lekat wajah lelah yang berada di belakang kemudi.Ares mengangguk pelan."Harus. Gue nggak mungkin terus-teru
Ruangan seluas lima meter persegi ini mendadak senyap. Hanya bunyi detak pendulum jam antik di sudut ruang keluarga yang terdengar memecah sunyi. Tante Elisa berkali-kali menarik napas, membuangnya perlahan, seperti tengah mengumpulkan keberanian. Dia mengusap ujung mata dan ujung hidung yang telah memerah."Ada hal yang perlu kalian ketahui ketika nanti menjadi orangtua." Tante Elisa mulai berbicara."Apalagi setelah menjadi orangtua. Tidak serta merta semua menjadi indah ketika kalian dikaruniai seorang anak. Justru terkadang dari sana lah dimulai tantangan sebenarnya dalam berumah tangga." Tante Elisa kembali menyusut airmatanya.Kali ini Ares mulai mengangkat wajah, menatap perempuan yang telah melahirkannya dengan wajah yang terlihat penuh kerinduan. Aku merasa bahwa Ares tak sepenuhnya membenci Tante Elisa. Kurasa kerinduan yang telah menumpuk sekian tahun, membuatnya berubah
Separuh beban terasa terangkat begitu aku melangkah keluar dari area pemakaman bersama Ares. Angin bertiup pelan ketika kami beberapa langkah meninggalkan kavling tempat peristirahatan Rio. Seolah mengucapkan salam selamat tinggal pada duka yang selalu terpatri setiap kali aku ke sini. Aku kembali menoleh ke belakang, menatap makam Rio dengan mengulas senyum.Terima kasih sudah mencintaiku begitu dalam, Rio, bisikku sebelum mengikuti langkah panjang Ares."Sudah sampai mana progres proyek movie-nya, Li?" tanya Ares setelah beberapa lama kami saling diam semenjak keluar dari area pemakaman."Minggu depan rencana mau tahap audisi talent." Aku mengulas senyum.Lagi-lagi semua terasa bagai mimpi. Ares ada di sampingku seperti harapanku sebelum bertemu Rio. Mengobrol tentang bakat yang dulu
"Itu tadi siapa, sih?" tanyaku sambil meletakkan potongan daging ke atas pemanggang yang ada di meja kami.Semenjak bertemu dengan laki-laki di depan restoran Jepang tadi, Ares tak banyak bicara. Wajahnya tampak sedikit gusar. Tidak seperti Ares yang kukenal biasa. Caranya menggandeng tanganku juga terasa berbeda. Bahkan tak sekalipun dia menoleh padaku ketika berbicara."Nggak usah dibahas," ketus Ares ikut menyiapkan menu makan siang kami."Apa kamu memang merasa aku bekas Rio, makanya jadi ngerasa keganggu?" tanyaku sambil masih menyibukkan diri menyiapkan menu makan siang kami. Pertanyaan yang sedikit banyak membuat hatiku ciut. Khawatir Ares juga menganggap hal yang sama dengan orang yang tadi menegur kami.Kulir
Jam menunjukkan pukul 21.15 ketika mobil yang dikendarai Ares berhenti di depan kafe yang menjadi tempat kenangan kami dulu. Tidak banyak yang berubah, kecuali jumlah meja luar ruang yang makin bertambah. Halaman yang dulu dijadikan lahan parkir, berubah menjadi tempat menerima pengunjung dengan payung-payung berwarna-warni yang digantung pada seutas kawat menghiasi bagian atasnya. Tak ketinggalan lampu-lampu kecil digantung dari dahan pohon sekitar kafe, terlihat seperti tetesan air hujan. Menambah semarak halaman tempat tersebut. Area parkir pengunjung dialihkan ke halaman rumah yang terdapat di samping kafe. Tak ada kendaraan roda dua yang menumpukan di halaman depan seperti dulu. Kang Hilmi menyambut dengan wajah semringah ketika kami memasuki ruangan kafe. Seperti halnya suasana tempat itu, wajah pemilik ya pun tidak banyak beru
Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa
Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.******Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya
Jika ada yang lebih berat dari menerima kenyataan, hal itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan lah perkara mudah. Terlebih lagi jika itu memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kehidupanmu. Akan tetapi, psikiaterku berkata, memaafkan itu seperti menanggalkan beban yang kita pikul. Aku harus bisa melakukan agar mampu melangkah dengan ringan.Perlahan, aku mulai menerima kehadiran jabang bayi yang mulai tumbuh dan membesar di rahimku. Merasakan gerakannya yang makin menguat. Kehadirannya sedikit banyak membantuku mengusir rasa sepi yang belakangan sering mengusik. Terkadang tanpa sadar, aku mengajaknya berbicara. Lalu terkekeh geli ketika gerakan kuatnya seakan membalas perkataanku.Bulan ini aku pun sudah mulai kembali ke rutinitas sebagai author komik. Melanjutkan kontrak kerja yang sempat terbengkalai dan mengikuti perkembangan proyek film dari ceritaku yang sedang di garap oleh rumah produksi.Ares terlihat senang dengan perubahan sikapku akhir-akhir ini. T
"Mau tau jenis kelaminnya?" Dokter Puji melirik dari balik kaca matanya dengan senyum teduh. Mengalihkan tatap dari layar monitor alat USG.Meski dokter yang berwajah keibuan ini tau riwayat janin yang kukandung, tetapi dia tetap memberi tau perkembangan janin dalam rahimku dengan penuh semangat. Seolah-olah janin ini adalah anak sah dari pernikahan kami."Mau, Dok!" Ares yang lebih dahulu menjawab penuh semangat, mengalihkan perhatiannya dari televisi layar datar di seberang tempat periksa yang sedari tadi ia perhatikan, dengan seluas senyum."Baby-nya laki-laki," tukas Dokter Puji sambil menggerakkan kembali transduser ke bagian sisi perutku yang lain. Kurasakan kembali gerakan yang sedikit menyentak itu di dalam perut."Bayinya aktif banget ini." Dokter Puji tertawa pelan melihat gerakan di layar monitor alat USG.Alih-alih memperhatikan dengan seksama gambar abstrak yang ada di monit
Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah menerima dan merasakan sesosok makhluk telah tumbuh dalam rahimku. Gerakan-gerakan halus itu kini terasa nyata. Ares masih terus menghujaniku dengan perhatian. Meski terkadang aku dapat melihat tatapan terluka dari sorot matanya saat aku mulai mengeluhkan sikapnya yang terus saja menahan diri untuk tidak menyentuhku seperti seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya.Sudah dua bulan ini aku kembali rutin mengunjungi psikiater. Setelah kembali harus menjalani pemeriksaan ke kantor polisi terkait kasusku, trauma ini semakin terasa menyiksa. Terlebih lagi, ketika menjalani beberapa sidang. Melihat wajah pelaku membuat ketakutanku semakin menjadi. Aku beberapa kali kembali mengalami mimpi buruk. Meskipun tak mengingat kejadian sebenarnya, entah kenapa alam bawah sadarku seakan memberikan gambaran jelas tentang kejadian itu.Hampir tiap malam
Wajah khawatir Ares terlihat begitu kentara kala dia menemuiku di kamar sepulang kerja."Kata Buk Rom seharian kamu nggak makan. Muntah-muntahnya makin parah?" tanyanya lirih.Aku mengangguk lemah."Aku bantu siap-siap, ya. Kita ke dokter sekarang." Nada Ares lebih seperti titah yang tak bisa dibantah. Dia menyibakkan selimut dan membantuku untuk bangun. Setelah memastikan aku duduk dengan posisi nyaman dengan bersandar, Ares beranjak ke meja rias di sisi lain tempat tidur, mengambil sisir dan menyibakkan rambut yang menutupi bagian keningku."Biar aku yang nyisir rambut sendiri," tepisku mengambil alih sisir dari tangan Ares.Tanpa membantah, dia menyerahkan sisir kemudian beralih ke walking closet. Membuka sisi lemari tempat pakaianku tersimpan dan mengambil salah satu pakaian yang terdapat di bagian atas."Ganti baju dulu. Sepertinya bajumu juga sudah basah karena kerin
Sebuah gerakan pelan membuatku tersentak. Sudah lama sekali rasanya aku tidak tidur tanpa mimpi yang membuatku terbangun dengan napas tersengal di tengah malam. Aku membuka mata dengan cepat, mendapati Ares dengan posisi duduk dan menatapku."Maaf membuatmu terbangun," tukasnya sambil menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhku."Kamu mau kemana?" Aku bangkit menyibakkan selimut, menarik tangan Ares seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal. Entah kenapa rasa takut ditinggalkan Ares terlintas begitu saja di benakku."Mau mandi—""Bukannya tadi sudah mau mandi?" Aku memotong kalimat Ares, tidak terima dengan alasannya."Ini sudah pagi, istriku ... aku mau siap-siap berangkat kerja," balas Ares tertawa geli melihat tanganku yang menarik tangannya dengan posesif.Dengan sorot mata tak percaya, aku melirik jam digital yang terletak di nakas. Pukul 04.3
Aku baru saja beres membenahi pakaian ke dalam walk in closet saat Ares kembali masuk kamar dan menghampiriku. Duduk di tepi tempat tidur dan berkata, "Makan malam sudah datang. Makan, yuk," ajaknya dengan seluas senyum lembut terukir manis di bibirnya.Aku bangkit seraya mengangguk dan membalas senyumnya."Pesan apa?" tanyaku saat mengikutinya keluar kamar."Nasi Padang, biar Buk Rom nggak terlalu kaget," balasnya seraya merangkul bahuku.Aku kembali mengulas senyum. Betapa lelaki ini penuh perhatian, bukan hanya ke padaku, bahkan pada Buk Rom yang bukan siapa-siapa baginya pun tak luput dari perhatiannya. Keyakinanku makin tumbuh, bahwa aku akan menemukan bahagiaku bersamanya kelak. Meski kini aku masih tertatih meraup satu kata itu ke dalam hidupku. Dan aku berjanji untuk mampu bangkit setelah keterpurukan ini. Sesulit apa pun, akan kuusahakan."Ibuk istirahat saja biar saya yang cuci
"Ma, Lia nggak mau anak ini," cetusku ketika mama hendak beranjak keluar kamar. Ares tersentak, melepaskan pelukan yang sedari tadi tak ia lepas. Dari sudut mata, kulihat wajah Ares mengeras."Lia mau aborsi aja. Mama kan dokter kandungan ...." Aku memperjelas kalimatku untuk meminta bantuan dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Mengharapkan profesinya bisa menyelamatkanku keluar dari masalah saat ini."Nggak bisa, itu melanggar kode etik dokter," balas mama berbalik menatapku datar. Tak ada kesan iba atau khawatir selayaknya seorang ibu pada putrinya."Bukannya ada pengecualian untuk korban perkosaan?" Aku berusaha setenang mungkin mengemukakan permintaan, menahan airmata yang kembali berdesakan untuk luruh. Meski rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar mama mau sedikit berbelas kasih padaku. Anaknya yang saat ini tengah ditimpa kemala