Vera keluar dari kamar tidur itu, lalu melihat suasana yang ada di luar. Ternyata, mereka dibawa ke rumah asing, seluruh jendela terpasang teralis besi, jadi takkan bisa kemanapun.
Dia diam saja, mengikuti Nino sampai ke ruang tengah. "Ada apa ini? Mau kamu bawa ke mana sebenarnya aku? Tolong jelasin sekarang!""Berisik banget sih kamu?" ucap Nino dengan suara dingin. Dia berhenti, lalu berbalik badan, dan berjalan mendekati wanita itu.Tanpa banyak basa-basi lagi, dia mencengkram leher Vera, lalu didorong hingga punggung wanita itu menyentuh ke tembok.Vera terbelalak kaget. Dia bingung dengan kelakuan Nino. Karena cengkraman itu kuat sekali, dia memegangi pergelangan tangan pria itu, berusaha untuk dilepaskan darinya.Dia bertanya, "apa maksudnya ini? Lepasin aku! Nino!""Nggak bakalan." Nino semakin mendekatkan diri mereka sehingga dada saling menyentuh.Napas Vera tertahan. Belakang terdesak oleh tembok, depan terdeHamil?Sudah pasti itu yang ada dipikiran Nino saat melihat perut Vera. Dia masih terdiam untuk beberapa detik, tak percaya ini.Dia menatap wanita itu dengan pandangan yang tajam. Kemudian, dia bertanya, "kamu hamil?"Vera tak menjawab.Nino mengepalkan tangan, lalu meninju tembok di samping kiri Vera. Dia membentak, "Kamu hamil atau enggak! Jawab!"Vera takut sampai memalingkan wajah, lalu memejamkan mata. Dia tak mau mengatakan yang sesungguhnya.Tapi, dengan kebungkaman tersebut, Nino bisa mengambil kesimpulan sendiri. Dia menggeleng tak percaya. Dia berkata, "nggak mungkin. Wanita murahan macam apa kamu ini? Apa kamu masih berhubungan badan dengan pria itu sekalipun sudah tahu dia pengkhianat!"Vera tak terima disebut murahan. ”Aku bukan murahan! Kamu nggak bisa seenaknya bilang aku murahan! Ini anakku dan suamiku!“Dia memberanikan diri menatap wajah pria mengerikan itu. Kemudian, dia mengayunkan tangan, hendak menampar pipinya.Akan tetapi, aksi itu terhenti akibat disambar le
Hati Vera diliputi oleh pertanyaan tentang siapa yang menggebrak pintu. Selain itu, dia juga dibuat bingung harus bagaimana. Apakah harus sembunyi?Dia ingin berteriak minta tolong, mungkin saja itu pertolongan, tapi bagaimana kalau di luar pintu itu orang suruhan Alarik?Jadi, sekarang harus sembunyi atau bagaimana?Vera bingung, panik dan tidak tahu harus apa. Dia melihat sekeliling— tak ada tempat yang aman dijadikan tempat sembunyi.Detak jantungnya berdebar tak karuhan. Dia benar-benar dilanda kepanikan luar biasa.Saat ini, dia sedang hamil. Dia tak bisa membuat dirinya tertangkap Alarik. Entah apa yang akan dilakukan pria itu jika tahu ini.Gebrakan demi gebrakan terdengar mengancam. Tanpa diduga, gebrakan terakhir membuat kunci pintu rusak."Ah—“ Vera terkejut. Dia buru-buru menunduk, hendak masuk ke kolong ranjang.Akan tetapi, pintu itu ditendang dengan kasar sampai terbuka— dan terlihatlah orang yang
Vera dan Danno mulai berbaikan. Walaupun mereka sempat diam-diaman, tapi masih bisa saling memahami. Semua pertikaian mereka terjadi hanya karena orang lain.Danno menjelaskan, "sayang, walau kamu udah tahu kenyataannya, tapi aku beneran bakalan ngasih kamu bukti tentang Sheila itu. Sekarang Sean lagi ngelacak di mana dia."Vera tertunduk lesu. Dia menyentuh perutnya, mengelusnya dengan lembut. "Aku sebenarnya udah nggak marah sama kamu. Aku kayaknya emang nggak bakalan bisa hidup tanpa kamu sekalipun aku hamil atau enggak."Tak ada jawaban dari Danno."Danno ..." Vera mengangkat wajah, lalu menatap sang suami. Dia tersenyum manis. "Makasih udah maafin aku. Aku terlalu cemburu waktu itu sampai nggak bisa berpikir jernih ... jujur aja sih, aku juga masih cemburu."Danno mengecup kening Vera, lalu berkata, "maaf, Sayang, aku juga jijik saat sadar sudah tidur sama wanita lain. Aku nggak ngira ... tahu-tahu wanita itu udah tidur di sebelahku. Awalnya aku masih percaya Nino, tapi ternyata
Keesokan harinya ...Vera membuka mata, bangun dari tidurnya akibat rasa mual tak nyaman. Dia perlahan bangkit sambil menutupi mulut, rasanya ingin muntah. Beruntung, Venny yang tidur di sebelahnya tak terganggu dan tetap pulas.Berbeda dengan Danno, pria itu sadar kalau Vera turun ranjang. Dia membuka mata pula. Dia masih mengantuk. Akan tetapi, ikutan bangun, lalu bertanya, "ada apa, Sayang? Masih jam lima ini. Kamu mual?y""Mmm .. iya, aku agak mual." Vera tak mengatakan apapun lagi, lalu buru-buru turun dari ranjang, dan berlari masuk ke dalam kamar mandi. Wanita itu menghabiskan banyak waktu di dalam sana, membuat Danno agak cemas. Pria itu turun ranjang, lalu mencari obat kehamilan Vera dari laci meja.Begitu Vera keluar, pria itu berkata, "kalau masih mual, minum obat yang dari dokter dulu ini. Kamu mau aku bikinin apa? Teh hangat?""Enggak usah." Vera menghampiri sang suami, lalu menerima botol obat dari dokter kandungannya. "Ini cuma gejala ringan aja, kok. Kamu ngapain iku
Setelah selesai sarapan, Dannoengurus beberapa hal di luar. Dari mulai urusan di kantor polisi yang melibatkan Nino, hingga urusan di tempat gym.Hari ini, dia membahas beberapa hal dengan Dino, Sean, dan Rey. Mereka bertiga adalah orang kepercayaan Danno.Mereka berada di ruang pribadi Danno— sudah sejam berlalu. Iya, saat ini jarum jam sudah menunjuk di pukul setengah sepuluh.“Itu aja yang mau aku omongin sama kalian,” kata Danno kemudian.Sean dan Rey kompak duduk di sofa panjang dekat jendela. Berhubung ruangan itu ada di lantai atas, jadi mereka bisa melihat pemandangan bangunan-bangunan kota dari situ. Sementara itu, Dino tampak sibuk menata berkas di atas meja.Sean bertanya, “oh iya, Pak, apa saya boleh ijin pulang sebentar ke Jakarta? Paman saya butuh bantuan. Mungkin saya balik Minggu depan.""Nggak ada masalah. Kerja kamu udah bagus banget. Kita dapat bukti yang cukup buat nuntut Nino.” Danno menoleh ke Rey. Dia penasaran dengan pria itu. "Kamu kalo mau ikutan, boleh aja k
Danno melihat Vera yang sangat gembira hari ini. Dia makin merasa kalau istrinya terlalu mendalami perannya sebagai ibu pengganti. Perasaannya jadi tidak enak. Semakin wanita itu sayang pada Venny, maka semakin rumit nanti.Di saat dia makan steak pesanannya, sang istri menyuapi anak itu dengan ayam dan nasi. Beberapa kali terlihat mereka saling bercanda dan tertawa.Meski khawatir apa yang akan dilakukan Nino setelah bebas nanti, tapi dia tetap bahagia melihat Vera begini.Usai makan, Venny diberikan uang untuk membeli es teh di stand yang dekat dengan tempat mereka duduk."Lucu banget dia 'kan? Dia walaupun kayak pemalu, tapi berani loh," kata Vera, sudah seperti ibu bangga terhadap anaknya yang berani membeli minuman sendiri."Dia udah tujuh tahun, Sayang, udah kelas satu SD 'kan harusnya, wajar aja berani," kata Danno ikut melihat Venny berinteraksi dengan penjaga stand."Oh iya, aku tadi juga ngomongin ini sama pengasuhnya, gimana ya sekolahnya, aku bingung. Sekolahnya agak jauh
Selama berjam-jam, Danno menghabiskan waktu bersama istri dan keponakannya. Dia tidak keberatan sama sekali. Malahan, bahagia bisa melihatnya bahagia.Akan tetapi, setelah hampir sejam hanya jalan-jalan saja di sepanjang Mall, Danno mulai khawatir. Dia berkata, "Sayang, udah cukup 'kan beli baju sama yang lain, kita pulang aja ya? Kamu nanti capek, loh."Vera melihat Venny yang masih riang di depan mereka. "Sebenarnya sih agak susah minta pulang apalagi keponakan kita suka banget di sini. Tapi ...""Ingat, kamu itu hamil. Aku sebenarnya cuma peduli sama kamu dan anak kita."Vera menatap suaminya. Dia tahu maksud ucapan itu adalah— Danno masih mengutamakan dirinya ketimbang kebahagiaan Venny.Dia tersenyum. "Iya, iya aku tahu. Ayo pulang, bentar aku ajakin Venny dulu.“Danno mengangguk puas. Dia tidak akan berbohong kalau memang mengutamakan istri dan calon anaknya. Untuk Venny, dia masih menganggapnya sebagai anak orang lain. Meski demikian, dia tetap sayang padanya.Setelah itu, dia,
Selama sejam lamanya, Vera dan Danno duduk berduaan di sofa sambil menonton berita sore. Vera menyandarkan kepala di pundak Danno sembari makan camilan berupa keripik kentang.Danno sesekali ikut mengambil keripik kentang itu, lalu dimakan. Dia berkata, "Sayang, kapan jadwal periksa kandungan?""Minggu depan.""Aku beneran nggak sabar menggendong anak kita," kata Danno sambil menyentuh perut Vera. "Kapan ya besar perut kamu?"Vera tertawa. "Baru juga hamil, sabar, dong."Danno tersenyum, masih betah mengelus perut Vera. Dia sungguh bahagia dengan semua ini. "Aku tahu kita masih dalam misi ngancurin Alarik, tapi kamu beneran nggak marah lagi 'kan hamil anakku?""Nggaklah, ngapain marah? Aku malah bahagia. Iya sih kita nggak ngerencanain punya anak sekarang, tapi mau bagaimana lagi ... anak 'kan titipan."Danno tak menjawab."Oh iya ..." Vera kembali bicara. "Ngomong-ngomong, kamu pengen punya anak cewek atau cowok?""Cewek, cowok, terserah, Sayang. Yang penting itu anakku."Vera tersen