Danno melihat Vera yang sangat gembira hari ini. Dia makin merasa kalau istrinya terlalu mendalami perannya sebagai ibu pengganti. Perasaannya jadi tidak enak. Semakin wanita itu sayang pada Venny, maka semakin rumit nanti.Di saat dia makan steak pesanannya, sang istri menyuapi anak itu dengan ayam dan nasi. Beberapa kali terlihat mereka saling bercanda dan tertawa.Meski khawatir apa yang akan dilakukan Nino setelah bebas nanti, tapi dia tetap bahagia melihat Vera begini.Usai makan, Venny diberikan uang untuk membeli es teh di stand yang dekat dengan tempat mereka duduk."Lucu banget dia 'kan? Dia walaupun kayak pemalu, tapi berani loh," kata Vera, sudah seperti ibu bangga terhadap anaknya yang berani membeli minuman sendiri."Dia udah tujuh tahun, Sayang, udah kelas satu SD 'kan harusnya, wajar aja berani," kata Danno ikut melihat Venny berinteraksi dengan penjaga stand."Oh iya, aku tadi juga ngomongin ini sama pengasuhnya, gimana ya sekolahnya, aku bingung. Sekolahnya agak jauh
Selama berjam-jam, Danno menghabiskan waktu bersama istri dan keponakannya. Dia tidak keberatan sama sekali. Malahan, bahagia bisa melihatnya bahagia.Akan tetapi, setelah hampir sejam hanya jalan-jalan saja di sepanjang Mall, Danno mulai khawatir. Dia berkata, "Sayang, udah cukup 'kan beli baju sama yang lain, kita pulang aja ya? Kamu nanti capek, loh."Vera melihat Venny yang masih riang di depan mereka. "Sebenarnya sih agak susah minta pulang apalagi keponakan kita suka banget di sini. Tapi ...""Ingat, kamu itu hamil. Aku sebenarnya cuma peduli sama kamu dan anak kita."Vera menatap suaminya. Dia tahu maksud ucapan itu adalah— Danno masih mengutamakan dirinya ketimbang kebahagiaan Venny.Dia tersenyum. "Iya, iya aku tahu. Ayo pulang, bentar aku ajakin Venny dulu.“Danno mengangguk puas. Dia tidak akan berbohong kalau memang mengutamakan istri dan calon anaknya. Untuk Venny, dia masih menganggapnya sebagai anak orang lain. Meski demikian, dia tetap sayang padanya.Setelah itu, dia,
Selama sejam lamanya, Vera dan Danno duduk berduaan di sofa sambil menonton berita sore. Vera menyandarkan kepala di pundak Danno sembari makan camilan berupa keripik kentang.Danno sesekali ikut mengambil keripik kentang itu, lalu dimakan. Dia berkata, "Sayang, kapan jadwal periksa kandungan?""Minggu depan.""Aku beneran nggak sabar menggendong anak kita," kata Danno sambil menyentuh perut Vera. "Kapan ya besar perut kamu?"Vera tertawa. "Baru juga hamil, sabar, dong."Danno tersenyum, masih betah mengelus perut Vera. Dia sungguh bahagia dengan semua ini. "Aku tahu kita masih dalam misi ngancurin Alarik, tapi kamu beneran nggak marah lagi 'kan hamil anakku?""Nggaklah, ngapain marah? Aku malah bahagia. Iya sih kita nggak ngerencanain punya anak sekarang, tapi mau bagaimana lagi ... anak 'kan titipan."Danno tak menjawab."Oh iya ..." Vera kembali bicara. "Ngomong-ngomong, kamu pengen punya anak cewek atau cowok?""Cewek, cowok, terserah, Sayang. Yang penting itu anakku."Vera tersen
Vera datang dengan membawakan segelas minuman teh hangat. Dia menyajikan itu di atas meja."Makasih, Mbak," ucap Talia bersikap dengan sopan. Dia meminum teh itu.Vera duduk di sofa lain dari tempat Talia duduk. Dia masih berusaha untuk tetap sopan juga.Usai minum, Talia bertanya, "oh iya, mbak bisa bahasa Jawa nggak?""Maaf, nggak bisa," sahut Vera senyum sedikit, "aku bukan asli orang Jawa soalnya.""Eh masa, sih? Mbak bukan orang Jawa? Bukan suku Jawa?""Bukan.""Kok Mama bilang asli Jawa, ya?"Vera terkejut. Dia tidak pernah mengetahui apapun tentang sang mama. Akan tetapi, dia yakin harusnya papanya menikah dengan sesama suku.Dia menjelaskan, "aku aslinya suku Betawi. Papa juga Betawi, harusnya Mama Betawi, tapi ... Maaf, aku nggak begitu tahu tentang Mama.""Eh?" Talia malah makin kaget. Dia seperti menahan tawa juga, tapi tak ingin mengatakan jalan pikirannya. Vera bingung de
SMA Kartini.Nama sekolah itu akhirnya terlintas di pikiran Danno. Dia memang pernah dijadikan bintang tamu di beberapa sekolah bertahun-tahun yang lalu. Iya, terutama sekolah yang memiliki ekstrakurikuler karate.Tidak hanya di kota ini, di kota sekitar pun, dia juga diundang. Itu hal yang wajar dahulu karena dia adalah seorang juara dunia.Vera masih menatap sang suami. Dia membuyarkan lamunan pria itu dengan bertanya, "kamu dulu jadi bintang tamu di sekolahnya?""Iya. Nggak cuma sekolah-sekolah di kota ini, tapi aku dulu juga diundang ke SMP-SMA di kota lain. Tujuh atau delapan tahun yang lalu mungkin— kayaknya waktu aku masih kuliah atau udah lulusan gitu. Aku nggak terlalu ingat.“ Danno tidak terlalu ingat dengan detail kejadian itu. Namun, dia memang ingat kalau pernah menjadi pembicara.”Heh— berarti waktu kamu masih muda, sekitar dua puluh tahunan ya?“ Vera membayangkan wujud sang sang suami di umur dua puluh tahunan."Ka
Danno diam saja mendengar perkataan Talia. Dia tidak tahu apa yang harus diucapkan sekarang. Mendadak, dia ingin mencari tahu tentang keberadaannya. Entah Ibu Vida yang berbohong atau memang itu kejujuranya.Karena pria itu diam saja, Talia kembali bicara, "tapi jangan serius-serius gitu, Mas. Aku beneran nggak ada niat jelek, kok. Aku ke sini cuma mau ngunjungin Mas sama Mbak Vera. Udah gitu doang."Tak ada jawaban dari Danno. Kepalanya sudah cukup pusing dengan apa yang terjadi kemarin saat penculikan istrinya, sekarang dia sebisa mungkin tidak membahas niat mertua.Tak berselang lama, Vera datang bersama Venny dengan membawa mangkuk-mangkuk berisi es buah."Hati-hati ya, Sayang," ucap Vera mengamati Venny yang cukup hati-hati membawa mangkuk es buahnya.Danno berdiri, lalu membantu sang istri membawa salah satu mangkuk tersebut. "Sini aku bantu bawain."Talia hanya memperhatikan mereka berdua. Dia tak memiliki pembahasan apapu
Danno masih terbaring di atas ranjang. Kepalanya sangat sakit, makin berat sekali. Suhu tubuh juga tak kunjung turun.Vera sibuk membuatkan sup ayam. Setengah jam berlalu, dia baru masuk lagi ke kamar dengan membawa sup tersebut.Dia menaruh mangkuk berisi sup ayam di atas meja nakas. Lalu, melihat sang suami yang makin pucat. "Gimana kepala kamu?"Dengan santainya, Danno menjawab, "masih nempel di badan."Vera ingin tertawa, tapi melihat situasinya seperti ini, tentu saja dia malah cemberut. Dia menjewer lembut pria itu, lalu menasehati, "orang sakit jangan kebanyakan bercanda.""Iya, iya, Mama Vera."Vera duduk di tepian ranjang, memeriksa kening sang suami. "Kamu makin panas.""Nggak masalah. Tinggal tidur doang juga palingan nanti sembuh.""Makan aja dulu sekarang. Aku udah buatin sup ayam buat kamu.""Kamu nggak perlu sampai begini. Aku lagi nggak pengen makan, aku beneran nggak apa-apa.""Kamu itu hampir nggak pernah sakit loh, sekarang sakit, jelaslah aku cemas." Vera membantu
Pak Henry alias ayah dari Alarik telah tiba di kota Surabaya lagi. Dia bukannya langsung pulang, melainkan pergi menemui seseorang di sebuah restoran. Iya, mereka sudah janji makan siang berdua di situ.Begitu masuk restoran, pria itu tersenyum pada wanita paruh baya yang diajaknya janjian tersebut. Kemudian, dia duduk di kursi yang berseberangan meja dengannya. Kini, mereka bisa saling pandang."Kamu masih cantik seperti dahulu, Vida," puji Pak Henry membuka obrolan.Iya, orang yang ditemui adalah Ibu Vida, Mama dari Vera. Wanita ini tampak tersenyum ramah seolah sedang bertemu kenalan lama."Makasih," katanya, "kamu juga masih awet muda. Sudah berapa tahun ya kita nggak ketemu?""Entah, mungkin lima tahun yang lalu atau bisa lebih. Seingatku dulu terakhir aku tahunya suami kamu kena stroke.""Sampai sekarang juga masih stroke."Pak Henry menyeringai. Dia seperti tahu apa yang terjadi. "Bisa gawat loh kalau orang lain tahu. Kamu bisa dipenjara.""Aku nggak ngerti kamu ngomong apa," s