Vera datang dengan membawakan segelas minuman teh hangat. Dia menyajikan itu di atas meja.
"Makasih, Mbak," ucap Talia bersikap dengan sopan. Dia meminum teh itu.Vera duduk di sofa lain dari tempat Talia duduk. Dia masih berusaha untuk tetap sopan juga.Usai minum, Talia bertanya, "oh iya, mbak bisa bahasa Jawa nggak?""Maaf, nggak bisa," sahut Vera senyum sedikit, "aku bukan asli orang Jawa soalnya.""Eh masa, sih? Mbak bukan orang Jawa? Bukan suku Jawa?""Bukan.""Kok Mama bilang asli Jawa, ya?"Vera terkejut. Dia tidak pernah mengetahui apapun tentang sang mama. Akan tetapi, dia yakin harusnya papanya menikah dengan sesama suku.Dia menjelaskan, "aku aslinya suku Betawi. Papa juga Betawi, harusnya Mama Betawi, tapi ... Maaf, aku nggak begitu tahu tentang Mama.""Eh?" Talia malah makin kaget. Dia seperti menahan tawa juga, tapi tak ingin mengatakan jalan pikirannya.Vera bingung deSMA Kartini.Nama sekolah itu akhirnya terlintas di pikiran Danno. Dia memang pernah dijadikan bintang tamu di beberapa sekolah bertahun-tahun yang lalu. Iya, terutama sekolah yang memiliki ekstrakurikuler karate.Tidak hanya di kota ini, di kota sekitar pun, dia juga diundang. Itu hal yang wajar dahulu karena dia adalah seorang juara dunia.Vera masih menatap sang suami. Dia membuyarkan lamunan pria itu dengan bertanya, "kamu dulu jadi bintang tamu di sekolahnya?""Iya. Nggak cuma sekolah-sekolah di kota ini, tapi aku dulu juga diundang ke SMP-SMA di kota lain. Tujuh atau delapan tahun yang lalu mungkin— kayaknya waktu aku masih kuliah atau udah lulusan gitu. Aku nggak terlalu ingat.“ Danno tidak terlalu ingat dengan detail kejadian itu. Namun, dia memang ingat kalau pernah menjadi pembicara.”Heh— berarti waktu kamu masih muda, sekitar dua puluh tahunan ya?“ Vera membayangkan wujud sang sang suami di umur dua puluh tahunan."Ka
Danno diam saja mendengar perkataan Talia. Dia tidak tahu apa yang harus diucapkan sekarang. Mendadak, dia ingin mencari tahu tentang keberadaannya. Entah Ibu Vida yang berbohong atau memang itu kejujuranya.Karena pria itu diam saja, Talia kembali bicara, "tapi jangan serius-serius gitu, Mas. Aku beneran nggak ada niat jelek, kok. Aku ke sini cuma mau ngunjungin Mas sama Mbak Vera. Udah gitu doang."Tak ada jawaban dari Danno. Kepalanya sudah cukup pusing dengan apa yang terjadi kemarin saat penculikan istrinya, sekarang dia sebisa mungkin tidak membahas niat mertua.Tak berselang lama, Vera datang bersama Venny dengan membawa mangkuk-mangkuk berisi es buah."Hati-hati ya, Sayang," ucap Vera mengamati Venny yang cukup hati-hati membawa mangkuk es buahnya.Danno berdiri, lalu membantu sang istri membawa salah satu mangkuk tersebut. "Sini aku bantu bawain."Talia hanya memperhatikan mereka berdua. Dia tak memiliki pembahasan apapu
Danno masih terbaring di atas ranjang. Kepalanya sangat sakit, makin berat sekali. Suhu tubuh juga tak kunjung turun.Vera sibuk membuatkan sup ayam. Setengah jam berlalu, dia baru masuk lagi ke kamar dengan membawa sup tersebut.Dia menaruh mangkuk berisi sup ayam di atas meja nakas. Lalu, melihat sang suami yang makin pucat. "Gimana kepala kamu?"Dengan santainya, Danno menjawab, "masih nempel di badan."Vera ingin tertawa, tapi melihat situasinya seperti ini, tentu saja dia malah cemberut. Dia menjewer lembut pria itu, lalu menasehati, "orang sakit jangan kebanyakan bercanda.""Iya, iya, Mama Vera."Vera duduk di tepian ranjang, memeriksa kening sang suami. "Kamu makin panas.""Nggak masalah. Tinggal tidur doang juga palingan nanti sembuh.""Makan aja dulu sekarang. Aku udah buatin sup ayam buat kamu.""Kamu nggak perlu sampai begini. Aku lagi nggak pengen makan, aku beneran nggak apa-apa.""Kamu itu hampir nggak pernah sakit loh, sekarang sakit, jelaslah aku cemas." Vera membantu
Pak Henry alias ayah dari Alarik telah tiba di kota Surabaya lagi. Dia bukannya langsung pulang, melainkan pergi menemui seseorang di sebuah restoran. Iya, mereka sudah janji makan siang berdua di situ.Begitu masuk restoran, pria itu tersenyum pada wanita paruh baya yang diajaknya janjian tersebut. Kemudian, dia duduk di kursi yang berseberangan meja dengannya. Kini, mereka bisa saling pandang."Kamu masih cantik seperti dahulu, Vida," puji Pak Henry membuka obrolan.Iya, orang yang ditemui adalah Ibu Vida, Mama dari Vera. Wanita ini tampak tersenyum ramah seolah sedang bertemu kenalan lama."Makasih," katanya, "kamu juga masih awet muda. Sudah berapa tahun ya kita nggak ketemu?""Entah, mungkin lima tahun yang lalu atau bisa lebih. Seingatku dulu terakhir aku tahunya suami kamu kena stroke.""Sampai sekarang juga masih stroke."Pak Henry menyeringai. Dia seperti tahu apa yang terjadi. "Bisa gawat loh kalau orang lain tahu. Kamu bisa dipenjara.""Aku nggak ngerti kamu ngomong apa," s
Vera kembali masuk ke dalam kamar tidur. Dia dikejutkan dengan sang suami yang tampak memangku laptop, sedang melihat-lihat sesuatu. Dia mengira pria itu sedang mengurus pekerjaan."Danno, kamu kok malah buka laptop, ayo rebahan lagi, aku pijitin lagi—“ perintahnya sembari mendekat ke ranjang, hendak menutup paksa laptop tersebut.Akan tetapi, hal itu urung dilakukan karena ternyata Danno sedang melihat folder berisi foto-foto masa kenalan hingga pacaran dengan Vera. Vera duduk di pinggiran ranjang, mendekat ke sang suami, lalu tersenyum sambil menunjuk salah satu foto yang menarik perhatiannya. ”Oh ini— ini waktu kamu baru potong rambut.“Danno membuka foto tersebut. Terlihat kalau Danno masih duduk di kursi tempat potong rambut. Pria itu melihat diri sendiri di cermin, penampilan baru, gaya rambut baru.”Ganteng banget jadinya calon pacarku ...“ puji Vera diiringi tawa kecil. Dia teringat kejadian itu, sudah bertahun-tahun silam, tapi dia takjub karena perubahan drastis Danno setel
Yang ditunggu adalah Pak Eri, tapi yang keluar dari mobil asing itu adalah seorang wanita muda, dan dia adalah Talia.Vera merasa tidak nyaman. Firasatnya jadi tidak enak. Tetapi, dia berusaha untuk tetap sopan.Saat menghampiri Vera, Talia juga tampak membawa sekeranjang buah apel. Dengan suara riang, dia berkata, "mbak Vera! Maaf tadi aku tutup teleponnya, aku buru-buru ke sini!""Kamu ngapain ke sini lagi?""Emang nggak boleh?""Bukan ..." Vera tak yakin harus merespon apa. Dia meneguk ludah, lalu melanjutkan, "bukan begitu. Boleh, kok, tapi buat apa?""Ya buat jenguk Mas Danno, dong. Kata Mbak, Mas Danno lagi sakit." Tanpa menunggu jawaban, Talia seenaknya melewati Vera, lalu berjalan masuk ke dalam. Wanita ini sangat antusias. "Mas Danno ada di dalam kamar, ya? Mana kamarnya, Mbak?“Vera tak senang. Dia berjalan di belakangnya, lalu memberitahu, "Talia, dia lagi demam, harus istirahat. Kamu nggak usah nemuin dia."
Beberapa jam telah berlalu ...Venny pulang ke rumah dengan riang gembira. Dia langsung memeluk Vera yang menyambutnya di teras rumah."Tadi katanya kamu jatuh, Sayang, mana yang sakit?" tanya Vera sembari menggendong anak itu. Dia sangat memanjakannya.Venny menyentuh lutut kanannya yang sudah tertempel plaster. Dia menjawab, "tadi jatuh di halaman, tapi udah dikasih obat sama Bu Guru.""Masih sakit?""Enggak.""Anak pintar." Vera gemas dengan keponakannya itu, jadi memberikan kecupan sayang di pipinya. "terus tadi gimana sekolahnya? Kamu disuruh apa sama Bu Guru?""Di sekolah tadi belajar gambar, Tante. Venny gambar ikan."Vera tertawa lirih. Dia bertanya, "ikan? emang kamu bisa gambar ikan?""Bisa dong!" Venny tersenyum. Dia percaya diri mengatakan, "gambaran Venny bagus, kok.""Masa sih? Boleh lihat nggak gambaran kamu?""Dikumpulin sama Bu Guru.""Oh, masih kumpulin, kala
Ibu Vida duduk di dalam kursi penumpang belakang mobil bersama seorang wanita tiga puluh tahunan. Dia menggunakan kaca mata hitam dan membawa sebuah tongkat."Makasih ya Mbak Delia mau datang ke kota ini buat nemuin saya," kata Ibu Vida kemudian."Sama-sama, Bu. Kemarin waktu ibu jelasin tentang Danno, saya nggak percaya juga. Jadi, saya mau datang ini. Semoga omongan Ibu benar."Ibu Vida tersenyum. "Benar, kok.""Dia beneran udah nikah, Bu?""Iya, sama anak saya. Kalau nggak salah masih beberapa bulan nikahnya."“Saya sama Danno udah kepisah belasan tahun mungkin, Bu. Makanya saya nggak ngira beneran bisa ketemu sama dia, walaupun—”“Udah, nanti kalau ketemu, dia pasti ngenalin kamu 'kan?”"Harusnya sih kenal." Nada bicara wanita bernama Delia itu terdengar sedih. Setelah mendengar itu, Ibu Vida tak lagi mengatakan apapun. Dia hanya tersenyum melihat orang yang sedang diajak untuk pergi ke rumah putrinya itu.Selama hampir sejam perjalanan, tidak ada yang berbicara. Baik Ibu Vida da
Danno dan istrinya, Vera, sudah lama menantikan liburan ini.Mereka menjalani hari-hari yang sibuk, penuh dengan komitmen pekerjaan dan keluarga, dan mereka menantikan waktu untuk bersantai dan menikmati liburan ke Bali.Mereka memutuskan untuk membawa serta bayi laki-laki mereka yang kini sudah berusia enam bulan, Daniel, dan anak perempuan mereka, Venny.Pada hari pertama liburan mereka, mereka pergi ke kedai es krim lokal. Hari itu adalah hari yang hangat, dan mereka semua ingin menikmati makanan dingin.Danno dan Vera mengantri bersama Baby Daniel di kereta dorongnya, sementara Venny berdiri di samping mereka.Saat mereka menunggu, Vera mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambut Venny."Kamu udah nggak sabar ya pengen makan es krim?" tanya Vera kepada putrinya."Iya, Mama." Venny menjawab dengan penuh semangat. "Venny nggak sabar makan es krim!"Saat mereka menunggu, Baby Daniel mulai rewel di kereta dorongnya, dan Danno menariknya keluar dan menggendongnya."Kamu mau es krim, J
Satu tahun kemudian ...Vera telah melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Dia, sang suami, dan Venny, keponakan yang sudah jadi anak adopsi mereka, memutuskan untuk kembali ke kota Jakarta.Danno menghentikan mobilnya tepat di depan teras rumah besar bertingkat dua. Usai mematikan mobil, dia keluar dan beranjak ke belakang untuk membuka bagasi.Di saat bersamaan, Vera keluar dari mobil dengan menggendong bayi laki-lakinya.Dia membuka pintu belakang, dan membiarkan Venny keluar. Anak perempuan itu terlihat sangat riang gembira."Hore! Udah sampe!" Katanya yang langsung melongo melihat betapa besar rumah yang ada di hadapannya. "ini rumah Papa?"Dengan bangga, Vera mengatakan, "iya dong, ini rumah kita yang sebenarnya. Kalau rumah di Surabaya itu rumah nyewa sebentar, Sayang. Mulai sekarang kita tinggal di rumah kita yang sebenarnya, rumahnya Papa."Danno masih mengeluarkan beberapa koper dari dalam bagasi. Dia menarik semuanya keluar, lalu menggeretnya mendekat ke dekat sang is
Keesokan harinya ...Ibu Vida bertamu di rumah sewaan keluarga pendonor mata yang dia sewa untuk melakukan akting di depan Danno. Dia kesal karena waktu sudah berlalu, tapi tak mendapatkan kabar tentang yang yang diminta.Dia duduk di sofa panjang ruang tamu bersama Delia juga. Di situ, ada wanita yang sebelumnya memotret kemesraan Delia, lalu seorang pria paruh baya, ayah dari anggota keluarga pendonor yang telah meninggal dunia.Delia resah. Dia masih kepikiran sejak melihat kemesraan Danno dan Vera. Saking resahnya, dia sudah tak peduli dengan dirinya yang tak menggunakan kontak lensa. Alhasil, dia tidak kelihatan seperti buta."Ini maksudnya apa? Kok Danno nggak ngirim-ngirim uangnya?" Ibu Vida meminta kejelasan.Delia cemberut. "Nggak tahu, Tante. Padahal pas terakhir pulang dari sini, dia udah bilang kalau bakalan transfer uangnya. Tapi, pas aku ke rumahnya— eh dia malah mesra sama istrinya. Aneh banget. Sebenarnya mereka itu lagi bertengkar atau enggak, sih?“Ibu Vida melihat l
Alarik terdiam pasrah.Dia bahkan tak punya kekuatan untuk bangkit. Ini adalah salahnya, salahnya karena buang-buang waktu. Seharusnya dia langsung membakar rumah ini beserta Vera di dalam selagi ada waktu.Selain itu, seharusnya dia juga membawa anak buahnya yang masih setia. Sekarang?Semua akan sia-sia. Dia melihat Sean yang menyeringai melihatnya tersungkur di trotoar. Orang yang menjadi kepercayaan Danno. Selain itu, ada pria lain yang datang di belakangnya— orang yang menghasutnya tentang Johan alias Rey, saudara kandung Sean.Rey tertawa melihat Alarik yang sudah tak berdaya, tak punya kekuatan dan keberanian untuk bangkit lagi. Dia sengaja menendang tongkat bisbol dari dari tangannya.Alhasil, sekarang— Alarik tak punya kuasa lagi. Meski begitu, dia bangkit, masih menguatkan diri untuk bisa kabur.Rey memperingatkan dengan nada sarkas, “ Bos Alarik— jangan coba-coba kabur. Polisi udah datang, loh.""Brengsek, kalian emang sekumpulan pengkhianat brengsek.” Alarik melihat Sean
Saat hendak membakar sofa, tiba-tiba terdengar suara kaca pecah dari belakang. Sontak saja Alarik menoleh— "Siapa ..." Dia waspada, takut kalau polisi yang datang. Tapi, dia sangat yakin kalau keberadaannya di sini sangat rahasia.Lalu, dalam sejekap, seorang datang berlari menuju ke arahnya. Iya, tanpa diduga itu adalah Danno.Vera membuka mata, melihatnya datang. Dia berusaha berteriak, "MMM!"Danno tampak seperti singa yang sudah siap menerkam musuh. Raut wajahnya menjadi gelap dan mengerikan, terlebih saat melihat istrinya diperlakukan seperti itu."Kamu—" Alarik panik, hendak melempar korek yang sudah dinyalakan ke arah Vera.Akan tetapi, ketika koreknya hampir jatuh— tubuhnya keburu ditendang oleh Danno sehingga korek tersebut jatuh ke tempat lain, lalu padam.Sangat menegangkan. Detak jantung Vera sampai menjadi tidak karuhan. Dia ketakutan bukan main."Brengsek!" bentak Alarik yang tubuhnya terhuyung-huyung, nyaris terjungkal ke lantai. Tapi, dia berhasil mempertahankan kesei
Usai mendapatkan telepon singkat yang mengkhawatirkan dari salah satu satpam, Danno langsung berdiri. Raut wajahnya berubah panik dan gelisah. Meski belum tahu siapa 'orang mencurigakan' yang didengar barusan, tapi dia sudah bisa menduga.Iya, siapa lagi yang yang akan menyakiti satpamnya seperti itu. Berita tentangnya sudah menyebar di mana-mana— Alarik."Si brengsek itu ... Pasti di brengsek itu ..." Ucap Danno sembari menyambar kunci mobil dari atas meja. Dia memberi pesan ke Dino. "Tolong kamu telpon polisi, minta datang langsung ke rumahku. Aku mau balik dulu sekarang.""Ada apa, Pak?“ Dino ikutan panik sehingga berdiri pula. Dia bingung dengan reaksi wajah Danno yang berubah setelah menerima panggilan sebentar itu. "Terus ini gimana?”"Udah nggak usah ngurusin Delia dulu— telpon atau langsung pergi aja ke kantor polisi, minta ke rumahku. Ada penjahat yang datang.“ Danno mengatakan itu, dan tak ingin berkata apapun lagi. Dia segera meninggalkan tempat itu, keluar dari sana dengan
Danno sedang duduk berhadapan dengan Dino di dalam sebuah kafe. Posisi meja mereka dekat dengan jendela. Dari situ— mereka bisa mengawasi kondisi di seberang jalan, tepat di mana rumah dari keluarga pendonor palsu sedang bersama Delia.Danno melihat jam tangannya, sudah tepat menunjukkan pukul delapan malam. Dia berkata, "aku belum nelpon Vera ..."Selepas menyeruput kopi, Dino berkomentar, "sebenarnya bapak pulang aja nggak masalah sih, Pak. Saya bisa jaga semalaman di sini.""Nggak ..." Danno melihat ke arah rumah seberang jalan lagi. Meski suasana jalanan di depan ramai, tapi dia bisa mengamati sekitar rumah itu. "Nggak bisa, kata Sean kemungkinan ibu mertuaku bakalan datang ke situ sebentar lagi. Kalau itu terjadi, aku bisa langsung menangkap basah permainan mereka yang mau meras aku.""Oh iya, Pak— kata Mas Sean, Ibu mertua bapak punya foto waktu bapak pelukan sama Mbak Delia.""Nggak masalah, aku udah tahu kalau pasti bakalan difoto waktu Delia peluk aku. Kan tujuannya emang me
Usai menjemput Venny dan makan bersama, keluarga kecil ini pulang ke rumah. Vera sedikit bisa bernapas lega karena di rumah sudah tidak ada Delia.Di saat suaminya pergi untuk mengurus kebohongan Delia, Vera bersama Venny di ruang tengah. Vera duduk di sofa sembari menonton berita sore, sementara itu— keponakannya tampak nyaman duduk di atas karpet sembari menggambar.Vera tersenyum melihat hampir seluruh berita nasional sedang fokus kasus menghebohkan di Surabaya. Iya, usahanya bersama Darrel dan Sean membuahkan hasil karena sekarang tempat hiburan milik Alarik dan ayahnya diekspos.Di samping bisnis ilegalnya yang memperkerjakan gadis di bawah umur sebagai penghibur serta menjual obat-obatan terlarang, tempat hiburan itu ternyata juga menunggak pajak, melanggar banyak sekali larangan. Akan tetapi, sialnya— yang tertangkap hanyalah orang-orang yng menjadi suruhan saja, Pak Henry juga tertangkap, tapi Alarik berhasil melarikan diri. Pria itu sudah kabur sejak berita tentang klub mala
Vera masih diam.Dia menunggu sang suami menjelaskan apa maksudnya sang ibu memiliki hubungan salah satu balas dendam mereka yaitu ayah dari Alarik.Danno bisa melihat raut wajah Vera yang menjadi tegang. Dia menjelaskan, "aku udah pernah bilang sama kamu kalau mama kamu itu bukan orang yang baik 'kan? Aku sebenarnya nggak pengen ngomong ini sama kamu dulu ... mengingat kamu kemarin kayaknya nyaman banget waktu ketemu mama kamu."Vera tertegun sejenak. Dia mengaku, "jujur, aku sebenarnya udah nggak enak waktu ketemu dia, Danno. Tapi, ... dia ngomongnya lembut banget, sama kayak kamu, manipulatif."Danno cemberut. "Sayang, aku mungkin manipulatif, tapi aku begini juga gara-gara kamu 'kan? Mulutku manis supaya kamu bahagia."Vera menatap sang suami. Dia menahan tawa. "Untung aku aku cinta sama kamu , jadi aku maafin tingkah ngeselin kamu yang overprotektif sama posesif itu ..."Wajah Danno tak lagi kelihatan cemberut. Dia ikutan tersenyum, tapi tak mengatakan apapun lagi.Vera kembali s