"Ananda Fino! Berulang kali sudah saya peringati, jika tidak ingin mengikuti mata kuliah saya, Anda bisa keluar dari kelas!" seru Raline. Wanita dengan blouse merah maroon tersebut memandang penuh jengkel satu-satunya mahasiswa yang sedang bermain game di tengah kelas yang hening.
Sementara pemuda bernama lengkap Arbelio Fino Desaga itu justru semakin asik bermain game online di ponselnya. Ia bahkan mengangkat satu kakinya diatas meja, seolah menantang sang Dosen.
Raline menarik napas kesal. Ia mengetuk jemari diatas meja beberapa saat sebelum mengayunkan tungkai jenjangnya menuju tempat duduk Fino. Raline memandang pemuda tersebut sebelum merebut ponselnya dan melemparnya ke lantai. Bunyi ponsel Fino yang beradu dengan lantai membuat semua orang terkesiap. Tak terkecuali Fino, bola mata pemuda itu nyaris keluar begitu melihat ponsel mahalnya tergeletak tak sempurna dengan garis retak di kaca.
"Kenapa Ibu lempar hp saya?!" tanya Fino seraya bangun dari duduknya, bola matanya menghunus ke arah Raline dengan alis menukik tajam.
Alih-alih membalas tatapan Fino sama tajamnya, Raline justru memberikan muka datar sambil mengunci bibir. Fino berdecak kesal sebelum menunduk, memungut ponselnya, jemarinya mengelus pelan bekas retakan di ponselnya. Fino mengangkat ponselnya yang mati ke depan wajah Raline, ia menunjukan layarnya yang pecah.
"Ibu lihat, hp saya pecah gara-gara Ibu. ini hp mahal, Bu! Ibu gak mungkin bisa ganti! Ibu harus tanggung jawab, balikin hp saya kayak semula!"
Raline masih bergeming, setia dengan wajah datarnya.
"Bu!" teriak Fino yang merasa diabaikan. Matanya berpendar melihat sekitar dimana teman-temannya memandangnya geli. "Apa lo liat-liat?!" Fino menggeram rendah, napasnya tersengal menahan kesal. "Ibu! Ibu budek, ya?!"
Raline menghela napas sebelum menyilangkan lengan di dada. Sudut bibirnya tertarik tipis. "Gimana rasanya diabaikan ucapan kamu? Gak enak, 'kan? Sama kayak saya. Makanya, kalau gak mau diperlakukan buruk jangan pernah perlakukan orang dengan buruk. Dan soal ponsel, kamu bisa meminta ganti rugi jika orang tua wali kamu sudah ada di hadapan saya," tukas Raline lantas berbalik meninggalkan Fino yang menggeram kesal.
...
Detak jarum jam mengisi sunyi di ruangan bernuansa putih biru itu. Desau air conditioner terasa menyejukan, sedikit meringankan lelah yang merayap di tubuh seorang pria yang tengah terpejam di kursinya. Lelah yang teramat sangat dirasakan pria dengan jas snelli itu. Hembusan napasnya tidak teratur. Dia tidak tertidur.
Lelah bisa terbaca begitu jelas oleh siapa pun jika melihat pria bernama lengkap Ardelio Rana Desaga. Ada sekitar enam kali operasi yang dilakukannya hari ini. Pekerjaan yang digelutinya semakin membuat ia tak memikirkan kesehatannya sendiri. Makan dan tidur tidak teratur, lihat saja lingkaran hitam di bawah matanya, tentu saja karena Rana hanya menghabiskan dua jam untuk tidur.
Dering nyaring ponsel di saku celana membuat Rana sedikit tersentak dari istirhatanya. Bola mata coklat pekat itu terbuka lalu mengerjap cepat. Bersegera ia mengangkat panggilan telepon yang ternyata dari sang adik.
"Kenapa?"
"Lo dimana, Bang?"
"Rumah sakit." Rana kembali terpejam. Satu tangannya memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri.
"Bisa ke kampus gue nggak? Ada masalah, nih."
"Masalah apa lagi? Gue rasa tiap hari lo buat masalah, Fin. Gue gak bisa, lo telepon aja tukang kebun."
"Hp gue dibanting sama dosen gue nih, lo aja lah yang datang, ya?"
Perkataan sang adik di sebrang sana sontak membuat Rana membuka matanya. Ia menegakkan punggung. "Hp yang mana? Jangan bilang yang ...."
"Iya, yang itu. Yang dibeli Papa bulan kemarin."
Rana memejamkan mata, mengurut plipisnya yang berdenyut nyeri.
"Kalo gue bawa Kang Dude sama aja bego. Dia mana bisa bohong jadi orang tua wali gue. Lo tahu sendiri jujur itu moto hidupnya dia."
Rana melirik jam dinding. "Lo tunggu di situ, lima belas menit gue sampai disana," ujarnya sebelum mematikan sambungan telepon. Rana menyambar kunci mobil di meja dan mengganti jas snelli-nya dengan jas hitam yang digantung. Rana kemudian melangkah lebar keluar dari ruangannya.
"Woy, Ran! Mau kemana lo?"
Rana melihat seorang wanita dengan jas snelli melambai seraya berjalan ke arahnya.
"Ada urusan, Nor," sahut Rana.
Wanita dengan rambut diikat ke atas itu tersenyum lebar. "Fino bikin masalah lagi, ya?"
Rana menghela napas sebelum mengangguk. "Ya, seperti biasa."
"Ck, anak itu ya. Gue rasa lo kayak lagi ngurus anak TK tau gak. Fino tuh kayaknya gak pernah mau dewasa, sukanya repotin lo mulu," gerutu Nora.
"Ya mau gimana lagi Nor, udah kewajiban gue juga ngejagain dia."
Nora mencibik. "Iya, saking ngejagain dia, lo sampai lupa sama diri lo sendiri. Tuh liat, muka lo pucet banget kayak mayat hidup."
"Ada kecelakaan beruntun tadi malam, semua korban dilarikan ke sini. Gue sampai subuh harus siap di UGD karena rata-rata korban lukanya cukup parah."
Nora memuta bola mata, jengah. "Ya ya, Dokter Rana yang sangat profesional, terimakasih informasinya." Ia kemudian mengeluarkan sebuah kotak plastik berukuran kecil dari kantong jas snelli-nya. "Nih, vitamin buat lo. Jangan sampai gak di minum."
Rana tersenyum kecil. "Makasih."
Nora mengulum bibir. "Jadi gimana? Udah cocok belum gue jadi istri lo? Biar dapat vitamin gratis tiap hari." Ia menaik-turunkan alisnya.
Rana justru terkekeh pelan. "Lo ini ada-ada aja. Kalau gitu gue pergi dulu. Oh ya, tolong beritahu Mahaesa untuk periksa kamar 104, pasiennya ada keluhan tadi. Sekali lagi makasih," ucap Rana sembari mengangkat vitamin ditangannya sebelum bergegas pergi.
Senyum Nora yang menggiring kepergian Rana perlahan lenyap. Bibirnya mengerucut sebal. "Dasar gak peka!"
Mobil SUV milik Rana akhirnya terparkir di depan gedung Fakulitas Ekonomi. Pemilik mobil tersebut turun lalu melihat sekitar sambil berkacak pinggang. Ini kali pertama Rana menginjakan kakinya di kampus Fino."Woy, Bang!"Rana menoleh ke sumber suara. Pria dengan bomber jacket yang baru saja keluar langsung berlari menghampirinya."Dimana ruangan Dosen lo?" tanya Rana."Ayo ikut gue."Rana mengikuti langkah Fino, berjalan melewati koridor kampus. Sepanjang perjalanan Rana merasa berada di rumah sakit jiwa. Ia merasa risih dengan pekikan tertahan di sepanjang koridor. Jika tidak mengingat ini adalah kampus Fino, sudah sejak tadi ia akan memberikan tatapan laser pada gadis-gadis tidak tahu malu itu. Bisa-bisanya mereka menggoda Rana.Fino membawa Rana ke sebuah ruangan dimana terdapat seorang wanita yang tengah berjibaku dengan pekerjaannya. Sebelah
"Bu, ayolah saya cuma telat lima menit, kok. Masa saya gak jadi bimbingan lagi," keluh seorang cowok yang berjalan di sebelah Raline. Sesekali ia memperbaiki letak tas ransel di bahunya yang melorot. Satu tangannya memeluk lembaran kertas yang tebal. Kakinya mengikuti irama high heels milik Raline. "Saya udah berusaha datang cepat Bu, cuma ya itu macet banget tadi tuh. Biasa Bu, penyakit Jakarta. Masa Ibu gak ngerti, sih.""Bukan urusan saya.""Yah, Ibu! Saya 'kan cuma telat lima menit terus ...." Cowok itu merapatkan bibir saat Raline menghentikan langkahnya.Raline menatapnya datar. "Waktu saya berharga, bahkan sedetik berbicara dengan kamu seperti ini saja membuang waktu bagi saya. Jangan merengek seperti bocah, hubungi saya dan jadwalkan lagi bimbingannya."Raline kembali melanjutkan langkahnya. Sementara cowok dibelakang sana sibuk mengumpat Dosen pembimbingnya itu."Kenapa lagi Bu mahasiswanya? Bermas
Awan mendung menggantung di langit-langit Jakarta begitu Raline menggeleserkan audi putihnya di pelataran sebuah cafe. Depus angin sedikit menusuk kulit putih susu Raline. Sayang sekali ia tidak membawa sweater rajut yang baru dibelinya bulan lalu. Raline hanya bisa merapatkan blazer ditubuhnya.Kaki jenjang Raline memasuki sebuah cafetaria yang hanya terdapat beberapa pengunjung. Nuansa sunyi begitu kental terasa. Hanya terdengar alunan lirih piano yang dimainkan. Raline berderap menuju sosok yang melambai ke arahnya."Gue gak bisa lama, harus jemput Lisa." Raline mendudukan dirinya di kursi. Lelaki dihadapannya hanya mengangguk tenang. "Udah lama?""Gak, gue baru aja kok. Mau pesan?"Raline mengangguk. "Kayak biasa."Pria dengan jas silver itu memanggil salah satu pelayan. Memesan beberapa makanan ringan serta minuman hangat untuk dirinya dan Raline."Jadi gimana? Masih betah jadi Dosen?" tanya Ala
"Lama banget, sih. Sampai keroncongan nih perut gue," dumel seorang gadis berambut sebahu yang baru saja menduduki kursi disebelah Raline. Ia meletakan tas ranselnya di jok belakang. "Bekal lo masih sisa, 'kan? Sini gue makan.""Gak ada sisa.""Hah? Kok bisa? Semalam Lo bilang katanya mau diet.""Bekalnya gue kasiin Alan."Alis Lisa tertarik ke atas. "Lo ketemu sama Bang Alan?""Iya," sahut Raline."Langgeng banget ya lo berdua." Raline sontak melempar tatapan tajamnya pada Lisa. "Pertemanan lo maksud gue, Mbak. Belum selesai ngomong udah main lirik-lirik aja. Sensi amat, sih."Raline memilih menghidupkan mesin mobil, menjejakan roda mobilnya dengan tenang dari pada membalas omelan Lisa. Jalanan yang lenggang, memudahkan Raline untuk menaikkan kecepatan kendaraannya, menyelip beberapa kendaraan roda empat di depan."Mama nanya besok pulang apa nggak, lo pulang ng
Raline lebih menyukai mendekam di rumah dengan leptop yang menayangkan serial drama Korea di tambah cemilan keripik kentang buatan Dian ketimbang harus menemani sang adik yang ingin menonton film di bioskop. Menyebalkan. Raline harus merelakan jadwal menontonnya demi menemani Lisa yang tidak hanya ingin menonton, tapi juga berkencan dengan kekasihnya.Apalah daya seorang Raline yang notabenenya telah berstatus jomblo yang diselingkuhi, harus bermalam minggu dengan sepasang kekasih yang sedang kasmaran itu. Sialan.Dan itu semua bukan kemauan Raline atau Lisa, pun juga bukan keinginan kekasih Lisa yang Raline saja tak tahu nama serta wujudnya. Titah sang Ibunda Ratu yang sedang berada di Bandung yang mengharuskan Raline selalu menjaga Lisa dimana pun sang adik berada. Dikarenakan Raline adalah anak yang penurut, menyayangi orang tua, jadi tak ada alasan untuk dirinya menolak titah tersebut.Tubuh ramping yang terbalut pakaian casual
Raline tak menyangka, dari sekian banyaknya lelaki di dunia ini, kenapa harus mahasiswa bernama Arbelio Fino Desaga yang menjadi kekasih Lisa. Masalahnya bukan karena Fino mahasiswanya, tapi karena Raline tahu betul seperti apa kelakuan Fino. Tak hanya kurang ajar dengan Dosen, Raline sendiri pernah melihat Fino ditampar oleh seorang perempuan karena dituding telah berselingkuh.Memiliki wajah tampan bak aktor laga membuat Fino banyak digandrungi kaum hawa. Ketampanan itulah yang membuat ia menjadi sosok laki-laki yang ingin memiliki segalanya, termasuk kaum hawa tentunya. Dan Raline membenci keinginannya itu.Raline tidak akan melarang hubungan keduanya. Raline tahu Lisa seperti apa. Gadis itu pandai dalam menangani masalah percintaan seperti ini, dia tidak lugu dan bodoh seperti kakaknya. Raline sangat yakin kalau Lisa sudah mengetahui kelakuan nakal Fino."Jadi Kakak aku dosen kamu, Yang?" tanya Lisa.Raline ha
Jam berdetak pukul sebelas malam ketika Raline baru saja menghabiskan secangkir coklat hangat dan menyelesaikan drama Korea favortinya. Bola matanya memandang cemas jam dinding sembari napasnya terhela berat. Tungkai kakinya bolak-balik mengitari meja ruang tamu. Sesekali ia menarik rapat sweater rajutnya begitu depus angin malam masuk melalui jendela yang masih terbuka lebar. Raline memang sengaja membiarkan jendela besarnya terbuka, agar ia bisa memastikan langsung kedatangan Lisa. Tapi sayang, yang ditunggu-tunggu tak kunjung memunculkan batang hidungnya.Menurut Raline, ini sudah terlalu larut malam untuk berkencan. Sang adik yang entah di mana sekarang belum pulang sehingga membuat Raline di penuhi rasa cemas. Ponsel Lisa yang tak bisa di hubungi semakin menambah kekhawatiran Raline. Benak wanita itu sejak tadi terus menyalahkan dirinya sendiri. Seharusnya dia bisa mencegah Lisa supaya gadis itu tidak jalan lagi bersama Fino atau seharusnya Ra
Pukul setengah delapan pagi, Rana sudah bersiap dengan setelan kerjanya berupa kemeja biru langit dan celana bahan berwarna hitam. Penampilan pria itu cukup necis dengan rambut bermodel undercut yang disisir rapi serta sepatu pantofel hitam mengkilap yang tengah menjejaki lantai ruang makan. Ketukan pelan sepatu Rana menyadarkan Mayang yang tengah menyeduh Teh hangat di dapur, bersegera wanita berhijab itu menambahkan sedikit gula ke dalam teh sebelum mengaduknya pelan. "Pagi, Bu," sapa Rana seraya meletakan tablet di atas meja. Hari ini dia ingin memeriksa beberapa pasien yang sudah membuat jadwal dengannya dari kemarin. "Pagi. Tehnya Mas." Mayang membawa nampan berisi teh lalu meletakkannya di atas meja. "Makasih, Bu." Rana melempar senyum tipis sembari memperbaiki kancing baju di lengannya.
Pukul setengah delapan pagi, Rana sudah bersiap dengan setelan kerjanya berupa kemeja biru langit dan celana bahan berwarna hitam. Penampilan pria itu cukup necis dengan rambut bermodel undercut yang disisir rapi serta sepatu pantofel hitam mengkilap yang tengah menjejaki lantai ruang makan. Ketukan pelan sepatu Rana menyadarkan Mayang yang tengah menyeduh Teh hangat di dapur, bersegera wanita berhijab itu menambahkan sedikit gula ke dalam teh sebelum mengaduknya pelan. "Pagi, Bu," sapa Rana seraya meletakan tablet di atas meja. Hari ini dia ingin memeriksa beberapa pasien yang sudah membuat jadwal dengannya dari kemarin. "Pagi. Tehnya Mas." Mayang membawa nampan berisi teh lalu meletakkannya di atas meja. "Makasih, Bu." Rana melempar senyum tipis sembari memperbaiki kancing baju di lengannya.
Jam berdetak pukul sebelas malam ketika Raline baru saja menghabiskan secangkir coklat hangat dan menyelesaikan drama Korea favortinya. Bola matanya memandang cemas jam dinding sembari napasnya terhela berat. Tungkai kakinya bolak-balik mengitari meja ruang tamu. Sesekali ia menarik rapat sweater rajutnya begitu depus angin malam masuk melalui jendela yang masih terbuka lebar. Raline memang sengaja membiarkan jendela besarnya terbuka, agar ia bisa memastikan langsung kedatangan Lisa. Tapi sayang, yang ditunggu-tunggu tak kunjung memunculkan batang hidungnya.Menurut Raline, ini sudah terlalu larut malam untuk berkencan. Sang adik yang entah di mana sekarang belum pulang sehingga membuat Raline di penuhi rasa cemas. Ponsel Lisa yang tak bisa di hubungi semakin menambah kekhawatiran Raline. Benak wanita itu sejak tadi terus menyalahkan dirinya sendiri. Seharusnya dia bisa mencegah Lisa supaya gadis itu tidak jalan lagi bersama Fino atau seharusnya Ra
Raline tak menyangka, dari sekian banyaknya lelaki di dunia ini, kenapa harus mahasiswa bernama Arbelio Fino Desaga yang menjadi kekasih Lisa. Masalahnya bukan karena Fino mahasiswanya, tapi karena Raline tahu betul seperti apa kelakuan Fino. Tak hanya kurang ajar dengan Dosen, Raline sendiri pernah melihat Fino ditampar oleh seorang perempuan karena dituding telah berselingkuh.Memiliki wajah tampan bak aktor laga membuat Fino banyak digandrungi kaum hawa. Ketampanan itulah yang membuat ia menjadi sosok laki-laki yang ingin memiliki segalanya, termasuk kaum hawa tentunya. Dan Raline membenci keinginannya itu.Raline tidak akan melarang hubungan keduanya. Raline tahu Lisa seperti apa. Gadis itu pandai dalam menangani masalah percintaan seperti ini, dia tidak lugu dan bodoh seperti kakaknya. Raline sangat yakin kalau Lisa sudah mengetahui kelakuan nakal Fino."Jadi Kakak aku dosen kamu, Yang?" tanya Lisa.Raline ha
Raline lebih menyukai mendekam di rumah dengan leptop yang menayangkan serial drama Korea di tambah cemilan keripik kentang buatan Dian ketimbang harus menemani sang adik yang ingin menonton film di bioskop. Menyebalkan. Raline harus merelakan jadwal menontonnya demi menemani Lisa yang tidak hanya ingin menonton, tapi juga berkencan dengan kekasihnya.Apalah daya seorang Raline yang notabenenya telah berstatus jomblo yang diselingkuhi, harus bermalam minggu dengan sepasang kekasih yang sedang kasmaran itu. Sialan.Dan itu semua bukan kemauan Raline atau Lisa, pun juga bukan keinginan kekasih Lisa yang Raline saja tak tahu nama serta wujudnya. Titah sang Ibunda Ratu yang sedang berada di Bandung yang mengharuskan Raline selalu menjaga Lisa dimana pun sang adik berada. Dikarenakan Raline adalah anak yang penurut, menyayangi orang tua, jadi tak ada alasan untuk dirinya menolak titah tersebut.Tubuh ramping yang terbalut pakaian casual
"Lama banget, sih. Sampai keroncongan nih perut gue," dumel seorang gadis berambut sebahu yang baru saja menduduki kursi disebelah Raline. Ia meletakan tas ranselnya di jok belakang. "Bekal lo masih sisa, 'kan? Sini gue makan.""Gak ada sisa.""Hah? Kok bisa? Semalam Lo bilang katanya mau diet.""Bekalnya gue kasiin Alan."Alis Lisa tertarik ke atas. "Lo ketemu sama Bang Alan?""Iya," sahut Raline."Langgeng banget ya lo berdua." Raline sontak melempar tatapan tajamnya pada Lisa. "Pertemanan lo maksud gue, Mbak. Belum selesai ngomong udah main lirik-lirik aja. Sensi amat, sih."Raline memilih menghidupkan mesin mobil, menjejakan roda mobilnya dengan tenang dari pada membalas omelan Lisa. Jalanan yang lenggang, memudahkan Raline untuk menaikkan kecepatan kendaraannya, menyelip beberapa kendaraan roda empat di depan."Mama nanya besok pulang apa nggak, lo pulang ng
Awan mendung menggantung di langit-langit Jakarta begitu Raline menggeleserkan audi putihnya di pelataran sebuah cafe. Depus angin sedikit menusuk kulit putih susu Raline. Sayang sekali ia tidak membawa sweater rajut yang baru dibelinya bulan lalu. Raline hanya bisa merapatkan blazer ditubuhnya.Kaki jenjang Raline memasuki sebuah cafetaria yang hanya terdapat beberapa pengunjung. Nuansa sunyi begitu kental terasa. Hanya terdengar alunan lirih piano yang dimainkan. Raline berderap menuju sosok yang melambai ke arahnya."Gue gak bisa lama, harus jemput Lisa." Raline mendudukan dirinya di kursi. Lelaki dihadapannya hanya mengangguk tenang. "Udah lama?""Gak, gue baru aja kok. Mau pesan?"Raline mengangguk. "Kayak biasa."Pria dengan jas silver itu memanggil salah satu pelayan. Memesan beberapa makanan ringan serta minuman hangat untuk dirinya dan Raline."Jadi gimana? Masih betah jadi Dosen?" tanya Ala
"Bu, ayolah saya cuma telat lima menit, kok. Masa saya gak jadi bimbingan lagi," keluh seorang cowok yang berjalan di sebelah Raline. Sesekali ia memperbaiki letak tas ransel di bahunya yang melorot. Satu tangannya memeluk lembaran kertas yang tebal. Kakinya mengikuti irama high heels milik Raline. "Saya udah berusaha datang cepat Bu, cuma ya itu macet banget tadi tuh. Biasa Bu, penyakit Jakarta. Masa Ibu gak ngerti, sih.""Bukan urusan saya.""Yah, Ibu! Saya 'kan cuma telat lima menit terus ...." Cowok itu merapatkan bibir saat Raline menghentikan langkahnya.Raline menatapnya datar. "Waktu saya berharga, bahkan sedetik berbicara dengan kamu seperti ini saja membuang waktu bagi saya. Jangan merengek seperti bocah, hubungi saya dan jadwalkan lagi bimbingannya."Raline kembali melanjutkan langkahnya. Sementara cowok dibelakang sana sibuk mengumpat Dosen pembimbingnya itu."Kenapa lagi Bu mahasiswanya? Bermas
Mobil SUV milik Rana akhirnya terparkir di depan gedung Fakulitas Ekonomi. Pemilik mobil tersebut turun lalu melihat sekitar sambil berkacak pinggang. Ini kali pertama Rana menginjakan kakinya di kampus Fino."Woy, Bang!"Rana menoleh ke sumber suara. Pria dengan bomber jacket yang baru saja keluar langsung berlari menghampirinya."Dimana ruangan Dosen lo?" tanya Rana."Ayo ikut gue."Rana mengikuti langkah Fino, berjalan melewati koridor kampus. Sepanjang perjalanan Rana merasa berada di rumah sakit jiwa. Ia merasa risih dengan pekikan tertahan di sepanjang koridor. Jika tidak mengingat ini adalah kampus Fino, sudah sejak tadi ia akan memberikan tatapan laser pada gadis-gadis tidak tahu malu itu. Bisa-bisanya mereka menggoda Rana.Fino membawa Rana ke sebuah ruangan dimana terdapat seorang wanita yang tengah berjibaku dengan pekerjaannya. Sebelah
"Ananda Fino! Berulang kali sudah saya peringati, jika tidak ingin mengikuti mata kuliah saya, Anda bisa keluar dari kelas!" seru Raline. Wanita dengan blouse merah maroon tersebut memandang penuh jengkel satu-satunya mahasiswa yang sedang bermain game di tengah kelas yang hening.Sementara pemuda bernama lengkap Arbelio Fino Desaga itu justru semakin asik bermain game online di ponselnya. Ia bahkan mengangkat satu kakinya diatas meja, seolah menantang sang Dosen.Raline menarik napas kesal. Ia mengetuk jemari diatas meja beberapa saat sebelum mengayunkan tungkai jenjangnya menuju tempat duduk Fino. Raline memandang pemuda tersebut sebelum merebut ponselnya dan melemparnya ke lantai. Bunyi ponsel Fino yang beradu dengan lantai membuat semua orang terkesiap. Tak terkecuali Fino, bola mata pemuda itu nyaris keluar begitu melihat ponsel mahalnya tergeletak tak sempurna dengan garis retak di kaca."Kenapa Ibu lempar hp saya?