“Kamu memang selalu memuaskan.” Wijaya mencium bibir Tania sekilas dengan melepaskan penyatuan mereka.
“Tentu.”Menyandarkan kepalanya di dada bidang Wijaya, membelai dadanya perlahan membuat Wijaya memejamkan matanya.“Apa kamu bahagia bersama dengan pria tua ini?” Wijaya membuka suaranya dengan pertanyaan yang membuat Tania mendecih pelan.“Pertanyaan macam apa itu? Jelas bahagia karena kamu banyak uang dan bisa hidup mewah, udah gitu keluargaku jadi naik kelas di kalangan kompleks.” Tania menjawab dengan nada bangganya.Wijaya tertawa mendengar jawaban Tania, “Wanita dan uang memang tidak bisa dipisahkan sama sekali.”“Jelas itu.” Tania mencubit dada Wijaya pelan. “Dulu aku membencimu yang membuatku seakan adalah wanita murahan, membeli dan membayar hanya demi memuaskan nafsu. Melihat tatapan matamu saat itu sempat membuatku ragu, kamu benar mencintaiku atau hanya sandiwara. Bertemu dengan anak-anakmu dan mereka“Pengakuan cinta?” Tania berkata dengan nada datarnya “Hal yang seharusnya tidak kamu lakukan, bagaimanapun aku ini adalah istri atasan kamu dan satu lagi istri kamu sedang hamil di rumah, apa lupa?”Rifat berjalan mendekati Tania, menariknya perlahan membuat tubuh mereka semakin dekat. Tania seketika dilanda ketakutan, takut Wijaya mengetahui apa yang mereka berdua lakukan, mendorong Rifat dan pastinya tidak akan berdampak apapun. Tubuhnya yang besar dan dirinya yang kecil jelas bukan tandingan bagi dirinya, mendorong tubuh Rifat pastinya tidak akan berdampak padanya.“Lepaskan! Apa kamu mau dipecat karena perbuatan ini?” Tania menatap tajam pada Rifat.“Apa yang kamu rahasiakan?” Rifat bertanya dengan nada datarnya seakan tidak peduli pada peringatan Tania.“Kenapa kamu hanya bertanya sama aku? Bukannya kamu salah satu karyawan kesayangan big bos? Mencari tahu hal kecil ini bukan hal yang sulit buat kamu.” Tania mengatakan dengan tatapan
Melepaskan penyatuan mereka dan langsung membaringkan tubuhnya disamping Wijaya yang menariknya kedalam pelukan, tubuh dan pikirannya terlalu lelah belakangan ini tidak tahu apa yang membuatnya menjadi seperti ini.“Memikirkan sesuatu?” Tania menggelengkan kepalanya “Masih memikirkan tentang Rifat dan Aya?”“Aku sudah tidak peduli lagi.”Tania melepaskan pelukan Wijaya dengan beranjak dari ranjang, langkahnya menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya saat ini, perasaan tidak tenang dan itu membuat tubuhnya lelah dan pastinya kepalanya semakin pusing memikirkan sesuatu yang tidak tahu apa.“Kamu nggak lagi hamil, kan?” suara Wijaya mengagetkan Tania.“Aku baru selesai, kalau kamu lupa.” Tania menjawab sambil lalu “Hanya saja ada sesuatu yang membuat aku tidak tenang.”Wijaya mengerutkan keningnya “Biasanya perasaan kamu ini nantinya akan terjadi sesuatu, tapi apa itu?”
“Berapa?” tanya Wijaya langsung.“Belum tahu.” Rifat menundukkan kepalanya tidak berani menatap kearah Wijaya.“Hubungi Lila dan minta dia urus semuanya.” Wijaya menatap Tania dan menganggukkan kepalanya.Wijaya menatap kepergian Tania sampai benar-benar menutup pintu, tatapannya mengarah pada Rifat yang sangat kacau. Wijaya tahu bagaimana perasaan Rifat saat ini, memilih hanya diam dan masih fokus pada tatapannya pada Rifat.“Apa kamu tidak tahu tentang masalah Aya?” tanya Wijaya hati-hati.Rifat menggelengkan kepalanya “Dia tidak pernah cerita apapun itu.”“Tania sudah pernah bicara sama kamu dan memberikan beberapa kali kode, bukan hanya itu Tania juga meminta Aya untuk berbicara jujur sama kamu. Saat ini bukan waktunya untuk saling menyalahkan, terpenting adalah Aya segera keluar dalam keadaan selamat.”Suasana menjadi hening, suara detik jam terdengar sangat jelas. Rifat hanya diam dan menundukkan kepa
Memberikan tatapan tidak percaya atas apa yang dikatakan Wijaya, bagaimana mungkin pria ini tahu tentang apa yang ingin diketahuinya. “Sejauh ini belum ada kabar tentang Aya, aku minta tolong anak Muklis untuk menemani Rifat.” Wijaya berkata tanpa menatap Tania. “Kalau sampai tidak ada kabar kita bisa mendatangi mereka di rumah sakit.”Tania tidak bisa membantah semua yang dikatakan Wijaya, pastinya sudah penuh perhitungan dengan apa yang dilakukannya. Wijaya selalu mempunyai perhitungan dalam melakukan gerakan atau tindakan termasuk masalah Rifat yang sekecil ini, memilih keluar dari ruang kerjanya dan menuju kamar anak-anak.Wijaya menarik dan menghembuskan nafas panjangnya saat melihat Tania keluar dari ruangan, sepanjang Tania memasuki ruangan pikirannya menjadi tidak fokus sama sekali. Pikiran tentang Tania yang akan berkhianat menghantui dirinya, tapi tetap saja membuat dirinya yakin jika Tania bukan wanita seperti itu.Saat ini sej
Dua kata yang dokter ucapkan membuat suasana hening, Tania hampir saja pingsan jika Wijaya tidak melingkarkan tangannya di pinggang. Pendangannya mengarah pada Rifat yang masih diam seakan mencerna perkataan dokter, tidak tahu harus bagaimana dalam kondisi seperti ini.“Maksudnya, dok?” Wijaya membuka suara terlebih dahulu.“Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan mereka berdua yaitu ibu dan anak.” Dokter menundukkan kepalanya.“Nggak!” Teriak Rifat yang memegang krah baju dokter “Katakan semua ini tidak benar!” “Rifat!” Wijaya sedikit teriak agar berhenti bertindak bodoh.Devan memegang tangannya agar terlepas dari baju sang dokter yang tampak kesakitan, Rifat menarik kencang dan membuat dokter sulit bernafas, menarik tubuh Rifat agar menjauh dan akhirnya bisa dilakukan meskipun sulit.“Aku mau lihat dia.” Rifat berjalan masuk kedalam sebelum sempat dihentikan.Tania menatap tidak percaya dengan sikap Rifat s
Seluruh keluarga Wijaya mendatangi pemakaman Aya, bahkan Via dan Bima yang berada di Singapore memilih pulang hanya untuk menemani Rifat. Pria satu ini sedikit banyak berjasa pada keluarga Wijaya, tidak hanya Muklis saja yang berjasa pada Wijaya tapi juga Rifat. Pria yang rela melakukan banyak pekerjaan baik itu kasar atau tidak, satu lagi Rifat tidak pernah mengeluh atau menentang keputusan Wijaya, sedikit berbeda dengan Bima dan pastinya Muklis.“Aku nggak menyangka kalau dia pergi lebih dulu,” bisik Via ke Tania.“Jangan bergosip.” Tina memberikan teguran dengan suara pelan dan datar.Via terdiam dan kembali fokus menatap kearah depan, Tania sendiri tidak mendengarkan kata-kata Via karena memang fokusnya pada Rifat yang berusaha kuat dan tegar. Tania tahu itu semua karena sudah tidak ada kesedihan di matanya, lebih pada kecewa. Tania juga tidak tahu apa yang terjadi setelah mereka pulang meninggalkan Rifat dengan kedua orang tua mereka berdua, tap
Kedatangan Rifat kerumah membuat semua terkejut, mereka menatap bingung dengan kedatangan Rifat ditambah lagi seakan tidak ada sesuatu yang membuatnya sedih. Sikapnya biasa saja yang semakin membuat semua menatap penuh tanda tanya, makan dengan tenang tanpa peduli dengan tatapan kearahnya.“Kamu nggak sedih?” Via membuka suara terlebih dulu.“Biasa saja.” Rifat menjawab seakan tidak peduli.Tania memandangnya dalam, melihat untuk mencari apa yang ada didalam isi kepalanya. Tatapan mata Rifat tidak memperlihatkan kesedihan sama sekali, mencoba untuk menggali lebih dalam tapi genggaman di tangannya membuat Tania mengalihkan perhatian menatap sang pemilik tangan. Wijaya menggelengkan kepalanya agar Tania menghentikan apa yang dirinya lakukan, menghembuskan nafas panjang melakukan apa yang Wijaya inginkan.“Kamu mau langsung kerja atau gimana?” Wijaya membuka suaranya.“Langsung, Pak.”“Kamu bisa datang bersama Bima, renc
Terakhir kali Wijaya membicarakan tentang orang tua Yudi, suasana rumah kembali tidak enak. Bima dan Via tidak kembali ke Singapore, memutuskan untuk berada disini terlebih dahulu dan tinggal bersama dalam satu rumah. Tania bukan masalah Bima dan Via, dirinya penasaran atas apa yang terjadi karena tidak ada satupun yang mengatakan sebenarnya. Wijaya memilih tutup mulut, begitu juga sebaliknya, hal yang semakin membuatnya penasaran.“Memang apa yang terjadi?” Tania memegang tangan Wijaya membuat langkahnya terhenti.“Bukan hal penting.” Wijaya menatap Tania lembut.“Kamu nggak bisa membohongi aku.” Tania berkata dengan nada sedikit tinggi.“Mereka akan membeli media yang kita punya dengan nominal tidak terhitung jumlahnya.” Wijaya menyerah dengan mengatakan sebenarnya “Sekali lagi kebiasaan mereka adalah memutar balikkan fakta.”“Apa mereka tidak lelah mencari masalah dengan kita? Aku akan bicara dengan Yudi.”“Buat ap