-Aku tau mencintai seseorang itu tidak perlu membutuhkan sebuah alasan, karena alasan hanya diperlukan saat kita membenci seseorang, dan aku mempunyai alasan itu.-
“Mamah!” pekik Xavier menghampiri Adellia.
Bercakan luka sayatan yang menetes dan meyebar disekitar lantai membuat hati Xavier begitu terenyuh seperti dipaksa untuk memasuki jurang yang sangat dalam, air matanya kini mengalir. Sedalam itu dia mencintai Adellia maka sesakit itu juga saat melihat Adellia menderita.
“Ini kenapa, mah?” tanya Xavier menggapai tangan Adella yang bergelayut lemas di atas bangku.
Wajah Adellia terlihat pucat pasi, tubuhnya terkulai lemah, luka itu sudah sedari tadi mengalirkan cairan merahnya. Terlihat bercakan yang masih segar berserakan disekitar lantai.
Tanpa pikir panjang dan dengan air mata mengalir deras tak bisa dibendung, Xavier membawa Adellia masuk kedalam mobil. Dengan langkah gontai namun perlahan Adellia bisa mengikutinya.
Di bawah terik sinar matahari Xavier menerjang hingar-bingar yang memenuhui jalanan. Sekarang pikirannya hanya dipenuhi harapan agar tidak terjadi apa-apa pada Adellia ibunda yang sangat dia cintai.
Tentu, bukan tanpa alasan Xavier begitu mencintai ibundanya. Sejak kecil kasih sayang yang ditorehkan hanyalah dari ibundanya saja, tidak dengan ayah yang bengis itu. Hanya berlalu-lalang meninggalkan luka di hati Adellia.
Berbeda dengan pemikiran Adellia, dia tidak pernah menginginkan seorang anak tanpa memiliki sosok ayah di sampingnya, itu juga menjadi salah satu alasan Adellia masih tulus mencintai Daniel. meskipun tentu masih banyak alasan yang bisa ia ungkapkan.
“Dok, gimana keadaan mamah saya?” tanya Xavier dengan nafas tersengal-sengal.
“Saudara Xavier tenang saja, luka di lengan Ibu Adellia sudah dijahit. Namun, untuk sekarang sedang tidak sadarkan diri, itu karena dampak buruk mendiamkan lukanya terlalu lama jadi darah yang terbuang cukup banyak,” jelas dokter yang mengenakan kacamata, tingginya tidak terlalu jauh berbeda dari Xavier.
Xavier menarik nafas dalam-dalam bersyukur tidak terjadi hal yang lebih buruk dari ini.
Namun siapa yang melakukan ini pada mamahku!?
Pikiran Xavier hanya berkutat pada seseorang yang berani dengan terang-terangan menyiksa ibundanya. Siapa lagi jika bukan ulah dari ayah bengis itu!?
Tak ingin hanya berdiri saja Xavier segera menghampiri ibundanya yang sedang terkulai lemah di atas dipan berwana putih yang menciri kahskan rumah sakit. Tangan Xavier menguraikan rambut Adellia yang beberapa terlihat sudah memutih, membelai, namun tidak begitu nampak kasat mata.
“Mah... siapa yang tega ngelakuin ini?” ujar Xavier dengan nada lirih kepada seseorang yang berada di depannya tak sadarkan diri. Tangannya masih bergelayut di antara uraian rambut Adellia.
“Maafin Xavier, mah. Gak bisa jagain mamah,” cecar Xavier yang merasa sangat bersalah.
Tanpa disadarinya butiran air mata pun menetes membasahi Adellia, dan saat itu juga Adellia membuka matanya ia mulai tersadarkan diri.
“Mah, mamah...” pekik Xavier memeluk ibundanya. Dan suara isakan tangis pun pecah. Begitulah Xavier, seburuk apapun sikapnya di depan para siswi sekolah dia akan tetap mudah mencair di depan Adellia.
“Vier,” desis Adellia begitu lirih. Tangannya mulai mendekap anak semata wayangnya.
“Siapa yang tega ngelakuin ini, mah?” tanya Vier dengan nafas tersendat-sendat.
Adella menatap langit-langit ruangan yang tampak bersih. Pikirannya digeluti oleh seseorang, siapa lagi jika bukan suami yang sangat dia cintai. Adellia menorehkan tatapanya mengarah kepada Xavier dengan lekat-lekat, seakan memberikan isyarat.
“Mah, mau sampe kapan gini terus?” tanya Xavier membalas tatapan Adellia.
Adellia tidak menjawab justru dia tersenyum sumringah, padahal disaat seperti ini harusnya sudah cukup untuk menjadi alasan untuk semua kebengisan yang sudah ditorehkan Daniel.
Amarah sudah benar-benar menyelimuti raga Xavier, kali ini dia benar-benar akan memberikan pelajaran kepada ayahnya itu.
Lihat saja nanti, dasar ayah sialan!
“Tadi selepas mamah telfon kamu, ayah kamu pulang lagi, nak. Entah, mungkin ada barang yang tertinggal. Terus mamah tanya mau kemana, tapi ayahmu enggan untuk menjawab, mamah didorong terkena kaca meja. Itu salah mamah, sayang. Mamah yang gak hati-hati,” jelas Adellia yang masih saja membela Daniel.
Xavier mengepalkan tangannya seakan sudah ingin melampiaskan amarahnya dengan satu pukulan kepada Daniel. Adellia yang merasakan hal itu meraih tangannya yang masih mengepal dan mengusap-usap punggung tangan Xavier, Adellia mencoba untuk menenangkannya..
“Ga perlu seperti itu, sayang,” ujar Adellia sembari menggelengkan kepalanya. Namun, untuk kali in Xavier tidak bisa menuruti permintaan dari Adellia. Meskipun, senyum tipis menghiasi wajah Xavier. Tetap saja amarahnya sudah benar-benar menjadi nahkoda tubuhnya.
“Gimana tadi sekolahnya sayang?” tanya Adellia mengganti topik pembicaraan.
“Biasa aja, mah. Gak ada yang spesial!” Xavier menjawab dengan tegas sembari mengusap air mata yang sedari mengalir.
Adellia merengkuh pundak Xavier lalu mengelus-elusnya seraya berkata, “Udah ya, nak. Kamu jangan mikir aneh-aneh tentang ayah kamu!”
Xavier menarik nafas panjang, tak ingin membuat keadaan lebih buruk lagi, dia memilih untuk mengalah sementara.
“Iya, mah. Mamah cepet sembuh ya.” Xavier membalas rengkuhanya, sekarang mereka sudah saling mendekap dalam pelukan, begitu hangat dan harmonis hubungan mereka berdua. Mungkin, seperti itulah hubungan yang diinginkan oleh seorang ibu pada zaman sekarang.
Setelah melakukan adminitrasi pembayaran tidak mau berlama-lama lagi Xavier segera membawa Adellia untuk pulang.
“Mah, mau dimasakin apa sama Xavier,” pekik Xavier setibanya di rumah. Adellia mengernyitkan dahinya, dan tersenyum mendengar apa yang dilontarkan Xavier. Bagaiamana tidak, Adellia begitu paham putranya itu tidak pernah memasak bahkan menyentuh peralatan dapur pun dia enggan.
“Kamu emang bisa masak, nak?” Adellia menghampiri Xavier yang sedang berkutat dengan peralatan dapur, ia sudah seperti seorang chef dengan gaya memukau. Sebenarnya dia hanya memegang-megang saja. Mungkin, jika dilakukan tanya jawab seputar nama-nama peralatan dapur Xavier akan kebingungan.
“Wah, mamah ngeremehin Xavier,” ujar Xavier berkacak pinggang.
“Gini-gini Xavier jago masak, mah. Cuman ya jarang dilatih aja jadinya tumpul sama Xavier kan gak mau sombong sama mamah hehe.”
Adellia mengangkat alisnya lalu memanyunkan bibir bagian bawahnya seraya berkata, “Sejak kapan?”
“Sejak sekarang, mah,” celetuk Xavier dia terkekeh. Adellia menggelengkan kepalanya dan tersenyum bangga kepada putra semata wayangnya ini.
Tiba-tiba Adellia menatap Xavier lekat-lekat, membuat Xavier keheranan.
“Kamu udah punya pacar?”
Pertanyaan itu seperti petir menyambar disiang bolong. Tak ingin menjawab Xavier hanya menggedikan bahunya, karena memang Xavier tidak ingin mencintai siapapun. Karena cinta baginya itu adalah luka.
Prinsip yang ditanamkan Xavier itu bukanlah hanya sekedar gurauan semata. Sudah cukup lama ia memegang kokoh prinsipnya. Meskipun ia sama sekali tidak memberitahukan semua itu kepada Adellia, sebagai seorang ibu ia sudah memiliki firasat yang cukup kuat. Adellia sudah merasa, hanya saja ia tidak ingin memastikan.
***
Terima Kasih sudah mampir :) Ig : bukan_ardiyan Buat kalian yang suka puisi mampir ke YT aku yuk : Bukan Ardiyan
-Apakah benar cinta itu datangnya dari mata lalu turun ke hati, lantas bagaimana jika tangga pertama itu hilang? Masihkah ada kata cinta semanis saat pertama kali jumpa?-“Eh, adek abang udah pulang,” pekik Revan menyambut kedatangan Jenia.“Kenapa nih mukanya cemberut gitu?” kali ini Revan mencubit pipi adeknya itu. Percayalah di usia yang sudah menginjak SMA seperti ini wajah Jeania masih terlihat baby face.“Aw... sakit, kak!” Jeania menggerutuki kakaknya.Dari kejauhan terlihat Devi menggeleng-geleng melihat tingkah laku Revan itu. Sudah berapa kali Devi mengatakan agak tidak memperlakukan adik wanitanya itu seperti anak kecil. namun karena ini adalah sikap normal sebagai seorang manusia jadi Devi sedikit memakluminya, hanya sedikit.“Mah, ini Kak Revan rese!” ketus Jeania. Tangannya mendekap di dadanya. Revan yang melihat ini hanya terkekeh, sebenarnya tangannya s
Hilang satu tumbuh seribu. Bagaiamana dia bisa hilang sedangkan aku pun bukan siapa-siapanya. Kadang seseorang berujar akan ketidakadilan hidup ini, padahal kita sendiri yang tidak adil karena seenaknya mengklaim sepihak. Buktinya saja kamu tak dianggap!“Lo kenapa sih, Jen!?” tegur Carina membuat Jeania tersentak karena sedari tadi melamun.“Gue...”“Hai...!!!” Tiba-tiba seseorang dengan tubuh semampai dan wajah yang begitu menawan mengejutkan mereka berdua.Sekarang mereka sedang berada di pelataran kelas. Duduk berdua di bangku yang sedari tadi kosong, sebelum satu pria yang tak dikenal Jeania ini datang menghampiri mereka berdua.“Nama lo Jeania?” tanya pria itu, namanya Faisal, kelas sebelah.Bukannya menjawab Jeania justru menggedikan bahunya kemudian mendesah malas. Mood Jenia sedang tidak baik, dan sekarang bukan waktu yang tepat untuk Faisal.“Sssttt...&r
Kupikir dengan adanya banyak orang yang memujiku cantik maka segala urusanku dengan semua orang akan terasa lebih mudah, ternyata sama saja sulitnya.- Jeania Suasana di sekolah cukup sepi, tentu saja mereka semua sedang melakukan kegiatan belajar mengajar di kelas.Kecuali dengan Jeania dan Carina, mereka masih berjemur bersama tiang bendera di tengah lapangan menemani mereka bertiga yang sedang mematung menjalankan titah dari sang ketua.Terik matahari semakin memancarkan panasnya, dan minimnya angin sepoi-sepoi mendukung penyiksaan yang mereka alami sekarang. Itu adalah resiko yang tidak bisa mereka hindari. Sebenarnya hukuman seperti ini jauh lebih baik daripada harus berurusan dengan guru BK yang di mana itu hanya akan lebih memanjang dan akan jauh lebih lama.“Makin panas gila, Rin,” keluh Jeania mengipas-ngipasi dirinya dengan tangan kosong. Keringatnya mulai berjatuhan sedikit demi sedikit. Meskipun berkeringat Jeania tidak s
Kau tau... ternyata rasa gengsi itu adalah musuh terbesar bagi cinta. Jika kau mencintai seseorang lebih baik jujurlah, jangan sampai rasa gengsi itu menguasaimu. Aku tau bagaimana rasanya, dan itu benar-benar lebih menyakitkan. Tolong, percayalah!Waktu istirahat telah usai, sekarang suasana cukup sepi. Hanya tersisa dua orang yang sedang membersihkan baju Xavier.Meskipun terlihat suka bermain game online Fano adalah seorang teman yang setia, dia selalu ada disaat Xavier membutuhkan bantuannya bahkan dia tidak pernah menolak, begitu pun dengan Xavier.Perlu diketahui mereka berdua adalah cogan-cogan sekolahan, hanya saja Xavier enggan mempermainkan perasaan seorang wanita. Xavier lebih memilih to the point untuk menolak dari pada harus menggerayangi perasaan wanita meskipun itu terlihat sangat kejam, dan Fano adalah kebalikannya. Sebenarnya dia tidak sepenuhnya mempermainkan perasaan wanita, hanya saja dia selalu menerima wa
Hey, bangun! Mimpimu bukan untuk hanya dinikmati saja. Jika mau maka lakukanlah, dan gapai itu. –Pesan Author-Kini pikiran Xavier benar-benar dikerahkan untuk mencari cara agar bisa mencegah niatan Fano. Benar, baru kali ini Xavier memikirkan hal seperti ini. Jika tidak untuk Jeania pasti dia akan sangat merasa ilfeel. Semenjak hadirnya Jaeania, Xavier sudah bukan lagi bangunan kokoh dengan prinsip yang dijunjung tinggi. Sekarang Xavier hanyalah seorang pengagum rahasia.Akhirnya setelah lama berkutat pada pikirannya Xavier menemukan cara. Entah, akan berhasil atau tidak, harus tetap dicoba. Sebenarnya ditebak saja sudah bisa, karena seorang Jeania tidak akan dengan mudah menerima perkataan dari Xavier apalagi semenjak pertama kali ia bertemu hingga sekarang belum pernah ada kesan yang cukup baik untuk sekedar dijadikan sebuah ingatan.“Maaf, bu. Saya izin ke kamar mandi sebentar,” ujar Xavier kepada guru yang sedang
"Hah yang bener, lo!” pekik Carina setelah mendengar ceritaku.Jam sekolah telah usai, sesuai janjiku aku menceritakan semua kepadanya. Sempat tadi aku ingin melarikan diri namun dengan sigap Carina mencegahku. Sekarang kami berdua sedang berada di ruang meeting pribadi kami, seperti itulah Carina menyebutnya. Katanya laboratorium ini sudah menjadi milik kami berdua. Tentulah itu hanya dia yang mengklaim secara sepihak.“Terserah lo! Capek gue, tiap kali gue jelasin lo ga percaya,” sunggutku kesal.“Iyalah, itu udah bukan kayak Kak Xavier lagi, Jen! Tapi di sisi lain gue percaya soalnya tadi gue liat dengan mata kepala gue sendiri lo jalan berdua.” Dua jarinya membentuk huruf V dan menunjuk-nunjuk dua matanya itu. “Dan gue bangga punya temen kek lo!” tambahnya. Carina adalah tipikal seseorang dengan gaya bicara yang ekpresif, jadi kedua tangannya itu sedari tadi sangat aktif memberikan pe
Jangan terlalu mudah menaruh harapanmu kepada seseorang, karena siapapun bisa membuat kita kecewa. Namun, apakah kau sadar terkadang aspal di jalanan yang mulus itu bisa membuat kita bahagia dan merasa nyaman? Sejak tadi malam Adellia belum juga membaik, tubuhnya masih terasa hangat."Semoga saja tidak terjadi hal buruk," harap Xavier.Seperti biasa pagi ini Xavier menjalankan hari-harinya untuk bersekolah, dan untuk pagi ini Xavier tidak mengenyam sarapan. Tapi, setidaknya dia sudah mempersiapkan semua untuk Adellia termasuk sarapan dan obat-obatnya. Harapannya ketika Xavier sedang tidak bisa menemaninya semua persediaan sudah terpenuhi semua. Sayangnya hanya itu yang bisa dilakukan Xavier sekarang.Dengan rasa yang amat terpaksa Xavier meninggalkan Adellia yang sedang terkulai lemah sendirian tak berdaya, tadi dia sudah berniat untuk tidak mengikuti kegiatan sekolah hari ini, dan seperti biasa Adellia melarangnya. Meninggalkannya hanya a
Suasana sekolah cukup ramai, hampir setiap kelas jika jam istirahat tiba mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bersenang-senang. Begitu juga dengan Carina dan Jeania mereka berdua memutuskan untuk pergi ke kantin. Hanya satu orang saja yang menyia-nyiakan jam istirahat ini, dia adalah Xavier. Seperti yang dilakoni tadi pagi dia menyendiri di ruang khusunya. Pikirannya masih saja berkutat pada seoarang yang terkulai di rumahnya. Dia masih mengkhawatirkannya.“Gue males, Rin,” sergah Jeania.“Terus gimana dong rencananya, udah ayok!” Carina menarik lengan Jeania agar mengikutinya. Namun, tiba-tiba...“Hai Jen... ini buat lo.” Itu adalah Faisal yang mengejutkan mereka berdua, dia menyodorkan kertas yang terlipat rapi.“Gue duluan, ya..”Jeania tak menjawab apapun, dia hanya menerima kertas yang diberikan Faisal.“Gila udah dapet surat cinta aja, lo!”“Gue ga suka am
Xaiver dan Pak Tono keduanya masih dalam keadaan siaga. Padahal pagi ini masih begitu sepi sekali, tentu tidak akan ada yang mengawasi mereka berdua. Namun, rasa was-was yang menyelimuti Xavier begitu kuat.Xavier masih berpikir-pikir apakah ia perlu menceritakan rencananya kepada Pak Tono selaku satpam sekolah itu. Kedekatannya dengan Pak Tono membuatnya sedikit menyingkirkan rasa gengsinya meskipun hanya untuk sementara. Karena menurut Xavier Pak Tono hanyalah satpam yang sekedar menjaga gerbang, jadi ia tidak mungkin bisa mencampuri urusan Xavier lebih jauh.“Jadi gini, pak. Vier mau nyari data-data tentang Jeania di ruang guru,” ujar Xavier dengan berbisik pelan, berharap tidak ada yang mendengar. Pak Tono terkejut terlihat dari ekspresi wajahnya yang terpental kebelakang.“Buat apa Vier? Mending jangan deh, kamu itu Ketua OSIS. Nanti nama kamu bisa tercoreng abis itu angkatan kamu juga kena dampaknya. Mending dipikir-pikir lagi,&rdqu
-Cinta seorang ibu itu tidak pernah bohong. Kamu bisa mengetahuinya saat berinteraksi dengannya.-Semenjak kepergian Daniel beberapa hari yang lalu, rumah terasa tentram bagi Xavier. Tidak ada kegaduhan, kekacauan, dan kebengisan-kebengisan yang dibuat oleh Daniel. Namun, berbeda dengan Adellia ibunda Xavier sekaligus istri Daniel, hari-harinya salalu ditemani oleh tangisan saat ia hanya menyendiri di kamarnya. Bahkan, Xavier tidak mengetahui hal itu, karena hari-harinya disibukkan oleh tugas sekolah yang sangat menumpuk, dan kewajiban-kewajibannya yang lain selaku Ketua OSIS.Diusia Xavier yang sudah beranjak dewasa ia sudah sangat mampu membagi waktu-waktunya. Ia tau kapan harus mengerjakan kewajibannya, menemani ibundanya, dan tentu ia tidak pernah terlupa untuk memikirkan Jeania.“Vier... kamu ngelamunin apa sayang?” pekik seseorang tiba-tiba memasuki kamar Xavier. Xavier sedang bersantai, karena di luar sedang turun hujan, melepas
Aku berusaha menutupi kebohonganku menggunakan kebohongan, dan semua itu hasilnya sia-sia. –JeaniaJeania dan Carina keduanya larut dalam kesunyian, perlahan kesadaran Jeania mulai luruh karena mengantuk. Selain hobi membaca Jeania juga hobi sekali melamun, seperti saat ini. Sengaja Carina ikut terdiam karena menunggu kata-kata yang akan dilontaran Jeania dan ia berharap adalah sebuah penjelasan. Namun, setelah sekian berlama-lama menunggu Jeania yang tak kunjung berbicara, Carina sudah mulai geram.“Jen!” pekik Carina mengejutkkan Jeania. Tadinya ia sudah terlelap untuk beberapa saat.Jeania menghela nafas panjang, ia menyesal telah mmenghadirkan Carina ke rumahnya. Sebenarnya yang bermasalah bukan pada Carina melainkan pikiran Jeania yang sedang tidak baik dan merusak mood-nya.“Oh iya Jen. Soal Kak Fano gimana lo jadinya,” tanya Carina. Jeania tersadarkan dengan rencananya.“Gak tau gue, Rin.
Langit terlihat begitu mempesona terukir indah di cakrawala. Kicauan burung menambahkan kelarasan bercengkrama. Tidak ada tanda kesenduan yang terlihat di langit, tentu tidak akan ada air yang mengguyur tanah sekolah SMA ini.Setelah kejadian yang menimpa Jeania, ia langsung meminta maaf kepada Asya karena sudah meninggalkannya sendirian. Dan setelah Jeania menjelaskan semua, seakan mengerti perasaan Jeania, Asya lalu memaafkannya. Tidak ada tanda-tanda kecurigaan yang diperlihatkan Asya. Ia masih menganggap Jeania sebagai seorang siswi baru yang tidak mungkin berbuat macam-macam.Perasaan Jeania masih diselimuti kekesalan, lagi-lagi dia harus terkena kesialan karena berurusan dengan seseorang yang bernama Xavier. Sebenarnya Xavier tidak melakukan kesalahan apapun, hanya saja karena Jeania yang sudah berani menaruh perasaan kepada Xavier jadi semua yang berhubungan dengan perasaan selalu salah di mata Jeania.Xavier masih dengan sikapnya seperti biasa, dia
Jangan pernah menduga-duga seseorang dengan sesuatu yang buruk,selain tidak ada untungnya jika dugaanmu salah, itu bisa menjadi penyesalan teramat besar. “Gue...”“Kenapa!?” sergah Xavier kali ini dengan nada sedikit lebih tinggi.“Gue mau manggil guru soalnya dari tadi kelas gue kosong Xavier sang Ketua OSIS... galak amat,” ketus Asya.Bisa dikatakan Asya adalah seseorang siswi yang cukup rajin, pasalnya ia dipilih oleh guru untuk menjadi ketua kelas bukan tanpa alasan. Selain karena sifat rajinnya ia juga memiliki sikap yang tegas terhadap teman-temannya.“Oh gitu, yaudah sana. Gue duluan,” ujar Xavier melenggang meninggalkan Asya. Seperti biasa sikap dinginnya masih sangat melekat setiap harinya, bahkan untuk seorang yang cantik dan rajin seperti Asya sangat susah untuk mendapatkan perhatian.Asya melangkahkan kakinya untuk pergi ke tempat yang akan ia tuju. Pikirannya masih berkut
-Pov Jeania-“Apa-apan Xavier sialan itu! Kemarin ngaku-ngaku jadi pacar gue, sekarang udah ada berita jalan sama yang lain,” gumamku yang masih terdengar oleh Carina.“Hah... apa lo bilang!? Seriusan?” sergah Carina ia terkejut mendengar apa yang baru saja kuucapkan. Sengaja berita itu tidak kuceritakan kepadanya, karena aku tidak ingin dicecarnya dengan banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermutu.“Kok lo gak ngasih tau gue, sih!?”Dan benar saja, Carina sepertinya setelah ini akan mencecarku dengan banyak pertanyaan.. Berita yang kuberikan kepadanya seperti wartawan yang mendapatkan umpan untuk disantap.“Lo diem... lo diem! Gak usah banyak tanya dulu, mood gue ilang denger lo ngasih kabar gituan,” ujarku. Aku merengkupkan tanganku di atas meja lalu menopangkan daguku.Seharusnya sedari awal aku menyadari jika Xavier itu memang terlalu tinggi untuk digapai. Layaknya bulan yang h
Mengapa orang-orang rela mengutuk dirinya sendiri diatas kesempurnaan yang telah diberikan?Udara kali ini cukup terasa menyejukkan. Si jingga yang sudah melukis indah di langit membuat panorama mata semakin ingin merasakan candunya. Begitulah nuansa ria sore hari di rumah Xavier.Sudah cukup lama Adellia mengalirkan air matanya untuk menangis, deru nafasnya sedari tadi masih tersengal-sengal. Melihatnya seperti ini Xavier seperti sedang tertusuk ribuan pisan di hatinya, begitu menyakitkan.Karena sudah tidak tahan Xavier menghampiri ayahya tanpa sepengetahuan Adellia.“Mau kemana, sayang?” tanya Adellia melihat Xavier sedang membuka pintu.“Ambilin mamah minum bentar,” ujar Xavier berbohong.Tak ingin menaruh curiga Adellia memalingkan pandangannya ke langit-langit kamar. Xavier pun melenggang meningalkanya.Brak!!Xavier membanting pintu kamar Daniel, dia tersentak kaget.&l
Kesempatan bisa saja datang untuk kedua kalinya, hanya saja mungkin tidak akan sehebat yang pertama. Karena sebesar apapun seseorang memberikan kasih cintanya, jika dia pernah merasakan luka sebelumnya dia akan lebih berhati-hati untuk melangkah. Namun, belum tentu terjadi untukmu, bisa saja cintanya akan lebih hebat saat bersamamu. "Lo gak perlu tau alasannya. Ikutin kata gue pokoknya!”Jeania terperangah seketika mendengar jawaban yang diberikan Xavier. Dia tidak habis pikir dengan apa yangbaru saja dikatakan Xavier.“Eh... asal lo tau, gue mau pacaran sama Fano atau siapa itu terserah gue... bukan urusan lo!” sergah Jenia dengan nada lantang. Ia melenggang meninggalkan Xavier yang masih masih terpaku dengan perkataan tajam Jeania.Sebenarnya Xavier menyadari dia begitu dingin kepada Jeania, bukannnya tidak mungkin untuk mengubah kepribadianya hanya saja rasa gengsi yang ia miliki cukup tinggi untuk ditaklukan.
Suasana sekolah cukup ramai, hampir setiap kelas jika jam istirahat tiba mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bersenang-senang. Begitu juga dengan Carina dan Jeania mereka berdua memutuskan untuk pergi ke kantin. Hanya satu orang saja yang menyia-nyiakan jam istirahat ini, dia adalah Xavier. Seperti yang dilakoni tadi pagi dia menyendiri di ruang khusunya. Pikirannya masih saja berkutat pada seoarang yang terkulai di rumahnya. Dia masih mengkhawatirkannya.“Gue males, Rin,” sergah Jeania.“Terus gimana dong rencananya, udah ayok!” Carina menarik lengan Jeania agar mengikutinya. Namun, tiba-tiba...“Hai Jen... ini buat lo.” Itu adalah Faisal yang mengejutkan mereka berdua, dia menyodorkan kertas yang terlipat rapi.“Gue duluan, ya..”Jeania tak menjawab apapun, dia hanya menerima kertas yang diberikan Faisal.“Gila udah dapet surat cinta aja, lo!”“Gue ga suka am