Hilang satu tumbuh seribu. Bagaiamana dia bisa hilang sedangkan aku pun bukan siapa-siapanya. Kadang seseorang berujar akan ketidakadilan hidup ini, padahal kita sendiri yang tidak adil karena seenaknya mengklaim sepihak. Buktinya saja kamu tak dianggap!
“Lo kenapa sih, Jen!?” tegur Carina membuat Jeania tersentak karena sedari tadi melamun.
“Gue...”
“Hai...!!!” Tiba-tiba seseorang dengan tubuh semampai dan wajah yang begitu menawan mengejutkan mereka berdua.
Sekarang mereka sedang berada di pelataran kelas. Duduk berdua di bangku yang sedari tadi kosong, sebelum satu pria yang tak dikenal Jeania ini datang menghampiri mereka berdua.
“Nama lo Jeania?” tanya pria itu, namanya Faisal, kelas sebelah.
Bukannya menjawab Jeania justru menggedikan bahunya kemudian mendesah malas. Mood Jenia sedang tidak baik, dan sekarang bukan waktu yang tepat untuk Faisal.
“Sssttt...” Carina menyenggol Jeania bermaksud menyuruhnya agar merespon Faisal.
Berbeda dengan Jeania, Carina adalah wanita yang sangat update mengenai semua laki-laki yang memiliki wajah diatas rata-rata.
“Ow...” Faisal mengatup bibirnya dengan tangannya. Dia mengetahui Jeania bukan tipe mudah untuk diajak berkenalan. Dari caranya merespon Faisal sudah tau jika Jeania sedang malas untuk diajak berbicara.
“Yaudah lain kali gue dateng lagi,” ujar Faisal meninggalkan mereka berdua.
“Lo gila sih, Jen! Dia tuh salah satu cowo cogan di sekolah kita!” jelas Carina yang sudah geregetan.
“Bodo!” celetuk Jeania datar, lalu memalingkan wajahnya.
“Ah gak ngerti gue sama lo! Cewe cantik suka nolak seenaknya kalau ada cogan-cogan.”
Carina mengeluarkan roti yang berada di tasnya. Itu adalah bekalnya setiap hari yang tidak pernah terlewatkan. Roti dengan selai rasa coklat yang sangat menggiurkan. Melihat itu, mata Jeania segera mengikuti arah Carina menggerakan roti itu. Benar, Jeania tadi pagi lupa untuk sarapan, sekarang perutnya sudah keroncongan.
“Bagi donk!” pinta Jeania melas.
“Dih!!! Tadi aja nge-bisu udah kayak nahan berak, lo. “ Melihat muka Jeania yang terlihat pucat pasi membuat Carina tidak tega, “Nih.” Carina menyodorkan roti yang dia keluarkan barusan.
Dengan cekatan Jeania mengambil semua roti yang berada di genggaman Carina tanpa menyisakan sedikitpun, melahapnya dengan cepat membuat Carina tak bisa berkutik sama sekali.
“Eh, gila! Kelakuan ama muka bersebrangan!” ketus Carina.
“Gue laper,” ujar Jeania yang masih mengunyah roti. Bibirnya sekarang sudah penuh dengan roti yang ia lahap sekaligus.
Carina yang melihat tingkah Jeania merasa jijik, dia tidak menyangka Jeania memiliki sifat buruk seperti ini. Tapi Carina tidak mempermsaalahkan hal semacam itu.
“Thanks, Rin. Lo baik beut asli,” ujar Jeania yang masih menyisakan sisa makanan di sekitar bibirnya. Carina yang melihat itu hanya bergidik jijik.
“Udah bersihin itu bibir, lo! Geli gue!”
“Asli gue masih ga nyangka lo gini , Jen,” cecar Carina.
“Kenapa si? namanya juga laper!” Jeania masih sibuk membersihkan bibirnya sembari melihat cermin yang baru saja ia keluarkan dari dompet.
Carina mengela nafas panjang, kini sekarang dia yang naik pitam. Tangannya mengapit kedua pipi Jeania dan menatapnya lekat-lekat seraya berkata,
“Lo itu cantik, Jen! Harus jaga sikap!” desis Carina tepat di wajah Jeania.
Jeania yang justru risih dengan sikap Carina menghempaskan tangannya Carina, dia merasa Carina terlalu lebay.
“Udah si, Rin. Lo gak usah lebay! Lagian ngapain juga, emang bakal ada yang suka sama gue!?”
Carina tersentak mendengar apa yang telah dituturkan Jeania barusan. Pasalnya Jeania termasuk wanita tercantik di sekolahnya.
Tiba-tiba seseorang dengan badan semampai datang menghampiri mereka berdua.
“Kalian ngapain masih di sini!.” Itu adalah Xavier. Dia sedang melakukan tugas rutinitasnya sebagai Ketua OSIS, berkeliling ketika bel masuk sudah dibunyikan agar meminimalisir para pembolos. Dengan sikap Xavier yang begitu tegas ternyata sangat berpengaruh cukup besar dalam mengantisipasi siswa maupun siswi yang bolos.
Karena saking asiknya Jaenia dan Carina mengobrol mereka berdua tidak menyadarai jika bel sudah dibunyikan. Bahkan, mereka berdua juga tidak menyadari kedatangan Xavier membuat siswa-siswi berhamburan untuk segera memasuki kelas, meskipun belum semuanya.
Jenia mengernyitkan dahinya dan alisnya saling bertaut.
“Loh, terserah gue dong! Emang ini sekolah, lo!?" Sergah jeania yang merasa kesal. Carina yang melihat itu tangannya dengan reflek mencubit pinggang Jeania.
“Sssttt...! Maaf, kak. Ini kami mau masuk,” ujar Carina dengan nada memelas dan senyum yang terlihat ketakutan. Dengan cepat Carina menarik tangan Jeania agar masuk mengikutinya. Namun, bukannya mengikutinya justru Jeania berdiri tegap di depan Xavier sang Ketua OSIS itu, mereka berdua terlihat seperti petarung yang siap diuji. Jeania menentang Xavier.
Melihat tingkah konoyl Jeania Xavier bertepuk tangan. Baru kali ini ada siswi yang berani menentang secara langsung Ketua OSIS itu, apalagi yang dilakukan Xavier bukanlah hal yang melenceng.
“Hebat... hebat...” kali ini Xavier berkacak pinggang dan mengangguk-ngangguk, “Selama gue jabat ketua baru kali ini ada cewek yang berani nentang gue.”
Carina yang melihat perseteruan ini hanya bisa menganga melihat kelakuan Jeania. Dia merasa bersalah, harusnya sebelum ini dia sudah memberitahu, jika hal semacam ini sudah menjadi kewajiban sebagai tugas Ketua OSIS. Carina menepuk jidatnya, “Ikut matek deh gue!”
“Heh, lo pikir lo jagoan gitu! Lo pikir gue takut sama, lo!” pikik Jeania. Sekarang semua pasang mata nyalang mengarah kepada dua pelajar yang sedang berseteru ini.
“Ow...” Xavier mengerucutkan bibirnya dan membentuknya seperti huruf O.
Karena berita yang dikabarkan Carina kemarin masih begitu panas di pikiran Jeania, melihat Xavier rasanya ingin sekali Jaenia mengumpatnya. Dia lupa padahal dia bukanlah siapa-siapanya Xavier.
Kali ini Xavier menatap Carina yang sedang berdiri ketakutan.
“Rina, lo tau, kan?” ujar Xavier memberikan isyarat dengan mengarahkan padangannya ke lapangan. Carina hanya menunduk ketakuatan.
Berbeda saat tidak sedang bertugas Xavier adalah seorang pemuda dangan tampang cool nya. Lain halnya jika ia sedang berperan sebagai Ketua OSIS, wajahnya saja bak serigala mencari mangsa di malam hari.
Tak ingin meladeni Jeania, Xavier ngacir begitu saja meninggakan mereka berdua.
“Mau kemana, lo!? Dasar culun!” pekik Jeania membuat Carina merasa malu. Karena sedari tadi mereka berdua menjadi pusat perhatian.
“Jen! Lo ngapain, sih!?” ujar Carina menyesal.
“Dia itu ketua OSIS, Jen. Dia juga lagi ngejalanin tugasnya, tugas dia itu perintah guru. Dan lo tadi...” Carina mengehela nafas panjang, “Dah lah, Jen. Yok ikut gue!” Carina mencekal tangan Jeania. Dengan langkah gontai Jeania mengikutinya.
“Mau kemana, sih!?” sergah Jeania namun tak dihiraukan Carina.
Sekarang mereka berdua sudah berdiri di tengah lapangan. Itulah adalah akibat jika berani menentang Ketua OSIS, apalagi saat sedang bertugas.
“Kita ngapain kesini?”
“Lo mau di sini atau mau berurusan ama guru BK?”
Mendengar hal itu sontak membuat Jeania menyadari hal ia lakukan tadi adalah sebuah kesalahan.
“Dasar... Xavier sialan!!!” geram Jeaian. Sekarang tangannya sudah membentuk sebuah kepalan.
Padahal pagi ini matahari panasnya cukup terasa menyengat di kulit ini lebih panas dari omongan tetangga. Namun, karena tingkah konyol Jeania dia harus menerima imbasnya dan Carina pun juga harus menanggung seperti dugaanya.
“Lo kenapa ga bilang dari kemarin sih?”
“Jen... lo yang gila! Lagian ngapain,sih! Dia itu kakak kelas, ya kita nurut aja kalik!” sunggutnya kesal.
“Ya, maaf. Gue benci ama tu orang.”
“Jen... Jen...”
***
Kupikir dengan adanya banyak orang yang memujiku cantik maka segala urusanku dengan semua orang akan terasa lebih mudah, ternyata sama saja sulitnya.- Jeania Suasana di sekolah cukup sepi, tentu saja mereka semua sedang melakukan kegiatan belajar mengajar di kelas.Kecuali dengan Jeania dan Carina, mereka masih berjemur bersama tiang bendera di tengah lapangan menemani mereka bertiga yang sedang mematung menjalankan titah dari sang ketua.Terik matahari semakin memancarkan panasnya, dan minimnya angin sepoi-sepoi mendukung penyiksaan yang mereka alami sekarang. Itu adalah resiko yang tidak bisa mereka hindari. Sebenarnya hukuman seperti ini jauh lebih baik daripada harus berurusan dengan guru BK yang di mana itu hanya akan lebih memanjang dan akan jauh lebih lama.“Makin panas gila, Rin,” keluh Jeania mengipas-ngipasi dirinya dengan tangan kosong. Keringatnya mulai berjatuhan sedikit demi sedikit. Meskipun berkeringat Jeania tidak s
Kau tau... ternyata rasa gengsi itu adalah musuh terbesar bagi cinta. Jika kau mencintai seseorang lebih baik jujurlah, jangan sampai rasa gengsi itu menguasaimu. Aku tau bagaimana rasanya, dan itu benar-benar lebih menyakitkan. Tolong, percayalah!Waktu istirahat telah usai, sekarang suasana cukup sepi. Hanya tersisa dua orang yang sedang membersihkan baju Xavier.Meskipun terlihat suka bermain game online Fano adalah seorang teman yang setia, dia selalu ada disaat Xavier membutuhkan bantuannya bahkan dia tidak pernah menolak, begitu pun dengan Xavier.Perlu diketahui mereka berdua adalah cogan-cogan sekolahan, hanya saja Xavier enggan mempermainkan perasaan seorang wanita. Xavier lebih memilih to the point untuk menolak dari pada harus menggerayangi perasaan wanita meskipun itu terlihat sangat kejam, dan Fano adalah kebalikannya. Sebenarnya dia tidak sepenuhnya mempermainkan perasaan wanita, hanya saja dia selalu menerima wa
Hey, bangun! Mimpimu bukan untuk hanya dinikmati saja. Jika mau maka lakukanlah, dan gapai itu. –Pesan Author-Kini pikiran Xavier benar-benar dikerahkan untuk mencari cara agar bisa mencegah niatan Fano. Benar, baru kali ini Xavier memikirkan hal seperti ini. Jika tidak untuk Jeania pasti dia akan sangat merasa ilfeel. Semenjak hadirnya Jaeania, Xavier sudah bukan lagi bangunan kokoh dengan prinsip yang dijunjung tinggi. Sekarang Xavier hanyalah seorang pengagum rahasia.Akhirnya setelah lama berkutat pada pikirannya Xavier menemukan cara. Entah, akan berhasil atau tidak, harus tetap dicoba. Sebenarnya ditebak saja sudah bisa, karena seorang Jeania tidak akan dengan mudah menerima perkataan dari Xavier apalagi semenjak pertama kali ia bertemu hingga sekarang belum pernah ada kesan yang cukup baik untuk sekedar dijadikan sebuah ingatan.“Maaf, bu. Saya izin ke kamar mandi sebentar,” ujar Xavier kepada guru yang sedang
"Hah yang bener, lo!” pekik Carina setelah mendengar ceritaku.Jam sekolah telah usai, sesuai janjiku aku menceritakan semua kepadanya. Sempat tadi aku ingin melarikan diri namun dengan sigap Carina mencegahku. Sekarang kami berdua sedang berada di ruang meeting pribadi kami, seperti itulah Carina menyebutnya. Katanya laboratorium ini sudah menjadi milik kami berdua. Tentulah itu hanya dia yang mengklaim secara sepihak.“Terserah lo! Capek gue, tiap kali gue jelasin lo ga percaya,” sunggutku kesal.“Iyalah, itu udah bukan kayak Kak Xavier lagi, Jen! Tapi di sisi lain gue percaya soalnya tadi gue liat dengan mata kepala gue sendiri lo jalan berdua.” Dua jarinya membentuk huruf V dan menunjuk-nunjuk dua matanya itu. “Dan gue bangga punya temen kek lo!” tambahnya. Carina adalah tipikal seseorang dengan gaya bicara yang ekpresif, jadi kedua tangannya itu sedari tadi sangat aktif memberikan pe
Jangan terlalu mudah menaruh harapanmu kepada seseorang, karena siapapun bisa membuat kita kecewa. Namun, apakah kau sadar terkadang aspal di jalanan yang mulus itu bisa membuat kita bahagia dan merasa nyaman? Sejak tadi malam Adellia belum juga membaik, tubuhnya masih terasa hangat."Semoga saja tidak terjadi hal buruk," harap Xavier.Seperti biasa pagi ini Xavier menjalankan hari-harinya untuk bersekolah, dan untuk pagi ini Xavier tidak mengenyam sarapan. Tapi, setidaknya dia sudah mempersiapkan semua untuk Adellia termasuk sarapan dan obat-obatnya. Harapannya ketika Xavier sedang tidak bisa menemaninya semua persediaan sudah terpenuhi semua. Sayangnya hanya itu yang bisa dilakukan Xavier sekarang.Dengan rasa yang amat terpaksa Xavier meninggalkan Adellia yang sedang terkulai lemah sendirian tak berdaya, tadi dia sudah berniat untuk tidak mengikuti kegiatan sekolah hari ini, dan seperti biasa Adellia melarangnya. Meninggalkannya hanya a
Suasana sekolah cukup ramai, hampir setiap kelas jika jam istirahat tiba mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bersenang-senang. Begitu juga dengan Carina dan Jeania mereka berdua memutuskan untuk pergi ke kantin. Hanya satu orang saja yang menyia-nyiakan jam istirahat ini, dia adalah Xavier. Seperti yang dilakoni tadi pagi dia menyendiri di ruang khusunya. Pikirannya masih saja berkutat pada seoarang yang terkulai di rumahnya. Dia masih mengkhawatirkannya.“Gue males, Rin,” sergah Jeania.“Terus gimana dong rencananya, udah ayok!” Carina menarik lengan Jeania agar mengikutinya. Namun, tiba-tiba...“Hai Jen... ini buat lo.” Itu adalah Faisal yang mengejutkan mereka berdua, dia menyodorkan kertas yang terlipat rapi.“Gue duluan, ya..”Jeania tak menjawab apapun, dia hanya menerima kertas yang diberikan Faisal.“Gila udah dapet surat cinta aja, lo!”“Gue ga suka am
Kesempatan bisa saja datang untuk kedua kalinya, hanya saja mungkin tidak akan sehebat yang pertama. Karena sebesar apapun seseorang memberikan kasih cintanya, jika dia pernah merasakan luka sebelumnya dia akan lebih berhati-hati untuk melangkah. Namun, belum tentu terjadi untukmu, bisa saja cintanya akan lebih hebat saat bersamamu. "Lo gak perlu tau alasannya. Ikutin kata gue pokoknya!”Jeania terperangah seketika mendengar jawaban yang diberikan Xavier. Dia tidak habis pikir dengan apa yangbaru saja dikatakan Xavier.“Eh... asal lo tau, gue mau pacaran sama Fano atau siapa itu terserah gue... bukan urusan lo!” sergah Jenia dengan nada lantang. Ia melenggang meninggalkan Xavier yang masih masih terpaku dengan perkataan tajam Jeania.Sebenarnya Xavier menyadari dia begitu dingin kepada Jeania, bukannnya tidak mungkin untuk mengubah kepribadianya hanya saja rasa gengsi yang ia miliki cukup tinggi untuk ditaklukan.
Mengapa orang-orang rela mengutuk dirinya sendiri diatas kesempurnaan yang telah diberikan?Udara kali ini cukup terasa menyejukkan. Si jingga yang sudah melukis indah di langit membuat panorama mata semakin ingin merasakan candunya. Begitulah nuansa ria sore hari di rumah Xavier.Sudah cukup lama Adellia mengalirkan air matanya untuk menangis, deru nafasnya sedari tadi masih tersengal-sengal. Melihatnya seperti ini Xavier seperti sedang tertusuk ribuan pisan di hatinya, begitu menyakitkan.Karena sudah tidak tahan Xavier menghampiri ayahya tanpa sepengetahuan Adellia.“Mau kemana, sayang?” tanya Adellia melihat Xavier sedang membuka pintu.“Ambilin mamah minum bentar,” ujar Xavier berbohong.Tak ingin menaruh curiga Adellia memalingkan pandangannya ke langit-langit kamar. Xavier pun melenggang meningalkanya.Brak!!Xavier membanting pintu kamar Daniel, dia tersentak kaget.&l
Xaiver dan Pak Tono keduanya masih dalam keadaan siaga. Padahal pagi ini masih begitu sepi sekali, tentu tidak akan ada yang mengawasi mereka berdua. Namun, rasa was-was yang menyelimuti Xavier begitu kuat.Xavier masih berpikir-pikir apakah ia perlu menceritakan rencananya kepada Pak Tono selaku satpam sekolah itu. Kedekatannya dengan Pak Tono membuatnya sedikit menyingkirkan rasa gengsinya meskipun hanya untuk sementara. Karena menurut Xavier Pak Tono hanyalah satpam yang sekedar menjaga gerbang, jadi ia tidak mungkin bisa mencampuri urusan Xavier lebih jauh.“Jadi gini, pak. Vier mau nyari data-data tentang Jeania di ruang guru,” ujar Xavier dengan berbisik pelan, berharap tidak ada yang mendengar. Pak Tono terkejut terlihat dari ekspresi wajahnya yang terpental kebelakang.“Buat apa Vier? Mending jangan deh, kamu itu Ketua OSIS. Nanti nama kamu bisa tercoreng abis itu angkatan kamu juga kena dampaknya. Mending dipikir-pikir lagi,&rdqu
-Cinta seorang ibu itu tidak pernah bohong. Kamu bisa mengetahuinya saat berinteraksi dengannya.-Semenjak kepergian Daniel beberapa hari yang lalu, rumah terasa tentram bagi Xavier. Tidak ada kegaduhan, kekacauan, dan kebengisan-kebengisan yang dibuat oleh Daniel. Namun, berbeda dengan Adellia ibunda Xavier sekaligus istri Daniel, hari-harinya salalu ditemani oleh tangisan saat ia hanya menyendiri di kamarnya. Bahkan, Xavier tidak mengetahui hal itu, karena hari-harinya disibukkan oleh tugas sekolah yang sangat menumpuk, dan kewajiban-kewajibannya yang lain selaku Ketua OSIS.Diusia Xavier yang sudah beranjak dewasa ia sudah sangat mampu membagi waktu-waktunya. Ia tau kapan harus mengerjakan kewajibannya, menemani ibundanya, dan tentu ia tidak pernah terlupa untuk memikirkan Jeania.“Vier... kamu ngelamunin apa sayang?” pekik seseorang tiba-tiba memasuki kamar Xavier. Xavier sedang bersantai, karena di luar sedang turun hujan, melepas
Aku berusaha menutupi kebohonganku menggunakan kebohongan, dan semua itu hasilnya sia-sia. –JeaniaJeania dan Carina keduanya larut dalam kesunyian, perlahan kesadaran Jeania mulai luruh karena mengantuk. Selain hobi membaca Jeania juga hobi sekali melamun, seperti saat ini. Sengaja Carina ikut terdiam karena menunggu kata-kata yang akan dilontaran Jeania dan ia berharap adalah sebuah penjelasan. Namun, setelah sekian berlama-lama menunggu Jeania yang tak kunjung berbicara, Carina sudah mulai geram.“Jen!” pekik Carina mengejutkkan Jeania. Tadinya ia sudah terlelap untuk beberapa saat.Jeania menghela nafas panjang, ia menyesal telah mmenghadirkan Carina ke rumahnya. Sebenarnya yang bermasalah bukan pada Carina melainkan pikiran Jeania yang sedang tidak baik dan merusak mood-nya.“Oh iya Jen. Soal Kak Fano gimana lo jadinya,” tanya Carina. Jeania tersadarkan dengan rencananya.“Gak tau gue, Rin.
Langit terlihat begitu mempesona terukir indah di cakrawala. Kicauan burung menambahkan kelarasan bercengkrama. Tidak ada tanda kesenduan yang terlihat di langit, tentu tidak akan ada air yang mengguyur tanah sekolah SMA ini.Setelah kejadian yang menimpa Jeania, ia langsung meminta maaf kepada Asya karena sudah meninggalkannya sendirian. Dan setelah Jeania menjelaskan semua, seakan mengerti perasaan Jeania, Asya lalu memaafkannya. Tidak ada tanda-tanda kecurigaan yang diperlihatkan Asya. Ia masih menganggap Jeania sebagai seorang siswi baru yang tidak mungkin berbuat macam-macam.Perasaan Jeania masih diselimuti kekesalan, lagi-lagi dia harus terkena kesialan karena berurusan dengan seseorang yang bernama Xavier. Sebenarnya Xavier tidak melakukan kesalahan apapun, hanya saja karena Jeania yang sudah berani menaruh perasaan kepada Xavier jadi semua yang berhubungan dengan perasaan selalu salah di mata Jeania.Xavier masih dengan sikapnya seperti biasa, dia
Jangan pernah menduga-duga seseorang dengan sesuatu yang buruk,selain tidak ada untungnya jika dugaanmu salah, itu bisa menjadi penyesalan teramat besar. “Gue...”“Kenapa!?” sergah Xavier kali ini dengan nada sedikit lebih tinggi.“Gue mau manggil guru soalnya dari tadi kelas gue kosong Xavier sang Ketua OSIS... galak amat,” ketus Asya.Bisa dikatakan Asya adalah seseorang siswi yang cukup rajin, pasalnya ia dipilih oleh guru untuk menjadi ketua kelas bukan tanpa alasan. Selain karena sifat rajinnya ia juga memiliki sikap yang tegas terhadap teman-temannya.“Oh gitu, yaudah sana. Gue duluan,” ujar Xavier melenggang meninggalkan Asya. Seperti biasa sikap dinginnya masih sangat melekat setiap harinya, bahkan untuk seorang yang cantik dan rajin seperti Asya sangat susah untuk mendapatkan perhatian.Asya melangkahkan kakinya untuk pergi ke tempat yang akan ia tuju. Pikirannya masih berkut
-Pov Jeania-“Apa-apan Xavier sialan itu! Kemarin ngaku-ngaku jadi pacar gue, sekarang udah ada berita jalan sama yang lain,” gumamku yang masih terdengar oleh Carina.“Hah... apa lo bilang!? Seriusan?” sergah Carina ia terkejut mendengar apa yang baru saja kuucapkan. Sengaja berita itu tidak kuceritakan kepadanya, karena aku tidak ingin dicecarnya dengan banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermutu.“Kok lo gak ngasih tau gue, sih!?”Dan benar saja, Carina sepertinya setelah ini akan mencecarku dengan banyak pertanyaan.. Berita yang kuberikan kepadanya seperti wartawan yang mendapatkan umpan untuk disantap.“Lo diem... lo diem! Gak usah banyak tanya dulu, mood gue ilang denger lo ngasih kabar gituan,” ujarku. Aku merengkupkan tanganku di atas meja lalu menopangkan daguku.Seharusnya sedari awal aku menyadari jika Xavier itu memang terlalu tinggi untuk digapai. Layaknya bulan yang h
Mengapa orang-orang rela mengutuk dirinya sendiri diatas kesempurnaan yang telah diberikan?Udara kali ini cukup terasa menyejukkan. Si jingga yang sudah melukis indah di langit membuat panorama mata semakin ingin merasakan candunya. Begitulah nuansa ria sore hari di rumah Xavier.Sudah cukup lama Adellia mengalirkan air matanya untuk menangis, deru nafasnya sedari tadi masih tersengal-sengal. Melihatnya seperti ini Xavier seperti sedang tertusuk ribuan pisan di hatinya, begitu menyakitkan.Karena sudah tidak tahan Xavier menghampiri ayahya tanpa sepengetahuan Adellia.“Mau kemana, sayang?” tanya Adellia melihat Xavier sedang membuka pintu.“Ambilin mamah minum bentar,” ujar Xavier berbohong.Tak ingin menaruh curiga Adellia memalingkan pandangannya ke langit-langit kamar. Xavier pun melenggang meningalkanya.Brak!!Xavier membanting pintu kamar Daniel, dia tersentak kaget.&l
Kesempatan bisa saja datang untuk kedua kalinya, hanya saja mungkin tidak akan sehebat yang pertama. Karena sebesar apapun seseorang memberikan kasih cintanya, jika dia pernah merasakan luka sebelumnya dia akan lebih berhati-hati untuk melangkah. Namun, belum tentu terjadi untukmu, bisa saja cintanya akan lebih hebat saat bersamamu. "Lo gak perlu tau alasannya. Ikutin kata gue pokoknya!”Jeania terperangah seketika mendengar jawaban yang diberikan Xavier. Dia tidak habis pikir dengan apa yangbaru saja dikatakan Xavier.“Eh... asal lo tau, gue mau pacaran sama Fano atau siapa itu terserah gue... bukan urusan lo!” sergah Jenia dengan nada lantang. Ia melenggang meninggalkan Xavier yang masih masih terpaku dengan perkataan tajam Jeania.Sebenarnya Xavier menyadari dia begitu dingin kepada Jeania, bukannnya tidak mungkin untuk mengubah kepribadianya hanya saja rasa gengsi yang ia miliki cukup tinggi untuk ditaklukan.
Suasana sekolah cukup ramai, hampir setiap kelas jika jam istirahat tiba mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bersenang-senang. Begitu juga dengan Carina dan Jeania mereka berdua memutuskan untuk pergi ke kantin. Hanya satu orang saja yang menyia-nyiakan jam istirahat ini, dia adalah Xavier. Seperti yang dilakoni tadi pagi dia menyendiri di ruang khusunya. Pikirannya masih saja berkutat pada seoarang yang terkulai di rumahnya. Dia masih mengkhawatirkannya.“Gue males, Rin,” sergah Jeania.“Terus gimana dong rencananya, udah ayok!” Carina menarik lengan Jeania agar mengikutinya. Namun, tiba-tiba...“Hai Jen... ini buat lo.” Itu adalah Faisal yang mengejutkan mereka berdua, dia menyodorkan kertas yang terlipat rapi.“Gue duluan, ya..”Jeania tak menjawab apapun, dia hanya menerima kertas yang diberikan Faisal.“Gila udah dapet surat cinta aja, lo!”“Gue ga suka am