-Cinta seorang ibu itu tidak pernah bohong. Kamu bisa mengetahuinya saat berinteraksi dengannya.-
Semenjak kepergian Daniel beberapa hari yang lalu, rumah terasa tentram bagi Xavier. Tidak ada kegaduhan, kekacauan, dan kebengisan-kebengisan yang dibuat oleh Daniel. Namun, berbeda dengan Adellia ibunda Xavier sekaligus istri Daniel, hari-harinya salalu ditemani oleh tangisan saat ia hanya menyendiri di kamarnya. Bahkan, Xavier tidak mengetahui hal itu, karena hari-harinya disibukkan oleh tugas sekolah yang sangat menumpuk, dan kewajiban-kewajibannya yang lain selaku Ketua OSIS.
Diusia Xavier yang sudah beranjak dewasa ia sudah sangat mampu membagi waktu-waktunya. Ia tau kapan harus mengerjakan kewajibannya, menemani ibundanya, dan tentu ia tidak pernah terlupa untuk memikirkan Jeania.
“Vier... kamu ngelamunin apa sayang?” pekik seseorang tiba-tiba memasuki kamar Xavier. Xavier sedang bersantai, karena di luar sedang turun hujan, melepas
Xaiver dan Pak Tono keduanya masih dalam keadaan siaga. Padahal pagi ini masih begitu sepi sekali, tentu tidak akan ada yang mengawasi mereka berdua. Namun, rasa was-was yang menyelimuti Xavier begitu kuat.Xavier masih berpikir-pikir apakah ia perlu menceritakan rencananya kepada Pak Tono selaku satpam sekolah itu. Kedekatannya dengan Pak Tono membuatnya sedikit menyingkirkan rasa gengsinya meskipun hanya untuk sementara. Karena menurut Xavier Pak Tono hanyalah satpam yang sekedar menjaga gerbang, jadi ia tidak mungkin bisa mencampuri urusan Xavier lebih jauh.“Jadi gini, pak. Vier mau nyari data-data tentang Jeania di ruang guru,” ujar Xavier dengan berbisik pelan, berharap tidak ada yang mendengar. Pak Tono terkejut terlihat dari ekspresi wajahnya yang terpental kebelakang.“Buat apa Vier? Mending jangan deh, kamu itu Ketua OSIS. Nanti nama kamu bisa tercoreng abis itu angkatan kamu juga kena dampaknya. Mending dipikir-pikir lagi,&rdqu
Disaat semua orang menorehkan tinta bertemakan cinta, tidak begitu dengan Xavier Alexa. Cintanya sudah kalut bersama kebencian yang menjalar bersama jiwanya. Jika saja ada level di atas kebencian, mungkin kata itu lebih pantas untuk disematkan kepadanya.“Mas, dari mana kok baru pulang?” ujar wanita paruh baya yang terlihat kebingungan dengan raut wajah ketakutan, Adellia ibunda Xavier Alexa. Sekarang pukul 02.00 dini hari sudah sangat larut malam.Disana sudah ada Xavier yang mengawasi dari tangga, dan tangga itu membundar sehingga dengan mudah dia menyembunyikan tubuhnya saat diam-diam mengawasi kedua orang tuanya, percayalah Xavier sudah merasakan aura buruk yang menyentuhnya.“Gak usah banyak tanya kamu!” sergah pria dengan badan semampai dan urat yang terlihat begitu menonjol di tangannya, itulah Daniel Aditiya, ayah keji, tidak berperasaan, dan banyak sifat buruk yang tidak patut untuk dikatakan sebagai manusia. Begit
Perasaan Xavier sekarang sedang dirundung kebahagian. Bagaiamana tidak pasalnya ayah yang dia benci sedang pergi keluar kota, ini seperti pelangi yang datang setelah badai menghadang. Namun, entah apa yang dilakukan ayahnya dia tidak pernah tau dan tidak pernah ingin mengetahuinya. Yang terpenting bagi Xavier adalah ibundanya terjaga dari mara bahaya, dan ayahnya itulah sumber petaka menurutnya.Sepertinya Fano teman sebangkunya itu menyadari hati Xavier sedang berbunga-bunga.“Lo lagi seneng? Ayah lo lagi minggat!?” tanya Fano sekaligus memberi pernyataan.Fano adalah satu-satunya teman yang mengetahui latar belakang kehidupan Xavier. Jadi sudah wajar jika dia mengetahui hal apa yang membuat Xavier sangat kegirangan. Fano adalah tipikal orang yang tidak banyak bicara, maka dari itu ia dijadikan tempat untuk mencurahkan segala masalahnya kalaupun itu hanya sekedar bercerita. Bahkan, dia memiliki kepribadaian yang hampir sama dengan Xavier ha
Hembusan angin semilir yang sangat ramah ini membuat suasana menjadi sejuk-menyejukkan padahal sekarang sudah hampir menjelang siang. Carina yang masih sangat menggebu-nggebu begitu antusiasi ingin menceritakan perihal mengenai Xavier, dia seperti langit hitam yang ingin memuntahkan air bah karena takk bisa terbendung.Sampai saat ini hanya Jeania yang dengan terang-terangan memberikan penilaian sikap buruk mengenai Xavier. Bagaiamana tidak, wajah Xavier yang begitu rupawan sudah banyak memikat wanita yang melihatnya, lantas ditambah dengan akademiknya yang begitu mumpuni, tentu sudah sangat terlihat perfect di kalangan warga sekolah. Carina adalah salah satu contoh wanita yang sedang tergila-gila dengan paras yang dimiliki Xavier, kalaupun dia tidak pernah dianggap sama sekali.“Sini, lo! Ikutin gue aja!” pekik Carina mencekal lengan Jeania, sebenarnya Jaenia sama sekali tidak berminat untuk diajak.“Mau kemana, sih?! Kenapa ga di kelas
-Aku tau mencintai seseorang itu tidak perlu membutuhkan sebuah alasan, karena alasan hanya diperlukan saat kita membenci seseorang, dan aku mempunyai alasan itu.-“Mamah!” pekik Xavier menghampiri Adellia.Bercakan luka sayatan yang menetes dan meyebar disekitar lantai membuat hati Xavier begitu terenyuh seperti dipaksa untuk memasuki jurang yang sangat dalam, air matanya kini mengalir. Sedalam itu dia mencintai Adellia maka sesakit itu juga saat melihat Adellia menderita.“Ini kenapa, mah?” tanya Xavier menggapai tangan Adella yang bergelayut lemas di atas bangku.Wajah Adellia terlihat pucat pasi, tubuhnya terkulai lemah, luka itu sudah sedari tadi mengalirkan cairan merahnya. Terlihat bercakan yang masih segar berserakan disekitar lantai.Tanpa pikir panjang dan dengan air mata mengalir deras tak bisa dibendung, Xavier membawa Adellia masuk kedalam mobil. Dengan langkah gontai namun perlahan Adellia bisa mengiku
-Apakah benar cinta itu datangnya dari mata lalu turun ke hati, lantas bagaimana jika tangga pertama itu hilang? Masihkah ada kata cinta semanis saat pertama kali jumpa?-“Eh, adek abang udah pulang,” pekik Revan menyambut kedatangan Jenia.“Kenapa nih mukanya cemberut gitu?” kali ini Revan mencubit pipi adeknya itu. Percayalah di usia yang sudah menginjak SMA seperti ini wajah Jeania masih terlihat baby face.“Aw... sakit, kak!” Jeania menggerutuki kakaknya.Dari kejauhan terlihat Devi menggeleng-geleng melihat tingkah laku Revan itu. Sudah berapa kali Devi mengatakan agak tidak memperlakukan adik wanitanya itu seperti anak kecil. namun karena ini adalah sikap normal sebagai seorang manusia jadi Devi sedikit memakluminya, hanya sedikit.“Mah, ini Kak Revan rese!” ketus Jeania. Tangannya mendekap di dadanya. Revan yang melihat ini hanya terkekeh, sebenarnya tangannya s
Hilang satu tumbuh seribu. Bagaiamana dia bisa hilang sedangkan aku pun bukan siapa-siapanya. Kadang seseorang berujar akan ketidakadilan hidup ini, padahal kita sendiri yang tidak adil karena seenaknya mengklaim sepihak. Buktinya saja kamu tak dianggap!“Lo kenapa sih, Jen!?” tegur Carina membuat Jeania tersentak karena sedari tadi melamun.“Gue...”“Hai...!!!” Tiba-tiba seseorang dengan tubuh semampai dan wajah yang begitu menawan mengejutkan mereka berdua.Sekarang mereka sedang berada di pelataran kelas. Duduk berdua di bangku yang sedari tadi kosong, sebelum satu pria yang tak dikenal Jeania ini datang menghampiri mereka berdua.“Nama lo Jeania?” tanya pria itu, namanya Faisal, kelas sebelah.Bukannya menjawab Jeania justru menggedikan bahunya kemudian mendesah malas. Mood Jenia sedang tidak baik, dan sekarang bukan waktu yang tepat untuk Faisal.“Sssttt...&r
Kupikir dengan adanya banyak orang yang memujiku cantik maka segala urusanku dengan semua orang akan terasa lebih mudah, ternyata sama saja sulitnya.- Jeania Suasana di sekolah cukup sepi, tentu saja mereka semua sedang melakukan kegiatan belajar mengajar di kelas.Kecuali dengan Jeania dan Carina, mereka masih berjemur bersama tiang bendera di tengah lapangan menemani mereka bertiga yang sedang mematung menjalankan titah dari sang ketua.Terik matahari semakin memancarkan panasnya, dan minimnya angin sepoi-sepoi mendukung penyiksaan yang mereka alami sekarang. Itu adalah resiko yang tidak bisa mereka hindari. Sebenarnya hukuman seperti ini jauh lebih baik daripada harus berurusan dengan guru BK yang di mana itu hanya akan lebih memanjang dan akan jauh lebih lama.“Makin panas gila, Rin,” keluh Jeania mengipas-ngipasi dirinya dengan tangan kosong. Keringatnya mulai berjatuhan sedikit demi sedikit. Meskipun berkeringat Jeania tidak s
Xaiver dan Pak Tono keduanya masih dalam keadaan siaga. Padahal pagi ini masih begitu sepi sekali, tentu tidak akan ada yang mengawasi mereka berdua. Namun, rasa was-was yang menyelimuti Xavier begitu kuat.Xavier masih berpikir-pikir apakah ia perlu menceritakan rencananya kepada Pak Tono selaku satpam sekolah itu. Kedekatannya dengan Pak Tono membuatnya sedikit menyingkirkan rasa gengsinya meskipun hanya untuk sementara. Karena menurut Xavier Pak Tono hanyalah satpam yang sekedar menjaga gerbang, jadi ia tidak mungkin bisa mencampuri urusan Xavier lebih jauh.“Jadi gini, pak. Vier mau nyari data-data tentang Jeania di ruang guru,” ujar Xavier dengan berbisik pelan, berharap tidak ada yang mendengar. Pak Tono terkejut terlihat dari ekspresi wajahnya yang terpental kebelakang.“Buat apa Vier? Mending jangan deh, kamu itu Ketua OSIS. Nanti nama kamu bisa tercoreng abis itu angkatan kamu juga kena dampaknya. Mending dipikir-pikir lagi,&rdqu
-Cinta seorang ibu itu tidak pernah bohong. Kamu bisa mengetahuinya saat berinteraksi dengannya.-Semenjak kepergian Daniel beberapa hari yang lalu, rumah terasa tentram bagi Xavier. Tidak ada kegaduhan, kekacauan, dan kebengisan-kebengisan yang dibuat oleh Daniel. Namun, berbeda dengan Adellia ibunda Xavier sekaligus istri Daniel, hari-harinya salalu ditemani oleh tangisan saat ia hanya menyendiri di kamarnya. Bahkan, Xavier tidak mengetahui hal itu, karena hari-harinya disibukkan oleh tugas sekolah yang sangat menumpuk, dan kewajiban-kewajibannya yang lain selaku Ketua OSIS.Diusia Xavier yang sudah beranjak dewasa ia sudah sangat mampu membagi waktu-waktunya. Ia tau kapan harus mengerjakan kewajibannya, menemani ibundanya, dan tentu ia tidak pernah terlupa untuk memikirkan Jeania.“Vier... kamu ngelamunin apa sayang?” pekik seseorang tiba-tiba memasuki kamar Xavier. Xavier sedang bersantai, karena di luar sedang turun hujan, melepas
Aku berusaha menutupi kebohonganku menggunakan kebohongan, dan semua itu hasilnya sia-sia. –JeaniaJeania dan Carina keduanya larut dalam kesunyian, perlahan kesadaran Jeania mulai luruh karena mengantuk. Selain hobi membaca Jeania juga hobi sekali melamun, seperti saat ini. Sengaja Carina ikut terdiam karena menunggu kata-kata yang akan dilontaran Jeania dan ia berharap adalah sebuah penjelasan. Namun, setelah sekian berlama-lama menunggu Jeania yang tak kunjung berbicara, Carina sudah mulai geram.“Jen!” pekik Carina mengejutkkan Jeania. Tadinya ia sudah terlelap untuk beberapa saat.Jeania menghela nafas panjang, ia menyesal telah mmenghadirkan Carina ke rumahnya. Sebenarnya yang bermasalah bukan pada Carina melainkan pikiran Jeania yang sedang tidak baik dan merusak mood-nya.“Oh iya Jen. Soal Kak Fano gimana lo jadinya,” tanya Carina. Jeania tersadarkan dengan rencananya.“Gak tau gue, Rin.
Langit terlihat begitu mempesona terukir indah di cakrawala. Kicauan burung menambahkan kelarasan bercengkrama. Tidak ada tanda kesenduan yang terlihat di langit, tentu tidak akan ada air yang mengguyur tanah sekolah SMA ini.Setelah kejadian yang menimpa Jeania, ia langsung meminta maaf kepada Asya karena sudah meninggalkannya sendirian. Dan setelah Jeania menjelaskan semua, seakan mengerti perasaan Jeania, Asya lalu memaafkannya. Tidak ada tanda-tanda kecurigaan yang diperlihatkan Asya. Ia masih menganggap Jeania sebagai seorang siswi baru yang tidak mungkin berbuat macam-macam.Perasaan Jeania masih diselimuti kekesalan, lagi-lagi dia harus terkena kesialan karena berurusan dengan seseorang yang bernama Xavier. Sebenarnya Xavier tidak melakukan kesalahan apapun, hanya saja karena Jeania yang sudah berani menaruh perasaan kepada Xavier jadi semua yang berhubungan dengan perasaan selalu salah di mata Jeania.Xavier masih dengan sikapnya seperti biasa, dia
Jangan pernah menduga-duga seseorang dengan sesuatu yang buruk,selain tidak ada untungnya jika dugaanmu salah, itu bisa menjadi penyesalan teramat besar. “Gue...”“Kenapa!?” sergah Xavier kali ini dengan nada sedikit lebih tinggi.“Gue mau manggil guru soalnya dari tadi kelas gue kosong Xavier sang Ketua OSIS... galak amat,” ketus Asya.Bisa dikatakan Asya adalah seseorang siswi yang cukup rajin, pasalnya ia dipilih oleh guru untuk menjadi ketua kelas bukan tanpa alasan. Selain karena sifat rajinnya ia juga memiliki sikap yang tegas terhadap teman-temannya.“Oh gitu, yaudah sana. Gue duluan,” ujar Xavier melenggang meninggalkan Asya. Seperti biasa sikap dinginnya masih sangat melekat setiap harinya, bahkan untuk seorang yang cantik dan rajin seperti Asya sangat susah untuk mendapatkan perhatian.Asya melangkahkan kakinya untuk pergi ke tempat yang akan ia tuju. Pikirannya masih berkut
-Pov Jeania-“Apa-apan Xavier sialan itu! Kemarin ngaku-ngaku jadi pacar gue, sekarang udah ada berita jalan sama yang lain,” gumamku yang masih terdengar oleh Carina.“Hah... apa lo bilang!? Seriusan?” sergah Carina ia terkejut mendengar apa yang baru saja kuucapkan. Sengaja berita itu tidak kuceritakan kepadanya, karena aku tidak ingin dicecarnya dengan banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermutu.“Kok lo gak ngasih tau gue, sih!?”Dan benar saja, Carina sepertinya setelah ini akan mencecarku dengan banyak pertanyaan.. Berita yang kuberikan kepadanya seperti wartawan yang mendapatkan umpan untuk disantap.“Lo diem... lo diem! Gak usah banyak tanya dulu, mood gue ilang denger lo ngasih kabar gituan,” ujarku. Aku merengkupkan tanganku di atas meja lalu menopangkan daguku.Seharusnya sedari awal aku menyadari jika Xavier itu memang terlalu tinggi untuk digapai. Layaknya bulan yang h
Mengapa orang-orang rela mengutuk dirinya sendiri diatas kesempurnaan yang telah diberikan?Udara kali ini cukup terasa menyejukkan. Si jingga yang sudah melukis indah di langit membuat panorama mata semakin ingin merasakan candunya. Begitulah nuansa ria sore hari di rumah Xavier.Sudah cukup lama Adellia mengalirkan air matanya untuk menangis, deru nafasnya sedari tadi masih tersengal-sengal. Melihatnya seperti ini Xavier seperti sedang tertusuk ribuan pisan di hatinya, begitu menyakitkan.Karena sudah tidak tahan Xavier menghampiri ayahya tanpa sepengetahuan Adellia.“Mau kemana, sayang?” tanya Adellia melihat Xavier sedang membuka pintu.“Ambilin mamah minum bentar,” ujar Xavier berbohong.Tak ingin menaruh curiga Adellia memalingkan pandangannya ke langit-langit kamar. Xavier pun melenggang meningalkanya.Brak!!Xavier membanting pintu kamar Daniel, dia tersentak kaget.&l
Kesempatan bisa saja datang untuk kedua kalinya, hanya saja mungkin tidak akan sehebat yang pertama. Karena sebesar apapun seseorang memberikan kasih cintanya, jika dia pernah merasakan luka sebelumnya dia akan lebih berhati-hati untuk melangkah. Namun, belum tentu terjadi untukmu, bisa saja cintanya akan lebih hebat saat bersamamu. "Lo gak perlu tau alasannya. Ikutin kata gue pokoknya!”Jeania terperangah seketika mendengar jawaban yang diberikan Xavier. Dia tidak habis pikir dengan apa yangbaru saja dikatakan Xavier.“Eh... asal lo tau, gue mau pacaran sama Fano atau siapa itu terserah gue... bukan urusan lo!” sergah Jenia dengan nada lantang. Ia melenggang meninggalkan Xavier yang masih masih terpaku dengan perkataan tajam Jeania.Sebenarnya Xavier menyadari dia begitu dingin kepada Jeania, bukannnya tidak mungkin untuk mengubah kepribadianya hanya saja rasa gengsi yang ia miliki cukup tinggi untuk ditaklukan.
Suasana sekolah cukup ramai, hampir setiap kelas jika jam istirahat tiba mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bersenang-senang. Begitu juga dengan Carina dan Jeania mereka berdua memutuskan untuk pergi ke kantin. Hanya satu orang saja yang menyia-nyiakan jam istirahat ini, dia adalah Xavier. Seperti yang dilakoni tadi pagi dia menyendiri di ruang khusunya. Pikirannya masih saja berkutat pada seoarang yang terkulai di rumahnya. Dia masih mengkhawatirkannya.“Gue males, Rin,” sergah Jeania.“Terus gimana dong rencananya, udah ayok!” Carina menarik lengan Jeania agar mengikutinya. Namun, tiba-tiba...“Hai Jen... ini buat lo.” Itu adalah Faisal yang mengejutkan mereka berdua, dia menyodorkan kertas yang terlipat rapi.“Gue duluan, ya..”Jeania tak menjawab apapun, dia hanya menerima kertas yang diberikan Faisal.“Gila udah dapet surat cinta aja, lo!”“Gue ga suka am