"Tidak ada," sahut Sander. Becker memincingkan mata. 'Sepertinya ada yang tidak beres!' batin Becker.
Untuk pertama kalinya, Sander pulang ke Jerman dengan hati riang. Entahlah, Becker hanya perlu bersiap akan kejutan di Berlin. Semoga saja bukan pertengkaran ayah dan anak lagi. Apa yang diharapkan Becker? Pesta penyambutan mungkin. Huff, Lothar memang bisa dibilang bukan ayah yang baik. Tiga keturunan Milosevic, hanya ayah Aldric Andrian saja yang waras. Dua lainnya benar-benar mewaris sikap kejam Milosevic. Bahkan termasuk kepada keturunannya sendiri. Victor dan Lothar, keduanya sama saja. Mereka terus menyalahkan anaknya untuk menutupi kehancuran yang dirasakan akibat kehilangan istri. Begitulah pecundang. Becker menatap Sander yang terlelap dengan tatapan iba. Dia sangat tahu bagaimana perjalanan hidup pria itu dari kecil. Mereka bersahabat sejak di bangku Junior School.
Becker melihat jam di pergelangan tangannya. Perjalanan m
Hening. Monitor EKG menunjukkan garis datar. Semua yang ada di ruangan itu lemas. Setelah berjibaku selama satu jam menyelamatkan Andrian. Dengan segala kemampuan dikerahkan. Akan tetapi kenyataan berkata lain. Dr. Thomas meletakkan alat kejut jantung di tempatnya. Dia menunduk, telah gagal menyelamatkan anak semata wayang dari sahabatnya, Andrinof Milosevic. "Dri, maafkan aku yang tidak mampu menjaga amanatmu!" gumam dr. Thomas.George, Rahman, dan Hamid yang berada di luar kapsul terpaku. Apakah ini akhirnya? Apakah Sang Monster benar-benar pergi selamanya? Dia pasti kembali! Begitu ucapan ketiganya dalam hati.Sang Monster adalah julukan yang disematkan kepada Aldric Andrian kala pelenyapan besar-besaran kelompok mafia yang ada di Norwe. Pengkhianatan yang dilakukan oleh ketua mereka dalam sebuah kesepakatan bisnis dengan The Lion adalah penyebabnya. Lumpuh bukanlah sebuah alasan untuk tetap duduk di atas kursi roda sementara
"Dr. Julian!" ulang dr. Thomas dengan suara lebih keras dan mendapat perhatian dari dr. Julian. Tanpa mengatakan apapun, dr. Thomas langsung memeluk erat dr. Julian dan mengatakan terima kasih berkali-kali. Setelah puas memeluk, dr. Thomas melepaskan pelukannya. "Mandi sana!" ujar dr. Thomas. Dr. Julian menatap binggung dr. Thomas. Dia memang sudah tiga hari ini belum mandi, dr. Julian membaui dirinya sendiri. Benar juga, bau tubuhnya lumayan segar. "Bau, Dok!" kekeh dr. Thomas. Dia geleng-geleng melihat sikap absurd dr. Julian. Dr. Thomas menepuk bahu dr. Julian dan mengatakan jika kondisi Andrian sekarang sudah stabil, meskipun belum siuman. Dia juga meminta dr. Julian untuk membersihkan diri dan beristirahat. Dr. Julian mengembuskan napas lega. Kapsul Andrian kembali lenggang. Setelah memastikan keadaan stabil, semua dokter sepakat akan menjaga bergilir di luar kapsul. Shift pertama dr. Thomas dan dr. Gere
"Sudah masuk? Good. Bawa dia, pastikan injeksi obat bius dulu!"***Berlin, Jerman"Ada apa, Sand?" tanya Becker penuh selidik."Mengamankan berlian!" Becker mengedutkan dahi."Mengamankan berlian!" ulang Becker."Iya, aku memungut istri Aldric un- ....""Shit!" Becker sangat ingin menghajar sahabatnya itu. Dia mengira Sander berhenti mengejar Aldric Andrian. Nyatanya, malah mengincar istri dari sepupunya itu."Kamu lupa Save Eagle?!" teriak Becker frustasi."Tenang saja. Tua bangka itu sudah mati!""Ohh, ayolah Sander. Apa kamu menghadiri pemakamannya?" tanya Becker. Sander terdiam. Benar juga yang dikatakan Becker. Sander menjadi sedikit goyah pendiriannya. Dia sampai sekarang belum pernah menyaksikan pemakaman kakeknya, Anav Milosevic. Sander teringat perkataan Victor. "Apa benar k
"Maksudmu?!" Sander membuka mata dan tertawa terbahak. Dia girang melihat ekspresi bodoh ala Becker. "Ck?" decak Becker kesal. Sander menahan tawa, dia tidak ingin Becker semakin kesal dengan kelakuannya. "Antar aku ke kantor!" lanjut Becker. "Ya harusnya begitu!" timpal Sander. Setelah menempuh perjalanan selama 25 menit. Mobil yang mereka tumpangi sampai di mansion. Sander segera turun. Becker memerintahkan driver untuk kembali ke kantor. Dengan langkah riang, bersiul, bahkan memutar tubuhnya, Sander memasuki mansion. Hatinya benar-benar bahagia sekarang ini. Dia memutuskan untuk rebahan, sembari menunggu kabar baik dari anak buahnya. "Kata siapa bekas? Dia masih virgin. Ayolah, siapa yang tidak menginginkan perempuan seperti itu," gumam Sander. Dia bangkit dari ranjang lalu berdiri di depan cermin. Dia m
"Shit!" Sony langsung menghubungi seseorang dan menyuruh segera melacak keberadaan Fafa. Sony melihat dari pola yang ditunjukkan anak buahnya sudah bisa menebak. Penculikan Fafa kali ini tidak bisa dianggap seperti penculikan sebelumnya. Penculik sangat paham medan dan pos-pos di mana saja agent The Hunter berada, sangat detail dan penuh perhitungan. Sony menekan beberapa tombol pada layar ponselnya. Kode waspada untuk area Jawa Timur sudah dia nyalakan. Dalam hitungan kurang dari satu menit, semua agent sudah mengkonfirmasi keberadaannya. Muncul berbagai titik di sana. Ada dua warna hijau dan merah. Dia memperhatikan satu titik warna merah berpendar dan bergerak ke arah Surabaya. Warna hijau, milik agent yang bertugas. Warna merah adalah target mereka sekarang, istri Founder The Hunter. Sony menatap tajam tanpa berkedip, seolah-olah takut warna merah berpendar itu hilang. Ponsel Sony berbunyi nyaring, 'Rahman,' batinnya. Sony segera menggeser icon hijau pada p
"Apakah ini artinya ...!" gumam Sony."Bro, lebih cepat lagi!" perintah Sony pada driver.Sony harus segera memastikan dugaannya tidak terbukti. 'Shit!' ucapnya dalam hati. Dia gelisah, dan beberapa kali melirik ke arah jam di pergelangan tangannya. Waktu seakan-akan enggan berjalan."Masih lama!""Limabelas menit lagi, Bro," jawab si driver. Sony mengangguk.Ikhsan terus memperhatikan Sony. Dia merasa ada yang tidak beres, walaupun Sony mati-matian menahan diri. Akhirnya, Ikhsan merasa gatal untuk diam saja dan mulai mengorek informasi."Kak Sony, ada apa!" Sony tidak menjawab, dia menyodorkan tab yang dipegangnya kepada Ikhsan. Dilayar tab, tampak titik merah terus berpendar di tempat yang sama lebih dari 10 menit. Ikhsan dan Bambang berpandangan. Apakah sekarang dugaan mereka sama?"Kak, apa ini artinya ...," Iksan ti
"Oke, Let's move!" ujarnya.Farid langsung masuk ke kamar untuk membopong Fafa dan memasukkan ke mobil SUV warna putih yang telah dimodifikasi bagian dalamnya. Dia baru menyadari sekarang, jika boss sudah mempersiapkan semua dengan sangat matang.Malam semakin larut, mereka secepatnya harus sampai di Surabaya. Farid memeriksa chat yang baru sajas masuk. Dia mendesah, Plan B."Jalan, Plan B!" ujar Farid. Anak buahnya langsung paham. Mereka akan menginap di hotel untuk beberapa hari ke depan.Perjalanan menuju Hotel Citra Surabaya membutuhkan waktu selama satu jam. Setelah sampai di tempat tujuan. Untuk menghindari perhatian berlebihan, Farid memutuskan untuk sedikit berbasa-basi di meja resepsionis. Dengan masih membopong Fafa, Farid menanyakan tentang Suite Room yang telah dia reservasi. Jelas sekali ini bukan style Farid. Dengan mengenakan jas dan topi dia berusaha tampil senatural mungkin. "Huff, sejak kapan ada Mr da
"Boss mereka sudah menemukan kita. Waktu kita hanya 15 menit?!" pekiknya.Mereka bertujuh meninggalkan aktifitasnya dan langsung bersiap. Dua pria langsung keluar suit room untuk menyiapkan mobil. Farid berlari masuk ke dalam kamar. Tanpa berkata apapun dia langsung membopong Fafa yang tengah memakai kerudung."Lepas ... lepaskan aku!" Fafa terus memberontak, berusaha melepaskan diri dari dekapan Farid."Sekali lagi bergerak, kulenyapkan!" hardik Farid. Fafa langsung terdiam. Dua mobil jenis sedan sudah menunggu di depan lobby Hotel Citra. Kedua mobil itu langsung melesat membelah jalanan kota Surabaya yang masih lenggang menjelang pagi."Plan A!" ujar Farid. Sontak, anak buahnya yang berada di sebelah driver menoleh ke belakang, dengan tatapan tidak percaya."Perintah Boss!" lanjut Farid.Fafa bungkam, dia duduk menjauh dari pria di sebelahnya. Melalui sudut mata, Fafa bisa melihat wajah sangar yang sedang berkutat dengan tab di