"Oke, Let's move!" ujarnya.
Farid langsung masuk ke kamar untuk membopong Fafa dan memasukkan ke mobil SUV warna putih yang telah dimodifikasi bagian dalamnya. Dia baru menyadari sekarang, jika boss sudah mempersiapkan semua dengan sangat matang.
Malam semakin larut, mereka secepatnya harus sampai di Surabaya. Farid memeriksa chat yang baru sajas masuk. Dia mendesah, Plan B.
"Jalan, Plan B!" ujar Farid. Anak buahnya langsung paham. Mereka akan menginap di hotel untuk beberapa hari ke depan.
Perjalanan menuju Hotel Citra Surabaya membutuhkan waktu selama satu jam. Setelah sampai di tempat tujuan. Untuk menghindari perhatian berlebihan, Farid memutuskan untuk sedikit berbasa-basi di meja resepsionis. Dengan masih membopong Fafa, Farid menanyakan tentang Suite Room yang telah dia reservasi. Jelas sekali ini bukan style Farid. Dengan mengenakan jas dan topi dia berusaha tampil senatural mungkin. "Huff, sejak kapan ada Mr da
"Boss mereka sudah menemukan kita. Waktu kita hanya 15 menit?!" pekiknya.Mereka bertujuh meninggalkan aktifitasnya dan langsung bersiap. Dua pria langsung keluar suit room untuk menyiapkan mobil. Farid berlari masuk ke dalam kamar. Tanpa berkata apapun dia langsung membopong Fafa yang tengah memakai kerudung."Lepas ... lepaskan aku!" Fafa terus memberontak, berusaha melepaskan diri dari dekapan Farid."Sekali lagi bergerak, kulenyapkan!" hardik Farid. Fafa langsung terdiam. Dua mobil jenis sedan sudah menunggu di depan lobby Hotel Citra. Kedua mobil itu langsung melesat membelah jalanan kota Surabaya yang masih lenggang menjelang pagi."Plan A!" ujar Farid. Sontak, anak buahnya yang berada di sebelah driver menoleh ke belakang, dengan tatapan tidak percaya."Perintah Boss!" lanjut Farid.Fafa bungkam, dia duduk menjauh dari pria di sebelahnya. Melalui sudut mata, Fafa bisa melihat wajah sangar yang sedang berkutat dengan tab di
"Kehamilan Nyonya, trisemester pertama dan masih sangat rentan, sebaiknya ditunda dulu untuk berhubungan suami-istri," jelas dokter itu dengan tetap tersenyum ramah. Fafa langsung merona menahan malu, sedangkan Farid lagi-lagi membelalakkan mata. Dia tidak percaya jika dokter di depannya bicara seperti itu. "Untuk lebih akuratnya, Tuan dan Nyonya bisa langsung ke dokter obygyn ya!" lanjutnya dengan tetap menyunggingkan senyum ramah. "Sudah!" tegas Farid. Dokter klinik itu melihat wajah datar Farid langsung hilang senyumnya. Farid langsung membopong Fafa. "Tolong, turunkan aku." Farid bungkam. Jika menuruti keinginan tawanannya pasti mereka akan terlambat, privat jet yang disewa dr. Chris sudah siap landas. Mereka harus bergegas sebelum keberadaannya diketahui agent The Hunter. Farid langsung mendudukkan Fafa di bangku belakang dengan dirinya. Anak buah Farid langsung menyodorkan roti dan teh hangat. "Terima kasih," ucap Fafa lemah.
Rahman hanya mengangkat tangan kanan dan melambaikannya, isyarat dia mengucapkan selamat tinggal. Sony tahu, jika Rahman mulai bergerak dan tugasnya sekarang fokus menginterogasi dr. Chris dan pria di ruangan itu. Dia hendak mengonfrontasi keduanya untuk mendapatkan informasi langsung trrkait keberadaan pemilik The Hunter. ***Berlin, Jerman "Periksa dia Jess!" perintah Sander. Jesslyn adalah sepupu Sander dari pihak ibunya. Perempuan paruh baya yang berprofesi sebagai dokter ini sangat menyayangi Sander. Jesslyn segera mendekati ranjang Dia memandang lekat perempuan muda yang memakai penutup kepala, sedang terlelap di depannya ini. 'Siapa perempuan ini?' batinnya. Jesslyn langsung memeriksa denyut nadi, suhu, dan bagian perutnya, dia lantas tersenyum. Selesai melakukan pemeriksaan Jesslyn segera memasukkan peralatannya ke dalam tas kecil. Sander melalui isyarat kepala mengajak Jesslyn untuk keluar. Setelah mengunci pintu otomatis kamarny
"Oh, iya. Aku Fathimah, panggil saja Fafa." Sander mengangguk, dia memang harus berakting sekarang. "Karena ini sudah malam. Kita makan malam dulu, baru bicara. Oke!" tawar Sander. Fafa mengangguk. "Apa tidak apa-apa, aku di sini?" "Tidak apa-apa. Nanti kujelaskan alasannya!" jawab Sander. Dia tersenyum tipis di sudut bibirnya. Wajah puas terpampang nyata, bagaikan Singa yang sudah mendapatkan mangsa. 'Istri Aldric benar-benar bodoh,' batinnya. Kedua orang itu makan malam dalam diam, hanya sesekali terdengan denting suara sendok beradu dengan piring. Fafa juga tidak paham kenapa dia tidak merasakan rasa mual berlebihan seperti tadi siang. Dia melirik pada Sander. 'Pria ini memang seperti By, hanya badannya lebih kekar dan manik matanya abu-abu," batin Fafa. Fafa lebih dahulu menyelesaikan makan malamnya. Saat dia hendak mencuci piring, dicegah oleh Sander, "
"Nggak papa, terima saja. Ayo kuantar ke kamar tamu!" ajak Sander. Fafa menerima paper bag dari Sander dengan tidak enak hati. Keduanya berjalan beriringan menuju ke kamar tamu yang terletak tidak jauh dari ruang keluarga. Lothar mengembuskan napas lega. Untuk malam ini, istri Aldric selamat, tetapi bagaimana dengan malam di hari-hari berikutnya? Lothar memutar otak agar rencana Sander gagal. Dia harus memproteksi istri Aldric mulai malam ini. Setelah mengantar Fafa di kamar tamu, Sander kembali ke ruang keluarga. Dia sekilas melihat ayahnya. Sander harus segera pergi dari mansion, jika tidak maka akan terjadi adu mulut seperti biasanya. "Sand, duduk!" Nah, benar bukan. Pria cacat ini mulai cari gara-gara. Dengan malas, Sander duduk di sofa. "Apa maksudmu!" bentak Lothar "Ayah sudah tau, kenapa bertanya?" "Dia istri adikmu dan se
George mengembuskan napas kasar. Dia benar-benar dalam posisi sulit. Bagaimanapun kehidupan pribadi Aldric bukan urusannya. Kondisi rumah tangga sahabatnya ini tidak baik-baik saja, terlalu banyak rahasia yang Aldric sembunyikan dari sang istri. Dia harus mempersiapkan jawaban jika istri Aldric menanyakan dan itu adalah kebohongan. 'Aldric apakah ini maumu? Kamu di mana dan istrimu di mana! Kehidupan seperti inikah yang kamu sebut pernikahan!' batin George "Kita tunggu sampai masa trimester pertama lewat. Jika keadaan Aldric tetap belum ada perubahan kita beritahu istrinya," putus George. Rahman dan dr. Thomas menyetujuinya. Sebagai seorang istri, Fathimah adalah pihak yang paling berhak mengetahui keadaan suaminya. Akan tetapi hak itu sudah dicabut oleh suaminya sendiri. "Man, coba tanya istrinya. Dia ingin tetap di Berlin atau kita jemput!" lanjut George. "Yes, Sir." "Dok!" panggil George. Dr. Thomas tidak mengindahkan panggilan itu. Dr. Thomas asyi
"Nak ... Fa!" panggil Lothar. Jessy berinisiatif menyentuh lengan Fafa. "Eh ... iya." Fafa terkejut dan memutuskan lamunannya. Dia merasa tidak enak kepada Lothar dan Jessy, setelah melihat piring mereka berdua sudah terisi. "Maaf," ujarnya. "Makan dulu! Setelah itu kita berbincang. Ada hal yang ingin kutanyakan padamu!" Fafa mengangguk. Akhirnya, mereka bertiga makan, sesekali terdengar gurauan dan senyum mengembang dari ketiganya. "Hhmm. Menyenangkan!" gumam Sander. Dia melihat interaksi mereka bertiga dari layar ponsel. Entah apa yang ada dibenaknya sekarang. Dia seolah melihat gambaran keluarga kecil yang bahagia. Lihatlah pria lumpuh itu. Cih! Dia begitu bahagia, apa dia lupa jika gadis hamil itu istri keponakan bukan istri anaknya. Dasar pria tua tak tahu diri. "Sand, ayo!" ajak Becker, setelah kepalanya menyembul sedikit di sela pintu. Sander keluar dari aplikasi CCTV yang ada di ponselnya dan segera memasukkan ke saku cel
"Diam!" bentaknya. Suara pria itu membuat Fafa membeku dan berhenti meronta. Apakah dia tidak salah dengar! Dia familiar dengan suara ini. 'Ini seperti suara Kak Sander!' batin Fafa."Jalan!" perintahnya. Fafa perlahan melangkah dengan badan sedikit tegang. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria selain Andrian. Rasa takut mulai menyergap hatinya. Pikiran Fafa bercabang, antara menuruti pria ini ataukah berusaha melepaskan diri. Fafa sadar kondisi hamil muda sangat rawan untuk dia dan calon janinnya. Namun, bagaimana jika pria ini berbuat tidak senonoh. Apakah dia akan diam saja! Pria itu mendorong pelan Fafa menuju kamar Sander dengan sedikit sempoyongan. Fafa juga mencium aroma fruity dari telapak tangan pria yang membekapnya. Letak kamar Sander tidak jauh dari kamar tamu dan bersebelahan dengan ruang kerja Sander. 'Apakah benar ini Kak Sander. Kenapa membawaku ke kamarnya! Kenapa jalan Kak Sander seperti ini,' batin Fafa penuh pertanyaan. Fafa semakin merasa