“Tidak bisa, aku mau dia menyelesaikannya hari ini!”
“Saya akan membicarakannya dengan orang tua saya!” kata Okta dengan lantang dan aku hanya bisa menghela napas saat mama dan kak Disa begitu senang dan bangganya melihat Okta melakukan ini.
“Baik, kami akan datang lagi,” ucapnya yang seolah mengancam kami. Aku tahu, tidak ada pertemanan yang tulus jika berurusan dengan uang, semua berlaku bagi siapa pun dimuka bumi ini.
Namun, yang paling ku sesalkan dari semua itu adalah aku tidak berdaya untuk mencegahnya dan aku pun memilih untuk diam dan mempersiapkan segala kemungkinnya. Langkah pertama yang harus ku lakukan adalah mendapat pekerjaan. Aku harus mencari pekerjaan untuk kebutuhan kami nanti.
---***---
Dua hari berlalu, saat papa sudah diperbolehkan pulang. Lebih tepatnya, papa ingin dirawat di rumah karena khawatir kami tidak bisa membayar biaya rumah sakit. Dengan keadaan rumah pinggir kota yang cukup sederhana. Aku harus memasak dan melakukan pekerjaan rumah lainnya.
“Dara! Ini bagaimana caranya? Aku kan nggak pernah ngepel!” teriak kak Disa yang aku ku suruh untuk mengepel kamarnya. Hanya mengepel kamar, kenapa ia selalu heboh dengan sesuatu yang seharusnya tidak terlalu sulit.
“Iya tunggu bentar ya kak.” Aku pun segera bergegas untuk pergi dan melihatnya. Saat masuk dan aku melihat semuanya, kepalaku tiba-tiba saja merasa pening saat melihat kekacauan yang diciptakan kak Disa.
Lihat saja, ia tidak memeras kain pelnya. Hanya merendamnya pada timba, lalu mengangkatnya dan memoleskannya pada keramik warna putih itu dan hasilnya seluruh lantai kamar begitu basah. Aku tidak memahami bagaimana ia tidak bisa melakukan hal sesederhana ini.
“Aku nggak ngerti kenapa lama keringnya,” katanya dengan ekspresi jengkel.
“Bagaimana bisa kering, kalau kak Disa tidak memeras kain pelnya,” seruku dan kak Disa memandangiku dengan kesal.
“Itu karena menjijikan. Lantai ini kan kotor, lagi pula kamu tidak bisa apa belikan kita vakum cleaner dari pada alat yang uda ketinggalan jaman ini!” pekik kak Disa.
Prang
Bersamaan dengan itu, kak Disa membuang alat pelnya dan pergi begitu saja. Aku benar-benar bingung harus memulai dari mana?
Aku pun mencoba memperbaiki pekerjaan kak Disa, sampai aku mendengarkan pintu depan terbuka dan aku mencoba untuk mengintipnya. Aku melihat Okta dengan tante Maya masuk.
“Sudah datang, ‘Jeng?” sambut mama yang heboh. Apa memang mereka ingin menyelesaikan masalah ini dengan meminta bantuan mereka? Atas dasar apa?
“Dara, ada Okta!” mama berteriak dan mau tidak mau aku harus segera keluar dari kamar.
Aku melihat mereka hadir dengan wajah penuh kegembiraan. Entah aku merasa, sesuatu hal akan terjadi sekarang. Aku pun memilih duduk di sebelah mama dengan sesekali memandang malas Okta yang tak henti memandangiku. Harus berapa kali aku mengatakan untuk lebih perhatian saja pada kak Disa.
“Bagaimana mengenai hutang piutang mas Yuda?” Tante Maya mengawali pembicaraan. Terlihat sekali jika ia begitu peduli terhadap keluarga kami.
Mama menghela napas. “Mereka kemarin juga menghubungi Disa terus-menerus. Akhirnya Dara yang pergi untuk bertemu mereka,” terang mama dan itu memang benar, aku yang datang untuk menandatangani perjanjian dengan orang-orang yang papa sebut sebagai teman akrab itu.
Tante Maya memandangku. “Kamu nggak perlu lagi mengurusnya. Om Danu sudah mengirim pengacara. Jadi, sekarang kalian bisa tenang,” ucapnya yang entah membuatku harus tenang atau terbebanu.
“Terima kasih ya, Jeng.” Mama senang, hampir saja akan menangis.
“Makasih banyak ya tante Maya,” seru kak Disa yang bahkan telah menangis senang.
Sementara aku, hanya terlihat seperti seseorang yang mencoba untuk bertahan dalam situasi yang menjemukan ini. Okta pun menyadarinya dan aku benci untuk mengakui jika saat ini kami memang sangat membutuhkan bantuannya.
“Bagaimana dengan tawaran kerja diperusahaan papa, Ra?” Lagi, kenapa membahas ini di sini dengan para orang tua dan dalam situasi seperti ini? Kalau hanya aku dan dia, aku benar-benar akan membentaknya.
“Terima saja Ra, kan enak ada Okta yang membimbing,” sahut mama dan aku hanya bisa menunjukkan senyumku yang hambar. Apa mama lupa? Mereka sudah membantu untuk urusan hutang, lalu sekarang bekerja di perusahaannya? Apa kita tidak terlihat seperti parasite?
Okta masih memandangiku dan terlihat serius untuk memaksaku kali ini. Dia mulai lagi ingin mengajakku berdebat untuk ini. Sebenarnya, keberanian itu datang dari mana sih?
“Aku masih ada wawancara besok,”tolakku yang memang benar. Dua hari yang lalu, saat di rumah sakit aku segera mencari lowongan pekerjaan lewat internet. Ada 3 perusahaan yang harus ku datangi. Salah satunya adalah perusahaan yang bernama Syahrend grup yang terkenal dengan system kerjanya yang mencekik.
“Kalau begitu, bagaimana kalau Disa saja?” tawar mama yang kali ini menggunakan seluruh kemampuannya untuk setidaknya salah satu anaknya mau menjadi bagian dari kekasih Okta. Mama benar-benar tidak tahu malu dan melewati batas, kalau papa tahu pasti dapat teguran.
Tante Maya tersenyum, berbeda saat Okta menawarkan pekerjaan kepadaku. Apa yang sebenarnya terjadi?
Melihat reaksi tante Maya yang senang, kak Disa seketika melanjutkan serangannya. “Disa mau tante, itu pun kalau Okta menyetujuinya,” kata kak Disa yang tentu dalam hatinya kegirangan jika ini sampai terjadi.
“Tentu saja, tante senang kalau kamu ikutan kerja. Jadi, kalian bisa bekerja dua-duanya,” ucap tante Maya yang memandangi kami berdua secara bergantian. Aku pun mencoba untuk tersenyum, meskipun sangat sulit untuk tersenyum lepas saat terjebak dalam kondisi semacam ini.
Kemudian tante Maya memandang mama. “Begini, Jeng … sebenarnya ini sudah lama tapi baru bisa kami sampaikan sekarang. Itu, tentang perjodohan yang waktu itu pernah kita bahas. Antara Okta dengan Disa.”
Oh, jadi … ini adalah ujung dari kebaikan itu? Benar, tidak ada kebaikan yang mutlak. Hanya mungkin, papa adalah satu di antara ribuan orang yang tidak pernah tanggung-tanggung untuk membantu sahabatnya. Namun, lihatlah sekarang ini, tidak ada yang berpihak pada papa. Mereka hanya sibuk untuk menghintung tingkat kerugian yang mereka peroleh.
Aku memandangi Okta yang sepertinya juga terkejut. Terkadang, tak selamanya apa yang diputuskan oleh orang tua adalah yang terbaik. Mungkin, aku menatakan ini karena ketidak relaanku untuk melepaskannya bersama kak Disa, hanya saja meskipun kami bersama, itu tidak akan membuat kami bisa bersatu. Jadi, seharusnya sekarang aku bisa melepaskannya dengan tenang.
“Aku bikinkan teh ya tante, Okta ….” Aku pun bangkit, berusaha mencari alasan untuk keluar dalam situasi ini.
Ada satu hal lagi yang membuatku tak ingin terlibat dalam situasi ini, karena tidak ada pergerakan untuk mencoba memperjuangkan. Tidak ada niat dari Okta untuk memulai itu. Jadi pada akhirnya, semuanya berakhir dengan kami menjadi pecundang yang tidak bisa lepas dari masalah, tapi masih mencoba untuk memungkiri dengan cara melarikan diri. Karena itu, dengan menerima keadaan yang seperti ini adalah akhir dari keputusan kita. Tidak ada hal yang perlu disesalkan karena jalan ini adalah hasil akhir dari melarikan diri dari kenyataan.
"Kenapa kami harus memilih Anda? Apa ada sesuatu yang spesial yang bisa Anda janjikan saat memasuki perusahaan ini?"Skak mate! Aku harus menjawab apa untuk pertanyaan yang satu ini. Haruskah aku jujur jika aku datang kemari dengan keputusasaan yang mendalam? Mengatakan jika usaha keluargaku bangkrut dan kini kami menjadi gelandangan. Aku pun harus melepaskan keinginanku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, hanya agar aku bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluargaku yang sudah sekarat ini."Silahkan Anda jawab," desak wanita berkacamata dengan tatapan tajam ini. Seketika jantungku berdetak kencang, lebih kencang dari saat aku berlari memutari gedung universitas saat menjadi calon anggota Bem jurusan ekonomi.Bagaimana aku bisa memberikan jawaban yang memuaskan? Lulus S1 saja baru kemarin dan aku nol besar untuk pengalaman kerja kecuali magang kemarin. Namun, jika aku tidak menjawabnya, mereka
Mobil Bagas sudah sampai di halaman rumah kontrakan yang jauh masuk ke dalam. Meskipun begitu, mobil bisa lewat tanpa hambatan. Seharusnya aku bersyukur untuk itu bukan? Ya, semua harus disyukuri."Jadi ini kontrakan kamu?" Sandy bertanya dan aku mengangguk. Meskipun Sandy dilahirkan dengan kemilau sendok peraknya, ia sudah biasa hidup ala anak kos denganku saat diluar kota dulu. Jadi, melihat kontrakanku yang cukup sederhana seperti ini, ia tidak akan pernah merasa terganggu."Enak dingin, bisa tiduran dibawah dunk." Bagas juga sama, ia spesies yang suka rebahan dimana pun tempat sejuk seperti kontrakanku saat ini. Meskipun kak Disa bilang kontrakan kita ini banyak pepohonannya di halaman depan, jadi kesan rimbun dan menyeramkan itu terlihat jelas."Nggak kek angker gitu?" tanyaku dan Bagas menggeleng."Angkeran mana sama jalanan di kaki gunung waktu itu?" balasnya yang tentu aku sangat paham dengan apa yang Bagas katakan.Pernah sekali Bagas dan
Tepat jam 7 pagi, aku sudah berada di gedung Syarend grup dan menerima beberapa wawancara terakhir. Pertanyaannya tidak terlalu melalahkan hanya saja aku sangat membutuhkan asupan makanan setelah seluruh pikiranku yang dengan bodohnya terkuras habis untuk menjawab pertanyaan mereka. Apa mungkin aku terlalu waspada sampai seperti ini? Tapi, ini lebih baik dari pada aku berleha-leha bukan?Kami pu
Tidak ada hal yang menyenangkan, saat aku bangun yang seharusnya dipenuhi dengan segala hal urusan rumah tangga mulai dari mencuci piring, masak hingga membersihkan ruang tamu. Semua itu menjadi rutinitas pagiku yang melelahkan karena baik mama dan kak Disa tidak bisa diandalkan untuk melakukan hal ini. Hal ini terkadang membuatku bersyukur karena kak Disa akan bersama Okta, sehingga ia tidak akan menjadi bahan olokan ketika ia tidak bisa melakukan semua pekerjaan rumah. Lagi pula keluarga kita sudah jatuh, tidak mungkin teman-teman ayah mau menjodohkan anaknya dengan kami?Lagi pula, aku juga tidak begitu mementingkan pernikahan dengan pria berada. Cukup pria yang memahami diriku dan keluargaku dengan baik. Hanya seperti itu, tapi pastinya hal ini akan berjalan cukup lama karena pria seperti itu sangat jarang ku temukan.Aku masih memasak, saat tiba-tiba notifikasi handphoneku berbunyi dan aku melihat sebuah email, aku menemukan nama Syahre
Hari pertama dengan adegan pembuka yang mengerikan. Aku harus melihat seseorang yang dipecat begitu saja hanya karena alasan yang cukup sepele. Bukankah ia hanya perlu menegurnya saja? Kenapa harus memecat? Dasar cowok berhati batu. Jadi, benar kalau kita kerja di sini, kita akan menjadi robot pencetak uang untuknya?Saat ini, aku sudah berada di ruangan bapak yang tadi menyambutku dengan kata-kata ‘selamat datang di kandang harimau’ dan ternyata bapak ini adalah manajerku.“Jadi kamu benar-benar tidak memiliki hubungan apa pun dengan pak Regan?” tanyanya lagi seperti tidak mempercayai perkataanku. Harus dengan cara apa aku mencoba untuk meyakinkannya? Maksudku, kenapa ia harus memojokkanku dengan pertanyaan aneh ini? Apa yang terjadi sebenarnya?“Sebenarnya apa yang terjadi pak? Maksud saya, apa saya melakukan sesuatu kesalahan sampai bapak bertanya seperti itu?” tanyaku yang tak mema
Rapat dibuka dengan beberapa riset secara garis besar dari divisi pemasaran yang tentunya akan sangat membantu kami untuk mempersiapkan beberapa poin untuk menentukan harga dan kebutuhan konsumen. Tak lupa, pembukaan rapat yang luar biasa dari ceo kita yang menakjubkan, Regan. Sekarang, sepertinya aku pun ikut-ikutan kagum sama dengan karyawan yang lain.“Jadi, apa kalian memiliki usulan?” tanyanya yang menatap kami bergantian. Setiap lekuk wajah yang tajam tentunya sangat menghipnotis para kaum hawa. Suara bass yang karismatik itu apa lagi. Ah, sepertinya aku menjadi gila hanya dengan melihatnya di depanku.Adara sadarlah!“Adara, apa kau memiliki usul?”Mampus! Bagaimana bisa ia bertanya kepadaku? Karyawan baru dan aku pun memandangi Sisi yang berusaha menggerakkan tangannya untuk menyemangatiku, sementara karyawan cewek yang lain melirikku dengan sinis. Lalu, pak Santoso ya
Setelah kejadian itu, aku sering sekali diperhatikan oleh karyawan cewek yang begitu menyukai Regan. Tak jarang dari divisi lain mampir kemari hanya untuk melihat aku yang katanya cewek paling diinginkan pak Regan seentero Syahrend Group yang memiliki banyak cabang di seluruh Indonesia. Aku tidak terlalu yakin, tapi Sisi menceritakan hal ini berulang kali dan menggebu-gebu.Seperti saat ini, sepertinya kami harus lembur dan setiap hari harus lembur. Ini sebenarnya bagus, karena aku tidak perlu pusing-pusing untuk menghindari makan malam dengan keluarganya Okta. Aku juga lelah melihat kak Disa berakting atau Okta yang tidak bisa sadar jika pada akhirnya ia harus lebih memperhatikan kak Disa dari pada aku.Meskipun pada akhirnya Okta selalu mengirim pesan untuk membuatku segera berhenti dari pekerjaan ini. Aku selalu mengabaikannya, lama-lama aku merasa risih juga dengan bom pesan darinya.“Ada apa? Kelihatannya kamu
Saat acara makan dimulai, rasanya susah untuk membuka mulutku karena ia terus menatapku dengan tatapan yang benar-benar menusuk. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan saat ia berhasil menunjukkan tatapan seperti itu. Maksudku, bisa dikatakan kami hanya bertemu beberapa kali tapi ia seolah tahu segalanya tentangku.“Jadi Okta itu siapa? Pacar kamu?” Sisi yang tidak peka ini bertanya dengan sangat lantang dan jelas, membuatku harus melirik pada Regan serta Guntur. Namun, ini bagus juga maksudku aku bisa sekaligus menjelaskan jika saat di depan kantor waktu itu bukanlah acara pacaran.“Bukan, dia calon tunangan kakakku,” kataku dan aku harap ia akan berhenti membulliku setelah mendengarkan hal ini. Namun, apa yang aku dapat? Ia tersenyum sinis.“Jadi kau bertemu dengan tunangan kakakmu secara diam-diam?” Ia mencoba menebak sekaligus membuat masalah denganku.
Kami sudah sampai di sebuah restauran yang cukup mewah dan tentunya hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk kemari. Tempatnya begitu elegan dan dengan ornamen-ornamen tak kalah mewah. Sejujurnya aku tidak bisa tinggal terlalu lama di tempat yang terlalu mahal ini. Aku takut nantinya, malah aku tidak sibuk mencicipi makanannya, tapi malah bingung dengan seberapa banyak uang yang dihabiskan. Sungguh, ini terlihat seperti pemborosan dilevel yang tak biasa menurutku. Dengan langkah per langkah yang semakin memberatkan kakiku untuk melangkah terlalu dalam. Hanya saja, lagi-lagi Regan mundur dan merangkulku kembali, membuatku harus terus mengikuti langkah kakinya. "Kalau kamu tidak mempercepat langkahmu, aku akan langsung menggendongmu," tuturnya dengan tenang dan tingkat kedataran yang menyebalkan.Aku malas untuk menjawab perkataannya dan memutuskan untuk diam, meskipun aku merasa jika ia sedang merencanakan sesuatu. Entah itu apa? Yang pasti, aku merasa jika ia akan menumbalkanku unt
Masih jam delapan pagi, saat mobil kami telah sampai di depan perusahaan. Sungguh, sebenarnya aku tidak ingin satu mobil dengannya dan menyebabkan kegaduhan. Tapi, ia mengatakan jika ini adalah sesuatu yang lumrah jika sekertaris datang ke kantor dengan bosnya karena mungkin saja mereka beranggapan jika kita memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan.Aku berjalan beriringan dengannya, lebih tepatnya aku berusaha untuk mengimbangi langkahnya yang lebar itu. Belum lagi aku harus membawa dokumen yang dibutuhkan untuk hari ini yang sudah dapat dipastikan akan menjadi hari yang berat. Kalau dipikirkan dengan baik, tidak ada jadwal yang tidak padat. Mungkin, jika dulu aku tidak mengetahui identitasnya yang bukan manusia, aku akan menjulukinya sebagai manusia yang kuat. Namun, sekarang aku tahu siapa dia, hal semacam ini tentunya bukan perkara yang sulit. Hanya saja yang membuatku dongkol bukan main adalah ia tidak sadar jika menjadikan kami manusia biasa sama seperti dirinya.
Aku tidak dengan hidup yang seperti temperature kadang dingin, kadang panas, kadang panas dingin beraduk menjadi satu. Aku juga tidak mengerti kenapa aku mengatakan hal semacam ini dan semua itu penyebabnya karena sehabis menikah aku berada di ruang kerja Regan dan harus mengetik beberapa laporan ditengah-tengah kelelahan mendera.“Kalau keybord itu rusak, kamu harus menggantinya,” katanya yang memandangku dengan datar. Menyebalkan! Masih untung aku sedikit menekannya dalam menggunakannya, bagaimana kalau aku lemparkan semuanya bersama laptop mahal ini.“Aku lelah, bisa tidak aku tidur? Masih ada besok kan untuk mengerjakannya?” mohonku dan ia yang juga mengetik menghentikan aktifitasnya.Lihatlah wajahnya yang masih segar itu, semua itu adalah kecurangan. Bagaimana dia bisa membandingkan diriku dengannya? Aku hanya manusia biasa yang membutuhkan istirahat dan yang seorang penyihir jelas bisa bertahan sampai kapan pun.“Tidur
Pernikahan telah berlalu beberapa saat yang lalu, saat ini aku hanya memakai gaun yang disiapkan oleh kak Diandra tadi. Meskipun tidak ada tamu, kami sekeluarga berbincang panjang lebar dan aku sedikit sedih Sandy dan Bagas tidak bisa hadir. Tadi pagi, ia menangis ditelepon karena tidak bisa pulang dan menyaksikan pernikahanku, tapi aku mengatakan itu bukan masalah besar. Mungkin, nanti masih ada perayaan yang bisa mengundang kerabat dan teman yang lebih banyak lagi.Cukup hebat aku bisa bersandiwara seperti itu, mengingat pernikahanku dengannya hanya pura-pura, tapi seolah sekarang aku menunjukkan pernikahan sungguhan dengan mengatakan hal seperti ini. Sungguh ironis dan mengesalkan dalam bersamaan.“Dara, sepertinya nak Regan lelah. Ajak istirahat di kamarmu sana!” ujir mama yang membuatku ingin sekali mengomeli mama, tapi itu tidak mungkin.Apa lagi saat tangan Regan menyenggolku beberapa kali dan bergumam, “kalau kau tak melakukannya, aku a
Tidak pernah terbayangkan bagiku untuk merasakan hal yang tidak nyaman sampai membuatku tidak bisa tidur sedikit pun. Pikiranku kalut, bahkan di otakku hanya tertulis kata-kata besok aku akan menikah. Menikah dengan Regan, makhluk tidak jelas yang berasal dari dunia antra brata yang sekarang sedang berusaha untuk menjajahku. Membayangkan kebebasanku akan direnggut begitu saja olehnya dengan pernikahan yang seharusnya menjadi impian yang indah setiap wanita dimuka bumi ini. Namun, karena Regan sialan itu, aku harus terjebak dalam pernikahan gila yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benakku.“Ah, sial!” Aku menghentakkan kakiku beberapa kali pada kasur. Aku tidak peduli jika itu terdengar sampai luar, aku hanya ingin mengekspresikan kekesalanku hari ini karena besok aku akan menjadi istri orang.“Ya Allah, istri orang!” gumamku lagi yang tak percaya sekaligus tak rela. Aku benar-benar akan gila hanya dengan memikirkannya saja.&ldq
“Dara, kamu mau pergi kemana nak?” Papa ternyata telah bangun dan berusaha untuk mengejarku. Aku benar-benar merasa bingung dengan semuanya. Aku merasa kasihan kepada ayah tapi aku tidak bisa lagi tinggal di rumah yang tidak nyaman untukku karena terus dicurigai oleh kak Disa dan tererpihakan mama.Mereka berdua terlihat khawatir dan tidak ingin aku pergi. “Kalau papa dan mama mencegah Dara pergi, aku yang akan pergi!” teriak kak Disa diambang pintu. Tentu papa dan mama tidak akan bisa membiarkan kak Disa yang tidak dewasa itu pergi. Dari pada papa dan mama mendapatkan pilihan yang begitu sulit, sebaiknya aku akan mempermudah pilihan mereka.“Aku saja yang akan pergi, kalian tidak perlu khawatir,” kataku yang tidak bisa sesantai biasanya. Tentunya rasa sakit ini masih bergemburu di sana. Hanya saja, aku memiliki dilema sebagai seorang anak yang seharusnya tidak menyusahkan orang tua.“Disa, ada nak Regan. Seharusny
“Aku tidak akan pergi, sebelum Dara mau pulang bersamaku!” Kekeras kepalaan Okta disertai rasa cemburunya membuatku tidak bisa mengatakan apa pun kecuali marah.Aku melihat Regan tersenyum, seolah menertawai sikap kekanakan Okta. Benar, ia sangat kekanakan dan egois. Berbeda dengan Regan yang sepertinya masih memiliki pengertian bagaimana keadaanku di tengah-tengah keluargaku.Sepertinya, aku harus mengambil sikap. Tidak akan ku biarkan lagi ia bertindak dengan kekanakan seperti ini. “Pak, bisa antar saya pulang?” mohonku pada Regan yang tentu membuat pria tampan ini terkejut, kemudian segera menarik tanganku.“Dara! Kamu harus pulang denganku!” Okta pun mencegahku dengan menarik tanganku juga. Jadilah aksi tarik-menarik yang membuat tanganku sakit.Bahkan keduanya lagi-lagi menatap dengan tajam. “Berhentilah berbuat keonaran!’” ucap Regan dengan penuh penekanan dan Okta nampaknya tidak akan pernah men
Hari-hari dengan petaka ini terus berlanjut, terkadang aku harus bagun jam satu malam untuk mengecek beberapa dokumen dan mengirimnya lewat email kepada Regan. Sungguh, aku merasa heran, maksudku apa dia tidak tidur sema sekali? Ia selalu meneleponku dengan suara khasnya, tidak ada suara parau sehabis tidur. Sepertinya ia memang tidak pernah tidur, atau mungkin itu menjadi kebiasaan para penyihir tersebut.Dari semua hari, mungkin ini akan menjadi hari terberat, sebab aku harus ikut dengan Regan bersama kak Diandra untuk mengerjakan beberapa hal di masionnya. Aku pun terpaksa ikut mereka dalam mobil lemosin ini.“Apa semua berkas yang ku inginkan sudah kamu siapkan?” tanya Regan pada kak Diandra dan wanita ini pun mengangguk.“Ya pak, kami sudah menyiapkannya. Kita hanya perlu mengerjakannya tepat waktu,” tanggapnya yang selalu membuatku kagum. Kak Diandra sangat professional dan tangkas dalam hal apa pun. Aku sedikit bersyukur meskipun p
Langit terlihat suram ditemani polusi udara yang tak pernah berakhir. Aku berjalan kaki, sembari menunggu taksi. Pekerjaan pagi ini membuatku sedikit terlambat untuk berangkat ke kantor. Aku yakin pasti Regan sudah berpikir macam-macam tentunya. Tapi, bukankah ia bilang jika Guntur akan selalu mengintaiku? Seperti seorang predator yang menakutkan, tapi saat ingatanku kembali pada saat kami berada di Mayapada, kedua pria itu sangat-sangat menawan.Mungkinkah kemarin ia hanya berusaha untuk menggertakku? Aku sudah beberapa kali memeriksanya, tapi aku tidak melihat ada Guntur di sini. Apa mungkin aku harus memiliki sihir seperti mereka? Setidaknya berada di tingkat dasar, agar aku bisa melihat Guntur bergentayangan mencoba untuk mengikutiku. Sungguh, aku tidak bisa membayangkannya, maksudku itu pasti lucu jika membayangkan Guntur tak memakai pakaian jaman dulu dan berteleport di sekitarku.Tiit“Astaga!” Aku hampir saja terjungkal, high heel ini sungguh