Mobil Bagas sudah sampai di halaman rumah kontrakan yang jauh masuk ke dalam. Meskipun begitu, mobil bisa lewat tanpa hambatan. Seharusnya aku bersyukur untuk itu bukan? Ya, semua harus disyukuri.
"Jadi ini kontrakan kamu?" Sandy bertanya dan aku mengangguk. Meskipun Sandy dilahirkan dengan kemilau sendok peraknya, ia sudah biasa hidup ala anak kos denganku saat diluar kota dulu. Jadi, melihat kontrakanku yang cukup sederhana seperti ini, ia tidak akan pernah merasa terganggu.
"Enak dingin, bisa tiduran dibawah dunk." Bagas juga sama, ia spesies yang suka rebahan dimana pun tempat sejuk seperti kontrakanku saat ini. Meskipun kak Disa bilang kontrakan kita ini banyak pepohonannya di halaman depan, jadi kesan rimbun dan menyeramkan itu terlihat jelas.
"Nggak kek angker gitu?" tanyaku dan Bagas menggeleng.
"Angkeran mana sama jalanan di kaki gunung waktu itu?" balasnya yang tentu aku sangat paham dengan apa yang Bagas katakan.
Pernah sekali Bagas dan Okta mengajak kami untuk ikut programnya anak mapala, aku sebenarnya takut dengan semua yang berbau horor, tapi sialnya dua cecunguk ini berhasil menipuku mentah-mentah. Mereka mengiming-imingi aku dengan panorama alam yang luar biasa di kaki gunung Mahameru, tepatnya di ranu Kumbolo dan itu memang benar. Sangat bagus tapi juga angker, ada yang pingsan saat tengah malam karena penampakan pocong. Serius, aku tidak ingin bercerita horor atau bagaimana, hanya saja aku sedikit trauma dengan hal ini.
"Apa sih Bagas, lihat muka Dara pucat. Kamu tuh, emang nyebelin." Sandy pun memukul Bagas dengan tidak bertenaga. Bagas hanya menyengir tanpa rasa bersalah, aku sudah terbiasa dengan pasanga gresek ini.
"Kalian kenapa lama sekali?"
Suara itu, aku tentu mengetahuinya Oktarian, pria sejuta pesona yang akhir-akhir ini sangat mengesalkan, apa lagi saat ia tidak menunjukkan penolakakn saat tante Maya menjodohkannya dengan kak Disa. Aku hanya akan berpikir, sebentar lagi semuanya akan berlalu.
Saat ini, aku tidak bisa menutupi rasa kesalku dan sepertinya ia mengetahuinya. "Aku ditelpon Disa, jadi aku ke sini." Selalu saja kak Disa menjadi alasannya. Aku memang memiliki satu saudari yang selesih beberapa tahun denganku. Aku lebih mirip ayah dan kak Disa lebih mirip mama, selain itu kak Disa sering sakit-sakitan jadi ayah tidak memperbolehkannya untuk kuliah keluar kota.
Karena hal inilah, hubungan kita sedikit renggang. Jelas sekali kak Disa menyukai Oktasemenjak kecil dan selalu ingin menempel kepadanya. Padahal, ia lebih tua dari kami, mungkin karena tidak pernah keluar rumah, membuat kak Disa tidak banyak bergaul dengan anak lain. Sementara Okta, aku, Bagas dan Sandy sudah memutuskan untuk kuliah keluar kota dan tentu kak Disa marah karena ia tidak bisa pergi bersama kami. Kak Disa merasa kesepian karena kami kuliah diluar kota.
"Kalian sudah datang?" kak Disa keluar dengan tatapan yang sama. Tidak ada yang berubah, ia sangat tidak suka melihatku bertemu dengan Okta. Apa lagi saat ia merasa sekarang Okta adalah miliknya.
Seketika aku membenci drama serial berkepanjangan ini. Tolong jangan menambah beban pikiranku, aku butuh fokus pada memperbaiki perekonomian keluarga. Aku tidak dalam masa dimana aku harus memperjuangkan cinta kekakanakan seperti kak Disa. Mungkin, hidupnya hanya sebatas berkeliaran dalam rumah, kampus dan sosial media. Jujur saja, aku bahkan mengalami hal yang lebih pahit dari itu semua. Kehabisan uang bulanan, bekerja part time untuk membayar uang kos, listrik dan wifi dan berbagi beberapa makanan dengan Sandy yang meskipun begitu sangat mandiri.
"Hai Dis, makin cantik aja." Bagas menyapanya, sambil mengerlingkan matanya. Aku dan Sandy hanya tersenyum geli. Namun, realitanya kak Disa memang lebih cantik dari aku.
Kami pun masuk bersama dan aku harus menyiapkan beberapa camilan dadakan. Untung saja aku memiliki beberapa kentang yang bisa ku jadikan stik. Selama kami mengontrak, aku berkewajiban untuk memasak karena yang jago memasak di rumah ini adalah aku dan ayah. Mama dan kak Disa hanya menunggu saja, tapi waktu kami masih memiliki segalanya ... Ayah mempekerjakan seorang pembantu.
"Mau aku bantu?" Aku menoleh dan mendapati Okta berdiri di sampingku. Apa dia gila? Setelah kemarin, ia masih berani mendekatiku?
"Nggak usah, kamu masuk aja. Duduk sama anak-anak sana," usirku yang tak mau terlibat drama yang akan terjadi jika aku, Okta dan kak Disa bertemu. Seolah seperti ritual yang harus ku hindari saja saat kami bertemu, padahal saat di luar kota, atau tanpa kak Disa kami akan berbicara lebih santai. Apa lagi setelah perjodohan telah dicetuskan, sepertinya kami tidak bisa sesantai ini sekarang.
Drett
Handphoneku pun berbunyi dan itu adalah tanda masuk email. Aku mengeceknya dengan terburu karena alamat email itu sama dengan perusahaan yang baru saja aku datangi dan aku sangat senang saat di dalamnya terdapat kata-kata lolos seleksi dan diharapkan untuk datang besok ke perusahaan untuk taken kontrak.
"Kok senyum-senyum gitu? Dapat lotre emang?" Aku lupa kalau Okta masih berada di sebelahku.
"Lebih dari lotre, aku diterima di Syahrend grup. Salah satu perusahaan terbesar di sini," sahutku dan wajah Okta terlihat terkejut.
"Seharusnya kamu terima tawaranku kemarin. Kamu tau nggak Syahrend Grup itu gimana?”
Aku mengangguk, jelas aku tahu bagaimana pekerjaan di sana. “Aku tahu semuanya, tapi seperti yang kamu tau tentang aku kan … aku bukan seseorang tanpa pertimbangan.” Untuk perkataan terakhirku ini, tentu saja seharusnya mampu membungkam segala argument yang akan Okta keluarkan.
"Aku tau, tapi di sana ketat dan banyak banget lemburnya," katanya yang sepertinya tidak ingin menyerah begitu saja.
"Nggak masalah, semakin banyak lembur ... Gaji aku semakin tinggi, ‘kan?" Targetku memang ini, masalah lelah dan keluhan? Aku tidak punya banyak waktu untuk itu. Setidaknya, tagihan bulanan dan belanja obat untuk sakit ayah bisa terpenuhi.
Keuangan dikeluarga kami memang sesekarat ini. Bahkan untuk makan sampai satu bulan, aku harus berhemat dari sisa tabungan. Belum lagi mama sama kak Disa yang sampai detik ini tidak sanggup menerima kalau kami jatuh miskin yang terkadang suka membeli beberapa barang yang tak perlu.
"Tapi kamu juga harus jaga kesehatan. Pokoknya jangan datang besok, ke perusahaanku saja," paksanya dan aku tentu saja tak akan mau.
"Ehem, ngapain kalian di sini?" Suara sinis itu, pasti suara kak Disa dan aku menoleh, membalasnya dengan senyum kaku.
Bagus, meskipun ini tidak baik karena kak Disa akan menaruh curiga kepada kami. Aku senang kak Disa datang dan menolongku untuk menghentikan segala paksaan yang Okta lakukan kepadaku.
"Aku masih ingin kalian bekerja diperusahanku,” katanya yang membuat kak Disa tidak senang.
Dasar idiot! Kenapa ia harus mengatakan itu? Kak Disa tentunya berharap bahwa ia adalah satu-satunya.
"Kan sudah ada aku, kenapa harus Dara?" tanyanya dengan ekspresi tidak senang dan aku lelah berada disituasi yang seperti ini berulang kali.
"Kak Disa, jago administrasi loh. Kan, lumayan bisa bantu kamu." Aku harus mencairkan suasana ini. Sebab, aku tidka memiliki pilihan lain kecuali melakukannya..
"Okay kalau gitu, besok kamu datang ke kantorku ya," ucap Okta yang akhirnya menyerah dan kak Disa pun terlihat senang. Aku tahu, Okta hanya melakukan ini karena tidak ingin aku kesulitan.
"Makasih ya Okta, kita bisa saling bertemu mulai dari sekarang." Bahkan dengan berani kak Disa memegang tangan Okta. Aku tahu, Okta sangat merasa tak nyaman. Untuk itu aku merasa bersimpatik kepadanya, tapi semua ini adalah sesuatu yang harus ia pertanggung jawabkan untuk setiap pilihannya.
"Ya uda, kamu bawa minuman ini ke anak-anak. Aku bantu Dara bentar," usir Okta dan kak Disa yang kelewat bahagia terlihat lupa dengan rasa cemburunya. Ia pun pergi tanpa mengatakan apa pun.
Kini hanya tinggal kami berdua. "Apa kamu benar-benar setuju aku sama Disa?"
Aku tidak mengerti, kenapa pertanyaan ini tiba-tiba muncul saat ia seharusnya tahu jika semuanya adalah pilihannya. “Bukannya ini pilihanmu?”
"Tapi Dara ... Cuman kamu cewek satu-satunya yang aku pedulikan. Lebih dari siapa pun!" ungkapnya yang membuat aku kalang kabut.
Aku tahu, tapi ini semua sudah terlambat. Kita, hanya bisa berjalan sejauh ini.
“Kamu harus bertanggung jawab untuk pilihanmu,” kataku yang kali ini membawa beberapa camilan masuk, meninggalkan Okta sendiri.
Aku sangat tidak tega, tapi ini adalah sesuatu yang kita dapat karena kita tidak jujur pada diri kita sendiri. Semuanya sepadan dan seharusnya ia menyadari itu semua.
Tepat jam 7 pagi, aku sudah berada di gedung Syarend grup dan menerima beberapa wawancara terakhir. Pertanyaannya tidak terlalu melalahkan hanya saja aku sangat membutuhkan asupan makanan setelah seluruh pikiranku yang dengan bodohnya terkuras habis untuk menjawab pertanyaan mereka. Apa mungkin aku terlalu waspada sampai seperti ini? Tapi, ini lebih baik dari pada aku berleha-leha bukan?Kami pu
Tidak ada hal yang menyenangkan, saat aku bangun yang seharusnya dipenuhi dengan segala hal urusan rumah tangga mulai dari mencuci piring, masak hingga membersihkan ruang tamu. Semua itu menjadi rutinitas pagiku yang melelahkan karena baik mama dan kak Disa tidak bisa diandalkan untuk melakukan hal ini. Hal ini terkadang membuatku bersyukur karena kak Disa akan bersama Okta, sehingga ia tidak akan menjadi bahan olokan ketika ia tidak bisa melakukan semua pekerjaan rumah. Lagi pula keluarga kita sudah jatuh, tidak mungkin teman-teman ayah mau menjodohkan anaknya dengan kami?Lagi pula, aku juga tidak begitu mementingkan pernikahan dengan pria berada. Cukup pria yang memahami diriku dan keluargaku dengan baik. Hanya seperti itu, tapi pastinya hal ini akan berjalan cukup lama karena pria seperti itu sangat jarang ku temukan.Aku masih memasak, saat tiba-tiba notifikasi handphoneku berbunyi dan aku melihat sebuah email, aku menemukan nama Syahre
Hari pertama dengan adegan pembuka yang mengerikan. Aku harus melihat seseorang yang dipecat begitu saja hanya karena alasan yang cukup sepele. Bukankah ia hanya perlu menegurnya saja? Kenapa harus memecat? Dasar cowok berhati batu. Jadi, benar kalau kita kerja di sini, kita akan menjadi robot pencetak uang untuknya?Saat ini, aku sudah berada di ruangan bapak yang tadi menyambutku dengan kata-kata ‘selamat datang di kandang harimau’ dan ternyata bapak ini adalah manajerku.“Jadi kamu benar-benar tidak memiliki hubungan apa pun dengan pak Regan?” tanyanya lagi seperti tidak mempercayai perkataanku. Harus dengan cara apa aku mencoba untuk meyakinkannya? Maksudku, kenapa ia harus memojokkanku dengan pertanyaan aneh ini? Apa yang terjadi sebenarnya?“Sebenarnya apa yang terjadi pak? Maksud saya, apa saya melakukan sesuatu kesalahan sampai bapak bertanya seperti itu?” tanyaku yang tak mema
Rapat dibuka dengan beberapa riset secara garis besar dari divisi pemasaran yang tentunya akan sangat membantu kami untuk mempersiapkan beberapa poin untuk menentukan harga dan kebutuhan konsumen. Tak lupa, pembukaan rapat yang luar biasa dari ceo kita yang menakjubkan, Regan. Sekarang, sepertinya aku pun ikut-ikutan kagum sama dengan karyawan yang lain.“Jadi, apa kalian memiliki usulan?” tanyanya yang menatap kami bergantian. Setiap lekuk wajah yang tajam tentunya sangat menghipnotis para kaum hawa. Suara bass yang karismatik itu apa lagi. Ah, sepertinya aku menjadi gila hanya dengan melihatnya di depanku.Adara sadarlah!“Adara, apa kau memiliki usul?”Mampus! Bagaimana bisa ia bertanya kepadaku? Karyawan baru dan aku pun memandangi Sisi yang berusaha menggerakkan tangannya untuk menyemangatiku, sementara karyawan cewek yang lain melirikku dengan sinis. Lalu, pak Santoso ya
Setelah kejadian itu, aku sering sekali diperhatikan oleh karyawan cewek yang begitu menyukai Regan. Tak jarang dari divisi lain mampir kemari hanya untuk melihat aku yang katanya cewek paling diinginkan pak Regan seentero Syahrend Group yang memiliki banyak cabang di seluruh Indonesia. Aku tidak terlalu yakin, tapi Sisi menceritakan hal ini berulang kali dan menggebu-gebu.Seperti saat ini, sepertinya kami harus lembur dan setiap hari harus lembur. Ini sebenarnya bagus, karena aku tidak perlu pusing-pusing untuk menghindari makan malam dengan keluarganya Okta. Aku juga lelah melihat kak Disa berakting atau Okta yang tidak bisa sadar jika pada akhirnya ia harus lebih memperhatikan kak Disa dari pada aku.Meskipun pada akhirnya Okta selalu mengirim pesan untuk membuatku segera berhenti dari pekerjaan ini. Aku selalu mengabaikannya, lama-lama aku merasa risih juga dengan bom pesan darinya.“Ada apa? Kelihatannya kamu
Saat acara makan dimulai, rasanya susah untuk membuka mulutku karena ia terus menatapku dengan tatapan yang benar-benar menusuk. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan saat ia berhasil menunjukkan tatapan seperti itu. Maksudku, bisa dikatakan kami hanya bertemu beberapa kali tapi ia seolah tahu segalanya tentangku.“Jadi Okta itu siapa? Pacar kamu?” Sisi yang tidak peka ini bertanya dengan sangat lantang dan jelas, membuatku harus melirik pada Regan serta Guntur. Namun, ini bagus juga maksudku aku bisa sekaligus menjelaskan jika saat di depan kantor waktu itu bukanlah acara pacaran.“Bukan, dia calon tunangan kakakku,” kataku dan aku harap ia akan berhenti membulliku setelah mendengarkan hal ini. Namun, apa yang aku dapat? Ia tersenyum sinis.“Jadi kau bertemu dengan tunangan kakakmu secara diam-diam?” Ia mencoba menebak sekaligus membuat masalah denganku.
Setelah mengatakan kata-kata yang tidak pernah ku katakana sebelumnya, aku memilih memasuki toilet dan duduk termenung di atas wc duduk. Penyesalan tiba-tiba saja datang dan merasa tak sepantasnya aku berbicara seperti itu kepada kak Disa dan Okta. Entah mengapa, aku merasa lelah harus menghadapi sikap sok polos mereka. Membiarkan diriku sendiri menahan segala emosi pun terasa tidak adil. Mereka bisa bertingkah bebas sesuka hati, sementara diriku harus terus berupaya untuk menjadi manusia yang baik.Setelah perenungan, aku memilih untuk keluar dari toilet dan aku sedikit bingung saat para cewek tersenyum sembari berbisik yang sedikit ku dengar membahas cowok ganteng yang sedang berdiri di depan toilet wanita.“Siapa ya ceweknya?”“Beruntung banget ya ceweknya.”Aku melihat beberapa yang masuk ke dalam toilet dan sepertinya aku juga penasaran. Seberapa ganteng cowok itu sampai
Pukul lima pagi aku sudah selesai sholat dengan agenda lanjutan untuk beres-beres rumah. Semalam aku harus pulang jam sebelas malam dengan berbagai hal yang harus ku kerjakan. Seluruh tubuhku lelah, tetapi aku tidak akan menyerah hanya karena ini.Sembari mencuci piring, aku memikirkan beberapa hal. Salah satunya dengan sikap aneh bosku itu. Maksudku, kenapa ia terus-terusan menggangguku seperti itu?“Dara ….” Aku menoleh dan mama sudah bangun, berdiri di sampingku.“Iya, ada apa Ma?” tanyaku dan mama tersenyum. Aku sudah bisa menebak, kata apa yang selanjutnya mama akan katakana.“Seminggu lagi Disa tunangan sama Okta dan papa memutuskan acaranya akan diadakan di rumah kita,” kata mama yang aku tahu apa yang membuat papa mengatakan ini, semua karena keluarga om Obi sudah berbuat terlalu banyak untuk kita. Seharusnya kita semua mandiri, sesulit apa pun ekono
Kami sudah sampai di sebuah restauran yang cukup mewah dan tentunya hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk kemari. Tempatnya begitu elegan dan dengan ornamen-ornamen tak kalah mewah. Sejujurnya aku tidak bisa tinggal terlalu lama di tempat yang terlalu mahal ini. Aku takut nantinya, malah aku tidak sibuk mencicipi makanannya, tapi malah bingung dengan seberapa banyak uang yang dihabiskan. Sungguh, ini terlihat seperti pemborosan dilevel yang tak biasa menurutku. Dengan langkah per langkah yang semakin memberatkan kakiku untuk melangkah terlalu dalam. Hanya saja, lagi-lagi Regan mundur dan merangkulku kembali, membuatku harus terus mengikuti langkah kakinya. "Kalau kamu tidak mempercepat langkahmu, aku akan langsung menggendongmu," tuturnya dengan tenang dan tingkat kedataran yang menyebalkan.Aku malas untuk menjawab perkataannya dan memutuskan untuk diam, meskipun aku merasa jika ia sedang merencanakan sesuatu. Entah itu apa? Yang pasti, aku merasa jika ia akan menumbalkanku unt
Masih jam delapan pagi, saat mobil kami telah sampai di depan perusahaan. Sungguh, sebenarnya aku tidak ingin satu mobil dengannya dan menyebabkan kegaduhan. Tapi, ia mengatakan jika ini adalah sesuatu yang lumrah jika sekertaris datang ke kantor dengan bosnya karena mungkin saja mereka beranggapan jika kita memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan.Aku berjalan beriringan dengannya, lebih tepatnya aku berusaha untuk mengimbangi langkahnya yang lebar itu. Belum lagi aku harus membawa dokumen yang dibutuhkan untuk hari ini yang sudah dapat dipastikan akan menjadi hari yang berat. Kalau dipikirkan dengan baik, tidak ada jadwal yang tidak padat. Mungkin, jika dulu aku tidak mengetahui identitasnya yang bukan manusia, aku akan menjulukinya sebagai manusia yang kuat. Namun, sekarang aku tahu siapa dia, hal semacam ini tentunya bukan perkara yang sulit. Hanya saja yang membuatku dongkol bukan main adalah ia tidak sadar jika menjadikan kami manusia biasa sama seperti dirinya.
Aku tidak dengan hidup yang seperti temperature kadang dingin, kadang panas, kadang panas dingin beraduk menjadi satu. Aku juga tidak mengerti kenapa aku mengatakan hal semacam ini dan semua itu penyebabnya karena sehabis menikah aku berada di ruang kerja Regan dan harus mengetik beberapa laporan ditengah-tengah kelelahan mendera.“Kalau keybord itu rusak, kamu harus menggantinya,” katanya yang memandangku dengan datar. Menyebalkan! Masih untung aku sedikit menekannya dalam menggunakannya, bagaimana kalau aku lemparkan semuanya bersama laptop mahal ini.“Aku lelah, bisa tidak aku tidur? Masih ada besok kan untuk mengerjakannya?” mohonku dan ia yang juga mengetik menghentikan aktifitasnya.Lihatlah wajahnya yang masih segar itu, semua itu adalah kecurangan. Bagaimana dia bisa membandingkan diriku dengannya? Aku hanya manusia biasa yang membutuhkan istirahat dan yang seorang penyihir jelas bisa bertahan sampai kapan pun.“Tidur
Pernikahan telah berlalu beberapa saat yang lalu, saat ini aku hanya memakai gaun yang disiapkan oleh kak Diandra tadi. Meskipun tidak ada tamu, kami sekeluarga berbincang panjang lebar dan aku sedikit sedih Sandy dan Bagas tidak bisa hadir. Tadi pagi, ia menangis ditelepon karena tidak bisa pulang dan menyaksikan pernikahanku, tapi aku mengatakan itu bukan masalah besar. Mungkin, nanti masih ada perayaan yang bisa mengundang kerabat dan teman yang lebih banyak lagi.Cukup hebat aku bisa bersandiwara seperti itu, mengingat pernikahanku dengannya hanya pura-pura, tapi seolah sekarang aku menunjukkan pernikahan sungguhan dengan mengatakan hal seperti ini. Sungguh ironis dan mengesalkan dalam bersamaan.“Dara, sepertinya nak Regan lelah. Ajak istirahat di kamarmu sana!” ujir mama yang membuatku ingin sekali mengomeli mama, tapi itu tidak mungkin.Apa lagi saat tangan Regan menyenggolku beberapa kali dan bergumam, “kalau kau tak melakukannya, aku a
Tidak pernah terbayangkan bagiku untuk merasakan hal yang tidak nyaman sampai membuatku tidak bisa tidur sedikit pun. Pikiranku kalut, bahkan di otakku hanya tertulis kata-kata besok aku akan menikah. Menikah dengan Regan, makhluk tidak jelas yang berasal dari dunia antra brata yang sekarang sedang berusaha untuk menjajahku. Membayangkan kebebasanku akan direnggut begitu saja olehnya dengan pernikahan yang seharusnya menjadi impian yang indah setiap wanita dimuka bumi ini. Namun, karena Regan sialan itu, aku harus terjebak dalam pernikahan gila yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benakku.“Ah, sial!” Aku menghentakkan kakiku beberapa kali pada kasur. Aku tidak peduli jika itu terdengar sampai luar, aku hanya ingin mengekspresikan kekesalanku hari ini karena besok aku akan menjadi istri orang.“Ya Allah, istri orang!” gumamku lagi yang tak percaya sekaligus tak rela. Aku benar-benar akan gila hanya dengan memikirkannya saja.&ldq
“Dara, kamu mau pergi kemana nak?” Papa ternyata telah bangun dan berusaha untuk mengejarku. Aku benar-benar merasa bingung dengan semuanya. Aku merasa kasihan kepada ayah tapi aku tidak bisa lagi tinggal di rumah yang tidak nyaman untukku karena terus dicurigai oleh kak Disa dan tererpihakan mama.Mereka berdua terlihat khawatir dan tidak ingin aku pergi. “Kalau papa dan mama mencegah Dara pergi, aku yang akan pergi!” teriak kak Disa diambang pintu. Tentu papa dan mama tidak akan bisa membiarkan kak Disa yang tidak dewasa itu pergi. Dari pada papa dan mama mendapatkan pilihan yang begitu sulit, sebaiknya aku akan mempermudah pilihan mereka.“Aku saja yang akan pergi, kalian tidak perlu khawatir,” kataku yang tidak bisa sesantai biasanya. Tentunya rasa sakit ini masih bergemburu di sana. Hanya saja, aku memiliki dilema sebagai seorang anak yang seharusnya tidak menyusahkan orang tua.“Disa, ada nak Regan. Seharusny
“Aku tidak akan pergi, sebelum Dara mau pulang bersamaku!” Kekeras kepalaan Okta disertai rasa cemburunya membuatku tidak bisa mengatakan apa pun kecuali marah.Aku melihat Regan tersenyum, seolah menertawai sikap kekanakan Okta. Benar, ia sangat kekanakan dan egois. Berbeda dengan Regan yang sepertinya masih memiliki pengertian bagaimana keadaanku di tengah-tengah keluargaku.Sepertinya, aku harus mengambil sikap. Tidak akan ku biarkan lagi ia bertindak dengan kekanakan seperti ini. “Pak, bisa antar saya pulang?” mohonku pada Regan yang tentu membuat pria tampan ini terkejut, kemudian segera menarik tanganku.“Dara! Kamu harus pulang denganku!” Okta pun mencegahku dengan menarik tanganku juga. Jadilah aksi tarik-menarik yang membuat tanganku sakit.Bahkan keduanya lagi-lagi menatap dengan tajam. “Berhentilah berbuat keonaran!’” ucap Regan dengan penuh penekanan dan Okta nampaknya tidak akan pernah men
Hari-hari dengan petaka ini terus berlanjut, terkadang aku harus bagun jam satu malam untuk mengecek beberapa dokumen dan mengirimnya lewat email kepada Regan. Sungguh, aku merasa heran, maksudku apa dia tidak tidur sema sekali? Ia selalu meneleponku dengan suara khasnya, tidak ada suara parau sehabis tidur. Sepertinya ia memang tidak pernah tidur, atau mungkin itu menjadi kebiasaan para penyihir tersebut.Dari semua hari, mungkin ini akan menjadi hari terberat, sebab aku harus ikut dengan Regan bersama kak Diandra untuk mengerjakan beberapa hal di masionnya. Aku pun terpaksa ikut mereka dalam mobil lemosin ini.“Apa semua berkas yang ku inginkan sudah kamu siapkan?” tanya Regan pada kak Diandra dan wanita ini pun mengangguk.“Ya pak, kami sudah menyiapkannya. Kita hanya perlu mengerjakannya tepat waktu,” tanggapnya yang selalu membuatku kagum. Kak Diandra sangat professional dan tangkas dalam hal apa pun. Aku sedikit bersyukur meskipun p
Langit terlihat suram ditemani polusi udara yang tak pernah berakhir. Aku berjalan kaki, sembari menunggu taksi. Pekerjaan pagi ini membuatku sedikit terlambat untuk berangkat ke kantor. Aku yakin pasti Regan sudah berpikir macam-macam tentunya. Tapi, bukankah ia bilang jika Guntur akan selalu mengintaiku? Seperti seorang predator yang menakutkan, tapi saat ingatanku kembali pada saat kami berada di Mayapada, kedua pria itu sangat-sangat menawan.Mungkinkah kemarin ia hanya berusaha untuk menggertakku? Aku sudah beberapa kali memeriksanya, tapi aku tidak melihat ada Guntur di sini. Apa mungkin aku harus memiliki sihir seperti mereka? Setidaknya berada di tingkat dasar, agar aku bisa melihat Guntur bergentayangan mencoba untuk mengikutiku. Sungguh, aku tidak bisa membayangkannya, maksudku itu pasti lucu jika membayangkan Guntur tak memakai pakaian jaman dulu dan berteleport di sekitarku.Tiit“Astaga!” Aku hampir saja terjungkal, high heel ini sungguh