“Okta awas!” Aku terkejut dan berteriak.
Ciit
Brug
Aku gemetaran dengan dahi berkedut sekaligus nyeri. “Kamu nggak apa-apa?” Okta mencoba memeriksaku dan saat aku mendongak untuk melihat keadaannya. Aku terkejut saat melihat darah mengalir dari pelipisnya.
“Kamu berdarah!” pekikku panik, bersamaan dengan itu aku melihat mobil kami ternyata menabrak pohon dan membuat bagian sampingnya hancur.
“Jangan panik, aku baik-baik aja kok.” Haruskah aku mempercayai ini atau Okta hanya berusaha membuatku tak khawatir?
Tanpa pikir panjang, aku meraih kotak P3K yang sengaja aku taruh di mobil Okta karena kebiasaannya yang telat makan, aku tarus beberapa obat maag di sana dan aku pun segera memeriksa luka di pelipisnya. Semoga saja tidak terlalu dalam. “Aku baik-baik saja, kok,” ucapnya lagi yang mencoba untuk menghindariku saat diriku berusaha untuk memeriksanya. Biasanya, ia sangat senang dengan perhatian-perhatian kecil yang aku berikan. Namun, kali ini ai terlihat menghindariku. Sepertinya kemarahan Okta belum berakhir.
“Apa kamu marah?” tanyaku dan Okta hanya diam. Aku benar-benar ingin minta maaf untuk perlakuanku yang secara terang-terangan menolaknya. Semua yang terjadi, membebaniku. Membuatku tidak bisa melakukan apa pun untuk sekedar merasakan senang karena seseorang.
Ia meraih kotak P3K itu sendiri tanpa menjawab pertanyaanku. Benar, ia sangat marah dengan ucapanku dan itu membuat ia sampai tidak bisa berkosentrasi. Bahkan kini ini ia kesulitan untuk membuka kapas. Aku pun datang untuk membantunya. “Kamu boleh marah, aku tidak akan melarangmu,” kataku yang memang lebih suka dirinya berterus terang.
Okta berhenti, menatapku dengan tatapan dalam. Seolah ia berusaha mengatakan jika dirinya begitu mencintaiku. “Apa salah aku sayang sama kamu?” tanyanya yang seperti sebuah rudal yang meluncur dan siap menghancurkan dinding pertahananku.
Setelah drama berkepanjangan antara dirinya dan diriku, pada akhirnya kami sampai pada satu titik yang membuat kami harus menghadapinya secara terang-terangan.
“Itu hakmu, tapi kamu tahu jika prioritasku saat ini bukan cinta, tetapi keluarga. Aku ingin menyelamatkan keluargaku.” Jika alasan ini bisa menghentikan kemarahannya, maka aku bersyukur untuk itu, tapi jika tidak? Maka aku harus membuat alasan lain yang bisa ku lakukan untuk membuatnya tak berharap terlalu banyak.
“Bukan karena kak Disa?” tanyanya dan aku mengangguk.
“Itu salah satunya.” Berhubung ia mempertanyakan pertanyaan yang tepat, maka aku akan menjawabnya sesuai dengan apa yang ia ingin dengar. “Aku tidak ingin sampai di sana kak Disa memusuhiku karena sering ketemu kamu. Jadi, aku mohon dengan sangat … jangan sering mengajak bertemu. Boleh, saat tidak hanya ada kamu saja, tapi ada Sandy dan Bagas,” kataku yang mempertegas segalanya.
Okta mengangguk, sepertinya ia menyadari dan tifak terlihat marah lagi. “Aku menghargai keputusanmu. Hanya saja, jangan berusaha untuk menghindariku lagi,” ucapnya yang entah mengapa merasa membuatku sedih.
Aku pun mengangguk dan kami saling melempar senyum. Seperti inilah masalah kami yang dapat diselesaikan dengan mudah. Karena kami saling mengenal, mengetahui terlalu banyak satu sama lain membuat kami bisa membicarakan segalanya tanpa susah payah. Hanya, karena kita beranjak menjadi orang dewasa membuat keterbukaan ini terlambat. Terganti dengan prasangka dan keegoisan masing-masing.
Okta pun menelepon tukang bengkel untuk memperbaiki mobilnya dan kami harus menghadang bus, kalau tidak ada kami terpaksa naik angkot. Saat ini kami sedang berada di jalan, menanti dua kendaraan itu. Mana yang lewat lebih dulu.
“Kita harus ke rumah sakit dulu,” kataku dan Okta yang semenjak tadi diam-diam memegangi kepalanya dapat ku ketahui dengan cepat.
“Nggak perlu, kita kembali saja. Pasti papa sama mamamu sudah menunggumu.” Ini benar juga, aku hampir lupa tapi melihat kondisi Okta jelas aku tidak tega melihatnya seperti ini sekarang.
“Tapi, kepalamu sakit, ‘kan?” Aku mencoba untuk memeriksanya, tetapi Okta menggeleng dan aku pun tidak bisa berbuat apa-apa dan bersamaan dengan itu bus muncul, membuat kami harus berkonsentrasi untuk menghentikannya.
Kami pun berhasil menghentikannya. Aku sedikit geli saat melihat Okta terlihat kebingungan saat naik. Maklum saja, Okta sudah terbiasa pergi kemana pun dengan menggunakan mobil mewahnya. Hari
ini mobil itu rusak dan terpaksa naik bus bersamaku karena di daerah ini tidak ada taksi.---***---
Aku merasa ada yang mengguncang-guncang tubuhku dan saat diriku membuka mata, sosok Okta sudah tersenyum seperti biasanya. “Uda sampai,” katanya dan aku pun mencoba berdiri dengan dibantu Okta. Kami keluar dari bus dan aku sudah tidak peduli dengan wajahku yang cukup kucel.
Kami pun berjalan beriringan melewati trotoar menuju rumahku yang dulu. Tak jauh sudah terlihat dan sepertinya ini akan menjadi yang terakhir. Rumah yang sudah puluhan tahun kita tempati akan menjadi milik orang lain. Aku sebenarnya tidak peduli dengan kemegahan yang ada di sana, hanya saja setiap kenangan berharga tidak akan pernah tergantikan.
Aku pun segera melihat handphone dan sudah berhasil menyewa sebuah rumah pinggir kota beberapa saat lalu dan sepertinya malam ini kamu harus segera pindah karena hari ini batas dimana kami bisa meninggali rumah ini sebelum dilelangkan.
“Aku minta tolong boleh nggak?” Aku menoleh menatap Okta dan pria ini pun mengangguk.
“Apa pun yang kamu butuhkan, aku siap membantu,” balasnya dan aku selalu menghargainya. Hanya saja, saat ini tidak tepat untuk membuatnya ikut masuk ke dalam rumahku. Keadaan kacau seperti ini, aku tidak mau ia melihatnya.
“Bisakah kamu kembali ke rumahmu? Aku sudah memesankan taksi,” kataku dan terlihat raut wajah kekecewaan dalam mata coklat di hadapanku ini. “Aku nggak bisa membiarkan kamu melihat kehancuran keluargaku, aku mohon dengan sangat, untuk kali ini saja,” kataku dan Okta lagi-lagi menhela napas.
Tangannya terlulur untuk meraih pipiku. Kebiasaan yang sering ia lakukan semenjak kecil. “Jika membutuhkan sesuatu, kamu bisa menghubungiku,” ucapnya dan aku pun mengangguk lega. Bersamaan dengan itu, sebuah taksi muncul dan Okta pun berjalan masuk dalam taksi tersebut.
Aku melepas kepergiannya dengan terus memandangi taksi tersebut sampai terlihat kecil dan menghilang ditengah malam.
“Kenapa kamu biarkan Okta pergi?” Aku tahu jika itu suara kak Disa yang marah. Aku pun mencoba untuk berbalik dan tersenyum kepadanya.
“Hai kak, uda lama nggak ketemu. Kangen, nggak sama aku?” tanyaku dan kak Disa mendengus, menatapku tak suka.
“Kenapa kamu biarkan Okta pergi!” Kali ini ia berteriak, aku tahu kak Disa frustasi karena semua ini.
“Apa kakak mau dia melihat kondisi keluarga kita yang seperti ini? Meskipun, kenyataannya kita tidak punya apa-apa, kita harus tetap menjaga martabat dan harga diri kita bukan?” tanyaku dan kak DIsa sepertinya menyetujui ucapanku.
“Benar katamu, aku nggak mau malu di depan Okta dengan keadaan yang seperti ini,” akuinya dan aku pun diam-diam tersenyum.
“Ayo segera masuk, mama nangis terus dan papa sedih nggak bisa ngapa-ngapain. Beberapa hari ini kita makan mie instan terus-terusan. Itu pun kami beli, mama sama aku kan nggak bisa masak,” katanya dan aku sudah dapat menduganya hal ini akan terjadi. Dalam keadaan terdesak seperti apa pun, mereka tetap tidak bisa mengurus diri mereka dengan baik.
Kami pun berjalan memasuki rumah, aku segera menuju kamar papa dan di sana, aku melihat papa tertidur pulas dan tak berdaya. Seketika air mataku mengalir, papaku yang selalu tegar dan penuh karismatik kini berbaring tak berdaya.
“Dara, apa yang harus kita lakukan sekarang?” Mama datang dan memelukku, ia menangis tersedu.
“Kita tidak punya rumah lagi,” lirih kak Disa yang juga menangis. “Kita jadi miskin sekarang, nggak punya rumah. Kita gelandangan sekarang Dara!” Bahkan sekarang merintih, seolah sesuatu telah membuat dirinya terluka.
“Tenang Ma, aku akan mencoba mencarikan solusinya.” Solusi seperti apa aku belum mengetahuinya. Namun, aku sudah berlagak seperti aku datang untuk menyelamatkan mereka.
“Aku nggak mau meninggalkan rumah ini?” Kak Disa terus menangis dan menujukkan keenggananya untuk meninggalkan rumah kami yang menyimpan sejuta kenangan ini.
“A-ad-ra ….” Aku membalikkan tubuhku dan terkejut bukan main ketika papa terbangun dan strokenya kambuh.
“Pa!”
“A-ad-ra ….” Aku membalikkan tubuhku dan terkejut bukan main ketika papa terbangun dan strokenya kambuh.“Pa!”Aku segera mendekat dan berusaha untuk menggenggamkan tangannya. Papa menjadi gagu, karena sebagian bibirnya tak mampu mengucapkan kata dengan jelas. Aku merasa sebuah pisau menusuk-nusuk hatiku. Papaku yang begitu tegar, bagaimana bisa menjadi seperti ini?Aku menangis dan merasa bingung, harus melakukan apa? Seluruh tubuhku bergetar ketakutan saat orang yang begitu ku kasihi harus mengalami hal ini. Seolah semua belum cukup untuk ku rasakan.“Ayo kita bawa ke rumah sakit sekarang, Ra!” pekik mama yang membuat aku tersadar dan aku pun segera membantu papa be
“Tidak bisa, aku mau dia menyelesaikannya hari ini!”“Saya akan membicarakannya dengan orang tua saya!” kata Okta dengan lantang dan aku hanya bisa menghela napas saat mama dan kak Disa begitu senang dan bangganya melihat Okta melakukan ini.“Baik, kami akan datang lagi,” ucapnya yang seolah mengancam kami. Aku tahu, tidak ada pertemanan yang tulus jika berurusan dengan uang, semua berlaku bagi siapa pun dimuka bumi ini.Namun, yang paling ku sesalkan dari semua itu adalah aku tidak berdaya untuk mencegahnya dan aku pun memilih untuk diam dan mempersiapkan segala kemungkinnya. Langkah pertama yang harus ku lakukan adalah mendapat pekerjaan. Aku harus mencari pekerjaan untuk kebutuhan kami nanti.
"Kenapa kami harus memilih Anda? Apa ada sesuatu yang spesial yang bisa Anda janjikan saat memasuki perusahaan ini?"Skak mate! Aku harus menjawab apa untuk pertanyaan yang satu ini. Haruskah aku jujur jika aku datang kemari dengan keputusasaan yang mendalam? Mengatakan jika usaha keluargaku bangkrut dan kini kami menjadi gelandangan. Aku pun harus melepaskan keinginanku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, hanya agar aku bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluargaku yang sudah sekarat ini."Silahkan Anda jawab," desak wanita berkacamata dengan tatapan tajam ini. Seketika jantungku berdetak kencang, lebih kencang dari saat aku berlari memutari gedung universitas saat menjadi calon anggota Bem jurusan ekonomi.Bagaimana aku bisa memberikan jawaban yang memuaskan? Lulus S1 saja baru kemarin dan aku nol besar untuk pengalaman kerja kecuali magang kemarin. Namun, jika aku tidak menjawabnya, mereka
Mobil Bagas sudah sampai di halaman rumah kontrakan yang jauh masuk ke dalam. Meskipun begitu, mobil bisa lewat tanpa hambatan. Seharusnya aku bersyukur untuk itu bukan? Ya, semua harus disyukuri."Jadi ini kontrakan kamu?" Sandy bertanya dan aku mengangguk. Meskipun Sandy dilahirkan dengan kemilau sendok peraknya, ia sudah biasa hidup ala anak kos denganku saat diluar kota dulu. Jadi, melihat kontrakanku yang cukup sederhana seperti ini, ia tidak akan pernah merasa terganggu."Enak dingin, bisa tiduran dibawah dunk." Bagas juga sama, ia spesies yang suka rebahan dimana pun tempat sejuk seperti kontrakanku saat ini. Meskipun kak Disa bilang kontrakan kita ini banyak pepohonannya di halaman depan, jadi kesan rimbun dan menyeramkan itu terlihat jelas."Nggak kek angker gitu?" tanyaku dan Bagas menggeleng."Angkeran mana sama jalanan di kaki gunung waktu itu?" balasnya yang tentu aku sangat paham dengan apa yang Bagas katakan.Pernah sekali Bagas dan
Tepat jam 7 pagi, aku sudah berada di gedung Syarend grup dan menerima beberapa wawancara terakhir. Pertanyaannya tidak terlalu melalahkan hanya saja aku sangat membutuhkan asupan makanan setelah seluruh pikiranku yang dengan bodohnya terkuras habis untuk menjawab pertanyaan mereka. Apa mungkin aku terlalu waspada sampai seperti ini? Tapi, ini lebih baik dari pada aku berleha-leha bukan?Kami pu
Tidak ada hal yang menyenangkan, saat aku bangun yang seharusnya dipenuhi dengan segala hal urusan rumah tangga mulai dari mencuci piring, masak hingga membersihkan ruang tamu. Semua itu menjadi rutinitas pagiku yang melelahkan karena baik mama dan kak Disa tidak bisa diandalkan untuk melakukan hal ini. Hal ini terkadang membuatku bersyukur karena kak Disa akan bersama Okta, sehingga ia tidak akan menjadi bahan olokan ketika ia tidak bisa melakukan semua pekerjaan rumah. Lagi pula keluarga kita sudah jatuh, tidak mungkin teman-teman ayah mau menjodohkan anaknya dengan kami?Lagi pula, aku juga tidak begitu mementingkan pernikahan dengan pria berada. Cukup pria yang memahami diriku dan keluargaku dengan baik. Hanya seperti itu, tapi pastinya hal ini akan berjalan cukup lama karena pria seperti itu sangat jarang ku temukan.Aku masih memasak, saat tiba-tiba notifikasi handphoneku berbunyi dan aku melihat sebuah email, aku menemukan nama Syahre
Hari pertama dengan adegan pembuka yang mengerikan. Aku harus melihat seseorang yang dipecat begitu saja hanya karena alasan yang cukup sepele. Bukankah ia hanya perlu menegurnya saja? Kenapa harus memecat? Dasar cowok berhati batu. Jadi, benar kalau kita kerja di sini, kita akan menjadi robot pencetak uang untuknya?Saat ini, aku sudah berada di ruangan bapak yang tadi menyambutku dengan kata-kata ‘selamat datang di kandang harimau’ dan ternyata bapak ini adalah manajerku.“Jadi kamu benar-benar tidak memiliki hubungan apa pun dengan pak Regan?” tanyanya lagi seperti tidak mempercayai perkataanku. Harus dengan cara apa aku mencoba untuk meyakinkannya? Maksudku, kenapa ia harus memojokkanku dengan pertanyaan aneh ini? Apa yang terjadi sebenarnya?“Sebenarnya apa yang terjadi pak? Maksud saya, apa saya melakukan sesuatu kesalahan sampai bapak bertanya seperti itu?” tanyaku yang tak mema
Rapat dibuka dengan beberapa riset secara garis besar dari divisi pemasaran yang tentunya akan sangat membantu kami untuk mempersiapkan beberapa poin untuk menentukan harga dan kebutuhan konsumen. Tak lupa, pembukaan rapat yang luar biasa dari ceo kita yang menakjubkan, Regan. Sekarang, sepertinya aku pun ikut-ikutan kagum sama dengan karyawan yang lain.“Jadi, apa kalian memiliki usulan?” tanyanya yang menatap kami bergantian. Setiap lekuk wajah yang tajam tentunya sangat menghipnotis para kaum hawa. Suara bass yang karismatik itu apa lagi. Ah, sepertinya aku menjadi gila hanya dengan melihatnya di depanku.Adara sadarlah!“Adara, apa kau memiliki usul?”Mampus! Bagaimana bisa ia bertanya kepadaku? Karyawan baru dan aku pun memandangi Sisi yang berusaha menggerakkan tangannya untuk menyemangatiku, sementara karyawan cewek yang lain melirikku dengan sinis. Lalu, pak Santoso ya
Kami sudah sampai di sebuah restauran yang cukup mewah dan tentunya hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk kemari. Tempatnya begitu elegan dan dengan ornamen-ornamen tak kalah mewah. Sejujurnya aku tidak bisa tinggal terlalu lama di tempat yang terlalu mahal ini. Aku takut nantinya, malah aku tidak sibuk mencicipi makanannya, tapi malah bingung dengan seberapa banyak uang yang dihabiskan. Sungguh, ini terlihat seperti pemborosan dilevel yang tak biasa menurutku. Dengan langkah per langkah yang semakin memberatkan kakiku untuk melangkah terlalu dalam. Hanya saja, lagi-lagi Regan mundur dan merangkulku kembali, membuatku harus terus mengikuti langkah kakinya. "Kalau kamu tidak mempercepat langkahmu, aku akan langsung menggendongmu," tuturnya dengan tenang dan tingkat kedataran yang menyebalkan.Aku malas untuk menjawab perkataannya dan memutuskan untuk diam, meskipun aku merasa jika ia sedang merencanakan sesuatu. Entah itu apa? Yang pasti, aku merasa jika ia akan menumbalkanku unt
Masih jam delapan pagi, saat mobil kami telah sampai di depan perusahaan. Sungguh, sebenarnya aku tidak ingin satu mobil dengannya dan menyebabkan kegaduhan. Tapi, ia mengatakan jika ini adalah sesuatu yang lumrah jika sekertaris datang ke kantor dengan bosnya karena mungkin saja mereka beranggapan jika kita memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan.Aku berjalan beriringan dengannya, lebih tepatnya aku berusaha untuk mengimbangi langkahnya yang lebar itu. Belum lagi aku harus membawa dokumen yang dibutuhkan untuk hari ini yang sudah dapat dipastikan akan menjadi hari yang berat. Kalau dipikirkan dengan baik, tidak ada jadwal yang tidak padat. Mungkin, jika dulu aku tidak mengetahui identitasnya yang bukan manusia, aku akan menjulukinya sebagai manusia yang kuat. Namun, sekarang aku tahu siapa dia, hal semacam ini tentunya bukan perkara yang sulit. Hanya saja yang membuatku dongkol bukan main adalah ia tidak sadar jika menjadikan kami manusia biasa sama seperti dirinya.
Aku tidak dengan hidup yang seperti temperature kadang dingin, kadang panas, kadang panas dingin beraduk menjadi satu. Aku juga tidak mengerti kenapa aku mengatakan hal semacam ini dan semua itu penyebabnya karena sehabis menikah aku berada di ruang kerja Regan dan harus mengetik beberapa laporan ditengah-tengah kelelahan mendera.“Kalau keybord itu rusak, kamu harus menggantinya,” katanya yang memandangku dengan datar. Menyebalkan! Masih untung aku sedikit menekannya dalam menggunakannya, bagaimana kalau aku lemparkan semuanya bersama laptop mahal ini.“Aku lelah, bisa tidak aku tidur? Masih ada besok kan untuk mengerjakannya?” mohonku dan ia yang juga mengetik menghentikan aktifitasnya.Lihatlah wajahnya yang masih segar itu, semua itu adalah kecurangan. Bagaimana dia bisa membandingkan diriku dengannya? Aku hanya manusia biasa yang membutuhkan istirahat dan yang seorang penyihir jelas bisa bertahan sampai kapan pun.“Tidur
Pernikahan telah berlalu beberapa saat yang lalu, saat ini aku hanya memakai gaun yang disiapkan oleh kak Diandra tadi. Meskipun tidak ada tamu, kami sekeluarga berbincang panjang lebar dan aku sedikit sedih Sandy dan Bagas tidak bisa hadir. Tadi pagi, ia menangis ditelepon karena tidak bisa pulang dan menyaksikan pernikahanku, tapi aku mengatakan itu bukan masalah besar. Mungkin, nanti masih ada perayaan yang bisa mengundang kerabat dan teman yang lebih banyak lagi.Cukup hebat aku bisa bersandiwara seperti itu, mengingat pernikahanku dengannya hanya pura-pura, tapi seolah sekarang aku menunjukkan pernikahan sungguhan dengan mengatakan hal seperti ini. Sungguh ironis dan mengesalkan dalam bersamaan.“Dara, sepertinya nak Regan lelah. Ajak istirahat di kamarmu sana!” ujir mama yang membuatku ingin sekali mengomeli mama, tapi itu tidak mungkin.Apa lagi saat tangan Regan menyenggolku beberapa kali dan bergumam, “kalau kau tak melakukannya, aku a
Tidak pernah terbayangkan bagiku untuk merasakan hal yang tidak nyaman sampai membuatku tidak bisa tidur sedikit pun. Pikiranku kalut, bahkan di otakku hanya tertulis kata-kata besok aku akan menikah. Menikah dengan Regan, makhluk tidak jelas yang berasal dari dunia antra brata yang sekarang sedang berusaha untuk menjajahku. Membayangkan kebebasanku akan direnggut begitu saja olehnya dengan pernikahan yang seharusnya menjadi impian yang indah setiap wanita dimuka bumi ini. Namun, karena Regan sialan itu, aku harus terjebak dalam pernikahan gila yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benakku.“Ah, sial!” Aku menghentakkan kakiku beberapa kali pada kasur. Aku tidak peduli jika itu terdengar sampai luar, aku hanya ingin mengekspresikan kekesalanku hari ini karena besok aku akan menjadi istri orang.“Ya Allah, istri orang!” gumamku lagi yang tak percaya sekaligus tak rela. Aku benar-benar akan gila hanya dengan memikirkannya saja.&ldq
“Dara, kamu mau pergi kemana nak?” Papa ternyata telah bangun dan berusaha untuk mengejarku. Aku benar-benar merasa bingung dengan semuanya. Aku merasa kasihan kepada ayah tapi aku tidak bisa lagi tinggal di rumah yang tidak nyaman untukku karena terus dicurigai oleh kak Disa dan tererpihakan mama.Mereka berdua terlihat khawatir dan tidak ingin aku pergi. “Kalau papa dan mama mencegah Dara pergi, aku yang akan pergi!” teriak kak Disa diambang pintu. Tentu papa dan mama tidak akan bisa membiarkan kak Disa yang tidak dewasa itu pergi. Dari pada papa dan mama mendapatkan pilihan yang begitu sulit, sebaiknya aku akan mempermudah pilihan mereka.“Aku saja yang akan pergi, kalian tidak perlu khawatir,” kataku yang tidak bisa sesantai biasanya. Tentunya rasa sakit ini masih bergemburu di sana. Hanya saja, aku memiliki dilema sebagai seorang anak yang seharusnya tidak menyusahkan orang tua.“Disa, ada nak Regan. Seharusny
“Aku tidak akan pergi, sebelum Dara mau pulang bersamaku!” Kekeras kepalaan Okta disertai rasa cemburunya membuatku tidak bisa mengatakan apa pun kecuali marah.Aku melihat Regan tersenyum, seolah menertawai sikap kekanakan Okta. Benar, ia sangat kekanakan dan egois. Berbeda dengan Regan yang sepertinya masih memiliki pengertian bagaimana keadaanku di tengah-tengah keluargaku.Sepertinya, aku harus mengambil sikap. Tidak akan ku biarkan lagi ia bertindak dengan kekanakan seperti ini. “Pak, bisa antar saya pulang?” mohonku pada Regan yang tentu membuat pria tampan ini terkejut, kemudian segera menarik tanganku.“Dara! Kamu harus pulang denganku!” Okta pun mencegahku dengan menarik tanganku juga. Jadilah aksi tarik-menarik yang membuat tanganku sakit.Bahkan keduanya lagi-lagi menatap dengan tajam. “Berhentilah berbuat keonaran!’” ucap Regan dengan penuh penekanan dan Okta nampaknya tidak akan pernah men
Hari-hari dengan petaka ini terus berlanjut, terkadang aku harus bagun jam satu malam untuk mengecek beberapa dokumen dan mengirimnya lewat email kepada Regan. Sungguh, aku merasa heran, maksudku apa dia tidak tidur sema sekali? Ia selalu meneleponku dengan suara khasnya, tidak ada suara parau sehabis tidur. Sepertinya ia memang tidak pernah tidur, atau mungkin itu menjadi kebiasaan para penyihir tersebut.Dari semua hari, mungkin ini akan menjadi hari terberat, sebab aku harus ikut dengan Regan bersama kak Diandra untuk mengerjakan beberapa hal di masionnya. Aku pun terpaksa ikut mereka dalam mobil lemosin ini.“Apa semua berkas yang ku inginkan sudah kamu siapkan?” tanya Regan pada kak Diandra dan wanita ini pun mengangguk.“Ya pak, kami sudah menyiapkannya. Kita hanya perlu mengerjakannya tepat waktu,” tanggapnya yang selalu membuatku kagum. Kak Diandra sangat professional dan tangkas dalam hal apa pun. Aku sedikit bersyukur meskipun p
Langit terlihat suram ditemani polusi udara yang tak pernah berakhir. Aku berjalan kaki, sembari menunggu taksi. Pekerjaan pagi ini membuatku sedikit terlambat untuk berangkat ke kantor. Aku yakin pasti Regan sudah berpikir macam-macam tentunya. Tapi, bukankah ia bilang jika Guntur akan selalu mengintaiku? Seperti seorang predator yang menakutkan, tapi saat ingatanku kembali pada saat kami berada di Mayapada, kedua pria itu sangat-sangat menawan.Mungkinkah kemarin ia hanya berusaha untuk menggertakku? Aku sudah beberapa kali memeriksanya, tapi aku tidak melihat ada Guntur di sini. Apa mungkin aku harus memiliki sihir seperti mereka? Setidaknya berada di tingkat dasar, agar aku bisa melihat Guntur bergentayangan mencoba untuk mengikutiku. Sungguh, aku tidak bisa membayangkannya, maksudku itu pasti lucu jika membayangkan Guntur tak memakai pakaian jaman dulu dan berteleport di sekitarku.Tiit“Astaga!” Aku hampir saja terjungkal, high heel ini sungguh