3 bulan kemudian...Tabitha membelai pelan perutnya yang sudah membesar, wanita itu tersenyum bahagia saat merasakan pergerakan dari bayi nya yang semakin aktif. Ia bahkan bisa meletakkan cemilan diatas perutnya itu. Tabitha tak sabar untuk segera bertemu dan menggendong bayinya.Arthur membuka pintu kamarnya, pria itu mengulas senyum tipis saat mendapati istrinya yang terlihat bahagia dengan kehamilannya. Arthur duduk disofa tepat dibelakang sang istri. Tabitha sedikit tersentak karena gerakan Arthur namun dia hanya memegang dadanya."Maaf mengagetkanmu.""Ya, tak apa."Arthur meraih laptop diatas meja di depannya, ia memangku laptop itu dan memakai kacamata anti radiasinya, ia pun terfokus pada pekerjaannya. Memang perusahaannya ada sedikit masalah karena salah satu manager nya membawa uang perusahaan tapi Arthur berusaha untuk memulihkan kembali keuangan perusahaanya."Sst.…" Tabitha mendesis."Hai ada apa?" Arthur panik saat mendengar desisan Tabitha. Ia segera menutup laptopnya d
Tiga hari terhitung sejak Layla bekerja di Mansion De Lavega, tak ada hal mencurigakan yang dilakukan gadis itu, malah sebaliknya ia bertingkah sangat sopan dan baik. Arthur yang tadinya curiga perlahan mulai mempercayai Layla. Ia bahkan sudah meminta Alexander dan Brian untuk menghentikan mereka mencari tau identitas Layla.Sekarang Arthur berada didalam mobilnya menuju Mansion, ia sangat lelah setelah seharian mengurusi berbagai pekerjaan di Kantor, setelah sampai di pekarangan Mansion Arthur keluar dari mobilnya. Ia tidak langsung berjalan menuju kamar tapi dia kepantry dulu untuk mengambil whiskey miliknya dilemari pendingin.Saat Arthur mengambil sebotol whis*ey dan meneguknya. Matanya menemukan sebuah bekas obat di tempat sampah kering di pantry, Arthur yang curiga pun akhirnya mengambil bekas obat itu. Ia mengerutkan keningnya, ia tidak tau jenis obat apa itu. Akhirnya ia pun menghubungi Dokter Ryan.“Hallo Ryan.""Ya, Arthur.""Aku menemukan bekas obat.""Lalu?""Aku asing den
Arthur terbangun dari tidurnya, pria itu melirik kearah sang istri yang masih tertidur pulas disampingnya, Arthur mengulurkan tangannya untuk membelai lembut wajah wanita yang dicintainya, ia mengecup pelan pelipis Tabitha, lalu beralih mengecup perut Tabitha yang sudah menggunung."Daddy akan pergi, jaga mommy mu," ucap Arthur dengan suara kecil dan membelai pelan disana.Arthur menyingkap selimutnya, ia langsung memasuki kamar mandi dan bersiap. Setelah selesai ia memakai jaket kulit hitam beserta celana kain hitam miliknya, Arthur keluar dari walk in closet dan mengambil kertas note diatas nakas."Maaf aku tak pamit padamu, aku tak tega membangunkanmu. Aku tak tau kapan aku pulang, tapi aku akan berusaha tetap menghubungimu. Ingat, jangan keluar tanpa penjagaan dari bodyguard. Aku mencintaimu ..."-Arthur-Arthur melirik kearah Tabitha yang masih menutup matanya, pria itu menyelipkan note nya dibawah gelas air putih. Arthur mencium kening sang istri lembut, Tabitha sedikit menggeli
Tabitha terbangun dari tidurnya, wanita itu menyibakkan selimut yang menghangatkannya semalam, ia duduk ditepi ranjang dan melirik kearah sebelah yang ternyata kosong. Tabitha mengedarkan pandangannya mencari Arthur namun batang hidung pria itu tak ia temukan. Tabitha mengambil ponsel diatas nakas namun matanya melihat sebuah note, Tabitha meraih dan membacanya dalam diam, ia mengulas senyum simpul membaca tulisan tangan Arthur yang rapih.Tabitha turun dari kamarnya dan berakhir didepan sofa, ia menonton TV namun ponselnya berdering. Tabitha mengangkat nomer tak dikenal itu."Dengar, jika kau masih ingin melihat suamimu hidup, datanglah kesebuah rumah dipinggir kota, akan ada mobil didepan mansion mu.""Siapa kau?""Suamimu ada pada kami Tabitha, cepatlah jika tidak kau akan melihat jasad suamimu sore ini."Sambungan terputus, Tabitha menelan salivanya kasar, ia khawatir dengan keadaan Arthur. Tabitha menghubungi Arthur berkali-kali, menghubungi Brian dan kantor Arthur namun ponsel B
Arthur berlari kecil memasuki salah satu rumah sakit di Vegas, ia sudah menghubungi Dokter Ryan."TOLONG!" Arthur berteriak kencang membuat beberapa perawat langsung membawa brangkar untuk Tabitha.Arthur merebahkan tubuh istrinya dengan hati-hati diatas brangkar itu. Mereka mendorongnya sampai ke tempat penanganan pertama. Ia pun duduk dikursi tunggu tak lama suara seseorang membuyarkan lamunan Arthur."Arthur!" Pria yang dipanggil namanya pun membalikkan tubuhnya menemukan Ryan sudah mengenakan jas kedokterannya."Dimana Tabitha?""Dia di dalam, selamatkan mereka," pinta Arthur."Aku akan berusaha." Ryan menepuk pelan bahu Arthur menguatkan.Tak lama Brian datang, Arthur memang tidak menunggu Brian tadi, ia terlalu kalap melihat Tabitha seperti itu."Arthur," panggil Brian."Aku tak bisa tenang!" Arthur berdiri dan berjalan mondar mandir di depan pintu."Tenanglah Arthur.""Aku tak bisa tenang melihat istriku seperti itu Brian!!""Ya, aku mengerti."Tak lama pintu ruangan itu terbu
Arthur membuka knop pintu dengan pelan, jantungnya berdegub dua kali lebih kencang. Ia gugup saat berada tepat di hadapan putra kecilnya.Arthur melihat bayi mungil itu, bayi yang terlihat tenang tertidur dengan ekpresi yang sangat menggemaskan. Arthur tak tahan untuk menggendongnya.“Hi, Son.""Maaf baru menengokmu."“Aku tau kau pasti kesal karena aku mengacuhkanmu dua minggu ini.""Mommy mu sakit dan aku tak bisa hidup tanpanya, jadi aku melupakanmu tapi aku tak bermaksud begitu."Tak lama pintu ruangan terbuka dan ternyata itu adalah Dokter Ryan. "Arthur."Pria yang dipanggil namanya pun menolehkan sedikit kepalanya menatap Ryan di belakangnya. "Untunglah Brian berhasil menyadarkanmu.""Aku terlalu fokus pada Tabitha.""Ya, tapi jangan pikirkan. Karena sekarang kau sudah disini, putramu pasti akan sangat bahagia sekarang."Arthur mengulas senyum tipis, ia mengangkat tangannya, membelai lembut kaca inkubator yang membatasi dirinya dengan anaknya."Kau ingin menggendongnya?""Apa bo
Arthur memasuki ruangan inkubator dengan cepat, pria itu panik saat perawat memberitahunya tentang keadaan putra kecilnya. Di dalam sudah ada Ryan yang menggendong bayi itu. Arthur segera mendekati Ryan dan melihat dengan jelas ekspresi bayinya."Dia sakit?""Suhu tubuhnya meningkat drastis Arthur.""Apa dia salah obat atau bagaimana?""Aku sudah memeriksa obatnya dan semuanya baik.""Lalu dia kenapa?""Coba kau gendong dulu, barangkali dia akan berhenti menangis.""Kemarikan."Ryan memberikan bayi itu dengan perlahan pada Arthur. Arthur meraihnya dengan hati-hati ia pun memeriksa tubuh bayi nya dan memang panas dari sebelumnya."Apa yang harus kita lakukan Ryan?""Kami akan memberikannya obat."Arthur menganggukkan kepalanya menjawab ucapan Ryan, dan tak lama terdengar dering ponsel dari saku celana Arthur.Arthur menahan bayi itu dengan satu tangannya sedangkan tangan lainnya meraih ponsel dan memeriksa si penelepon, Brian."Ya, ada apa Brian?""Arthur!" ucap Brian dengan nada panik
Tiga hari sudah terhitung semenjak sadarnya Tabitha, semua orang berkumpul untuk melihat Artha, disaat itu datanglah Ryan dengan senyum yang mengembang di wajahnya. "Arthur". Arthur yang merasa namanya dipanggil pun menegakkan tubuhnya dan berjalan ke arah Ryan. "Ada apa?""Ada berita bagus untukmu.""Katakan.""Tabitha dan Artha bisa pulang hari ini.""Kau yakin?""Ya.""Baiklah terimakasih.""Sama-sama, kalau begitu aku akan urus keperluan kalian.""Oke." Ryan melenggang menjahui Arthur, sedangkan pria itu meraih ponsel di saku celananya dan menghubungi Alexander."Alex.""Ya boss?""Kirimkan jet pribadiku.""Boss akan pulang?""Ya.""Baik, segera saya siapkan.""Bagus."Arthur langsung mematikan sambungan teleponnya dan kembali duduk di samping sang istri seraya membelai pelan pipi Artha."Ada apa?" tanya Tabitha pelan sembari menyerahkan Artha pada Renata.Arthur mengulas senyum dan meraih tangan kanan Tabitha. "Kita akan pulang.""Sekarang?""Ya, kita tunggu Jet milikku terlebih