"Ibu, dia pasti becanda."
"Tidak, Anandita. Bryan serius dengan ucapannya." Ibu mengusap lenganku. Tersenyum sekilas.
"Kalau begitu, dia pasti sudah gila! Ibu jangan semudah itu percaya dengan omongannya!"
Ibu tertawa kecil. Bangkit dari duduknya menuju pembatas balkon. Menyandarkan tangannya di sana sambil memandang ke bawah. Melihat ke halaman depan rumah. Lantas, ku lihat dia menghela nafas.
"Bryan serius dengan ucapannya Anandita. Ibu sangat mengenalinya. Dia tidak pernah main-main dengan ucapannya." Sejenak ibu memejamkan matanya. Lalu, melanjutkan ucapannya kembali. "Dia ingin kamu menjadi kekasihnya."
Deg!
Mataku terbelalak. Dadaku semakin bergemuruh. Laki-laki itu benar-benar keterlaluan. Untuk apa dia mengatakan itu pada ibu.
"Tidak Ibu!" Aku bangkit. Berjalan mendekati ibu. "Ibu jangan berkata seperti itu. Ibu belum sebulan mengenalnya, dari mana Ibu tahu kalau dia itu adalah pria yang tegas pada ucapannya? Bisa saja kan dia
Bola basket mulai berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Melayang sesuai lemparan. Tim A adalah tim Devan beserta teman-teman kuliahnya. Sedangkan tim B, aku tidak tahu mereka berasal dari mana.Sorak sorai penonton riuh ketika Devan melakukan Slam dunk ke gawang lawan hingga bola tersebut masuk dengan mudahnya."Wah ... kereeen ...!" Aku menautkan jari-jariku. Tersenyum setengah memejam.Plak!Aw!"Biasa aja kali!"Aku mengelus kepalaku yang ditoyor oleh Melda, cewek berkacamata ini selalu saja membuatku sebal."Sakit tau! Emang salahku di mana sih?!" ucapku pelan dengan bibir manyun."Ya, gak ada yang salah dari kamu. Tapi, aku geli lihat ekspresimu seperti tadi! Seumur-umur baru kali ini kamu mengagumi seseorang sampai segitunya!" Melda mencibir."His!" Aku memalingkan muka menghindari wajah Melda yang membuatku semakin kesal. Seenaknya saja main toyor-toyor orang. Kembali menonton pertandingan dengan
Kalian boleh mengatakan kalau aku ini benar-benar plin-plan dalam mengambil sikap. Kenapa begitu? Karena saat ini aku sedang berada di sebuah tepi danau, yang aku sendiri tidak tahu ini di daerah mana. Dan, kalian tahu siapa yang membawaku? Ya! Yang membawaku ke sini adalah ... Bryan! Aku sedang bersama laki-laki ini sekarang.Suasana hatiku sedang kacau. Aku seperti selembar daun yang mengikuti kemana arah angin berhembus. Masih terus terngiang di telingaku kata-kata Devan yang menusuk jantungku tadi. Aku merasa rendah. Merasa kalau diri ini sudah tidak ada artinya lagi. Setidaknya dia telah menguatkan pandangan buruk kepadaku. Begitulah yang aku rasakan.Duduk di tepi danau sambil memeluk lutut, menatap lurus ke depan. Mencoba tidak lagi terisak dalam tangis, itulah yang sedang aku lakukan. Berharap ucapan Devan tidak lagi menari-nari di telingaku."Mau minum?" Bryan yang baru saja kembali dari mobil, menyodorkan sekaleng mi
Author POV~"Anandita kamu dapat mendengarku? Anandita bangunlah! Apa kau baik-baik saja? Anandita tolong dengarkan aku!" Bryan memukul-mukul wajah Anandita yang terkulai di bahu kekarnya. Berharap gadis itu dapat merespon ucapannya.Tentu keadaan Anandita sedang tidak baik saat ini. Tetapi, kecemasan yang dirasakan Bryan membuatnya kalang kabut. Pria itu mengangkat tubuh Anandita ke tepi danau. Membaringkan gadis itu tepat di mana mereka duduk tadi.Dengan sekujur tubuh yang basah kuyup, Bryan merunduk, mendekatkan telinganya ke hidung Anandita. Mencoba merasakan deruan nafas Anandita yang sama sekali tidak dia rasakan. mengambil tangan gadis itu, lalu merasakan denyut nadinya. Masih sedikit terasa, meski lemah.Cepat Bryan menekan-nekan bagian atas dada Anandita dengan kedua telapak tangannya yang saling bertumpu. Bryan melakukannya berulang kali. Berhenti, lalu mengulanginya lagi. Berharap air danau yang tertelan oleh Anandita bisa segera keluar.
Author POV~Anandita menelan salivanya dengan susah payah, membayangi apa yang mungkin Bryan lakukan pada dirinya. Dia sedang tidak mengenakan pakaian dalam, sudah pasti Bryan yang membukanya. Bukankah laki-laki ini tadi mengaku kalau dia yang telah melucuti dan mengganti pakaiannya?"Kau tidak perlu merasa terkejut seperti itu Anandita! Bukankah aku sudah pernah melihat seluruh tubuhmu?"Pandangan Anandita melayang ke wajah Bryan. Wajah yang menurutnya sangat menyebalkan. Bryan yang melihat tatapan kesal Anandita hanya tersenyum miring."Apa kau berpikir kalo aku menyetubuhimu ketika kau sedang tidak sadarkan diri? Hah!" Bryan tersenyum simpul. Membuat tatapan Anandita semakin menajam. "Kau salah Anandita! Bukankah sudah ku katakan padamu, bahwa aku tidak suka meniduri wanita yang sedang tidak sadarkan diri! Sangat tidak menyenangkan!"Anandita masih terpaku. Menatap tajam wajah yang pria yang sudah membuat hidupnya terombang-ambing. Gadis itu masih sa
Bryan POV~Tuhan! Dingin sekali rasanya kamar ini. Mana harus tidur di lantai seperti ini lagi. Andai saja ada jacketku tertinggal di rumah ini, pasti rasa dinginku sedikit berkurang. Brrr ...! Jika ini bukan karena mu Anandita, aku tidak akan mau berbuat seperti ini.Aku mengeluh dalam hati. Ku peluk tubuhku yang membutuhkan kehangatan. Meringkuk seperti udang yang baru saja direbus. Rasa dingin betul-betul menusuk tulangku. Jika aku tidak menceburkan diri ke danau tadi, mungkin tubuhku tidak selemah ini. Ditambah aku belum makan sesuap nasi sejak siang tadi. Sebenarnya, tadi paman menawarkan aku makanan. Tapi, melihat Anandita yang terbaring tidak sadarkan diri membuat selera makanku hilang.Aku terpaksa tidur di lantai sesuai permintaan Anandita. Padahal sebelumnya, aku juga tidak berbaring di ranjang itu. Aku hanya memangku wajah di atas kedua lengan dan tertidur dalam posisi duduk. Tapi, ketika dia sadar, dia sama sekali tidak mengizinkan aku berdekatan den
Aku terusik ketika cahaya matahari menyapa wajahku. Mataku mengerjap-ngerjap berusaha beradaptasi dengan kondisi sekitar. Baru tersadar kalau aku sedang berada di lingkungan tempat tinggal orang lain. Dan dengan kesadaran itu, aku segera menoleh ke samping. Lebih tepatnya mengarah ke bawah sisi kanan ranjang.Ku cari sosok pria yang tadi malam membuatku serba salah. Dia sudah tidak ada di tempat. Bryan, di mana dia? Kenapa tubuhnya sudah tidak lagi terbaring di lantai itu. Dan ... selimut ini....Spontan aku terduduk dari pembaringan. Ini selimut yang aku pakai untuk menutupi tubuhnya tadi malam. Kenapa selimut ini bisa ada di atas badanku kembali? Dan, bantal ini ... bantal yang berada tepat di sebelahku, ini adalah bantal yang dipakai Bryan tadi malam.Tidak salah lagi. Pasti Bryan yang menyelimuti tubuhku kembali. Dia pasti sudah duluan terjaga. Tapi, di mana dia? Kenapa batang hidungnya tidak kelihatan. Suaranya juga tidak terdengar. Dia masih di sekitar sin
"Maaf!"Kata itu yang keluar dari mulutnya. Apa cuma kata itu yang bisa dia ucapkan. Aku sampai muak mendengarnya.Bryan mengalihkan pandangannya ke nampan. Jelas dia salah tingkah karena kepergok melihat hal yang seharusnya tidak dia lihat. Aku masih saja berusaha menutupi dadaku dengan lengan, meski gundukan dadaku masih sangat terlihat. Bagaimana tidak, dia memakaikan aku kemeja berwarna putih. Dan tidak ada pakaian lagi di dalamnya yang melapisi tubuhku. Sudah pasti pakaian ini sedikit tembus pandang. Membuat bagian tubuhku membayang dari luar kemeja."Duduklah, Anandita! Kau harus mengisi perutmu!" Bryan menengadah. pandangannya sedikit kaku. Sepertinya berusaha menghindari bagian dadaku.Aku menghela nafas panjang. Perutku memang tidak dapat kompromi lagi. Aku harus makan sesuatu saat ini juga. Aroma nasi goreng yang dibawa Bryan sungguh membuat lambungku meronta-ronta.Aku menduduki kursi yang ada di sebelahku. Kursi kayu yang tadi di dorong
"Kau tidak lapar, tapi seporsi nasi goreng habis kau santap." Bibirku langsung maju lima centi saat Bryan menyindirku. Dia terkekeh sambil menggelengkan kepalanya melihatku. Mengambil piring dan cangkirku, menyatukannya di nampan bersama piringnya. Lalu, Bryan pergi meninggalkanku menuju dapur. Tubuhku sudah tidak lagi gemetaran. Perutku sudah terisi dengan makanan yang luar biasa lezat. Hingga seporsi nasi goreng kampung yang tersaji, ludes ku lahap. Tak lupa secangkir teh hangat yang benar-benar membuat tenggorokanku bebas dari dahaga. Hangat dan menyenangkan. Tidak lama kemudian, Bryan datang dengan membawa pakaian di tangannya. Aku tercengang dengan mulut yang tentunya terbuka lebar. Cepat aku bangkit, mendekat ke arahnya dan segera meraih semua pakaianku yang dipegang olehnya. Aku mengatur nafas. Merasa malu karena Bryan tidak hanya memegang kaos dan celana jeansku. Tapi dia juga bra dan celana dalamku! Kini, Bryan yang ikutan tercegang, sama sep
Dalam samar-samar penglihatan, aku mencoba membuka mataku yang terasa berat. Tersenyum ketika melihat suami yang sedang duduk di tepi ranjang. Menggendong bayi mungil kami dengan raut wajah yang sumringah. Aku dan bayiku sudah dibolehkan pulang dua hari yang lalu. Dan tadi, aku disuruh Bryan istirahat sejenak. Dia yang menggantikan tugasku menjaga si baby. Kebetulan hari ini hari libur. Bryan bilang, aku harus banyak istirahat agar tidak terlalu lelah. Agar ASI eksklusif yang aku berikan kepada bayi kami tetap lancar. Maklum, memang belum seminggu aku menjadi seorang ibu. Tapi, semua tanggungjawab ini sudah membuatku kalang kabut. Sebab aku tidak punya pengalaman mengurus bayi. Jangankan bayi, menjaga adik saja aku tidak pernah. Sebab aku kan anak tunggal. "Kau sudah bangun?" tanyanya. Aku mengangguk. Lalu, berusaha untuk duduk dan bersender di ranjang. Ngilu jahitan caesarku masih terasa. "Apa dia rew
Bintang-bintang terlihat begitu cantik menghiasi langit malam yang gelap. Ada bulan separuh di tengah-tengah mereka. Seakan menjadi ratu di antara hamparan bintang-bintang itu.Di balkon kamar, aku berdiri menengadah ke atas langit. Tersenyum dalam lamunan. Menyaksikan indahnya ciptaan Tuhan. Ku elus perutku yang sudah membuncit. Gerakan si jabang bayi langsung menyambut tanganku. Begitu kuat dan aktif. Membuatku tertawa dalam hati.Tidak terasa kini usia kehamilanku sudah memasuki usia 9 bulan. Hamil di usia muda tidak mudah bagiku. Aku sempat mengalami stres saat trimester pertama dan kedua. Panik memikirkan bagaimana rasanya persalinan nanti. Beruntung ibu dan suamiku selalu menyemangatiku, hingga aku dapat menyingkirkan pikiran buruk yang ada di otakku.Sekarang berat badanku naik dua kali lipat. Wajar saja, karena selama hamil, nafsu makanku naik dari biasanya. Ditambah lagi dengan sikap suami yang selalu mengingatk
Perutku benar-benar sedang keroncongan sekarang. Sampai badanku gemetaran karena menahan lapar. Setelah tadi makan siangku tertunda karena jengkel dengan bik Sumi, sekarang aku harus kembali menunda untuk makan. Sebab aku sedang menunggu makanan yang ingin aku cicipi. Nasi goreng kampung buatan suami dadakanku sedang bergumul dalam wajan.Tak pernah ku sangka, aku akan menghadapi hari-hari seperti ini. Rumahku terasa ramai dengan kehadiran suami dadakanku. Bagaimana tidak, dia selalu saja membuatku jengkel. Begitu juga dengan bi Sumi. Mereka bagaikan dua kubu yang berbeda jenis tapi satu haluan. Mahir sekali membuatku kesal.Akan tetapi, kekesalan itu kini berubah 180 derajat. Sepertinya tingkah kedua orang ini sekarang berubah menjadi semacam hiburan bagiku. Sebab aku tidak lagi merasakan yang namanya kesunyian di rumah ini seperti hari-hari sebelumnya. Bryan dan bi Sumi berhasil mengembalikan senyumku.Klentang, klenteng!Suara sendok dan wajan pe
Anandita POV~Aku terbangun saat jam menunjukkan pukul satu siang. Perutku keroncongan. Pantas saja tidurku terganggu, aku kan belum makan siang. Ketika aku membuka mata, tak sengaja pandanganku tertoleh ke samping. Mataku langsung menangkap sosok Bryan yang tertidur pulas di sampingku. Tepatnya di bahuku. Kepalanya bertengger di bahu polosku yang tanpa alas.Melihat keberadaannya, baru aku sadar kenapa tubuhku terasa lelah tak karuan. Aku baru ingat tadi Bryan menjelajahi seluruh lekuk tubuhku hingga akhirnya dia kembali menggauliku. Aku terhanyut dalam sentuhannya, terbuai pada indahnya surga dunia. Meski masih terasa perih, tapi aku menikmati permainannya. Sebab dia melakukannya dengan lembut. Tidak seperti ketika pertama kali dia menjamahku. Begitu kasar dan sama sekali tidak memikirkan kesakitan yang aku rasakan saat itu.Aku mengeliatkan tubuh. Badanku terasa remuk. Persetubuhan yang kami lakukan tadi benar-benar menguras tenaga. Hingga tanpa sengaja kami
Bryan POV~"Kau sudah sadar?" tanyaku ketika Anandita sudah sempurna membuka matanya.Anandita langsung kaget ketika menyadari keberadaanku yang tepat berada di atasnya. Aku duduk di tepi ranjang dengan separuh badan yang mengurung tubuh mungilnya."Kau?""Ssshh ...."Cepat aku menahannya, menenangkannya agar tidak mengamuk seperti biasa. Dan untungnya, dia menurut. Anandita kembali tenang. Meski matanya menyiratkan sebuah ketakutan yang tak menutup kemungkinan adanya pertanyaan di sana."Tenanglah! Kau jangan terlalu banyak bergerak," ucapanku pelan. Mengelus kening atasnya dengan lembut."A-apa yang terjadi padaku? Dan kenapa aku tiba-tiba bisa ada di kamar ini?" tanyanya dengan suara parau."Kau pingsan. Makanya aku membaringkanmu di ranjang.""Pingsan?"Aku mengangguk cepa
Anandita POV~Perutku terasa begah karena memaksakan diri menghabiskan sepiring nasi goreng. Posisiku masih sama seperti tadi. Berhadapan dengannya yang juga telah selesai menyantap sajian bi Sumi. Bahkan saat makan pun, dia tetap fokus melihatku. Mengawasiku agar aku menghabiskan makanan ini. Anehnya, kenapa aku harus takut? Aku benar-benar payah! Sangat pengecut, seperti anak kecil yang takut dimarahi oleh orang tuanya. Oh ... God!Aku mendorong kursi, bangkit dari duduk."Aku mau mandi. Kau tetaplah di sini sampai aku selesai!" titahku pada Bryan.Bryan yang baru saja meneguk segelas air putih, langsung mendongak melihatku."Ngapain aku di sini? Kalau aku ikut denganmu, emang kenapa?" tanyanya menyelidik.Aku mendesah. Melipat kedua tangan ke dada."Kalo kau ikut masuk ke kamar, bagaimana bisa aku memakai pakaianku! Aku tidak terbiasa memakai baju di dalam toilet!" keluhku. Berharap dia mau memahami.Bryan berdehem, menyerin
Ada perasaan yang berbeda bagi Anandita ketika mencicipi masakan bi Sumi. Nasi goreng yang dikunyahnya tidak seperti yang pernah dibuatkan oleh Bryan untuknya, meski nasi goreng itu masih terasa enak, tapi lidah Anandita merindukan nasi goreng buatan suaminya.Pelan Anandita mengunyah makanannya seperti tidak rela makanan itu berada di mulutnya. Bi Sumi yang melihat itu dari kejauhan merasa keheranan. Diamatinya Anandita lekat-lekat. Sambil membawa segelas air putih yang diambilnya dari kulkas."Ada apa Non? Kenapa ngunyahnya kayak gak ikhlas gitu? Apa masakan bibi gak enak ya?" tanya bi Sumi. Meletakkan gelas ke hadapan Anandita."Oh, enggak kok Bi. Nasi gorengnya enak. Cuma ....""Cuma ...??" Bi Sumi membeo."Umm ... cuma ... cuma ... cuma ... entahlah Bi. Entah kenapa rasanya tenggorokanku pahit. Gak nyaman kalo nelan makanan." Anandita beralasan."Oh ... wajar sih Non. Emang gitu kalo lagi hamil. Apalagi Non sedang hamil muda. Wajar kala
Bryan POV~Pagi ini, tidak seperti pagi-pagi biasa. Sebab pagi ini adalah pagi pertamaku bersama wanita yang telah sah menjadi istriku.Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha menyesuaikan cahaya yang menyerang retinaku. Sebelum akhirnya aku menemukan wajah cantik yang berada di dekatku. Kami sama-sama terbaring miring berhadapan. Reflek aku tersenyum ketika menyadari wajah cantik istriku menempel di dadaku.Wajah mulus yang nyaris tidak ada cela ini membuatku terhipnotis. Tuhan ... begitu cantiknya istriku ini. Tak tahan rasanya aku untuk tidak menyentuhnya. Maka, tanganku mulai menghampiri lekuk wajahnya yang terpahat rapi.Kecantikannya tidak berkurang meski dalam keadaan mata terpejam. Anandita, gadisku! Sampai kapan aku bisa menahan untuk tidak menyentuhmu, Sayang. Aku tidak yakin kau akan selamat dari jeratan birahiku. Mungkin aku akan melakukannya lagi saat kau sudah agak tenang. Dan disaat itu, kau akan menyadari betapa sayangnya aku padamu.
Anandita POV~Tak terbayangkan betapa kesalnya rasa hatiku kepada pria yang notabennya sudah resmi menjadi suamiku ini. Bertindak sesuka hati tanpa memikirkan ketakutanku. Aku juga bodoh. Kenapa harus takut pada laki-laki yang telah berbuat jahat kepadaku. Bukankah seharusnya dia yang harus waspada terhadapku? Lalu, kenapa semuanya seakan ... terbalik!Dan karena jeritanku yang tertahan tadi, membuatnya cekikikan dan kembali menutup pintu kamar mandi. Sayup-sayup kudengar dia bernyanyi. Sebuah nyanyian riang. Enjoy di dalam sana seperti orang yang tak pernah melakukan kesalahan apapun terhadapku. Sebal!Well, biarkan saja dia mau melakukan apa. Asal dia tidak menggangguku. Asal dia tidak merepotkanku. Asal dia tidak macam-macam padaku, apalagi sampai menyentuhku. Kalau itu terjadi, aku pastikan dia takkan lagi menempati kamar yang sama denganku.What???Kamar yang sama? Oh, God! Kenapa aku tidak menyadari hal ini sejak tadi. Sejak Oma membawanya ke