"Kau tidak lapar, tapi seporsi nasi goreng habis kau santap."
Bibirku langsung maju lima centi saat Bryan menyindirku. Dia terkekeh sambil menggelengkan kepalanya melihatku. Mengambil piring dan cangkirku, menyatukannya di nampan bersama piringnya. Lalu, Bryan pergi meninggalkanku menuju dapur.
Tubuhku sudah tidak lagi gemetaran. Perutku sudah terisi dengan makanan yang luar biasa lezat. Hingga seporsi nasi goreng kampung yang tersaji, ludes ku lahap. Tak lupa secangkir teh hangat yang benar-benar membuat tenggorokanku bebas dari dahaga. Hangat dan menyenangkan.
Tidak lama kemudian, Bryan datang dengan membawa pakaian di tangannya. Aku tercengang dengan mulut yang tentunya terbuka lebar. Cepat aku bangkit, mendekat ke arahnya dan segera meraih semua pakaianku yang dipegang olehnya. Aku mengatur nafas. Merasa malu karena Bryan tidak hanya memegang kaos dan celana jeansku. Tapi dia juga bra dan celana dalamku!
Kini, Bryan yang ikutan tercegang, sama sep
Bryan membuka pintu mobil dan mempersilakan aku masuk. Aku duduk di kursi sebelah kemudi. Kemudian dia bergegas masuk melalui pintu yang satunya dan duduk di kursi kemudi. Bryan menyalakan mesin mobil, lalu melambaikan tangan ke arah paman yang berdiri di depan pagar rumahnya yang terbuat dari kayu. Aku pun turut melambaikan tangan. Paman tersenyum dan membalas lambaian tangan kami."Hati-hati!" seru paman."Oke!" Bryan menyahut."Da, Paman! Sampai bertemu lagi!" Aku ikutan bersuara.Paman mengangguk. Senyumnya masih stand by di wajahnya yang begitu renta. Di detik berikutnya, Bryan melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Melewati jalan setapak dengan pepohonan yang menjulang tinggi di sisi kiri dan kanan jalan.Selama beberapa menit hanya keheningan yang ada bersama kami. Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka suara. Meski tak ku lihat wajahnya yang berada di sisi kananku."Apa yang kau katakan pada paman? Kenapa pamanmu sampa
Dengan memakai kaos ketat berwarna coklat beserta legging hitam semata kaki, serta wedges putih kesayanganku, aku mengitari kompleks perumahan. Berjalan santai, sengaja membakar tubuh diterik matahari pagi. Setengah jam berkeliling kompleks membuatku sedikit kelelahan. Peluh juga sudah membasahi wajah dan seluruh tubuhku. Dan, aku rasa sudah cukup.Aku duduk di pinggir lapangan badminton yang ada di tengah kompleks. Berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan. Membuka tutup botol minuman yang aku pegang sejak tadi, kemudian meneguk air tersebut. Aku menelannya kasar. Nafasku kembali tersengal.Sumpah! Lelah banget! Rasanya pengen tiduran aja kalo begini.Aku memandang ke sekeliling. Ada beberapa orang yang sedang berlari dan berjalan santai sama sepertiku. Usianya beragam. Ada yang seusiaku ada pula yang paruh baya. Mereka sengaja berolahraga di pagi ini karena memang hari ini adalah hari minggu. Tentu mereka yang biasa ngantor atau sekolah, meluangkan waktu untuk
"Bryan," sapaku dengan pelan.Bryan tersentak. Segera menengadah ke arah wajahku yang berdiri beberapa langkah di dekatnya."Anandita!" balasnya lembut yang hampir saja tidak terdengar olehku.Mataku menangkap kedua bola mata Bryan yang sedikit memerah, dengan kelopak mata yang kendur. Wajahnya terlihat kurang bergairah. Persis seperti orang yang baru saja bangun dari tidur."Apa apa?" tanyaku. Duduk di sofa tepat di hadapannya. Hanya sebuah meja kaca yang menghalangi kami."Euh ... tidak ada!" Bryan mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Menghela nafas berat. Dan berusaha tersenyum kepadaku."Kau masih sakit??""Tidak! Aku baik-baik saja!""Begitu!" balasku datar. Tidak ingin dia merasa istimewa dengan pertanyaanku. "Trus ... mo ngapain, kemari?""Aku hanya ingin bertemu denganmu. Apa tidak boleh?" balasnya.Aku tidak merespon ucapannya. Hanya diam tapi tidak memasang raut wajah marah ataupun senang atas
Tak pernah terlintas di pikiranku, aku akan menolong orang yang aku benci. Orang yang telah membuat alur hidupku berantakan. Bahkan untuk membayangkannya saja aku tidak sudi. Dan sekarang, aku harus melaksanakan itu.Bryan, yang sejak tadi mual dan muntah seperti orang kejijikan akan sesuatu, saat ini tengah berbaring di salah satu kamar tamu yang ada di rumahku. Tadinya aku menyuruhnya untuk segera pulang, karena ku lihat kondisinya belum sembuh total. Tapi bi Sumi mencegahnya, dengan alasan takut di jalan terjadi apa-apa pada laki-laki ini.Menyebalkan! Kenapa bi Sumi harus memperhatikan orang ini? Biarkan saja dia pingsan di tengah jalan. Sekalipun itu terjadi di depanku, aku tidak peduli.Tapi, tunggu dulu! Bukankah Bryan pernah menolongku sebelumnya? Merawat, dan juga menjagaku. Benarkan? Dia memang sudah merebut kegadisanku, tapi dia juga telah menyelamatkan aku dari maut. Jika dia tidak cepat menolongku saat itu, mungkin saja saat ini aku sudah tidak ada
Jika saja kemarin aku tidak ikut dengannya ke desa itu, tentu aku tidak perlu repot-repot melayaninya seperti ini. Sebab aku pasti tidak memiliki hutang budi padanya. Oh, Tuhan! Kenapa semua ini bisa terjadi di alur hidupku! Tidak terlintas sedikitpun dalam pikiranku kalau aku akan mengalami masa rumit nan menjijikkan seperti ini.Aku menghela nafas berat. Satu tanganku terulur bersama sendok berisi nasi dan suwiran daging ayam. Tentu mengarah ke mulut laki-laki yang ada di hadapanku. Dia membuka mulutnya. Dengan tatapan mata yang mengunci seluruh wajahku. Meski aku tidak menemui bola matanya, tapi aku dapat mengetahui tatapannya yang seakan tidak mau berpaling dari wajahku. Aku melihat itu melalui ekor mataku.Tidak ada suara yang keluar dari mulut kami. Aku diam dan enggan memandangnya. Menyulanginya makan adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Bagaimana tidak, bisa-bisanya aku melayani orang yang telah memerkosaku. Merampas segalany
Bibir pria ini pernah menyapa bibirku. Melumatnya dengan kasar dan agresif. Bibir ini yang pertama kali menjelajahi seluruh tubuhku. Membuat bercak-bercak kemerahan di sana. Meninggalkan traumatis dalam diriku. Dan kini, bibir ini kembali menempel di bagian sensitifku. Membuatku tersadar, bahwa aku pun telah terhanyut dalam kehangatan yang dia ciptakan dengan sengaja.Euh!"Minggir kau!"Ku tolak dadanya dengan kasar, hingga dia terdorong ke belakang. Cepat aku berdiri. Mengusap bibirku yang baru saja dia kecup. Dan, leherku yang terasa perih karena gigitan kecilnya. Tanpa sadar, bulir bening dari mataku jatuh membasahi pipi. Batinku berteriak membodohi diriku sendiri."Anandita, maaf!""Diam kau!" bentakku. "Dasar laki-laki sialan! Taunya memanfaatkan keadaan! Apa kau tidak sadar dengan perbuatanmu ini!"Aku terisak. Emosiku melonjak seketika."Aku tidak bermaksud untuk membuatmu ....""Aku bilang diam!" bentakku lagi. K
Anandita masih belum sadar saat bagian tubuhnya dimasuki jarum infus. Aku membawanya ke rumah sakit terdekat. Suhu tubuhnya panas, dan kata bi Sumi demamnya sudah seminggu naik turun. Itu berarti semenjak dia bersamaku terakhir kalinya, Anandita belum juga sehat. Aku ingat saat itu dia juga sedang tidak enak badan sama sepertiku.Aku duduk di samping ranjangnya. Membelai-belai puncak kepalanya. Berharap gadis ini segera bangun dari tidurnya. Wajahnya terlihat sangat pucat. Dan kulihat berat badannya sedikit menurun. Dia terlihat kurus dari biasanya.Tak pernah terpikirkan olehku, aku akan menjadi seperti ini. Mengemis cinta pada seorang wanita yang telah aku tiduri. Selalu mengalah ketika dia menghendaki sesuatu. Bahkan, aku sendiri tidak mengerti kenapa perasaan sayangku kepadanya begitu dalam. Hingga rasa itu berubah menjadi ketakutan. Takut akan kehilangan dirinya. Atau aku hanya tidak ingin dia lepas dari genggamanku?Di kamar rawat inap ini hanya ada aku ya
Apakah ini yang disebut sebuah keberuntungan mendadak? Atau malah awal dari kehancuranku?Anandita Aldaina. Seorang gadis berwajah rupawan, yang kesuciannya telah aku renggut secara paksa beberapa minggu yang lalu, saat ini tengah mengandung bayiku. Benihku telah bersemayam di rahimnya. Pantas saja dia terlihat begitu pucat beberapa hari ini. Aku yakin, dan sangat yakin kalau janin yang berada di rahimnya adalah janinku. Karena aku laki-laki pertama yang menidurinya beberapa hari yang lalu.Aku menyentuh dadaku. Merasakan sebuah kebahagiaan yang tiba-tiba hadir menyapa. Ingin tersenyum, namun bibirku terasa berat untuk aku gerakkan. Aku bahagia, tapi disisi lain merasa tertantang untuk menyampaikan hal ini kepadanya. Kepada gadis yang sudah berani mencuri jiwaku.Aku tidak tahu nantinya Anandita mau menerimaku atau tidak. Yang jelas aku harus mengatakan ini kepadanya. Bagaimanapun juga dia harus tahu kalau dia sedang mengandung bayiku. Dan aku akan bertanggungja