Tak pernah terlintas di pikiranku, aku akan menolong orang yang aku benci. Orang yang telah membuat alur hidupku berantakan. Bahkan untuk membayangkannya saja aku tidak sudi. Dan sekarang, aku harus melaksanakan itu.
Bryan, yang sejak tadi mual dan muntah seperti orang kejijikan akan sesuatu, saat ini tengah berbaring di salah satu kamar tamu yang ada di rumahku. Tadinya aku menyuruhnya untuk segera pulang, karena ku lihat kondisinya belum sembuh total. Tapi bi Sumi mencegahnya, dengan alasan takut di jalan terjadi apa-apa pada laki-laki ini.
Menyebalkan! Kenapa bi Sumi harus memperhatikan orang ini? Biarkan saja dia pingsan di tengah jalan. Sekalipun itu terjadi di depanku, aku tidak peduli.
Tapi, tunggu dulu! Bukankah Bryan pernah menolongku sebelumnya? Merawat, dan juga menjagaku. Benarkan? Dia memang sudah merebut kegadisanku, tapi dia juga telah menyelamatkan aku dari maut. Jika dia tidak cepat menolongku saat itu, mungkin saja saat ini aku sudah tidak ada
Jika saja kemarin aku tidak ikut dengannya ke desa itu, tentu aku tidak perlu repot-repot melayaninya seperti ini. Sebab aku pasti tidak memiliki hutang budi padanya. Oh, Tuhan! Kenapa semua ini bisa terjadi di alur hidupku! Tidak terlintas sedikitpun dalam pikiranku kalau aku akan mengalami masa rumit nan menjijikkan seperti ini.Aku menghela nafas berat. Satu tanganku terulur bersama sendok berisi nasi dan suwiran daging ayam. Tentu mengarah ke mulut laki-laki yang ada di hadapanku. Dia membuka mulutnya. Dengan tatapan mata yang mengunci seluruh wajahku. Meski aku tidak menemui bola matanya, tapi aku dapat mengetahui tatapannya yang seakan tidak mau berpaling dari wajahku. Aku melihat itu melalui ekor mataku.Tidak ada suara yang keluar dari mulut kami. Aku diam dan enggan memandangnya. Menyulanginya makan adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Bagaimana tidak, bisa-bisanya aku melayani orang yang telah memerkosaku. Merampas segalany
Bibir pria ini pernah menyapa bibirku. Melumatnya dengan kasar dan agresif. Bibir ini yang pertama kali menjelajahi seluruh tubuhku. Membuat bercak-bercak kemerahan di sana. Meninggalkan traumatis dalam diriku. Dan kini, bibir ini kembali menempel di bagian sensitifku. Membuatku tersadar, bahwa aku pun telah terhanyut dalam kehangatan yang dia ciptakan dengan sengaja.Euh!"Minggir kau!"Ku tolak dadanya dengan kasar, hingga dia terdorong ke belakang. Cepat aku berdiri. Mengusap bibirku yang baru saja dia kecup. Dan, leherku yang terasa perih karena gigitan kecilnya. Tanpa sadar, bulir bening dari mataku jatuh membasahi pipi. Batinku berteriak membodohi diriku sendiri."Anandita, maaf!""Diam kau!" bentakku. "Dasar laki-laki sialan! Taunya memanfaatkan keadaan! Apa kau tidak sadar dengan perbuatanmu ini!"Aku terisak. Emosiku melonjak seketika."Aku tidak bermaksud untuk membuatmu ....""Aku bilang diam!" bentakku lagi. K
Anandita masih belum sadar saat bagian tubuhnya dimasuki jarum infus. Aku membawanya ke rumah sakit terdekat. Suhu tubuhnya panas, dan kata bi Sumi demamnya sudah seminggu naik turun. Itu berarti semenjak dia bersamaku terakhir kalinya, Anandita belum juga sehat. Aku ingat saat itu dia juga sedang tidak enak badan sama sepertiku.Aku duduk di samping ranjangnya. Membelai-belai puncak kepalanya. Berharap gadis ini segera bangun dari tidurnya. Wajahnya terlihat sangat pucat. Dan kulihat berat badannya sedikit menurun. Dia terlihat kurus dari biasanya.Tak pernah terpikirkan olehku, aku akan menjadi seperti ini. Mengemis cinta pada seorang wanita yang telah aku tiduri. Selalu mengalah ketika dia menghendaki sesuatu. Bahkan, aku sendiri tidak mengerti kenapa perasaan sayangku kepadanya begitu dalam. Hingga rasa itu berubah menjadi ketakutan. Takut akan kehilangan dirinya. Atau aku hanya tidak ingin dia lepas dari genggamanku?Di kamar rawat inap ini hanya ada aku ya
Apakah ini yang disebut sebuah keberuntungan mendadak? Atau malah awal dari kehancuranku?Anandita Aldaina. Seorang gadis berwajah rupawan, yang kesuciannya telah aku renggut secara paksa beberapa minggu yang lalu, saat ini tengah mengandung bayiku. Benihku telah bersemayam di rahimnya. Pantas saja dia terlihat begitu pucat beberapa hari ini. Aku yakin, dan sangat yakin kalau janin yang berada di rahimnya adalah janinku. Karena aku laki-laki pertama yang menidurinya beberapa hari yang lalu.Aku menyentuh dadaku. Merasakan sebuah kebahagiaan yang tiba-tiba hadir menyapa. Ingin tersenyum, namun bibirku terasa berat untuk aku gerakkan. Aku bahagia, tapi disisi lain merasa tertantang untuk menyampaikan hal ini kepadanya. Kepada gadis yang sudah berani mencuri jiwaku.Aku tidak tahu nantinya Anandita mau menerimaku atau tidak. Yang jelas aku harus mengatakan ini kepadanya. Bagaimanapun juga dia harus tahu kalau dia sedang mengandung bayiku. Dan aku akan bertanggungja
"Bryan, kau ingin membuatku mati karena penasaran!!" Mataku melotot sempurna. Terus memaksanya agar membuka suara. Tapi dia bukannya menjawab, malah anteng membawa mangkuk bubur yang telah kosong dan meletakkannya di depan pintu."Kau penasaran?" Dia berjalan mendekati ku kembali. "Aku ingin tahu sampai sejauh mana rasa penasaranmu itu.""Bryan! Aku serius!" desisku."Sudah ku katakan padamu, kalau aku akan memberitahumu setelah kau baikkan, atau mungkin setelah kau keluar dari rumah sakit ini. Maka, segeralah sembuh dan sehat seperti biasa." Bryan menatapku dengan mata yang menyala.Apa maksud dari ucapannya? Kenapa dia begitu keras menyembunyikan apa yang dia ketahui dari dokter. Bukankah aku juga berhak tahu tentang penyakit yang aku derita?"Jika kau tidak mengatakannya, lalu bagaimana aku tahu tentang penyakitku!""Penyakitmu?" Dia menarik kursi, duduk kembali di sebelah ranjangku."Iya! Aku tahu kau sedang menyembunyikan v
Author POV~Dunia seakan berhenti berputar bagi gadis cantik bermata sendu itu. Dia berharap kalau tadi pendengarannya keliru. Namun, Bryan kembali meyakinkan dirinya. Membuat dirinya sadar kalau ini bukanlah mimpi.Anandita, harus menerima kenyataan bahwa dirinya sedang mengandung. Dia hamil. Dan itu bukanlah hal yang dia inginkan. Pernah bermimpi menjadi seorang ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak, tapi tidak untuk saat ini. Saat dirinya sama sekali tidak memiliki ikatan pernikahan. Meski laki-laki yang menghamilinya bersedia bertanggungjawab atas perbuatannya. Tapi Anandita tetap tidak bisa menerimanya semudah itu.Dan, bulir-bulir bening itu pun lolos dari mata gadis itu tanpa dia harus susah-susah berkedip. Sorot matanya masih lurus memandang mata Bryan dengan luapan emosi yang berkecamuk. Sepasang manik matanya masih bergulat dalam kubangan mata Bryan yang membiarkan mata gadis itu seakan ingin menerkam.
Derai air mata Anandita tidak juga kunjung berhenti. Ditengah-tengah kefrustasiannya, dia terisak pilu. Tidak percaya kalau dirinya sedang berbadan dua. Tidak percaya kalau dia berstatus calon ibu. Namun, satu yang dia percaya, hidupnya kini sudah benar-benar HANCUR!Sempurna!Lengkap sudah penderitaan yang ditanggungnya. Menjadi korban pemerkosaan, harus menerima kenyataan bahwa mahkotanya sudah terenggut, dihina dan direndahkan oleh sang mantan pacar yang meski sekalipun tidak pernah ia akui sebagai kekasih. Dan kini kembali dihadapi dengan kenyataan pahit yang membuat dirinya kecewa. Secara terpaksa harus menerima kalau rahimnya sedang dihuni makhluk kecil.Ada janin yang berkembang dalam tubuhnya. Ada kehidupan di sana. Meski belum menunjukkan tanda-tanda pergerakan, tapi janin tersebut meresponnya dengan rasa tidak nyaman yang dia rasakan sejak dua minggu belakangan ini. Sebab itu, Anandita tidak dapat lagi mengelak. Anandita tidak bisa membohongi dirinya s
'Sayang, mungkin ini sudah jalanmu. Kamu berjodoh dengan orang yang belum lama kamu kenal. Mau tidak mau, kamu harus segera menikah dengannya. Agar kelak anakmu tidak menyandang status tak jelas karena tidak tahu siapa ayahnya. Jadi, Ibu sangat berharap agar kamu mau menyambut uluran tangannya. Bersedialah menikah dengannya. Terimalah niat baiknya. Meski ini sangat memukul perasaanmu, meski kamu tidak bisa menerimanya, Ibu mohon ... jangan lagi menolak keinginannya untuk menikahimu. Agar kamu tidak menanggung malu. Agar nama baik keluarga kita tetap terjaga.' Agar nama baik keluarga kita tetap terjaga! Anandita memejamkan matanya semakin dalam. Jelas masih terngiang di telinganya ucapan sang ibu yang menyarankan agar dirinya segera menikah. Memintanya untuk menerima apa yang diinginkan Bryan. Agar masa depannya tidak terombang-ambing. Agar dia terlindung dari hinaan orang, meski yang dia tahu hidupnya sudah hancur, tidak ada gunanya lagi
Dalam samar-samar penglihatan, aku mencoba membuka mataku yang terasa berat. Tersenyum ketika melihat suami yang sedang duduk di tepi ranjang. Menggendong bayi mungil kami dengan raut wajah yang sumringah. Aku dan bayiku sudah dibolehkan pulang dua hari yang lalu. Dan tadi, aku disuruh Bryan istirahat sejenak. Dia yang menggantikan tugasku menjaga si baby. Kebetulan hari ini hari libur. Bryan bilang, aku harus banyak istirahat agar tidak terlalu lelah. Agar ASI eksklusif yang aku berikan kepada bayi kami tetap lancar. Maklum, memang belum seminggu aku menjadi seorang ibu. Tapi, semua tanggungjawab ini sudah membuatku kalang kabut. Sebab aku tidak punya pengalaman mengurus bayi. Jangankan bayi, menjaga adik saja aku tidak pernah. Sebab aku kan anak tunggal. "Kau sudah bangun?" tanyanya. Aku mengangguk. Lalu, berusaha untuk duduk dan bersender di ranjang. Ngilu jahitan caesarku masih terasa. "Apa dia rew
Bintang-bintang terlihat begitu cantik menghiasi langit malam yang gelap. Ada bulan separuh di tengah-tengah mereka. Seakan menjadi ratu di antara hamparan bintang-bintang itu.Di balkon kamar, aku berdiri menengadah ke atas langit. Tersenyum dalam lamunan. Menyaksikan indahnya ciptaan Tuhan. Ku elus perutku yang sudah membuncit. Gerakan si jabang bayi langsung menyambut tanganku. Begitu kuat dan aktif. Membuatku tertawa dalam hati.Tidak terasa kini usia kehamilanku sudah memasuki usia 9 bulan. Hamil di usia muda tidak mudah bagiku. Aku sempat mengalami stres saat trimester pertama dan kedua. Panik memikirkan bagaimana rasanya persalinan nanti. Beruntung ibu dan suamiku selalu menyemangatiku, hingga aku dapat menyingkirkan pikiran buruk yang ada di otakku.Sekarang berat badanku naik dua kali lipat. Wajar saja, karena selama hamil, nafsu makanku naik dari biasanya. Ditambah lagi dengan sikap suami yang selalu mengingatk
Perutku benar-benar sedang keroncongan sekarang. Sampai badanku gemetaran karena menahan lapar. Setelah tadi makan siangku tertunda karena jengkel dengan bik Sumi, sekarang aku harus kembali menunda untuk makan. Sebab aku sedang menunggu makanan yang ingin aku cicipi. Nasi goreng kampung buatan suami dadakanku sedang bergumul dalam wajan.Tak pernah ku sangka, aku akan menghadapi hari-hari seperti ini. Rumahku terasa ramai dengan kehadiran suami dadakanku. Bagaimana tidak, dia selalu saja membuatku jengkel. Begitu juga dengan bi Sumi. Mereka bagaikan dua kubu yang berbeda jenis tapi satu haluan. Mahir sekali membuatku kesal.Akan tetapi, kekesalan itu kini berubah 180 derajat. Sepertinya tingkah kedua orang ini sekarang berubah menjadi semacam hiburan bagiku. Sebab aku tidak lagi merasakan yang namanya kesunyian di rumah ini seperti hari-hari sebelumnya. Bryan dan bi Sumi berhasil mengembalikan senyumku.Klentang, klenteng!Suara sendok dan wajan pe
Anandita POV~Aku terbangun saat jam menunjukkan pukul satu siang. Perutku keroncongan. Pantas saja tidurku terganggu, aku kan belum makan siang. Ketika aku membuka mata, tak sengaja pandanganku tertoleh ke samping. Mataku langsung menangkap sosok Bryan yang tertidur pulas di sampingku. Tepatnya di bahuku. Kepalanya bertengger di bahu polosku yang tanpa alas.Melihat keberadaannya, baru aku sadar kenapa tubuhku terasa lelah tak karuan. Aku baru ingat tadi Bryan menjelajahi seluruh lekuk tubuhku hingga akhirnya dia kembali menggauliku. Aku terhanyut dalam sentuhannya, terbuai pada indahnya surga dunia. Meski masih terasa perih, tapi aku menikmati permainannya. Sebab dia melakukannya dengan lembut. Tidak seperti ketika pertama kali dia menjamahku. Begitu kasar dan sama sekali tidak memikirkan kesakitan yang aku rasakan saat itu.Aku mengeliatkan tubuh. Badanku terasa remuk. Persetubuhan yang kami lakukan tadi benar-benar menguras tenaga. Hingga tanpa sengaja kami
Bryan POV~"Kau sudah sadar?" tanyaku ketika Anandita sudah sempurna membuka matanya.Anandita langsung kaget ketika menyadari keberadaanku yang tepat berada di atasnya. Aku duduk di tepi ranjang dengan separuh badan yang mengurung tubuh mungilnya."Kau?""Ssshh ...."Cepat aku menahannya, menenangkannya agar tidak mengamuk seperti biasa. Dan untungnya, dia menurut. Anandita kembali tenang. Meski matanya menyiratkan sebuah ketakutan yang tak menutup kemungkinan adanya pertanyaan di sana."Tenanglah! Kau jangan terlalu banyak bergerak," ucapanku pelan. Mengelus kening atasnya dengan lembut."A-apa yang terjadi padaku? Dan kenapa aku tiba-tiba bisa ada di kamar ini?" tanyanya dengan suara parau."Kau pingsan. Makanya aku membaringkanmu di ranjang.""Pingsan?"Aku mengangguk cepa
Anandita POV~Perutku terasa begah karena memaksakan diri menghabiskan sepiring nasi goreng. Posisiku masih sama seperti tadi. Berhadapan dengannya yang juga telah selesai menyantap sajian bi Sumi. Bahkan saat makan pun, dia tetap fokus melihatku. Mengawasiku agar aku menghabiskan makanan ini. Anehnya, kenapa aku harus takut? Aku benar-benar payah! Sangat pengecut, seperti anak kecil yang takut dimarahi oleh orang tuanya. Oh ... God!Aku mendorong kursi, bangkit dari duduk."Aku mau mandi. Kau tetaplah di sini sampai aku selesai!" titahku pada Bryan.Bryan yang baru saja meneguk segelas air putih, langsung mendongak melihatku."Ngapain aku di sini? Kalau aku ikut denganmu, emang kenapa?" tanyanya menyelidik.Aku mendesah. Melipat kedua tangan ke dada."Kalo kau ikut masuk ke kamar, bagaimana bisa aku memakai pakaianku! Aku tidak terbiasa memakai baju di dalam toilet!" keluhku. Berharap dia mau memahami.Bryan berdehem, menyerin
Ada perasaan yang berbeda bagi Anandita ketika mencicipi masakan bi Sumi. Nasi goreng yang dikunyahnya tidak seperti yang pernah dibuatkan oleh Bryan untuknya, meski nasi goreng itu masih terasa enak, tapi lidah Anandita merindukan nasi goreng buatan suaminya.Pelan Anandita mengunyah makanannya seperti tidak rela makanan itu berada di mulutnya. Bi Sumi yang melihat itu dari kejauhan merasa keheranan. Diamatinya Anandita lekat-lekat. Sambil membawa segelas air putih yang diambilnya dari kulkas."Ada apa Non? Kenapa ngunyahnya kayak gak ikhlas gitu? Apa masakan bibi gak enak ya?" tanya bi Sumi. Meletakkan gelas ke hadapan Anandita."Oh, enggak kok Bi. Nasi gorengnya enak. Cuma ....""Cuma ...??" Bi Sumi membeo."Umm ... cuma ... cuma ... cuma ... entahlah Bi. Entah kenapa rasanya tenggorokanku pahit. Gak nyaman kalo nelan makanan." Anandita beralasan."Oh ... wajar sih Non. Emang gitu kalo lagi hamil. Apalagi Non sedang hamil muda. Wajar kala
Bryan POV~Pagi ini, tidak seperti pagi-pagi biasa. Sebab pagi ini adalah pagi pertamaku bersama wanita yang telah sah menjadi istriku.Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha menyesuaikan cahaya yang menyerang retinaku. Sebelum akhirnya aku menemukan wajah cantik yang berada di dekatku. Kami sama-sama terbaring miring berhadapan. Reflek aku tersenyum ketika menyadari wajah cantik istriku menempel di dadaku.Wajah mulus yang nyaris tidak ada cela ini membuatku terhipnotis. Tuhan ... begitu cantiknya istriku ini. Tak tahan rasanya aku untuk tidak menyentuhnya. Maka, tanganku mulai menghampiri lekuk wajahnya yang terpahat rapi.Kecantikannya tidak berkurang meski dalam keadaan mata terpejam. Anandita, gadisku! Sampai kapan aku bisa menahan untuk tidak menyentuhmu, Sayang. Aku tidak yakin kau akan selamat dari jeratan birahiku. Mungkin aku akan melakukannya lagi saat kau sudah agak tenang. Dan disaat itu, kau akan menyadari betapa sayangnya aku padamu.
Anandita POV~Tak terbayangkan betapa kesalnya rasa hatiku kepada pria yang notabennya sudah resmi menjadi suamiku ini. Bertindak sesuka hati tanpa memikirkan ketakutanku. Aku juga bodoh. Kenapa harus takut pada laki-laki yang telah berbuat jahat kepadaku. Bukankah seharusnya dia yang harus waspada terhadapku? Lalu, kenapa semuanya seakan ... terbalik!Dan karena jeritanku yang tertahan tadi, membuatnya cekikikan dan kembali menutup pintu kamar mandi. Sayup-sayup kudengar dia bernyanyi. Sebuah nyanyian riang. Enjoy di dalam sana seperti orang yang tak pernah melakukan kesalahan apapun terhadapku. Sebal!Well, biarkan saja dia mau melakukan apa. Asal dia tidak menggangguku. Asal dia tidak merepotkanku. Asal dia tidak macam-macam padaku, apalagi sampai menyentuhku. Kalau itu terjadi, aku pastikan dia takkan lagi menempati kamar yang sama denganku.What???Kamar yang sama? Oh, God! Kenapa aku tidak menyadari hal ini sejak tadi. Sejak Oma membawanya ke