Author POV~
Anandita menelan salivanya dengan susah payah, membayangi apa yang mungkin Bryan lakukan pada dirinya. Dia sedang tidak mengenakan pakaian dalam, sudah pasti Bryan yang membukanya. Bukankah laki-laki ini tadi mengaku kalau dia yang telah melucuti dan mengganti pakaiannya?
"Kau tidak perlu merasa terkejut seperti itu Anandita! Bukankah aku sudah pernah melihat seluruh tubuhmu?"
Pandangan Anandita melayang ke wajah Bryan. Wajah yang menurutnya sangat menyebalkan. Bryan yang melihat tatapan kesal Anandita hanya tersenyum miring.
"Apa kau berpikir kalo aku menyetubuhimu ketika kau sedang tidak sadarkan diri? Hah!" Bryan tersenyum simpul. Membuat tatapan Anandita semakin menajam. "Kau salah Anandita! Bukankah sudah ku katakan padamu, bahwa aku tidak suka meniduri wanita yang sedang tidak sadarkan diri! Sangat tidak menyenangkan!"
Anandita masih terpaku. Menatap tajam wajah yang pria yang sudah membuat hidupnya terombang-ambing. Gadis itu masih sa
Bryan POV~Tuhan! Dingin sekali rasanya kamar ini. Mana harus tidur di lantai seperti ini lagi. Andai saja ada jacketku tertinggal di rumah ini, pasti rasa dinginku sedikit berkurang. Brrr ...! Jika ini bukan karena mu Anandita, aku tidak akan mau berbuat seperti ini.Aku mengeluh dalam hati. Ku peluk tubuhku yang membutuhkan kehangatan. Meringkuk seperti udang yang baru saja direbus. Rasa dingin betul-betul menusuk tulangku. Jika aku tidak menceburkan diri ke danau tadi, mungkin tubuhku tidak selemah ini. Ditambah aku belum makan sesuap nasi sejak siang tadi. Sebenarnya, tadi paman menawarkan aku makanan. Tapi, melihat Anandita yang terbaring tidak sadarkan diri membuat selera makanku hilang.Aku terpaksa tidur di lantai sesuai permintaan Anandita. Padahal sebelumnya, aku juga tidak berbaring di ranjang itu. Aku hanya memangku wajah di atas kedua lengan dan tertidur dalam posisi duduk. Tapi, ketika dia sadar, dia sama sekali tidak mengizinkan aku berdekatan den
Aku terusik ketika cahaya matahari menyapa wajahku. Mataku mengerjap-ngerjap berusaha beradaptasi dengan kondisi sekitar. Baru tersadar kalau aku sedang berada di lingkungan tempat tinggal orang lain. Dan dengan kesadaran itu, aku segera menoleh ke samping. Lebih tepatnya mengarah ke bawah sisi kanan ranjang.Ku cari sosok pria yang tadi malam membuatku serba salah. Dia sudah tidak ada di tempat. Bryan, di mana dia? Kenapa tubuhnya sudah tidak lagi terbaring di lantai itu. Dan ... selimut ini....Spontan aku terduduk dari pembaringan. Ini selimut yang aku pakai untuk menutupi tubuhnya tadi malam. Kenapa selimut ini bisa ada di atas badanku kembali? Dan, bantal ini ... bantal yang berada tepat di sebelahku, ini adalah bantal yang dipakai Bryan tadi malam.Tidak salah lagi. Pasti Bryan yang menyelimuti tubuhku kembali. Dia pasti sudah duluan terjaga. Tapi, di mana dia? Kenapa batang hidungnya tidak kelihatan. Suaranya juga tidak terdengar. Dia masih di sekitar sin
"Maaf!"Kata itu yang keluar dari mulutnya. Apa cuma kata itu yang bisa dia ucapkan. Aku sampai muak mendengarnya.Bryan mengalihkan pandangannya ke nampan. Jelas dia salah tingkah karena kepergok melihat hal yang seharusnya tidak dia lihat. Aku masih saja berusaha menutupi dadaku dengan lengan, meski gundukan dadaku masih sangat terlihat. Bagaimana tidak, dia memakaikan aku kemeja berwarna putih. Dan tidak ada pakaian lagi di dalamnya yang melapisi tubuhku. Sudah pasti pakaian ini sedikit tembus pandang. Membuat bagian tubuhku membayang dari luar kemeja."Duduklah, Anandita! Kau harus mengisi perutmu!" Bryan menengadah. pandangannya sedikit kaku. Sepertinya berusaha menghindari bagian dadaku.Aku menghela nafas panjang. Perutku memang tidak dapat kompromi lagi. Aku harus makan sesuatu saat ini juga. Aroma nasi goreng yang dibawa Bryan sungguh membuat lambungku meronta-ronta.Aku menduduki kursi yang ada di sebelahku. Kursi kayu yang tadi di dorong
"Kau tidak lapar, tapi seporsi nasi goreng habis kau santap." Bibirku langsung maju lima centi saat Bryan menyindirku. Dia terkekeh sambil menggelengkan kepalanya melihatku. Mengambil piring dan cangkirku, menyatukannya di nampan bersama piringnya. Lalu, Bryan pergi meninggalkanku menuju dapur. Tubuhku sudah tidak lagi gemetaran. Perutku sudah terisi dengan makanan yang luar biasa lezat. Hingga seporsi nasi goreng kampung yang tersaji, ludes ku lahap. Tak lupa secangkir teh hangat yang benar-benar membuat tenggorokanku bebas dari dahaga. Hangat dan menyenangkan. Tidak lama kemudian, Bryan datang dengan membawa pakaian di tangannya. Aku tercengang dengan mulut yang tentunya terbuka lebar. Cepat aku bangkit, mendekat ke arahnya dan segera meraih semua pakaianku yang dipegang olehnya. Aku mengatur nafas. Merasa malu karena Bryan tidak hanya memegang kaos dan celana jeansku. Tapi dia juga bra dan celana dalamku! Kini, Bryan yang ikutan tercegang, sama sep
Bryan membuka pintu mobil dan mempersilakan aku masuk. Aku duduk di kursi sebelah kemudi. Kemudian dia bergegas masuk melalui pintu yang satunya dan duduk di kursi kemudi. Bryan menyalakan mesin mobil, lalu melambaikan tangan ke arah paman yang berdiri di depan pagar rumahnya yang terbuat dari kayu. Aku pun turut melambaikan tangan. Paman tersenyum dan membalas lambaian tangan kami."Hati-hati!" seru paman."Oke!" Bryan menyahut."Da, Paman! Sampai bertemu lagi!" Aku ikutan bersuara.Paman mengangguk. Senyumnya masih stand by di wajahnya yang begitu renta. Di detik berikutnya, Bryan melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Melewati jalan setapak dengan pepohonan yang menjulang tinggi di sisi kiri dan kanan jalan.Selama beberapa menit hanya keheningan yang ada bersama kami. Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka suara. Meski tak ku lihat wajahnya yang berada di sisi kananku."Apa yang kau katakan pada paman? Kenapa pamanmu sampa
Dengan memakai kaos ketat berwarna coklat beserta legging hitam semata kaki, serta wedges putih kesayanganku, aku mengitari kompleks perumahan. Berjalan santai, sengaja membakar tubuh diterik matahari pagi. Setengah jam berkeliling kompleks membuatku sedikit kelelahan. Peluh juga sudah membasahi wajah dan seluruh tubuhku. Dan, aku rasa sudah cukup.Aku duduk di pinggir lapangan badminton yang ada di tengah kompleks. Berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan. Membuka tutup botol minuman yang aku pegang sejak tadi, kemudian meneguk air tersebut. Aku menelannya kasar. Nafasku kembali tersengal.Sumpah! Lelah banget! Rasanya pengen tiduran aja kalo begini.Aku memandang ke sekeliling. Ada beberapa orang yang sedang berlari dan berjalan santai sama sepertiku. Usianya beragam. Ada yang seusiaku ada pula yang paruh baya. Mereka sengaja berolahraga di pagi ini karena memang hari ini adalah hari minggu. Tentu mereka yang biasa ngantor atau sekolah, meluangkan waktu untuk
"Bryan," sapaku dengan pelan.Bryan tersentak. Segera menengadah ke arah wajahku yang berdiri beberapa langkah di dekatnya."Anandita!" balasnya lembut yang hampir saja tidak terdengar olehku.Mataku menangkap kedua bola mata Bryan yang sedikit memerah, dengan kelopak mata yang kendur. Wajahnya terlihat kurang bergairah. Persis seperti orang yang baru saja bangun dari tidur."Apa apa?" tanyaku. Duduk di sofa tepat di hadapannya. Hanya sebuah meja kaca yang menghalangi kami."Euh ... tidak ada!" Bryan mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Menghela nafas berat. Dan berusaha tersenyum kepadaku."Kau masih sakit??""Tidak! Aku baik-baik saja!""Begitu!" balasku datar. Tidak ingin dia merasa istimewa dengan pertanyaanku. "Trus ... mo ngapain, kemari?""Aku hanya ingin bertemu denganmu. Apa tidak boleh?" balasnya.Aku tidak merespon ucapannya. Hanya diam tapi tidak memasang raut wajah marah ataupun senang atas
Tak pernah terlintas di pikiranku, aku akan menolong orang yang aku benci. Orang yang telah membuat alur hidupku berantakan. Bahkan untuk membayangkannya saja aku tidak sudi. Dan sekarang, aku harus melaksanakan itu.Bryan, yang sejak tadi mual dan muntah seperti orang kejijikan akan sesuatu, saat ini tengah berbaring di salah satu kamar tamu yang ada di rumahku. Tadinya aku menyuruhnya untuk segera pulang, karena ku lihat kondisinya belum sembuh total. Tapi bi Sumi mencegahnya, dengan alasan takut di jalan terjadi apa-apa pada laki-laki ini.Menyebalkan! Kenapa bi Sumi harus memperhatikan orang ini? Biarkan saja dia pingsan di tengah jalan. Sekalipun itu terjadi di depanku, aku tidak peduli.Tapi, tunggu dulu! Bukankah Bryan pernah menolongku sebelumnya? Merawat, dan juga menjagaku. Benarkan? Dia memang sudah merebut kegadisanku, tapi dia juga telah menyelamatkan aku dari maut. Jika dia tidak cepat menolongku saat itu, mungkin saja saat ini aku sudah tidak ada