Aku terusik ketika cahaya matahari menyapa wajahku. Mataku mengerjap-ngerjap berusaha beradaptasi dengan kondisi sekitar. Baru tersadar kalau aku sedang berada di lingkungan tempat tinggal orang lain. Dan dengan kesadaran itu, aku segera menoleh ke samping. Lebih tepatnya mengarah ke bawah sisi kanan ranjang.
Ku cari sosok pria yang tadi malam membuatku serba salah. Dia sudah tidak ada di tempat. Bryan, di mana dia? Kenapa tubuhnya sudah tidak lagi terbaring di lantai itu. Dan ... selimut ini....
Spontan aku terduduk dari pembaringan. Ini selimut yang aku pakai untuk menutupi tubuhnya tadi malam. Kenapa selimut ini bisa ada di atas badanku kembali? Dan, bantal ini ... bantal yang berada tepat di sebelahku, ini adalah bantal yang dipakai Bryan tadi malam.
Tidak salah lagi. Pasti Bryan yang menyelimuti tubuhku kembali. Dia pasti sudah duluan terjaga. Tapi, di mana dia? Kenapa batang hidungnya tidak kelihatan. Suaranya juga tidak terdengar. Dia masih di sekitar sin
"Maaf!"Kata itu yang keluar dari mulutnya. Apa cuma kata itu yang bisa dia ucapkan. Aku sampai muak mendengarnya.Bryan mengalihkan pandangannya ke nampan. Jelas dia salah tingkah karena kepergok melihat hal yang seharusnya tidak dia lihat. Aku masih saja berusaha menutupi dadaku dengan lengan, meski gundukan dadaku masih sangat terlihat. Bagaimana tidak, dia memakaikan aku kemeja berwarna putih. Dan tidak ada pakaian lagi di dalamnya yang melapisi tubuhku. Sudah pasti pakaian ini sedikit tembus pandang. Membuat bagian tubuhku membayang dari luar kemeja."Duduklah, Anandita! Kau harus mengisi perutmu!" Bryan menengadah. pandangannya sedikit kaku. Sepertinya berusaha menghindari bagian dadaku.Aku menghela nafas panjang. Perutku memang tidak dapat kompromi lagi. Aku harus makan sesuatu saat ini juga. Aroma nasi goreng yang dibawa Bryan sungguh membuat lambungku meronta-ronta.Aku menduduki kursi yang ada di sebelahku. Kursi kayu yang tadi di dorong
"Kau tidak lapar, tapi seporsi nasi goreng habis kau santap." Bibirku langsung maju lima centi saat Bryan menyindirku. Dia terkekeh sambil menggelengkan kepalanya melihatku. Mengambil piring dan cangkirku, menyatukannya di nampan bersama piringnya. Lalu, Bryan pergi meninggalkanku menuju dapur. Tubuhku sudah tidak lagi gemetaran. Perutku sudah terisi dengan makanan yang luar biasa lezat. Hingga seporsi nasi goreng kampung yang tersaji, ludes ku lahap. Tak lupa secangkir teh hangat yang benar-benar membuat tenggorokanku bebas dari dahaga. Hangat dan menyenangkan. Tidak lama kemudian, Bryan datang dengan membawa pakaian di tangannya. Aku tercengang dengan mulut yang tentunya terbuka lebar. Cepat aku bangkit, mendekat ke arahnya dan segera meraih semua pakaianku yang dipegang olehnya. Aku mengatur nafas. Merasa malu karena Bryan tidak hanya memegang kaos dan celana jeansku. Tapi dia juga bra dan celana dalamku! Kini, Bryan yang ikutan tercegang, sama sep
Bryan membuka pintu mobil dan mempersilakan aku masuk. Aku duduk di kursi sebelah kemudi. Kemudian dia bergegas masuk melalui pintu yang satunya dan duduk di kursi kemudi. Bryan menyalakan mesin mobil, lalu melambaikan tangan ke arah paman yang berdiri di depan pagar rumahnya yang terbuat dari kayu. Aku pun turut melambaikan tangan. Paman tersenyum dan membalas lambaian tangan kami."Hati-hati!" seru paman."Oke!" Bryan menyahut."Da, Paman! Sampai bertemu lagi!" Aku ikutan bersuara.Paman mengangguk. Senyumnya masih stand by di wajahnya yang begitu renta. Di detik berikutnya, Bryan melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Melewati jalan setapak dengan pepohonan yang menjulang tinggi di sisi kiri dan kanan jalan.Selama beberapa menit hanya keheningan yang ada bersama kami. Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka suara. Meski tak ku lihat wajahnya yang berada di sisi kananku."Apa yang kau katakan pada paman? Kenapa pamanmu sampa
Dengan memakai kaos ketat berwarna coklat beserta legging hitam semata kaki, serta wedges putih kesayanganku, aku mengitari kompleks perumahan. Berjalan santai, sengaja membakar tubuh diterik matahari pagi. Setengah jam berkeliling kompleks membuatku sedikit kelelahan. Peluh juga sudah membasahi wajah dan seluruh tubuhku. Dan, aku rasa sudah cukup.Aku duduk di pinggir lapangan badminton yang ada di tengah kompleks. Berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan. Membuka tutup botol minuman yang aku pegang sejak tadi, kemudian meneguk air tersebut. Aku menelannya kasar. Nafasku kembali tersengal.Sumpah! Lelah banget! Rasanya pengen tiduran aja kalo begini.Aku memandang ke sekeliling. Ada beberapa orang yang sedang berlari dan berjalan santai sama sepertiku. Usianya beragam. Ada yang seusiaku ada pula yang paruh baya. Mereka sengaja berolahraga di pagi ini karena memang hari ini adalah hari minggu. Tentu mereka yang biasa ngantor atau sekolah, meluangkan waktu untuk
"Bryan," sapaku dengan pelan.Bryan tersentak. Segera menengadah ke arah wajahku yang berdiri beberapa langkah di dekatnya."Anandita!" balasnya lembut yang hampir saja tidak terdengar olehku.Mataku menangkap kedua bola mata Bryan yang sedikit memerah, dengan kelopak mata yang kendur. Wajahnya terlihat kurang bergairah. Persis seperti orang yang baru saja bangun dari tidur."Apa apa?" tanyaku. Duduk di sofa tepat di hadapannya. Hanya sebuah meja kaca yang menghalangi kami."Euh ... tidak ada!" Bryan mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Menghela nafas berat. Dan berusaha tersenyum kepadaku."Kau masih sakit??""Tidak! Aku baik-baik saja!""Begitu!" balasku datar. Tidak ingin dia merasa istimewa dengan pertanyaanku. "Trus ... mo ngapain, kemari?""Aku hanya ingin bertemu denganmu. Apa tidak boleh?" balasnya.Aku tidak merespon ucapannya. Hanya diam tapi tidak memasang raut wajah marah ataupun senang atas
Tak pernah terlintas di pikiranku, aku akan menolong orang yang aku benci. Orang yang telah membuat alur hidupku berantakan. Bahkan untuk membayangkannya saja aku tidak sudi. Dan sekarang, aku harus melaksanakan itu.Bryan, yang sejak tadi mual dan muntah seperti orang kejijikan akan sesuatu, saat ini tengah berbaring di salah satu kamar tamu yang ada di rumahku. Tadinya aku menyuruhnya untuk segera pulang, karena ku lihat kondisinya belum sembuh total. Tapi bi Sumi mencegahnya, dengan alasan takut di jalan terjadi apa-apa pada laki-laki ini.Menyebalkan! Kenapa bi Sumi harus memperhatikan orang ini? Biarkan saja dia pingsan di tengah jalan. Sekalipun itu terjadi di depanku, aku tidak peduli.Tapi, tunggu dulu! Bukankah Bryan pernah menolongku sebelumnya? Merawat, dan juga menjagaku. Benarkan? Dia memang sudah merebut kegadisanku, tapi dia juga telah menyelamatkan aku dari maut. Jika dia tidak cepat menolongku saat itu, mungkin saja saat ini aku sudah tidak ada
Jika saja kemarin aku tidak ikut dengannya ke desa itu, tentu aku tidak perlu repot-repot melayaninya seperti ini. Sebab aku pasti tidak memiliki hutang budi padanya. Oh, Tuhan! Kenapa semua ini bisa terjadi di alur hidupku! Tidak terlintas sedikitpun dalam pikiranku kalau aku akan mengalami masa rumit nan menjijikkan seperti ini.Aku menghela nafas berat. Satu tanganku terulur bersama sendok berisi nasi dan suwiran daging ayam. Tentu mengarah ke mulut laki-laki yang ada di hadapanku. Dia membuka mulutnya. Dengan tatapan mata yang mengunci seluruh wajahku. Meski aku tidak menemui bola matanya, tapi aku dapat mengetahui tatapannya yang seakan tidak mau berpaling dari wajahku. Aku melihat itu melalui ekor mataku.Tidak ada suara yang keluar dari mulut kami. Aku diam dan enggan memandangnya. Menyulanginya makan adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Bagaimana tidak, bisa-bisanya aku melayani orang yang telah memerkosaku. Merampas segalany
Bibir pria ini pernah menyapa bibirku. Melumatnya dengan kasar dan agresif. Bibir ini yang pertama kali menjelajahi seluruh tubuhku. Membuat bercak-bercak kemerahan di sana. Meninggalkan traumatis dalam diriku. Dan kini, bibir ini kembali menempel di bagian sensitifku. Membuatku tersadar, bahwa aku pun telah terhanyut dalam kehangatan yang dia ciptakan dengan sengaja.Euh!"Minggir kau!"Ku tolak dadanya dengan kasar, hingga dia terdorong ke belakang. Cepat aku berdiri. Mengusap bibirku yang baru saja dia kecup. Dan, leherku yang terasa perih karena gigitan kecilnya. Tanpa sadar, bulir bening dari mataku jatuh membasahi pipi. Batinku berteriak membodohi diriku sendiri."Anandita, maaf!""Diam kau!" bentakku. "Dasar laki-laki sialan! Taunya memanfaatkan keadaan! Apa kau tidak sadar dengan perbuatanmu ini!"Aku terisak. Emosiku melonjak seketika."Aku tidak bermaksud untuk membuatmu ....""Aku bilang diam!" bentakku lagi. K
Dalam samar-samar penglihatan, aku mencoba membuka mataku yang terasa berat. Tersenyum ketika melihat suami yang sedang duduk di tepi ranjang. Menggendong bayi mungil kami dengan raut wajah yang sumringah. Aku dan bayiku sudah dibolehkan pulang dua hari yang lalu. Dan tadi, aku disuruh Bryan istirahat sejenak. Dia yang menggantikan tugasku menjaga si baby. Kebetulan hari ini hari libur. Bryan bilang, aku harus banyak istirahat agar tidak terlalu lelah. Agar ASI eksklusif yang aku berikan kepada bayi kami tetap lancar. Maklum, memang belum seminggu aku menjadi seorang ibu. Tapi, semua tanggungjawab ini sudah membuatku kalang kabut. Sebab aku tidak punya pengalaman mengurus bayi. Jangankan bayi, menjaga adik saja aku tidak pernah. Sebab aku kan anak tunggal. "Kau sudah bangun?" tanyanya. Aku mengangguk. Lalu, berusaha untuk duduk dan bersender di ranjang. Ngilu jahitan caesarku masih terasa. "Apa dia rew
Bintang-bintang terlihat begitu cantik menghiasi langit malam yang gelap. Ada bulan separuh di tengah-tengah mereka. Seakan menjadi ratu di antara hamparan bintang-bintang itu.Di balkon kamar, aku berdiri menengadah ke atas langit. Tersenyum dalam lamunan. Menyaksikan indahnya ciptaan Tuhan. Ku elus perutku yang sudah membuncit. Gerakan si jabang bayi langsung menyambut tanganku. Begitu kuat dan aktif. Membuatku tertawa dalam hati.Tidak terasa kini usia kehamilanku sudah memasuki usia 9 bulan. Hamil di usia muda tidak mudah bagiku. Aku sempat mengalami stres saat trimester pertama dan kedua. Panik memikirkan bagaimana rasanya persalinan nanti. Beruntung ibu dan suamiku selalu menyemangatiku, hingga aku dapat menyingkirkan pikiran buruk yang ada di otakku.Sekarang berat badanku naik dua kali lipat. Wajar saja, karena selama hamil, nafsu makanku naik dari biasanya. Ditambah lagi dengan sikap suami yang selalu mengingatk
Perutku benar-benar sedang keroncongan sekarang. Sampai badanku gemetaran karena menahan lapar. Setelah tadi makan siangku tertunda karena jengkel dengan bik Sumi, sekarang aku harus kembali menunda untuk makan. Sebab aku sedang menunggu makanan yang ingin aku cicipi. Nasi goreng kampung buatan suami dadakanku sedang bergumul dalam wajan.Tak pernah ku sangka, aku akan menghadapi hari-hari seperti ini. Rumahku terasa ramai dengan kehadiran suami dadakanku. Bagaimana tidak, dia selalu saja membuatku jengkel. Begitu juga dengan bi Sumi. Mereka bagaikan dua kubu yang berbeda jenis tapi satu haluan. Mahir sekali membuatku kesal.Akan tetapi, kekesalan itu kini berubah 180 derajat. Sepertinya tingkah kedua orang ini sekarang berubah menjadi semacam hiburan bagiku. Sebab aku tidak lagi merasakan yang namanya kesunyian di rumah ini seperti hari-hari sebelumnya. Bryan dan bi Sumi berhasil mengembalikan senyumku.Klentang, klenteng!Suara sendok dan wajan pe
Anandita POV~Aku terbangun saat jam menunjukkan pukul satu siang. Perutku keroncongan. Pantas saja tidurku terganggu, aku kan belum makan siang. Ketika aku membuka mata, tak sengaja pandanganku tertoleh ke samping. Mataku langsung menangkap sosok Bryan yang tertidur pulas di sampingku. Tepatnya di bahuku. Kepalanya bertengger di bahu polosku yang tanpa alas.Melihat keberadaannya, baru aku sadar kenapa tubuhku terasa lelah tak karuan. Aku baru ingat tadi Bryan menjelajahi seluruh lekuk tubuhku hingga akhirnya dia kembali menggauliku. Aku terhanyut dalam sentuhannya, terbuai pada indahnya surga dunia. Meski masih terasa perih, tapi aku menikmati permainannya. Sebab dia melakukannya dengan lembut. Tidak seperti ketika pertama kali dia menjamahku. Begitu kasar dan sama sekali tidak memikirkan kesakitan yang aku rasakan saat itu.Aku mengeliatkan tubuh. Badanku terasa remuk. Persetubuhan yang kami lakukan tadi benar-benar menguras tenaga. Hingga tanpa sengaja kami
Bryan POV~"Kau sudah sadar?" tanyaku ketika Anandita sudah sempurna membuka matanya.Anandita langsung kaget ketika menyadari keberadaanku yang tepat berada di atasnya. Aku duduk di tepi ranjang dengan separuh badan yang mengurung tubuh mungilnya."Kau?""Ssshh ...."Cepat aku menahannya, menenangkannya agar tidak mengamuk seperti biasa. Dan untungnya, dia menurut. Anandita kembali tenang. Meski matanya menyiratkan sebuah ketakutan yang tak menutup kemungkinan adanya pertanyaan di sana."Tenanglah! Kau jangan terlalu banyak bergerak," ucapanku pelan. Mengelus kening atasnya dengan lembut."A-apa yang terjadi padaku? Dan kenapa aku tiba-tiba bisa ada di kamar ini?" tanyanya dengan suara parau."Kau pingsan. Makanya aku membaringkanmu di ranjang.""Pingsan?"Aku mengangguk cepa
Anandita POV~Perutku terasa begah karena memaksakan diri menghabiskan sepiring nasi goreng. Posisiku masih sama seperti tadi. Berhadapan dengannya yang juga telah selesai menyantap sajian bi Sumi. Bahkan saat makan pun, dia tetap fokus melihatku. Mengawasiku agar aku menghabiskan makanan ini. Anehnya, kenapa aku harus takut? Aku benar-benar payah! Sangat pengecut, seperti anak kecil yang takut dimarahi oleh orang tuanya. Oh ... God!Aku mendorong kursi, bangkit dari duduk."Aku mau mandi. Kau tetaplah di sini sampai aku selesai!" titahku pada Bryan.Bryan yang baru saja meneguk segelas air putih, langsung mendongak melihatku."Ngapain aku di sini? Kalau aku ikut denganmu, emang kenapa?" tanyanya menyelidik.Aku mendesah. Melipat kedua tangan ke dada."Kalo kau ikut masuk ke kamar, bagaimana bisa aku memakai pakaianku! Aku tidak terbiasa memakai baju di dalam toilet!" keluhku. Berharap dia mau memahami.Bryan berdehem, menyerin
Ada perasaan yang berbeda bagi Anandita ketika mencicipi masakan bi Sumi. Nasi goreng yang dikunyahnya tidak seperti yang pernah dibuatkan oleh Bryan untuknya, meski nasi goreng itu masih terasa enak, tapi lidah Anandita merindukan nasi goreng buatan suaminya.Pelan Anandita mengunyah makanannya seperti tidak rela makanan itu berada di mulutnya. Bi Sumi yang melihat itu dari kejauhan merasa keheranan. Diamatinya Anandita lekat-lekat. Sambil membawa segelas air putih yang diambilnya dari kulkas."Ada apa Non? Kenapa ngunyahnya kayak gak ikhlas gitu? Apa masakan bibi gak enak ya?" tanya bi Sumi. Meletakkan gelas ke hadapan Anandita."Oh, enggak kok Bi. Nasi gorengnya enak. Cuma ....""Cuma ...??" Bi Sumi membeo."Umm ... cuma ... cuma ... cuma ... entahlah Bi. Entah kenapa rasanya tenggorokanku pahit. Gak nyaman kalo nelan makanan." Anandita beralasan."Oh ... wajar sih Non. Emang gitu kalo lagi hamil. Apalagi Non sedang hamil muda. Wajar kala
Bryan POV~Pagi ini, tidak seperti pagi-pagi biasa. Sebab pagi ini adalah pagi pertamaku bersama wanita yang telah sah menjadi istriku.Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha menyesuaikan cahaya yang menyerang retinaku. Sebelum akhirnya aku menemukan wajah cantik yang berada di dekatku. Kami sama-sama terbaring miring berhadapan. Reflek aku tersenyum ketika menyadari wajah cantik istriku menempel di dadaku.Wajah mulus yang nyaris tidak ada cela ini membuatku terhipnotis. Tuhan ... begitu cantiknya istriku ini. Tak tahan rasanya aku untuk tidak menyentuhnya. Maka, tanganku mulai menghampiri lekuk wajahnya yang terpahat rapi.Kecantikannya tidak berkurang meski dalam keadaan mata terpejam. Anandita, gadisku! Sampai kapan aku bisa menahan untuk tidak menyentuhmu, Sayang. Aku tidak yakin kau akan selamat dari jeratan birahiku. Mungkin aku akan melakukannya lagi saat kau sudah agak tenang. Dan disaat itu, kau akan menyadari betapa sayangnya aku padamu.
Anandita POV~Tak terbayangkan betapa kesalnya rasa hatiku kepada pria yang notabennya sudah resmi menjadi suamiku ini. Bertindak sesuka hati tanpa memikirkan ketakutanku. Aku juga bodoh. Kenapa harus takut pada laki-laki yang telah berbuat jahat kepadaku. Bukankah seharusnya dia yang harus waspada terhadapku? Lalu, kenapa semuanya seakan ... terbalik!Dan karena jeritanku yang tertahan tadi, membuatnya cekikikan dan kembali menutup pintu kamar mandi. Sayup-sayup kudengar dia bernyanyi. Sebuah nyanyian riang. Enjoy di dalam sana seperti orang yang tak pernah melakukan kesalahan apapun terhadapku. Sebal!Well, biarkan saja dia mau melakukan apa. Asal dia tidak menggangguku. Asal dia tidak merepotkanku. Asal dia tidak macam-macam padaku, apalagi sampai menyentuhku. Kalau itu terjadi, aku pastikan dia takkan lagi menempati kamar yang sama denganku.What???Kamar yang sama? Oh, God! Kenapa aku tidak menyadari hal ini sejak tadi. Sejak Oma membawanya ke