Devan POV~
Sesaat setelah aku keluar dari gerbang rumah Anandita, dari kaca spion mobil, tak sengaja aku melihat sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan gerbang rumah megah itu. Aku menyipitkan mata. Melihat dengan baik siapa pemilik mobil tersebut. Pria yang tidak pernah aku kenal sebelumnya, turun dari mobil tersebut. Mendekati pos satpam, dia terlihat sedang menyampaikan sesuatu. Sekelumit pertanyaan menyerang batinku. Siapakah pria itu?
Tidak berapa lama kemudian, salah satu satpam mendekati mang Deden yang sedang menyiram tanaman. Entah apa yang dia sampaikan. Yang jelas didetik berikutnya, mang Deden bergegas masuk ke dalam rumah dan pria itu mengikuti langkahnya.
Batinku semakin bertanya-tanya, untuk apa pria itu masuk ke dalam rumah Anandita, yang aku tahu ibu Anandita sedang tidak berada di rumah. Hanya ada Anandita dan beberapa asisten rumah tangga di dalam rumah tersebut. Tidak mungkinkan pria yang berstelan rapi itu ingin menemui para asisten rumah tangga. Apakah dia ingin menemui Anandita? Tapi siapa dia?
Tidak ingin rasa penasaran ini berlarut-larut dalam diriku, aku segera putar balik, masuk ke dalam halaman rumah Anandita. Ingin tahu siapa pria itu dan ada perlu apa pagi-pagi sekali datang ke rumah kekasihku.
Pelan aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Menelusuri langkah kaki mereka yang mulai mendekati gazebo tempat di mana aku dan Anandita bertemu tadi. Perasaanku mulai tidak karuan aku sudah memastikan laki-laki tersebut pasti ingin menemui kekasihku. Sial! Hatiku masih saja menuntut. Menghukumku dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin membuatku penasaran. Siapa laki-laki itu!
Langkahku terhenti tepat di samping meja makan. Telingaku menangkap jeritan Anandita yang tidak terlalu keras. Menyuruh pria itu pergi. Mang Deden melintas di hadapanku setelah mengantar pria itu. Cepat aku menempelkan jari telunjuk ke bibir. Mengisyaratkan kepadanya agar tetap bersikap seperti biasa. Tidak perlu menyapaku. Supaya mereka tidak tahu keberadaanku. Mang Deden mengangguk satu kali, lalu membungkukkan badan sebentar dan berlalu dari hadapanku dengan langkahnya yang tergopoh-gopoh.
Aku memasang pendengaran baik-baik. Mereka tidak menyadari keberadaanku. Jarak antara gazebo belakang rumah dengan ruang makan tidak jauh. Hanya saja tersekat oleh dinding pemisah yang memiliki banyak ruas jendela. Jadi aku bisa bersembunyi di balik dinding itu, dan menguping pembicaraan mereka.
Meski tidak keras, tapi aku dapat mendengar dengan baik setiap kalimat yang keluar dari mulut mereka. Mereka berdebat. Aku jadi tahu, pria itu adalah atasan Anandita. Dia sengaja ingin menemui kekasihku.
Aku terus menyimak pembicaraan mereka. Hingga akhirnya darahku berdesir hebat seiring jantungku yang berdegup sangat kencang. Serasa mau copot. Sekujur tubuhku membeku seketika. Menahan perasaan yang sama sekali sulit untuk aku jelaskan. Aku marah. Kecewa. Kesal. Dan murka.
Setelah kau merebut kesucianku, menghancurkan masa depanku, membuat hidupku tidak berarti hingga aku tidak mampu melihat dunia luar, semua itu aku alami karena ulah bejatmu! Dan, sekarang dengan mudahnya kau mengucapkan kata maaf kepadaku! Apakah dengan memaafkanmu dapat mengembalikan harga diriku yang telah kau renggut??!
Sangat jelas telingaku mendengar pengakuan Anandita yang mengatakan bahwa kehormatannya sudah terenggut. Dan yang merenggutnya adalah pria itu!
Tubuhku bergetar. Dadaku bergemuruh. Sesak. Sangat menyiksa. Tak kuasa rasanya diri ini mendengar apa yang aku dengar. Melihat kekasihku didekati seseorang saja aku sudah terbakar api cemburu. Apalagi sampai dia dijamah oleh laki-laki lain.
Didorong oleh rasa yang benar-benar menyakitkan, akhirnya aku memilih menemui mereka. Meminta penjelasan tentang apa yang aku dengar. Meski aku sudah mendengar sendiri pengakuan itu dari mulut Anandita.
****
Author POV~
Devan mendekati mereka dengan segenap kobaran api cemburu yang membakar hatinya. Wajah tampan itu tidak lagi bersahabat. Kemurkaan sangat jelas terpancar dari raut wajahnya.
Cepat Anandita menepis tangan Bryan yang masih saja melingkar di lehernya. Tangan itu mulai melemah mungkin karena kaget dengan situasi. Namun, tetap saja wajah laki-laki itu tidak memancarkan rasa bersalah. Dia tetap terlihat tenang. Menatap Devan dingin.
"Anandita!" Kedua bola mata Devan mengunci retina mata Anandita. Mendekat, dan mensejajarkan wajahnya ke wajah gadis itu.
"Katakan padaku ... bahwa yang kamu katakan tadi tidak benar!" Devan membentak. Tidak menghiraukan Bryan yang berada di sebelahnya.
"Ap-apa yang aku katakan? A-aku tidak mengerti maksudmu ...." Anandita terbata. Dia merasa getaran jantungnya yang berdentang begitu kencang. Cemas. Sebisa mungkin mencari alasan. Padahal, gadis itu bisa menebak kalau Devan pasti telah mendengar pembicaraannya dengan Bryan.
"Anandita!"
Akh!
Anandita melenguh ketika Devan mencengkram kedua bahunya dengan kuat. Dengan tidak melepaskan tatapan matanya dari manik mata gadis itu, Devan menggeram. Menuntut penjelasan.
"Jangan memutar-mutar pembicaraan Anandita! Sebenarnya kamu tahu maksud dari pertanyaanku kan?!" Devan mengguncang bahu indah itu. Membuat Anandita meringis.
"Lepaskan dia!" Bryan buka suara. Terdengar sangat tenang.
Devan mengalihkan pandangannya. Kini, kedua bola mata itu mengarah pada Bryan. Semakin berkobar amarahnya ketika memandang wajah laki-laki yang telah merebut kesucian kekasihnya.
Geraham Devan bergemelatuk. Rahangnya mengeras. Tangannya terkepal kuat. Tidak dapat menahan emosi yang seakan menghantam seluruh jiwa raganya, Devan melayangkan tinjunya ke wajah Bryan.
Plak!
Satu pukulan keras mendarat di wajah Bryan. Membuat laki-laki terdorong ke belakang. Beruntung Bryan dapat mengendalikan diri dengan bertumpu ke sebuah meja taman.
Anandita panik bukan kepalang. "Bryan ...!" ucapan itu lolos begitu saja dari mulutnya.
Bryan menyentuh ujung bibirnya yang terasa perih. Terasa ada cairan yang keluar dari sana. Saat dia melihat tangannya, darah segar menempel di sana. Bryan menghapusnya. Pelan dia mencoba menegakkan badannya. Kembali memandang mereka bergantian.
"Aku saja yang sudah menjalin hubungan dengannya selama bertahun-tahun tidak berani menyentuhnya ... kenapa kau berani sekali merebut kesuciannya! Sadarkah kau kalau perbuatanmu itu adalah tindakan kriminal!"
Dengan nafas yang tersengal karena menahan amarah bercampur rasa cemburu, Devan menatap lawannya dengan sorot mata yang penuh kemurkaan.
Bryan tidak menjawab. Tetap diam menyaksikan kemarahan pria yang berada di hadapannya saat ini. Bukan takut untuk melawan, tapi Bryan sadar kalau dirinya memang bersalah.
"Devan ...." Anandita bersuara lirih. Menyentuh lembut lengan kekar Devan. Berharap Devan bisa mengendalikan dirinya.
Devan menoleh. Memandang kembali wajah Anandita yang sudah dipenuhi raut kecemasan. Gadis itu menunduk ketakutan.
"Apa yang terjadi padamu, Anandita! Apa benar yang kamu ucapkan tadi? Kamu ... kamu sudah ...." Bibir Devan bergetar. Tidak sanggup melontarkan kata yang ingin dia keluarkan. Cepat dia mencoba memberanikan diri.
"Apakah kamu sudah tidak suci lagi?"
Kepala gadis itu sontak terdongak, menatap mata Devan yang memancarkan keingintahuan. Anandita tercengang. Bibir tipis itu kembali membulat dengan mata yang bergerak-gerak seperti ingin mencari alasan.
"Tolong jujur padaku, Anandita! Apakah betul pria ini telah memerkosamu!" Telunjuk Devan mengarah ke Bryan yang berdiri tak jauh di belakangnya.
Bukannya menjawab, Anandita malah menangis. Dia terisak dengan kepala yang tertunduk lesu. Melihat ekspresi Anandita, membuat mata Devan terpejam sekilas. Pria itu menghela nafas berat.
"Kamu menanggapi pertanyaanku dengan tangisan. Sekarang aku tahu jawabannya!"
Kembali Devan menoleh ke belakang. Tentunya menemui tatapan mata Bryan. Dan masih dengan segala emosi yang menggedor akal sehatnya, Devan bergerak ingin menghajar kembali laki-laki yang telah merebut kesucian kekasihnya.
"Devan!" Anandita menarik lengan Devan dengan kuat. Devan menoleh. Menemui tatapan mata Anandita.
"Jangan lakukan apapun padanya! Ku mohon, please!" Anandita memelas.
Kobaran api cemburu yang membakar hebat perasaan Devan, kini semakin menyala-nyala karena menyadari Anandita yang bermohon kepadanya seakan ingin melindungi pria yang telah menjamah tubuhnya.
"Kamu membelanya?" Pelan. Tapi sangat menyakitkan. Begitulah gambaran perasaan Devan saat ini.
"Aku tidak membelanya, Dev! Aku hanya tidak ingin ada perkelahian di rumah ini!" elak gadis cantik itu.
"Tapi, nada suaramu mencerminkan pembelaan untuk dirinya!" Devan menekankan.
"Tidak, Dev! Aku tidak membela siapapun!"
"Kalau begitu, biarkan aku menghajarnya sampai mati!" Devan menggeram.
"Dev! Jangan!" Cepat Anandita menarik kembali lengan Devan yang hendak bergerak mendekati Bryan. "Aku mohon, jangan lakukan itu! Please ...."
Air mata Anandita mengalir deras. Membuat Devan mau tak mau mencoba menahan diri dan mengurungkan niatnya.
"Oke, Anandita! Aku tidak akan menghajarnya sampai mati!" ucap Devan mencoba menenangkan kekasihnya yang terisak. Namun, sedetik kemudian, dia menoleh lagi ke arah Bryan. "Tapi, aku akan melaporkan pria ini kepada pihak yang berwajib!"
Anandita tersentak kaget. Tak menyangka Devan akan mengucapkan kalimat itu. Sekilas dia melirik Bryan yang masih saja berdiri tegak, menyaksikan perseteruan mereka. Tetap diam dan tenang seakan tidak terlibat dalam perdebatan itu.
"Tidak, Dev!" Anandita memberanikan diri untuk kembali menjawab. Devan meliriknya.
"Kamu masih saja membelanya Anandita?!" tanya Devan yang tentunya tidak ingin Anandita menjawab 'iya'.
"Tidak Dev? Aku tidak membelanya! Tolong mengertilah!"
"Lalu?"
Tidak puas dengan jawaban gadis itu, Devan terus saja memaksa Anandita untuk memperjelas maksud ucapannya.
Anandita menunduk. Menarik nafas dalam dan membuangnya kasar. Lalu, kembali menatap Devan yang sudah tidak sabar menantikan jawabannya.
"Dev ... kami melakukannya atas dasar SUKA SAMA SUKA!!"
***
(Bersambung)
Anandita POV~Aku menunduk saat kedua bola mata Devan menyorot seakan ingin membunuhku. Biarlah dia menganggapku sebagai perempuan murahan. Asal perdebatan ini selesai. Tapi, sepertinya malah akan lebih rumit lagi. Aku tidak tahu ekspresi apa yang ditunjukkan Bryan ketika dia mendengar ucapanku tadi. Aku sudah pasrah pada keadaan.Bukan tidak ada alasan aku mengatakan itu pada Devan. Bohong, jika aku menikmati persetubuhan yang didasari keterpaksaan itu. Malah aku sangat membencinya. Ketika aku mengingat kejadian itu, ingin rasanya aku meludahi diriku sendiri. Jijik!Ku lihat Devan sangat serius dengan ucapannya tadi. Bahwa dia ingin melaporkan hal yang menimpaku ini kepada pihak yang berwajib. Langsung aku teringat pada ancaman Bryan yang mengatakan kalau sampai perbuatannya terbongkar dan sampai menjadi urusan polisi, maka dia tidak segan-segan menyebarkan rekaman panas kami. Bahkan, masih jelas terngiang di telingaku, saat dia mengatakan akan meny
"Ibu, dia pasti becanda.""Tidak, Anandita. Bryan serius dengan ucapannya." Ibu mengusap lenganku. Tersenyum sekilas."Kalau begitu, dia pasti sudah gila! Ibu jangan semudah itu percaya dengan omongannya!"Ibu tertawa kecil. Bangkit dari duduknya menuju pembatas balkon. Menyandarkan tangannya di sana sambil memandang ke bawah. Melihat ke halaman depan rumah. Lantas, ku lihat dia menghela nafas."Bryan serius dengan ucapannya Anandita. Ibu sangat mengenalinya. Dia tidak pernah main-main dengan ucapannya." Sejenak ibu memejamkan matanya. Lalu, melanjutkan ucapannya kembali. "Dia ingin kamu menjadi kekasihnya."Deg!Mataku terbelalak. Dadaku semakin bergemuruh. Laki-laki itu benar-benar keterlaluan. Untuk apa dia mengatakan itu pada ibu."Tidak Ibu!" Aku bangkit. Berjalan mendekati ibu. "Ibu jangan berkata seperti itu. Ibu belum sebulan mengenalnya, dari mana Ibu tahu kalau dia itu adalah pria yang tegas pada ucapannya? Bisa saja kan dia
Bola basket mulai berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Melayang sesuai lemparan. Tim A adalah tim Devan beserta teman-teman kuliahnya. Sedangkan tim B, aku tidak tahu mereka berasal dari mana.Sorak sorai penonton riuh ketika Devan melakukan Slam dunk ke gawang lawan hingga bola tersebut masuk dengan mudahnya."Wah ... kereeen ...!" Aku menautkan jari-jariku. Tersenyum setengah memejam.Plak!Aw!"Biasa aja kali!"Aku mengelus kepalaku yang ditoyor oleh Melda, cewek berkacamata ini selalu saja membuatku sebal."Sakit tau! Emang salahku di mana sih?!" ucapku pelan dengan bibir manyun."Ya, gak ada yang salah dari kamu. Tapi, aku geli lihat ekspresimu seperti tadi! Seumur-umur baru kali ini kamu mengagumi seseorang sampai segitunya!" Melda mencibir."His!" Aku memalingkan muka menghindari wajah Melda yang membuatku semakin kesal. Seenaknya saja main toyor-toyor orang. Kembali menonton pertandingan dengan
Kalian boleh mengatakan kalau aku ini benar-benar plin-plan dalam mengambil sikap. Kenapa begitu? Karena saat ini aku sedang berada di sebuah tepi danau, yang aku sendiri tidak tahu ini di daerah mana. Dan, kalian tahu siapa yang membawaku? Ya! Yang membawaku ke sini adalah ... Bryan! Aku sedang bersama laki-laki ini sekarang.Suasana hatiku sedang kacau. Aku seperti selembar daun yang mengikuti kemana arah angin berhembus. Masih terus terngiang di telingaku kata-kata Devan yang menusuk jantungku tadi. Aku merasa rendah. Merasa kalau diri ini sudah tidak ada artinya lagi. Setidaknya dia telah menguatkan pandangan buruk kepadaku. Begitulah yang aku rasakan.Duduk di tepi danau sambil memeluk lutut, menatap lurus ke depan. Mencoba tidak lagi terisak dalam tangis, itulah yang sedang aku lakukan. Berharap ucapan Devan tidak lagi menari-nari di telingaku."Mau minum?" Bryan yang baru saja kembali dari mobil, menyodorkan sekaleng mi
Author POV~"Anandita kamu dapat mendengarku? Anandita bangunlah! Apa kau baik-baik saja? Anandita tolong dengarkan aku!" Bryan memukul-mukul wajah Anandita yang terkulai di bahu kekarnya. Berharap gadis itu dapat merespon ucapannya.Tentu keadaan Anandita sedang tidak baik saat ini. Tetapi, kecemasan yang dirasakan Bryan membuatnya kalang kabut. Pria itu mengangkat tubuh Anandita ke tepi danau. Membaringkan gadis itu tepat di mana mereka duduk tadi.Dengan sekujur tubuh yang basah kuyup, Bryan merunduk, mendekatkan telinganya ke hidung Anandita. Mencoba merasakan deruan nafas Anandita yang sama sekali tidak dia rasakan. mengambil tangan gadis itu, lalu merasakan denyut nadinya. Masih sedikit terasa, meski lemah.Cepat Bryan menekan-nekan bagian atas dada Anandita dengan kedua telapak tangannya yang saling bertumpu. Bryan melakukannya berulang kali. Berhenti, lalu mengulanginya lagi. Berharap air danau yang tertelan oleh Anandita bisa segera keluar.
Author POV~Anandita menelan salivanya dengan susah payah, membayangi apa yang mungkin Bryan lakukan pada dirinya. Dia sedang tidak mengenakan pakaian dalam, sudah pasti Bryan yang membukanya. Bukankah laki-laki ini tadi mengaku kalau dia yang telah melucuti dan mengganti pakaiannya?"Kau tidak perlu merasa terkejut seperti itu Anandita! Bukankah aku sudah pernah melihat seluruh tubuhmu?"Pandangan Anandita melayang ke wajah Bryan. Wajah yang menurutnya sangat menyebalkan. Bryan yang melihat tatapan kesal Anandita hanya tersenyum miring."Apa kau berpikir kalo aku menyetubuhimu ketika kau sedang tidak sadarkan diri? Hah!" Bryan tersenyum simpul. Membuat tatapan Anandita semakin menajam. "Kau salah Anandita! Bukankah sudah ku katakan padamu, bahwa aku tidak suka meniduri wanita yang sedang tidak sadarkan diri! Sangat tidak menyenangkan!"Anandita masih terpaku. Menatap tajam wajah yang pria yang sudah membuat hidupnya terombang-ambing. Gadis itu masih sa
Bryan POV~Tuhan! Dingin sekali rasanya kamar ini. Mana harus tidur di lantai seperti ini lagi. Andai saja ada jacketku tertinggal di rumah ini, pasti rasa dinginku sedikit berkurang. Brrr ...! Jika ini bukan karena mu Anandita, aku tidak akan mau berbuat seperti ini.Aku mengeluh dalam hati. Ku peluk tubuhku yang membutuhkan kehangatan. Meringkuk seperti udang yang baru saja direbus. Rasa dingin betul-betul menusuk tulangku. Jika aku tidak menceburkan diri ke danau tadi, mungkin tubuhku tidak selemah ini. Ditambah aku belum makan sesuap nasi sejak siang tadi. Sebenarnya, tadi paman menawarkan aku makanan. Tapi, melihat Anandita yang terbaring tidak sadarkan diri membuat selera makanku hilang.Aku terpaksa tidur di lantai sesuai permintaan Anandita. Padahal sebelumnya, aku juga tidak berbaring di ranjang itu. Aku hanya memangku wajah di atas kedua lengan dan tertidur dalam posisi duduk. Tapi, ketika dia sadar, dia sama sekali tidak mengizinkan aku berdekatan den
Aku terusik ketika cahaya matahari menyapa wajahku. Mataku mengerjap-ngerjap berusaha beradaptasi dengan kondisi sekitar. Baru tersadar kalau aku sedang berada di lingkungan tempat tinggal orang lain. Dan dengan kesadaran itu, aku segera menoleh ke samping. Lebih tepatnya mengarah ke bawah sisi kanan ranjang.Ku cari sosok pria yang tadi malam membuatku serba salah. Dia sudah tidak ada di tempat. Bryan, di mana dia? Kenapa tubuhnya sudah tidak lagi terbaring di lantai itu. Dan ... selimut ini....Spontan aku terduduk dari pembaringan. Ini selimut yang aku pakai untuk menutupi tubuhnya tadi malam. Kenapa selimut ini bisa ada di atas badanku kembali? Dan, bantal ini ... bantal yang berada tepat di sebelahku, ini adalah bantal yang dipakai Bryan tadi malam.Tidak salah lagi. Pasti Bryan yang menyelimuti tubuhku kembali. Dia pasti sudah duluan terjaga. Tapi, di mana dia? Kenapa batang hidungnya tidak kelihatan. Suaranya juga tidak terdengar. Dia masih di sekitar sin
Dalam samar-samar penglihatan, aku mencoba membuka mataku yang terasa berat. Tersenyum ketika melihat suami yang sedang duduk di tepi ranjang. Menggendong bayi mungil kami dengan raut wajah yang sumringah. Aku dan bayiku sudah dibolehkan pulang dua hari yang lalu. Dan tadi, aku disuruh Bryan istirahat sejenak. Dia yang menggantikan tugasku menjaga si baby. Kebetulan hari ini hari libur. Bryan bilang, aku harus banyak istirahat agar tidak terlalu lelah. Agar ASI eksklusif yang aku berikan kepada bayi kami tetap lancar. Maklum, memang belum seminggu aku menjadi seorang ibu. Tapi, semua tanggungjawab ini sudah membuatku kalang kabut. Sebab aku tidak punya pengalaman mengurus bayi. Jangankan bayi, menjaga adik saja aku tidak pernah. Sebab aku kan anak tunggal. "Kau sudah bangun?" tanyanya. Aku mengangguk. Lalu, berusaha untuk duduk dan bersender di ranjang. Ngilu jahitan caesarku masih terasa. "Apa dia rew
Bintang-bintang terlihat begitu cantik menghiasi langit malam yang gelap. Ada bulan separuh di tengah-tengah mereka. Seakan menjadi ratu di antara hamparan bintang-bintang itu.Di balkon kamar, aku berdiri menengadah ke atas langit. Tersenyum dalam lamunan. Menyaksikan indahnya ciptaan Tuhan. Ku elus perutku yang sudah membuncit. Gerakan si jabang bayi langsung menyambut tanganku. Begitu kuat dan aktif. Membuatku tertawa dalam hati.Tidak terasa kini usia kehamilanku sudah memasuki usia 9 bulan. Hamil di usia muda tidak mudah bagiku. Aku sempat mengalami stres saat trimester pertama dan kedua. Panik memikirkan bagaimana rasanya persalinan nanti. Beruntung ibu dan suamiku selalu menyemangatiku, hingga aku dapat menyingkirkan pikiran buruk yang ada di otakku.Sekarang berat badanku naik dua kali lipat. Wajar saja, karena selama hamil, nafsu makanku naik dari biasanya. Ditambah lagi dengan sikap suami yang selalu mengingatk
Perutku benar-benar sedang keroncongan sekarang. Sampai badanku gemetaran karena menahan lapar. Setelah tadi makan siangku tertunda karena jengkel dengan bik Sumi, sekarang aku harus kembali menunda untuk makan. Sebab aku sedang menunggu makanan yang ingin aku cicipi. Nasi goreng kampung buatan suami dadakanku sedang bergumul dalam wajan.Tak pernah ku sangka, aku akan menghadapi hari-hari seperti ini. Rumahku terasa ramai dengan kehadiran suami dadakanku. Bagaimana tidak, dia selalu saja membuatku jengkel. Begitu juga dengan bi Sumi. Mereka bagaikan dua kubu yang berbeda jenis tapi satu haluan. Mahir sekali membuatku kesal.Akan tetapi, kekesalan itu kini berubah 180 derajat. Sepertinya tingkah kedua orang ini sekarang berubah menjadi semacam hiburan bagiku. Sebab aku tidak lagi merasakan yang namanya kesunyian di rumah ini seperti hari-hari sebelumnya. Bryan dan bi Sumi berhasil mengembalikan senyumku.Klentang, klenteng!Suara sendok dan wajan pe
Anandita POV~Aku terbangun saat jam menunjukkan pukul satu siang. Perutku keroncongan. Pantas saja tidurku terganggu, aku kan belum makan siang. Ketika aku membuka mata, tak sengaja pandanganku tertoleh ke samping. Mataku langsung menangkap sosok Bryan yang tertidur pulas di sampingku. Tepatnya di bahuku. Kepalanya bertengger di bahu polosku yang tanpa alas.Melihat keberadaannya, baru aku sadar kenapa tubuhku terasa lelah tak karuan. Aku baru ingat tadi Bryan menjelajahi seluruh lekuk tubuhku hingga akhirnya dia kembali menggauliku. Aku terhanyut dalam sentuhannya, terbuai pada indahnya surga dunia. Meski masih terasa perih, tapi aku menikmati permainannya. Sebab dia melakukannya dengan lembut. Tidak seperti ketika pertama kali dia menjamahku. Begitu kasar dan sama sekali tidak memikirkan kesakitan yang aku rasakan saat itu.Aku mengeliatkan tubuh. Badanku terasa remuk. Persetubuhan yang kami lakukan tadi benar-benar menguras tenaga. Hingga tanpa sengaja kami
Bryan POV~"Kau sudah sadar?" tanyaku ketika Anandita sudah sempurna membuka matanya.Anandita langsung kaget ketika menyadari keberadaanku yang tepat berada di atasnya. Aku duduk di tepi ranjang dengan separuh badan yang mengurung tubuh mungilnya."Kau?""Ssshh ...."Cepat aku menahannya, menenangkannya agar tidak mengamuk seperti biasa. Dan untungnya, dia menurut. Anandita kembali tenang. Meski matanya menyiratkan sebuah ketakutan yang tak menutup kemungkinan adanya pertanyaan di sana."Tenanglah! Kau jangan terlalu banyak bergerak," ucapanku pelan. Mengelus kening atasnya dengan lembut."A-apa yang terjadi padaku? Dan kenapa aku tiba-tiba bisa ada di kamar ini?" tanyanya dengan suara parau."Kau pingsan. Makanya aku membaringkanmu di ranjang.""Pingsan?"Aku mengangguk cepa
Anandita POV~Perutku terasa begah karena memaksakan diri menghabiskan sepiring nasi goreng. Posisiku masih sama seperti tadi. Berhadapan dengannya yang juga telah selesai menyantap sajian bi Sumi. Bahkan saat makan pun, dia tetap fokus melihatku. Mengawasiku agar aku menghabiskan makanan ini. Anehnya, kenapa aku harus takut? Aku benar-benar payah! Sangat pengecut, seperti anak kecil yang takut dimarahi oleh orang tuanya. Oh ... God!Aku mendorong kursi, bangkit dari duduk."Aku mau mandi. Kau tetaplah di sini sampai aku selesai!" titahku pada Bryan.Bryan yang baru saja meneguk segelas air putih, langsung mendongak melihatku."Ngapain aku di sini? Kalau aku ikut denganmu, emang kenapa?" tanyanya menyelidik.Aku mendesah. Melipat kedua tangan ke dada."Kalo kau ikut masuk ke kamar, bagaimana bisa aku memakai pakaianku! Aku tidak terbiasa memakai baju di dalam toilet!" keluhku. Berharap dia mau memahami.Bryan berdehem, menyerin
Ada perasaan yang berbeda bagi Anandita ketika mencicipi masakan bi Sumi. Nasi goreng yang dikunyahnya tidak seperti yang pernah dibuatkan oleh Bryan untuknya, meski nasi goreng itu masih terasa enak, tapi lidah Anandita merindukan nasi goreng buatan suaminya.Pelan Anandita mengunyah makanannya seperti tidak rela makanan itu berada di mulutnya. Bi Sumi yang melihat itu dari kejauhan merasa keheranan. Diamatinya Anandita lekat-lekat. Sambil membawa segelas air putih yang diambilnya dari kulkas."Ada apa Non? Kenapa ngunyahnya kayak gak ikhlas gitu? Apa masakan bibi gak enak ya?" tanya bi Sumi. Meletakkan gelas ke hadapan Anandita."Oh, enggak kok Bi. Nasi gorengnya enak. Cuma ....""Cuma ...??" Bi Sumi membeo."Umm ... cuma ... cuma ... cuma ... entahlah Bi. Entah kenapa rasanya tenggorokanku pahit. Gak nyaman kalo nelan makanan." Anandita beralasan."Oh ... wajar sih Non. Emang gitu kalo lagi hamil. Apalagi Non sedang hamil muda. Wajar kala
Bryan POV~Pagi ini, tidak seperti pagi-pagi biasa. Sebab pagi ini adalah pagi pertamaku bersama wanita yang telah sah menjadi istriku.Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha menyesuaikan cahaya yang menyerang retinaku. Sebelum akhirnya aku menemukan wajah cantik yang berada di dekatku. Kami sama-sama terbaring miring berhadapan. Reflek aku tersenyum ketika menyadari wajah cantik istriku menempel di dadaku.Wajah mulus yang nyaris tidak ada cela ini membuatku terhipnotis. Tuhan ... begitu cantiknya istriku ini. Tak tahan rasanya aku untuk tidak menyentuhnya. Maka, tanganku mulai menghampiri lekuk wajahnya yang terpahat rapi.Kecantikannya tidak berkurang meski dalam keadaan mata terpejam. Anandita, gadisku! Sampai kapan aku bisa menahan untuk tidak menyentuhmu, Sayang. Aku tidak yakin kau akan selamat dari jeratan birahiku. Mungkin aku akan melakukannya lagi saat kau sudah agak tenang. Dan disaat itu, kau akan menyadari betapa sayangnya aku padamu.
Anandita POV~Tak terbayangkan betapa kesalnya rasa hatiku kepada pria yang notabennya sudah resmi menjadi suamiku ini. Bertindak sesuka hati tanpa memikirkan ketakutanku. Aku juga bodoh. Kenapa harus takut pada laki-laki yang telah berbuat jahat kepadaku. Bukankah seharusnya dia yang harus waspada terhadapku? Lalu, kenapa semuanya seakan ... terbalik!Dan karena jeritanku yang tertahan tadi, membuatnya cekikikan dan kembali menutup pintu kamar mandi. Sayup-sayup kudengar dia bernyanyi. Sebuah nyanyian riang. Enjoy di dalam sana seperti orang yang tak pernah melakukan kesalahan apapun terhadapku. Sebal!Well, biarkan saja dia mau melakukan apa. Asal dia tidak menggangguku. Asal dia tidak merepotkanku. Asal dia tidak macam-macam padaku, apalagi sampai menyentuhku. Kalau itu terjadi, aku pastikan dia takkan lagi menempati kamar yang sama denganku.What???Kamar yang sama? Oh, God! Kenapa aku tidak menyadari hal ini sejak tadi. Sejak Oma membawanya ke