"Ica!" teriak Milea yang terkejut dengan sikap putrinya itu.
"Mama Milea jangan suapin dia!" Angel menuding ke arah Anira.
Anira yang tak tahu apa-apa, terlihat terkejut dengan mata berkaca-kaca. Gadis kecil itu tampaknya ketakutan mendengar Angel yang berteriak dan juga mendengar suara piring yang menghantam lantai, ditatapnya piring yang sudah tak berbentuk di lantai.
"Ica, kenapa gitu?" Jordan yang baru saja menghampiri, langsung menggendong Angel, takut jika kaki putrinya itu menginjak pecahan piring.
"Ica kok jadi gitu? Dia kasihan belum makan, kenapa Ica marah?" tanya Milea yang mencoba menurunkan nada suaranya.
"Ica nggak suka Mama Milea perhatian padanya, Mama Milea cuma buat Ica!" teriak Angel, sebagai anak yang sering dimanja, tentu saja ada rasa takut yang hanya diketahui oleh gadis itu sendiri.
Milea terkejut mendengar ucapan putrinya, sampai memegangi kening, tak mengerti kenapa putrinya jadi bersikap seperti itu. Saat ingin mem
Evangeline menengok kamar Anira, gadis kecil itu tidur di kamar yang bersebelahan dengan miliknya dan Devan. Kamar itu sebenarnya disiapkan untuk Kalandra, tapi karena bayinya itu masih butuh perhatian tiap malam, jadi Evangeline memilih untuk tetap tidur bersama Kalandra. Ia melihat bagaimana pulasnya gadis kecil itu tidur, sepertinya sangat nyaman berbaring di ranjang empuk itu.Evangeline kembali ke kamar, melihat Nevan yang ternyata belum istirahat dan masih duduk bersandar headboard."Kenapa belum tidur?" tanya Evangeline seraya menarik selimut untuk menutup kaki Devan."Menunggumu," jawab Devan, mengulurkan tangan untuk bisa menggenggam telapak tangan istrinya itu.Evangeline meraih tangan Devan, lantas duduk di tepian ranjang menghadap suaminya itu."Aku sangat bersyukur masih diberi kesempatan hidup, menatapmu di sini, hari ini, detik ini," ujar Devan.Evangeline tersenyum kecil, kemudian mencium kening suaminya itu."Ak
Pagi itu, Evangeline sibuk mengurus Kalandra sebelum membantu Devan membersihkan diri. Anira sudah bangun, gadis kecil itu memperhatikan Kalandra yang sedang dimandikan."Habis ini, Nira mandi," ucap Evangeline ketika melihat gadis kecil itu dengan seksama menunggu.Anira hanya mengangguk kecil, masih memperhatikan cara Evangeline memandikan Kalandra.Saat Evangeline selesai memandikan, serta membawa Kalandra ke kamar, Anira juga ikut dan menunggu di samping kepala Kalandra. Tampaknya gadis kecil itu merasa senang karena banyak orang dalam satu rumah.Anira terus memperhatikan Kalandra, bahkan telunjuknya diberikan ke genggaman Kalandra agar bisa dimainkan oleh bayi itu.Evangeline tersenyum melihat tindakan Anira, menganggap jika gadis kecil itu paham dan bisa melihat situasi."Apa Nira dulu punya adik?" tanya Evangeline dengan tangan sibuk memakaikan baju di tubuh putranya.Anira menggelengkan kepala tanda tak memiliki, gadis
"Dia bernama Naraya menurut catatan yang kami dapat dari balai kelurahan. Dia tinggal bersama neneknya, kemungkinan saat kejadian neneknya sedang keluar rumah. Karena itu Nara sendirian di rumah saat banjir datang," ujar perangkat desa yang menemui Devan dan Evangeline."Lalu, di mana neneknya sekarang?" tanya Evangeline sedikit cemas. Entah kenapa Evangeline takut jika Nira atau nama sebenarnya Nara, diminta oleh keluarganya. Jauh di lubuk hatinya, Evangeline menginginginkan Nira menjadi anggota keluarganya.Perangkat desa terlihat bingung, sampai menoleh seseorang yang menemaninya."Sebenarnya, neneknya tidak selamat dan menjadi salah satu korban banjir itu," jawab perangkat desa itu penuh penyesalan."Lalu bagaimana dengan anggota keluarga yang lain?" tanya Devan kemudian."Sebenarnya, Naraya ini lahir di luar nikah. Ibunya seorang TKW, tahu-tahu pulang dalam keadaan hamil. Kami cukup terkejut dan kasihan, hanya tidak bisa berbuat banyak. Setela
Setelah semua badai dalam hidup dilalui, segala rintangan dan juga cobaan dihadapi. Akhirnya Evangeline bisa bernapas lega, entah ini sebuah keajaiban atau anugerah, setelah bertemu Devan, segala masalah dari masa lalu hidupnya akhirnya terselesaikan.Kini Evangeline tengah duduk di depan teras, memantau Anira yang kini sudah menjadi bagian dari keluarganya.Gadis kecil itu sedang berlarian di taman yang terdapat di depan rumah. Terkadang sesekali naik ke ayunan yang terbuat dari rotan.Evangeline mengawasi Anira seraya menjaga Kalandra, bayi laki-lakinya itu sudah mulai ingin belajar berjalan."Nira, susunya diminum dulu!" teriak Evangeline mengingatkan.Anira masih belum mau bicara, gadis kecil itu hanya menanggapi ucapan Evangeline atau Devan dengan sebuah gelengan, anggukan, atau senyum lebar."Hati-hati!" Evangeline terlihat was-was ketika melihat Anira berlari ke arahnya.Gadis kecil itu tersenyum lebar, lantas mengambil g
Waktu cepat berlalu, tak terasa Anira kini sudah menginjak umur sembilan tahun. Gadis kecil itu akan sudah masuk ke sekolah dasar, sedangkan Kalandra dan Kenan tentu baru akan masuk sekolah dasar tahun ini. "Nila!" panggil Kalandra yang memang masih cedal dan tidak bisa menyebut huruf 'r'. "Ya, Al!" Setelah dilatih bicara, akhirnya Anira mau bicara meski tak banyak. "Dasinya pakaikan. Mama malah mengulus papa!" Kalandra menyodorkan dasi sekolahnya pada Anira. Mengeluh karena Evangeline masih sibuk mengurus ayahnya juga keperluan lain. Tumbuh bersama, membuat Anira menjadi seorang sosok kakak bagi Kalandra. Gadis kecil itu mengajak bermain dan memanjakan Kalandra layaknya seorang adik. Hingga pada akhirnya Kalandra sering meminta bantua Anira dari pada pembantu rumahnya. Kalandra sangat dekat dengan Anira. "Sini aku pakaikan," ucap gadis kecil yang sudah berpakaian rapi memakai seragam sekolah dasar. Ia mengambil dasi dari tangan Kalandra.
Evangeline mencari Kalandra di kamar, tapi tidak ada. Ia pun menduga jika putranya itu pasti lari ke kamar Anira."Al! Kamu di mana?" Evangeline berteriak memanggil nama putranya.Kalandra yang masih berada di kamar Anira, lantas menoleh ke arah pintu."Di sini, Ma!" sahut Kalandra begitu mendengar suara sang mama.Anira memilih mengambil tas punggung dan mencangklong. Lantas menggandeng tangan Kalandra untuk mengajak menghampiri Evangeline.Saat keduanya ingin keluar kamar, Evangeline tampak akan masuk, membuat ketiganya bertemu di depan pintu."Sudah siap?" tanya Evangeline yang melihat putranya sudah berpakaian rapi dengan tatanan rambut hasil sisiran Anira. "Wah, lihat anak Mama, tampan sekali." Evangeline sempat berjongkok, menyentuh bagian depan rambut Kalandra yang disisir Anira."Mama, jangan! Nanti lusak! Nila sudah nyisil lapi." Kalandra menghalangi tangan Evangeline yang ingin menyentuh kepala.Evangeline mengerucutk
"Tadi sekolahnya gimana?" tanya Anira ketika baru saja keluar kelas setelah pelajaran usai. Ia menghampiri Kalandra dan Kenan yang berada di halaman sekolah."Baik," jawab Kalandra."Al mau nangis," ejek Kenan."Mana ada!" Bela Kalandra seraya memukul lengan Kenan.Anira menggelengkan kepala pelan melihat tingkah Kenan yang suka mengerjai Kalandra."Tadi dia mau nangis, karena duduk nggak semeja sama aku," ucap Kenan dengan menunjuk Kalandra."Aku cuma belum telbiasa," balas Kalandra, sedikit menunduk karena malu.Kenan tersenyum lebar, merasa senang karena bisa mengerjai Kalandra. Kalandra memang kalah dari Kenan, baik dari segi sikap ataupun keberanian."Ya sudah, Kenan juga nggak boleh gitu. Al saudara kamu, kasihan dia kalau dibully. Seharusnya kamu tidak mem-bully-nya," ucap Anira menjelaskan.Kenan terdiam mendapat teguran dari Anira. Entah kenapa bocah itu menurut dan takut pada Anira, layaknya Kalandra menjadi pe
Kalandra dibawa ke klinik sekolah dan langsung mendapat penanganan. Anira duduk di bangku yang terdapat di depan kelas seraya menangis tersedu-sedu.Kenan menepuk-nepuk punggung Anira, mencoba menenangkan gadis itu."Kalau aku tidak ajak kalian, Al tidak akan sakit." Anira menyalahkan diri sendiri atas kejadian itu."Kamu nggak salah, yang salah preman itu," ucap Kenan mencoba menenangkan.Anira masih terus menangis, mengusap berulangkali air mata yang tak mau berhenti mengalir.Dua orang yang membantu Kalandra, langsung berpamitan dengan guru yang menangani bocah itu. Sedangkan guru Anira terlihat berjongkok dan mencoba menenangkan Anira yang tak berhenti menangis."Tidak apa-apa, Al pasti baik-baik saja," ucap wanita paruh baya berkaca mata, dengan suara lemah lembut.Anira mencoba menghentikan tangisnya, mengangguk dan berharap Kalandra baik-baik saja.Evangeline dan Milea terlihat berlarian menuju klinik di sekolah, begitu