Setelah semua badai dalam hidup dilalui, segala rintangan dan juga cobaan dihadapi. Akhirnya Evangeline bisa bernapas lega, entah ini sebuah keajaiban atau anugerah, setelah bertemu Devan, segala masalah dari masa lalu hidupnya akhirnya terselesaikan.
Kini Evangeline tengah duduk di depan teras, memantau Anira yang kini sudah menjadi bagian dari keluarganya.
Gadis kecil itu sedang berlarian di taman yang terdapat di depan rumah. Terkadang sesekali naik ke ayunan yang terbuat dari rotan.
Evangeline mengawasi Anira seraya menjaga Kalandra, bayi laki-lakinya itu sudah mulai ingin belajar berjalan.
"Nira, susunya diminum dulu!" teriak Evangeline mengingatkan.
Anira masih belum mau bicara, gadis kecil itu hanya menanggapi ucapan Evangeline atau Devan dengan sebuah gelengan, anggukan, atau senyum lebar.
"Hati-hati!" Evangeline terlihat was-was ketika melihat Anira berlari ke arahnya.
Gadis kecil itu tersenyum lebar, lantas mengambil g
Waktu cepat berlalu, tak terasa Anira kini sudah menginjak umur sembilan tahun. Gadis kecil itu akan sudah masuk ke sekolah dasar, sedangkan Kalandra dan Kenan tentu baru akan masuk sekolah dasar tahun ini. "Nila!" panggil Kalandra yang memang masih cedal dan tidak bisa menyebut huruf 'r'. "Ya, Al!" Setelah dilatih bicara, akhirnya Anira mau bicara meski tak banyak. "Dasinya pakaikan. Mama malah mengulus papa!" Kalandra menyodorkan dasi sekolahnya pada Anira. Mengeluh karena Evangeline masih sibuk mengurus ayahnya juga keperluan lain. Tumbuh bersama, membuat Anira menjadi seorang sosok kakak bagi Kalandra. Gadis kecil itu mengajak bermain dan memanjakan Kalandra layaknya seorang adik. Hingga pada akhirnya Kalandra sering meminta bantua Anira dari pada pembantu rumahnya. Kalandra sangat dekat dengan Anira. "Sini aku pakaikan," ucap gadis kecil yang sudah berpakaian rapi memakai seragam sekolah dasar. Ia mengambil dasi dari tangan Kalandra.
Evangeline mencari Kalandra di kamar, tapi tidak ada. Ia pun menduga jika putranya itu pasti lari ke kamar Anira."Al! Kamu di mana?" Evangeline berteriak memanggil nama putranya.Kalandra yang masih berada di kamar Anira, lantas menoleh ke arah pintu."Di sini, Ma!" sahut Kalandra begitu mendengar suara sang mama.Anira memilih mengambil tas punggung dan mencangklong. Lantas menggandeng tangan Kalandra untuk mengajak menghampiri Evangeline.Saat keduanya ingin keluar kamar, Evangeline tampak akan masuk, membuat ketiganya bertemu di depan pintu."Sudah siap?" tanya Evangeline yang melihat putranya sudah berpakaian rapi dengan tatanan rambut hasil sisiran Anira. "Wah, lihat anak Mama, tampan sekali." Evangeline sempat berjongkok, menyentuh bagian depan rambut Kalandra yang disisir Anira."Mama, jangan! Nanti lusak! Nila sudah nyisil lapi." Kalandra menghalangi tangan Evangeline yang ingin menyentuh kepala.Evangeline mengerucutk
"Tadi sekolahnya gimana?" tanya Anira ketika baru saja keluar kelas setelah pelajaran usai. Ia menghampiri Kalandra dan Kenan yang berada di halaman sekolah."Baik," jawab Kalandra."Al mau nangis," ejek Kenan."Mana ada!" Bela Kalandra seraya memukul lengan Kenan.Anira menggelengkan kepala pelan melihat tingkah Kenan yang suka mengerjai Kalandra."Tadi dia mau nangis, karena duduk nggak semeja sama aku," ucap Kenan dengan menunjuk Kalandra."Aku cuma belum telbiasa," balas Kalandra, sedikit menunduk karena malu.Kenan tersenyum lebar, merasa senang karena bisa mengerjai Kalandra. Kalandra memang kalah dari Kenan, baik dari segi sikap ataupun keberanian."Ya sudah, Kenan juga nggak boleh gitu. Al saudara kamu, kasihan dia kalau dibully. Seharusnya kamu tidak mem-bully-nya," ucap Anira menjelaskan.Kenan terdiam mendapat teguran dari Anira. Entah kenapa bocah itu menurut dan takut pada Anira, layaknya Kalandra menjadi pe
Kalandra dibawa ke klinik sekolah dan langsung mendapat penanganan. Anira duduk di bangku yang terdapat di depan kelas seraya menangis tersedu-sedu.Kenan menepuk-nepuk punggung Anira, mencoba menenangkan gadis itu."Kalau aku tidak ajak kalian, Al tidak akan sakit." Anira menyalahkan diri sendiri atas kejadian itu."Kamu nggak salah, yang salah preman itu," ucap Kenan mencoba menenangkan.Anira masih terus menangis, mengusap berulangkali air mata yang tak mau berhenti mengalir.Dua orang yang membantu Kalandra, langsung berpamitan dengan guru yang menangani bocah itu. Sedangkan guru Anira terlihat berjongkok dan mencoba menenangkan Anira yang tak berhenti menangis."Tidak apa-apa, Al pasti baik-baik saja," ucap wanita paruh baya berkaca mata, dengan suara lemah lembut.Anira mencoba menghentikan tangisnya, mengangguk dan berharap Kalandra baik-baik saja.Evangeline dan Milea terlihat berlarian menuju klinik di sekolah, begitu
"Bagaimana keadaan Al? Apa Nira juga terluka?"Begitu pulang ke rumah, Devan langsung menanyakan kondisi Kalandra dan Anira. Ia dihubungi Evangeline, membuat pria itu cemas dengna keadaan dua anak itu."Al tidak apa-apa, hanya pusing karena dipukul sedikit keras. Sedangkan Nira baik-baik saja karena dia berteriak minta tolong dan ada beberapa orang yang menolong mereka," jawab Evangeline. Membantu melepas jas Devan, kemudian berjalan bersama menuju kamar Kalandra.Devan dan Evangeline masuk ke kamar Kalandra, bocah laki-laki itu sedang tertidur pulas karena saat pulang mengatakan kepalanya terasa pening."Hmm ... baru masuk sekolah satu hari, sdah terkena masalah," ujar Devan dengan tatapan tidak teralihkan dari wajah tampan putranya."Ya, itu dilakukan karena ingin melindungi Nira dan Kenan. Aku bersyukur putramu itu pemberani, malah tidak menyangka jika dia bisa nekat seperti itu. Kamu tahu sendiri kalau dia itu cengeng," timpal Evangeline mencer
Evangeline dan Devan akhirnya pergi ke restoran yang sudah dibooking untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Devan memang tak mengadakan acara pesta besar, karena menganggap jika mereka terlalu tua untuk melakukannya.Di ruangan itu, sudah ada meja bulat dengan lilin di tengahnya. Satu pelayan terlihat siap melayani mereka, sedangkan satu pelayan terlihat datang dengan mendorong troli di mana ada makanan dan sampanye di sana.Evangeline tak menyangka jika Devan akan merencanakan semuanya dengan sempurna, suasana ruangan itu begitu romantis dengan lampu yang temaram."Ivi, jangan cemaskan mereka. Mereka pasti baik-baik saja."Devan menyentuh telapak tangan Evangeline yang ada di atas meja. Hal itu dilakukan karena Evangeline terus menengok pada ponsel yang tergeletak di meja. Sepertinya wanita itu tak bisa melepas sejenak pikiran tentang Kalandra dan Anira."Aku hanya cemas," ucap Evangeline tak bisa menyembunyikan kekhawatiran. "Aku tidak bi
Anira duduk di kursi meja belajar Kalandra, tengah mengerjakan tugas rumah sekalian menunggu Kalandra yang masih tidur. Anira sesekali melirik Kalandra yang tidur, khawatir jika bocah laki-laki itu tiba-tiba terjaga.Kalandra mulai bangun, bocah itu mencoba membuka kelopak mata, kepala masih terasa begitu pening dan tengkuknya sakit. Ia mengerjapkan kelopak mata berkali-kali, sedikit menolehkan kepala, hingga melihat Anira yang duduk di kursi meja belajarnya."Nila," panggil Kalandra.Anira langsung menoleh ke arah ranjang begitu mendengar suara Kalandra, lantas bangkit dari duduk dan menghampiri bocah itu."Mau minum? Atau lapar?" tanya Anira begitu sudah duduk di tepian ranjang Kalandra.Anira langsung menawari makan karena Kalandra sudah tidur dari siang, bisa saja bocah laki-laki itu lapar dan ingin makan sesuatu."Ya, aku lapal," jawab Kalandra.Anira mengangguk, lantas turun dari ranjang dan berjalan keluar dari kamar untuk perg
Devan tak menjawab, membuat Evangeline semakin merasa gemas. Tangan wanita itu masih sibuk melepas ikatan dasi dan melepas dari kerah kemeja sang suami, sebelum kemudian menariknya perlahan. Bahkan Evangeline membuka kancing kemeja Devan, membantu suaminya itu untuk melepas.Devan hanya diam, membiarkan apa yang ingin dilakukan oleh istrinya."Maaf jika membuat rencanamu berantakan, aku benar-benar mencemaskan anak-anak," ucap Evangeline mencoba menjelaskan agar sang suami tak merajuk."Tidak usah di bahas," balas Devan. Ia membalikkan badan begitu Evangeline sudah meloloskan kemeja dari tubuh. Ia hendak mengambil piyama dari lemari.Evangeline semakin yakin jika Devan benar-benar sedang marah. Ia pun langsung memeluk suaminya dari belakang, menyandarkan kepala di punggung kekar suaminya itu. Kedua tangan meraba dada Devan, membuat pria itu berhenti mengulurkan tangan untuk mengambil piyama."Boleh aku ganti dengan yang lain? Aku sudah tenang melih