Ghina melepas rambut Evangeline, tapi belati yang dipegang masih mengarah di leher.
"Bukankah aku sudah bilang, akhiri apa yang aku mulai lima belas tahun lalu!" Ghina menatap Devan, membuat pandangan mereka bertemu.
Evangeline yang paham dengan permintaan Ghina, menatap sang suami seraya menggelengkan kepala, tak ingin Devan mengalami tragedi yang sama dua kali.
Devan menarik napas panjang, hingga kemudian menghela perlahan dengan mata terpejam. Sebelum akhirnya kembali menatap wanita gila yang menyandera istrinya.
"Baiklah jika itu maumu, tapi lepaskan istriku, biarkan dia pergi dari sini," ujar Devan hendak memenuhi keinginan Ghina, ditatapnya sang istri yang terluka di bagian leher.
Evangeline ingin sekali menjerit, bagaimana bisa suaminya mau melakukan hal yang sangat dibenci selama bertahun-tahun ini. Ia menggerakkan kedua tangan yang terikat, berharap bisa terlepas lantas ingin memeluk suaminya itu.
Ghina tak percaya kalau Devan akan
Malam sebelumnya. Ketika Devan sudah di rumah dan ditemani Danny, seseorang menghubungi nomornya, membuat DEvan terheran karena merasa tak kenal."Halo." Devan menjawab panggilan itu."Kamu ingin istrimu selamat, mari bertemu."Devan terkejut mendengar suara pria terdengar dari seberang panggilan. Ia tak berpikir lama karena pria itu menyebut sang istri, membuat Devan memilih setuju untuk bertemu.Devan pergi bersama Danny, mereka bertemu di sebuah kafe."Anda yakin di sini?" tanya Danny seraya mengedarkan pandangan untuk mencari pria yang mengajak Devan bertemu."Ya, biar aku hubungi lagi." Devan hendak menghubungi pemilik nomor yang mengajaknya bertemu. Hingga urung ketika melihat seorang pria melambai ke arahnya.Devan dan Danny pun mendekat untuk menghampiri pria yang sudah duduk santai dengan secangkir kopi di meja. Pria itu ternyata adalah orang suruhan Ghina."Silahkan duduk!" Pria itu langsung mempersilahkan Devan
Devan duduk dengan terus menatap Evangeline yang masih tak sadarkan diri. Dokter yang memeriksa, mengatakan jika Evangeline mengalami kontraksi palsu karena tekanan yang dialami. Leher yang tergores belati juga sudah diobati, serta tidak ada hal lain yang fatal lagi."Bagaimana keadaannya?" tanya Milea yang datang ke rumah sakit.Jordan yang ternyata datang bersama Danny, membawa polisi setelah melapor, hingga akhirnya wanita itu digelandang lagi ke kantor polisi dengan tuduhan penculikan dan penganiayaan. Milea yang diberi kabar Jordan, langsung pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Evangeline."Dia belum sadarkan diri hampir dua jam, kata dokter itu wajar karena dia disuntik obat tidur," jawab Devan.Milea menghela napas lega, setidaknya tidak terjad hal yang fatal kepada Evangeline maupun bayinya."Bagaimana wanita itu?" tanya Devan pada Jordan karena adik iparnya itu yang mengurus di kantor polisi."Sepertinya dia gila, wanita itu t
Evangeline terus memperhatikan Devan yang sedang mengupas buah untuknya. Ia menyentuh leher yang dibalut kain kasa karena luka gores akibat ulah Ghina."Van, apa wanita itu kembali ditahan?" tanya Evangeline.Devan yang sedang memotong buah, hanya tersenyum kecil, lantas menyuapkan potongan kecil ke mulut sang istri."Ya," jawab Devan. "Jordan dan Danny datang tepat waktu bersama polisi, langsung menggelandang wanita gila itu ke kantor polisi. Kali ini akan aku pastikan dia membusuk di sana," imbuhnya dengan seutas senyum, meski ada sebuah amarah yang terkandung di dalamnya.Evangeline mengunyah potongan buah yang masuk mulut, tatapannya masih tak teralihkan dari wajah Devan. Hingga ia penasaran, bagaimana suaminya itu menghadapi trauma yang pernah ditinggalkan wanita itu."Tadi, apa kamu merasa tidak takut menghadapi wanita itu?" tanya Evangeline. "Secara aku melihat kamu terlihat tenang, tak tampak seperti merasakan sebuah trauma sama sekali," im
Devan dan Evangeline berada di kamar setelah Jordan dan Milea pulang. Evangeline masih perlu banyak istirahat untuk memulihkan kondisi tubuh dan juga mental pasca penculikan itu."Van, kamu nggak ke kantor?" tanya Evangeline. Ia mengusap kepala Devan yang berada di pangkuan.Evangeline duduk bersandar dashboard, sedangkan Devan berbaring di paha istrinya itu."Tidak, aku akan bekerja dari rumah. Aku cemas padamu, takut jika ada sesuatu yang buruk terjadi lagi padamu," jawab Devan dengan tangan mengusap permukaan perut Evangeline yang sudah besar."Aku baik-baik saja di rumah, tidak akan ke mana-mana kalau kamu tidak mengizinkan. Jadi, tak apa kalau ditinggal," ujar Evangeline.Terdengar suara helaan napas halus dari Devan, hingga ia pun bangun dan duduk di samping seraya menatap Evangeline."Tidak, pokoknya aku mau bawa pekerjaan ke rumah. Aku mau terus di dekatmu dan bayi kita," timpal Devan menolak bujukan Evangeline. Devan mengecup permuk
"Ica, Ica jangan lari-lari sayang." Milea merasa pusing melihat anak tirinya itu malah berlarian saat akan dipakaikan seragam sekolah."Ica terbang! Ica terbang!" Gadis kecil itu naik ke ranjang, kemudian meloncat-loncat dengan kedua tangan terbuka.Milea memijat keningnya sendiri, mungkin efek hamil tua membuatnya gampang marah dan lelah."Ica sayang, Mama capek kejar kamu. Sini, Mama pakaikan bajunya." Milea yang merasa tak sanggup berjalan, memilih duduk di sofa. Meminta Angel untuk datang kepadanya.Angel yang hanya memakai pakaian dalam saja, masih melompat-lompat kegirangan, sampai mengabaikan Milea yang memanggilnya."Ica, kenapa nggak nurut?" tanya Milea dengan suara pelan seakan putus asa.Jordan yang baru saja selesai mandi dan berpakaian, mencari Milea di kamar Ica. Begitu melihat istrinya itu sedang duduk dengan memegang pakaian Angel, Jordan pun mendekat."Sayang, tolong pakaikan dasiku," pinta Jordan manja. Ia mendekat d
Evangeline langsung bangun ketika mendapat panggilan dari Jordan. Ia mengedarkan pandangan mencari keberadaan Devan yang sudah tidak ada di kamar."Van!" panggil Evangeline keluar dari kamar.Devan yang ternyata sedang meminta kopi pada pelayan rumah, langsung berlari menaiki anak tangga karena mendengar Evangeline yang terus memanggil. Ia panik dan takut terjadi sesuatu dengan istrinya itu."Ada apa?" tanya Devan ketika bertemu dengan Evangeline.Evangeline tak menyangka jika reaksi Devan akan seperti itu. Ia menatap Devan yang sedang mengatur napas."Ada apa? Kamu merasa mulas, atau tak enak badan?" tanya Devan lagi karena Evangeline tak menjawab.Bukannya menjawab pertanyaan Devan, Evangeline malah tergelak karena merasa sangat lucu dengan kepanikan Devan."Kenapa kamu tertawa? Kamu tidak sakit?" tanya Devan memastikan.Evangeline menganggukkan kepala, hingga membuat Devan langsung bisa bernapas lega."Kenapa kamu beg
Devan pergi ke rumah sakit, dan langsung menuju ruang bersalin ketika sampai. Ia melihat Sonia sudah menemani Jordan yang duduk di kursi selasar panjang depan ruang bersalin. Sonia tampak menepuk-nepuk perlahan punggung Jordan."Bagaimana keadaannya?" tanya Devan langsung."Baru pembukaan tujuh, tapi ketubannya sudah pecah," jawab Sonia menjelaskan.Jordan sendiri menutup sebagian wajah dengan telapak tangan, mencoba menutupi kegelisahan dan rasa takutnya. Ia memiliki trauma tersendiri terhadap proses melahirkan, tentu saja hal itu mengingatkannya pada Diana."Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan mereka? Ya Tuhan, lancarkan dan selamatkan mereka," lirih Jordan memanjatkan doa untuk keselamatan Milea dan bayinya.Devan dan Sonia saling tatap saat mendengar suara lirih Jordan. Sonia sendiri masih terus mengusap punggung Jordan secara konstan, mencoba menenangkan perasaan mantan menantunya itu.Devan ikut duduk di samping Jordan, menepuk pelan
Evangeline mendapat kabar jika Milea sudah melahirkan dengan selamat, ibu dan bayinya pun sehat. Ia akhirnya datang ke rumah sakit mengajak Angel, karena Milea mengatakan ingin mempertemukan bayinya dengan sang kakak. Angel berjalan di koridor rumah sakit dengan digandeng Evangeline. Namun, gadis itu terlihat tegang, takut jika Milea masih marah padanya. "Ica kenapa?" tanya Evangeline ketika merasakan genggaman Angel begitu erat, bahkan sedikit basah karena berkeringat. "Bagaimana kalau mama Milea marah? Apa dia akan membentak Ica? Apa dia akan diam sama Ica? Ica takut." Gadis itu masih merasa kalau semua yang terjadi pada Milea adalah akibat ulahnya. Evangeline menahan tawa, tak menyangka jika Angel akan berpikir seperti itu terus. "Kata siapa mama Milea marah, nyatanya tadi ditelpon minta kamu datang. Mama bilang, dia rindu kamu, pengin kamu jenguk agar cepat sembuh," ujar Evangeline mencoba melegakkan hati Angel. "Mama Ivi tidak boh
Setelah memantapkan hati, akhirnya Anira memutuskan untuk pergi. Hari itu Kenan dan keluarganya datang untuk berpamitan dengan Anira, setelah sebelumnya mendapat kabar dari Evangeline dan Devan. "Jangan lupakan kami," ucap Angel yang ingin melepas Anira. Anira mengangguk kemudian memeluk Angel, tak bisa berkata-kata karena dirinya begitu sedih meninggalkan keluarga itu. "Sering hubungi kami, oke!" pinta Angel lagi sebelum melepas pelukan. Anira lagi-lagi hanya mengangguk, sebelum kemudian beralih menatap Kenan yang sudah menatapnya sejak tadi. "Aku akan menunggumu kembali, Nira." Kenan langsung memeluk Anira, membuat gadis itu terkejut. Anira membalas pelukan Kenan, bahkan mengusap punggung pemuda itu karena tahu jika Kenan sama beratnya melepas. "Aku sangat menyayangimu, jangan lupakan aku," lirih Kenan sebelum melepas pelukan. Anira merasa jantungnya berdegup dengan cepat ketika Kenan mengucapkan kata itu, entah kenap
"Kamu tidak akan pergi, 'kan!" Kalandra bicara empat mata dengan Anira di kamar gadis itu. Ia menatap Anira yang duduk di tepian ranjang."Aku tidak tahu." Anira menjawab pertanyaan Kalandra seraya menundukkan kepala.Wanita yang bicara dengan Evangeline adalah ibu kandung Anira, setelah sekian tahun wanita itu datang dan ingin membawa Anira karena merasa berhak atas gadis itu."Nggak, aku nggak izinin kamu pergi!" Kalandra langsung memegang kedua lengan Anira, bahkan tanpa sengaja mencengkeram begitu erat."Al, sakit!" pekik Anira mencoba melepas tangan Kalandra dari lengannya.Kalandra berlutut di depan Anira, menggenggam kedua telapak tangan gadis itu begitu erat, kedua bola matanya terlihat berkaca."Jangan pergi, Nira. Aku mohon," pinta Kalandra.Anira terlihat bingung, setelah sekian tahun dia tidak tahu siapa orangtua kandungnya, serta bagaimana mereka, haruskah dia melewatkan kesempatan bersama orangtuanya."Aku bingung
"Apa maksudnya itu, hah?" Kalandra mendorong Kenan ke tembok.Kenan yang baru saja mengantar Anira ke kelas, cukup terkejut saat Kalandra langsung menarik dan membawanya ke samping gedung sekolah."Kamu kenapa sih, Al?" tanya Kenan bingung, apalagi ketika menatap amarah di mata saudaranya itu. Ia mengusap lengan yang sakit karena terbentur dinding."Apa maksudmu menciumnya?" Kalandra ternyata melihat dari jauh saat Kenan menangkup wajah Anira. Ia melihat punggung Kenan di mana saudaranya itu memiringkan kepala.Kenan terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, tak menyangka jika saudaranya itu melihat."Al, dengar dulu--" Kenan ingin menjelaskan, tapi terhenti karena Kalandra yang tiba-tiba memukulnya tepat di pipi, membuatnya sampai memalingkan wajah."Apa kamu kira, karena dekat dengannya maka bisa membuatmu sesuka hati menciumnya? Aku tidak setuju kamu bersikap seperti itu padanya!" Kalandra yang sudah terpancing emosi, tak bisa berpikiran je
Kenan berada di kamarnya setelah Kalandra dan Anira pulang. Ia menatap bingkai yang terdapat di meja belajarnya. Di sana terdapat foto dirinya, Anira, dan Kalandra.Kenan tiba-tiba menggelengkan kepala dengan senyum kecil di wajah, merasa lucu dengan hal yang dipikirkannya sekarang."Apa itu senyum-senyum sendiri?" tanya Angel yang ternyata melihat adiknya itu duduk melamun. Ia pun lantas berjalan masuk dan menghampiri Kenan.Kenan menoleh Angel yang kini sudah berdiri bersandar meja belajarnya."Siapa yang tersenyum?" Kenan mengelak dari pertanyaan sang kakak."Jangan bohong! Jelas-jelas tadi aku melihatmu tersenyum," ucap Angel."Hah, terserahlah." Kenan masih tidak mau mengakui. Ia malah membuka buku seakan ingin mengabaikan sang kakak.Angel menatap Kenan, seperti mengetahui sesuatu dari pandangan sang adik."Ke, apa kamu menyukai Anira?" tanya Angel tiba-tiba.Kenan langsung berhenti membalikkan buku saat mendengar
Kalandra tidak jadi belajar karena kasihan dengan Anira. Ia pun meminta sopir untuk menjemput mereka. Dalam perjalanan pulang, Kalandra hanya diam, membuat Anira sedikit merasa heran."Kamu baik-baik saja, Al?" tanya Anira.Kalandra tersadar dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Anira yang duduk di sampingnya."Aku tidak apa-apa," jawab remaja itu, mencoba mengulas senyum.Anira mengangguk karena Kalandra sudah mengatakan jika tidak apa-apa, mereka pun kembali menatap aspal jalanan.Sebenarnya Kalandra sedang memikirkan percakapannya dengan Kenan beberapa waktu lalu, saat Kenan sedang berganti pakaian.Di kamar tamu, beberapa waktu lalu."Ke, boleh aku tanya sesuatu?" Kalandra berdiri di samping pintu kamar mandi tempat Kenan berganti pakaian."Tanya saja!" Suara Kenan terdengar dari dalam kamar mandi."Aku melihat, akhir-akhir ini kamu sangat memperhatikan Nira. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Kala
Angel sangat terkejut saat melihat Anira tercebur ke kolam. Saat ingin melompat, ternyata Kenan sudah melompat duluan. Angel pun akhirnya menunggu di tepian dengan wajah panik.Kalandra meraih handuk yang tergantung di kursi, lantas berjongkok begitu melihat Kenan membawa Anira ke tepian, ia langsung menarik Anira keluar dari kolam, serta menutup tubuh gadis itu menggunakan handuk.Anira sangat ketakutan, itu karena dirinya trauma. Sejak kejadian banjir itu, tenggelam adalah mimpi buruk untuknya. Kejadian di masa kecil itu, ternyata melekat di hati dan pikiran gadis itu.Kenan keluar dari kolam, kemudian langsung mendekat ke arah Wira dan mendorong teman kakaknya itu. Membuat beberapa teman Angel terkejut dan panik karena takut ada perkelahian."Kenapa kamu mendorongnya, hah?" Kenan murka dengan kejadian yang menimpa Anira, menyalahkan Wira seakan tak takut dengan pemuda yang lebih dewasa darinya itu."Siapa yang mendorong? Dia terpeleset!" Bela Wi
Sore itu Anira dan Kalandra pergi ke rumah Kenan. Anira ke sana karena Kalandra yang mengajak, dua remaja itu ingin mengerjakan tugas."Rumah Kenan ramai amat?" tanya Anira ketika melihat beberapa mobil terparkir di halaman rumah."Palingan teman-teman Ica. Kata Kenan, tante dan om lagi ke luar kota, makanya di rumah bebas. Biasa kalau Ica suka ngundang teman kalau tidak ada om dan tante," jawab Kalandra seraya turun dari mobil, mereka diantar sopir.Anira hanya mengangguk, kemudian keluar dari mobil bersama Kalandra.Saat masuk, Anira melihat ke arah samping rumah, di mana kolam renang terlihat ramai dengan muda-mudi. Sepertinya Angel mengadakan pesta kolam renang."Nira!" panggil Angel saat melihat Anira."Kak!" sapa Anira sopan."Mau belajar?" tanya Angel. Ia membawa nampan berisi softdrink dan camilan."Ya, Al yang ingin belajar bersama Kenan," jawab Anira. "Apa mau aku bantu?" tanya Anira kemudian saat melihat Angel kerepo
Tahun demi tahun pun berlalu. Evangeline dan Devan menjalani hidup penuh kebahagiaan. Adanya Kalandra dan Anira, membuat hidup keduanya begitu sempurna.Kalandra kini hampir menginjak umur enam belas tahun, sedangkan Anira baru menginjak umur delapan belas tahun, gadis itu tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sama seperti tahun sebelumnya, Anira satu sekolah dengan Kalandra dan Kenan. Evangeline dan Milea memang sengaja menyekolahkan mereka bersama, agar ketiganya bisa terus saling menjaga."Nira! Dasiku di mana?" Kalandra berteriak dari kamarnya. Remaja itu sibuk mencari dasi sekolahnya.Anira yang baru saja selesai bersiap, lantas menyusul Kalandra begitu mendengar suara pemuda itu."Bukannya di laci kamar ganti, Al! Kenapa kamu suka lupa?" Anira yang baru masuk kamar, langsung berjalan ke arah kamar ganti.Kalandra sendiri hanya tersenyum melihat Anira yang langsung masuk ke kamar begitu dipanggil.Anira mengambilkan dasi Kaland
Hari berikutnya, Kalandra terpaksa tak ke sekolah karena kondisinya. Siang itu Kenan pulang bersama Anira dijemput Milea, Kenan ingin menjenguk Kalandra."Apa Al baik-baik saja?" tanya Kenan saat berada di mobil bersama Anira."Ya, hanya karena masih pusing, makanya dia tidak berangkat," jawab Anira dengan senyum kecil di wajah.Kenan mengangguk, kemudian memilih duduk dengan tenang bersama Anira, sampai mobil mereka sampai di rumah Evangeline.--Di rumah Evangeline, Kalandra terlihat kesepian karena berada di kamar sendirian."Ma, aku bosan," ucap Kalandra ketika melihat Evangeline masuk kamar."Nonton televisi kalau bosan," balas Evangeline santai. Wanita itu masuk membawa makanan dan minum untuk Kalandra.Kalandra mencebikkan bibir, tahu akan bosan di rumah sendirian, tentu dia akan memilih berangkat ke sekolah bersama Anira, meskipun kepala masih terasa pening.Evangeline meletakkan nampan ke atas nakas, seb