Malam itu, Evangeline baru saja makan malam dengan Devan. Sekarang berakhir di kamar, Evangeline duduk di sofa panjang dengan meluruskan kaki.
Devan yang baru saja dari kamar mandi, langsung ikut duduk bersama Evangeline, mengangkat kedua kaki Evangeline agar dirinya bisa duduk, hingga memosisikan kaki Evangeline di pangkuannya.
"Apa ini pegal?" tanya Devan seraya memijit betis Evangeline.
"Eh, jangan. Kamu jangan pijat kakiku!" tolak Evangeline, hendak menyingkirkan kaki dari pangkuan Devan, tapi dicegah oleh pria itu.
"Kenapa?" tanya Devan keheranan.
"Tidak sopan, seharusnya aku yang memijitmu, bukan malah sebaliknya." Tentu saja sebagai seorang istri, Evangeline paham kewajiban-kewajiban yang harus dijalani.
Devan tersenyum kecil mendengar ucapan Evangeline, kedua tangan tetap memijat betis sang istri meski ditolak.
"Kata mama, wanita hamil akan mudah lelah. Dia harus menjaga tubuh dan bayi yang ada di perut, selalu berhati-h
Siang itu Evangeline bekerja seperti biasa, masih melakukan tugas meski Devan sudah melarang karena usia kandungan yang sudah masuk 7 bulan. Saat sedang menyusun berkas, ponselnya berdering dan sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal masuk. Karena merasa kalau siapa tahu jika itu dari perusahaan yang bekerjasama dengan Devan, membuat Evangeline menjawab panggilan itu."Halo." Evangeline bicara dengan ponsel yang diapit menggunakan pundak dan kepala."Halo, apa benar ini nyonya Rajendra?"Evangeline seketika menghentikan gerakan tangan yang sedang memilah berkas, kemudian memegangi ponsel dan duduk dengan posisi yang benar."Siapa ini?" tanya Evangeline karena mendengar suara seorang wanita di sana. Merasa aneh karena bertanya dan menyebut nama 'nyonya Rajendra'."Oh, jadi benar ini Anda. Anda tak perlu tahu siapa saya, yang perlu Anda ketahui adalah foto yang aku kirimkan ke Anda." Suara wanita terdengar dengan sedikit tawa.Evan
Devan merasa aneh dengan sikap Evangeline, hingga kemudian memilih pergi ke ruang Danny. Ia langsung masuk dan membuat Danny terkejut dengan kedatangannya."Ada apa, Pak?" tanya Danny begitu Devan sudah berdiri di samping mejanya.Devan tidak berkata apa-apa, langsung memutar posisi komputer yang ada di meja Danny, hendak mengecek sesuatu."Apa Angel menghilang?" tanya Danny lagi ketika melihat apa yang dibuka Devan dari komputer."Aku hanya merasa sikap Ivi aneh. Aku ingin mengecek apa dia masih berada di gedung," jawab Devan dengan tatapan yang masih tertuju pada layar.Akses keamanan cctv gedung memang terhubung ke komputer Danny, karena itulah Devan melihat dari sana dari pada turun ke ruang security.Devan dan Danny tampak mengamati setiap rekaman cctv dari lantai tempat mereka berada hingga lift dan lobi. Keduanya melihat wajah panik Evangeline, bahkan wanita itu terus menatap layar ponsel dan sesekali mengguncang benda pipih itu.
Devan sampai di taman, tempat lokasi ponsel Evangeline berhenti. Ia keluar mobil dengan terburu-buru, mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan sang istri. Namun, Devan sepertinya harus kecewa karena Evangeline tidak ada di sana. Devan kembali menghubungi Danny, menanyakan apakah GPS Evangeline bergerak."Kamu yakin?" tanya Devan memastikan ketika Danny mengatakan kalau GPS itu berhenti di taman dan tidak bergerak."Ya, lokasinya dekat dengan Anda," jawab Danny sangat yakin.Devan semakin panik, karena pada kenyataannya tidak ada sang istri di sana. Ia pun lantas mendial nomor Evangeline, berharap kalau Evangeline menjawab. Namun, lagi-lagi Devan harus kecewa karena tidak ada jawaban dari Evangeline. Ia terus menghubungi, hingga merasa mendengar sesuatu. Devan menjauhkan ponsel dari telinga, dengan masih terus menghubungi nomor sang istri. Ia menajamkan pendengaran, hingga tatapannya tertuju pada tong sampah. Devan yakin jika sumber suara ponsel dari sana,
Kedua tangan terikat dan mata pun tertutup kain hitam. Evangeline dibawa ke sebuah rumah tua di pinggiran kota. Ia hanya bisa berharap jika Angel bisa selamat dan Devan menyadari kalau dirinya menghilang."Ayo turun!" perintah pria yang membawa Evangeline.Evangeline memang bisa merasakan kalau mobil itu sudah berhenti, mendengar suara pintu mobil dibuka. Ia pun menurut dan turun dari mobil dengan mata masih tertutup.Evangeline tidak tahu di mana dia sekarang, hanya bisa mendengar suara deburan ombak dan burung camar, menduga kalau dirinya berada di tepi pantai."Ah, lihat siapa yang datang." Suara wanita terdengar. Evangeline menajamkan pendengaran, mencoba mengidentifikasi suara itu, apakah dirinya mengenal."Kamu memang cantik kalau dilihat sedekat ini, pantas saja." Wanita itu menyeringai menatap wajah Evanageline.Wanita itu adalah yang ditemui Evangeline di Mall, kemudian yang juga terlihat membuntuti istri Devan itu beberapa waktu la
Devan, Jordan, dan Danny, pergi ke toko di mana Danny dan Evangeline melihat seorang wanita yang mengawasi mereka beberapa waktu lalu.Devan mengamati sekitar, melihat apakah ada petunjuk yang bisa didapat. Hingga melihat sebuah kamera cctv yang terpasang di sudut toko, memperkirakan jarak kamera dengan kemungkinan wanita yang mengawasi istrinya berdiri."Di mana kamu lihat wanita itu?" tanya Devan pada Danny.Danny menengok ke arah sudut lain dari toko itu, lantas menunjuk. "Di sana, aku melihat wanita itu berdiri di sana dengan memakai topi."Devan kembali menatap kamera yang terpasang, yakin kalau wanita itu pasti terekam cctv. Devan pun masuk ke toko, diikuti Danny dan Jordan."Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" Seorang pelayan toko langsung menyambut."Maaf, saya mau tanya. Kamera itu, apa milik toko ini?" tanya Devan seraya menunjuk kamera yang ada di luar.Pelayan toko itu melihat ke arah Devan menunjuk, sebelum akhirny
Sementara itu, Evangeline yang disekap hanya bisa berdoa kalau orang yang menculiknya tidak melakukan hal buruk pada kandungannya. Sesungguhnya jika diminta untuk memilih antara bayi atau nyawanya, ia lebih mengharapkan bayinya selamat.Terdengar suara pintu terbuka, Evangeline melihat pria yang membawanya masuk dengan nampan berisi makanan di tangan. Pria itu meletakkan ke meja dan mendekat ke arah Evangeline."Mau apa kamu?" tanya Evangeline menatap penuh kewaspadaan pada pria itu."Melepas ikatanmu, apa kamu tidak mau makan?" Pria itu membuka ikatan tangan Evangeline.Evangeline mengusap kedua pergelangan bergantian, merasakan panas dan juga melihat bekas merah melingkar. Ia menatap pria yang tak disangka akan melepas ikatan itu."Makanlah, aku tidak akan menyakitimu jika kamu menurut. Kamu sedang hamil, lebih baik jaga bayimu," ujar pria itu yang sudah berdiri menatap Evangeline.Evangeline cukup terkejut ketika mendengar pria itu perhat
Danny menatap Devan yang sudah berbaring dengan mata terpejam dan memegangi kepala."Apa wanita itu yang membuat Anda trauma?" tanya Danny. Meski dia hanya seorang asisten, tapi Danny sangat paham dengan kondisi, apa yang disuka dan tidak suka oleh atasannya itu.Devan mengangguk untuk menjawab pertanyaan Danny. Ia tak mengerti kenapa begitu lemah saat melihat dan mengingat perbuatan wanita itu, bukankah selama ini sudah merasa baik setelah bersama Evangeline."Menurut Anda, apa yang diinginkan wanita itu?" tanya Danny lagi.Devan membuka matanya, menatap langit-langit kamar sebelum menoleh pada asistennya itu."Aku, mungkin dia menginginkanku untuk membalas dendam," ujar Devan."Kenapa Anda yakin?" tanya Danny dengan dua sudut alis yang saling bertautan.Devan menghela napas kasar, menelan saliva susah payah sebelum menjawab, "Karena setelah mendapatkan vonis hukuman, wanita itu berteriak akan membalas dendam. Wanita itu memili
Ghina menyeringai ketika mendengar ucapan Evangeline, hingga kembali memperkuat cengkeraman membuat Evangeline sampai memejamkan mata."Aku tidak akan ke neraka, tapi merengkuh surga dunia bersama suamimu, bagaimana menurutmu?" Ghina melepas kasar cengkeramannya, hingga membuat Evangeline terjatuh ke kasur. Ia tertawa dengan tatapan penuh ambisi.Evangeline terbatuk seraya memegangi leher yang terasa panas dan perih. Ia memicingkan mata ke arah Ghina yang dianggapnya gila."Apa kamu pikir suamiku mau tidur dengan wanita tua sepertimu, hah?" Evangeline jelas tengah menghina dan mencoba menyadarkan Ghina yang lupa diri.Ghina merasa tak terima dengan hinaan Evangeline. Ia menjambak hingga membuat Evangeline sampai mendongak."Agh!" pekik Evangeline ketika merasakan perih di kulit kepala yang tertarik."Dengar baik-baik, aku akan membuatmu melihat suamimu itu menyerahkan dirinya sendiri padaku. Coba kita lihat, mana yang akan dipilih pemuda yan
Setelah memantapkan hati, akhirnya Anira memutuskan untuk pergi. Hari itu Kenan dan keluarganya datang untuk berpamitan dengan Anira, setelah sebelumnya mendapat kabar dari Evangeline dan Devan. "Jangan lupakan kami," ucap Angel yang ingin melepas Anira. Anira mengangguk kemudian memeluk Angel, tak bisa berkata-kata karena dirinya begitu sedih meninggalkan keluarga itu. "Sering hubungi kami, oke!" pinta Angel lagi sebelum melepas pelukan. Anira lagi-lagi hanya mengangguk, sebelum kemudian beralih menatap Kenan yang sudah menatapnya sejak tadi. "Aku akan menunggumu kembali, Nira." Kenan langsung memeluk Anira, membuat gadis itu terkejut. Anira membalas pelukan Kenan, bahkan mengusap punggung pemuda itu karena tahu jika Kenan sama beratnya melepas. "Aku sangat menyayangimu, jangan lupakan aku," lirih Kenan sebelum melepas pelukan. Anira merasa jantungnya berdegup dengan cepat ketika Kenan mengucapkan kata itu, entah kenap
"Kamu tidak akan pergi, 'kan!" Kalandra bicara empat mata dengan Anira di kamar gadis itu. Ia menatap Anira yang duduk di tepian ranjang."Aku tidak tahu." Anira menjawab pertanyaan Kalandra seraya menundukkan kepala.Wanita yang bicara dengan Evangeline adalah ibu kandung Anira, setelah sekian tahun wanita itu datang dan ingin membawa Anira karena merasa berhak atas gadis itu."Nggak, aku nggak izinin kamu pergi!" Kalandra langsung memegang kedua lengan Anira, bahkan tanpa sengaja mencengkeram begitu erat."Al, sakit!" pekik Anira mencoba melepas tangan Kalandra dari lengannya.Kalandra berlutut di depan Anira, menggenggam kedua telapak tangan gadis itu begitu erat, kedua bola matanya terlihat berkaca."Jangan pergi, Nira. Aku mohon," pinta Kalandra.Anira terlihat bingung, setelah sekian tahun dia tidak tahu siapa orangtua kandungnya, serta bagaimana mereka, haruskah dia melewatkan kesempatan bersama orangtuanya."Aku bingung
"Apa maksudnya itu, hah?" Kalandra mendorong Kenan ke tembok.Kenan yang baru saja mengantar Anira ke kelas, cukup terkejut saat Kalandra langsung menarik dan membawanya ke samping gedung sekolah."Kamu kenapa sih, Al?" tanya Kenan bingung, apalagi ketika menatap amarah di mata saudaranya itu. Ia mengusap lengan yang sakit karena terbentur dinding."Apa maksudmu menciumnya?" Kalandra ternyata melihat dari jauh saat Kenan menangkup wajah Anira. Ia melihat punggung Kenan di mana saudaranya itu memiringkan kepala.Kenan terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, tak menyangka jika saudaranya itu melihat."Al, dengar dulu--" Kenan ingin menjelaskan, tapi terhenti karena Kalandra yang tiba-tiba memukulnya tepat di pipi, membuatnya sampai memalingkan wajah."Apa kamu kira, karena dekat dengannya maka bisa membuatmu sesuka hati menciumnya? Aku tidak setuju kamu bersikap seperti itu padanya!" Kalandra yang sudah terpancing emosi, tak bisa berpikiran je
Kenan berada di kamarnya setelah Kalandra dan Anira pulang. Ia menatap bingkai yang terdapat di meja belajarnya. Di sana terdapat foto dirinya, Anira, dan Kalandra.Kenan tiba-tiba menggelengkan kepala dengan senyum kecil di wajah, merasa lucu dengan hal yang dipikirkannya sekarang."Apa itu senyum-senyum sendiri?" tanya Angel yang ternyata melihat adiknya itu duduk melamun. Ia pun lantas berjalan masuk dan menghampiri Kenan.Kenan menoleh Angel yang kini sudah berdiri bersandar meja belajarnya."Siapa yang tersenyum?" Kenan mengelak dari pertanyaan sang kakak."Jangan bohong! Jelas-jelas tadi aku melihatmu tersenyum," ucap Angel."Hah, terserahlah." Kenan masih tidak mau mengakui. Ia malah membuka buku seakan ingin mengabaikan sang kakak.Angel menatap Kenan, seperti mengetahui sesuatu dari pandangan sang adik."Ke, apa kamu menyukai Anira?" tanya Angel tiba-tiba.Kenan langsung berhenti membalikkan buku saat mendengar
Kalandra tidak jadi belajar karena kasihan dengan Anira. Ia pun meminta sopir untuk menjemput mereka. Dalam perjalanan pulang, Kalandra hanya diam, membuat Anira sedikit merasa heran."Kamu baik-baik saja, Al?" tanya Anira.Kalandra tersadar dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Anira yang duduk di sampingnya."Aku tidak apa-apa," jawab remaja itu, mencoba mengulas senyum.Anira mengangguk karena Kalandra sudah mengatakan jika tidak apa-apa, mereka pun kembali menatap aspal jalanan.Sebenarnya Kalandra sedang memikirkan percakapannya dengan Kenan beberapa waktu lalu, saat Kenan sedang berganti pakaian.Di kamar tamu, beberapa waktu lalu."Ke, boleh aku tanya sesuatu?" Kalandra berdiri di samping pintu kamar mandi tempat Kenan berganti pakaian."Tanya saja!" Suara Kenan terdengar dari dalam kamar mandi."Aku melihat, akhir-akhir ini kamu sangat memperhatikan Nira. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Kala
Angel sangat terkejut saat melihat Anira tercebur ke kolam. Saat ingin melompat, ternyata Kenan sudah melompat duluan. Angel pun akhirnya menunggu di tepian dengan wajah panik.Kalandra meraih handuk yang tergantung di kursi, lantas berjongkok begitu melihat Kenan membawa Anira ke tepian, ia langsung menarik Anira keluar dari kolam, serta menutup tubuh gadis itu menggunakan handuk.Anira sangat ketakutan, itu karena dirinya trauma. Sejak kejadian banjir itu, tenggelam adalah mimpi buruk untuknya. Kejadian di masa kecil itu, ternyata melekat di hati dan pikiran gadis itu.Kenan keluar dari kolam, kemudian langsung mendekat ke arah Wira dan mendorong teman kakaknya itu. Membuat beberapa teman Angel terkejut dan panik karena takut ada perkelahian."Kenapa kamu mendorongnya, hah?" Kenan murka dengan kejadian yang menimpa Anira, menyalahkan Wira seakan tak takut dengan pemuda yang lebih dewasa darinya itu."Siapa yang mendorong? Dia terpeleset!" Bela Wi
Sore itu Anira dan Kalandra pergi ke rumah Kenan. Anira ke sana karena Kalandra yang mengajak, dua remaja itu ingin mengerjakan tugas."Rumah Kenan ramai amat?" tanya Anira ketika melihat beberapa mobil terparkir di halaman rumah."Palingan teman-teman Ica. Kata Kenan, tante dan om lagi ke luar kota, makanya di rumah bebas. Biasa kalau Ica suka ngundang teman kalau tidak ada om dan tante," jawab Kalandra seraya turun dari mobil, mereka diantar sopir.Anira hanya mengangguk, kemudian keluar dari mobil bersama Kalandra.Saat masuk, Anira melihat ke arah samping rumah, di mana kolam renang terlihat ramai dengan muda-mudi. Sepertinya Angel mengadakan pesta kolam renang."Nira!" panggil Angel saat melihat Anira."Kak!" sapa Anira sopan."Mau belajar?" tanya Angel. Ia membawa nampan berisi softdrink dan camilan."Ya, Al yang ingin belajar bersama Kenan," jawab Anira. "Apa mau aku bantu?" tanya Anira kemudian saat melihat Angel kerepo
Tahun demi tahun pun berlalu. Evangeline dan Devan menjalani hidup penuh kebahagiaan. Adanya Kalandra dan Anira, membuat hidup keduanya begitu sempurna.Kalandra kini hampir menginjak umur enam belas tahun, sedangkan Anira baru menginjak umur delapan belas tahun, gadis itu tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sama seperti tahun sebelumnya, Anira satu sekolah dengan Kalandra dan Kenan. Evangeline dan Milea memang sengaja menyekolahkan mereka bersama, agar ketiganya bisa terus saling menjaga."Nira! Dasiku di mana?" Kalandra berteriak dari kamarnya. Remaja itu sibuk mencari dasi sekolahnya.Anira yang baru saja selesai bersiap, lantas menyusul Kalandra begitu mendengar suara pemuda itu."Bukannya di laci kamar ganti, Al! Kenapa kamu suka lupa?" Anira yang baru masuk kamar, langsung berjalan ke arah kamar ganti.Kalandra sendiri hanya tersenyum melihat Anira yang langsung masuk ke kamar begitu dipanggil.Anira mengambilkan dasi Kaland
Hari berikutnya, Kalandra terpaksa tak ke sekolah karena kondisinya. Siang itu Kenan pulang bersama Anira dijemput Milea, Kenan ingin menjenguk Kalandra."Apa Al baik-baik saja?" tanya Kenan saat berada di mobil bersama Anira."Ya, hanya karena masih pusing, makanya dia tidak berangkat," jawab Anira dengan senyum kecil di wajah.Kenan mengangguk, kemudian memilih duduk dengan tenang bersama Anira, sampai mobil mereka sampai di rumah Evangeline.--Di rumah Evangeline, Kalandra terlihat kesepian karena berada di kamar sendirian."Ma, aku bosan," ucap Kalandra ketika melihat Evangeline masuk kamar."Nonton televisi kalau bosan," balas Evangeline santai. Wanita itu masuk membawa makanan dan minum untuk Kalandra.Kalandra mencebikkan bibir, tahu akan bosan di rumah sendirian, tentu dia akan memilih berangkat ke sekolah bersama Anira, meskipun kepala masih terasa pening.Evangeline meletakkan nampan ke atas nakas, seb