Evangeline begitu terkejut ketika Danny membawanya ke sebuah hotel, bahkan langsung mengajaknya pergi ke kamar yang ada di lantai 8.
"Kenapa kamu mengajakku ke hotel? Apa Devan ada masalah di sini?" tanya Evangeline yang begitu kebingungan.
Danny menghentikan langkah ketika mereka sudah sampai di depan salah satu kamar. Ia membuka pintu dan mempersilahkan Evangeline untuk masuk.
"Ap-apa ini? Kamu tidak menjawab dan sekarang memintaku masuk?" Evangeline masih tak mengerti.
Danny menarik napas panjang, hingga kemudian menjawab, "Pak Devan ingin Anda didandani secantik mungkin, mengingat malam ini adalah malam pesta perayaan pernikahan kalian."
"Hah!" Evangeline terkejut dengan mulut menganga.
Evangeline melongok ke kamar yang dibuka oleh Danny, di sana sudah ada dua orang wanita yang sedang menyambut kedatangannya, bahkan melihat sebuah gaun yang terpajang di manikin.
"Jadi, ini yang dilakukannya seharian ini?" tanya Evangeline pada Dan
Devan dan yang lain langsung membawa Evangelina ke rumah sakit, sedangkan acara masih dilanjut sampai selesai agar tidak mengecewakan para tamu."Bagaimana keadaannya?" tanya Sonia yang baru saja datang bersama Jordan dan Milea.Tentu saja Sonia sangat mencemaskan menantunya itu, apalagi selama ini Evangeline dikenal sebagai wanita yang rajin dan pekerja keras."Dokter masih memeriksanya," jawab Devan menatap pintu ruang pemeriksaan dengan perasaan cemas.Devan menoleh ke arah Radhika yang juga ada di sana bersama keluarganya, hendak bertanya apakah Evangeline mengidap penyakit atau sejenisnya."Apa Ivi pernah sakit parah sebelumnya?" tanya Devan yang cemas sebab Evangeline tiba-tiba pinsan."Tidak, dia tidak memiliki riwayat sakit parah. Atau dia--" Radhika menjeda ucapannya, mengingat akan sesuatu di mana kejadian ini pernah terjadi sebelumnya."Atau apa?" tanya Devan semakin cemas.Baru saja Radhika akan membuka mulut untuk
Devan menatap Evangeline yang masih berbaring dan sudah dipindahkan ke ruang inap. Wanita itu masih melakukan perawatan karena tekanan darah rendah dan juga kekurangan cairan. Devan merasa bahagia karena akhirnya Evangeline bisa hamil, dan dirinya akan memiliki bayi mungil.Beberapa saat berlalu, Evangeline mulai menggerakkan kelopak mata. Devan yang melihat akan hal itu pun langsung bangkit dari duduk, berpindah ke tepian ranjang Evangeline."Hai, bagaimana perasaanmu?" tanya Devan seraya mengusap wajah Evangeline."Hmm ... sedikit pusing," jawab Evangeline lirih. Kelopak mata masih terasa berat untuk dibuka.Devan terus mengusap wajah Evangeline, bahkan mengecup kening istrinya itu."Aku mengacaukan pesta, ya?" tanya Evangeline yang merasa bersalah karena mengacaukan pesta kejutan dari Devan."Tidak, kamu tidak mengacaukan. Kamu malah memberikan hadiah yang sangat berharga untukku," jawab Devan dengan tatapan penuh kasih sayang.
Devan tak mengizinkan Evangeline pergi ke perusahaan sebelum kondisi tubuh benar-benar sehat. Bahkan sampai membawa pekerjaan ke rumah, hanya untuk menemani Evangeline."Van, kamu nggak harus gini juga." Evangeline menatap Devan yang tengah fokus dengan laptop."Gini gimana?" tanya Devan santai."Kamu nggak perlu di rumah, aku juga mau kerja. Aku bosan di rumah," keluh Evangeline.Devan menghentikan gerakan jari yang ada di atas keyboard laptop, lantas menoleh hingga mengusap kepala Evangeline yang bersandar di lengan."Aku cuma nggak mau kamu kecapean," ujar Devan. Pria itu hanya takut kalau Evangeline terlalu lelah da kemudian mempengaruhi kondisi janin. Ia hanya tak ingin Evangeline mengalami hal yang sama seperti saat mengandung anak Radhika..Apa yang dilakukan Devan sekarang bukan hanya sebuah ucapan semata. Ia sampai meminta pengurus rumah untuk membersihkan kamar mandi setelah dipakai, memastikan tidak ada air yang menggenang di lant
Devan kini semakin perhatian pada Evangeline, melakukan yang terbaik untuk istrinya itu. Bahkan Sonia hampir setiap hari datang ke rumah saat pagi, memastikan menantunya itu mendapatkan asupan gizi yang tepat di masa kehamilan."Ma! Mama nggak usah tiap hari ke sini," ujar Evangeline yang pagi itu melihat Sonia sudah di rumah.Sudah hampir tiga bulan semenjak Evangeline hamil, sejak itu pula Sonia terus memberi perhatian kepadanya, sama seperti Devan yang selalu mencemaskan Evangeline.Sonia yang baru saja datang dengan membawa rantang berisi makanan untuk Evangeline, hanya mengulas senyum menanggapi ucapan menantunya."Nggak apa-apa, Mama senang, kok." Sonia menyerahkan rantang yang dibawa kepada pelayan rumah Evangeline."Tapi, nanti Mama kecapean karena bolak-balik ke sini setiap hari," kata Evangeline lagi."Oh, benar juga." Sonia tampak berpikir.Evangeline tersenyum melihat Sonia sadar akan hal itu. Bukannya tak ingin diperhatik
Malam itu, Evangeline baru saja makan malam dengan Devan. Sekarang berakhir di kamar, Evangeline duduk di sofa panjang dengan meluruskan kaki.Devan yang baru saja dari kamar mandi, langsung ikut duduk bersama Evangeline, mengangkat kedua kaki Evangeline agar dirinya bisa duduk, hingga memosisikan kaki Evangeline di pangkuannya."Apa ini pegal?" tanya Devan seraya memijit betis Evangeline."Eh, jangan. Kamu jangan pijat kakiku!" tolak Evangeline, hendak menyingkirkan kaki dari pangkuan Devan, tapi dicegah oleh pria itu."Kenapa?" tanya Devan keheranan."Tidak sopan, seharusnya aku yang memijitmu, bukan malah sebaliknya." Tentu saja sebagai seorang istri, Evangeline paham kewajiban-kewajiban yang harus dijalani.Devan tersenyum kecil mendengar ucapan Evangeline, kedua tangan tetap memijat betis sang istri meski ditolak."Kata mama, wanita hamil akan mudah lelah. Dia harus menjaga tubuh dan bayi yang ada di perut, selalu berhati-h
Siang itu Evangeline bekerja seperti biasa, masih melakukan tugas meski Devan sudah melarang karena usia kandungan yang sudah masuk 7 bulan. Saat sedang menyusun berkas, ponselnya berdering dan sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal masuk. Karena merasa kalau siapa tahu jika itu dari perusahaan yang bekerjasama dengan Devan, membuat Evangeline menjawab panggilan itu."Halo." Evangeline bicara dengan ponsel yang diapit menggunakan pundak dan kepala."Halo, apa benar ini nyonya Rajendra?"Evangeline seketika menghentikan gerakan tangan yang sedang memilah berkas, kemudian memegangi ponsel dan duduk dengan posisi yang benar."Siapa ini?" tanya Evangeline karena mendengar suara seorang wanita di sana. Merasa aneh karena bertanya dan menyebut nama 'nyonya Rajendra'."Oh, jadi benar ini Anda. Anda tak perlu tahu siapa saya, yang perlu Anda ketahui adalah foto yang aku kirimkan ke Anda." Suara wanita terdengar dengan sedikit tawa.Evan
Devan merasa aneh dengan sikap Evangeline, hingga kemudian memilih pergi ke ruang Danny. Ia langsung masuk dan membuat Danny terkejut dengan kedatangannya."Ada apa, Pak?" tanya Danny begitu Devan sudah berdiri di samping mejanya.Devan tidak berkata apa-apa, langsung memutar posisi komputer yang ada di meja Danny, hendak mengecek sesuatu."Apa Angel menghilang?" tanya Danny lagi ketika melihat apa yang dibuka Devan dari komputer."Aku hanya merasa sikap Ivi aneh. Aku ingin mengecek apa dia masih berada di gedung," jawab Devan dengan tatapan yang masih tertuju pada layar.Akses keamanan cctv gedung memang terhubung ke komputer Danny, karena itulah Devan melihat dari sana dari pada turun ke ruang security.Devan dan Danny tampak mengamati setiap rekaman cctv dari lantai tempat mereka berada hingga lift dan lobi. Keduanya melihat wajah panik Evangeline, bahkan wanita itu terus menatap layar ponsel dan sesekali mengguncang benda pipih itu.
Devan sampai di taman, tempat lokasi ponsel Evangeline berhenti. Ia keluar mobil dengan terburu-buru, mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan sang istri. Namun, Devan sepertinya harus kecewa karena Evangeline tidak ada di sana. Devan kembali menghubungi Danny, menanyakan apakah GPS Evangeline bergerak."Kamu yakin?" tanya Devan memastikan ketika Danny mengatakan kalau GPS itu berhenti di taman dan tidak bergerak."Ya, lokasinya dekat dengan Anda," jawab Danny sangat yakin.Devan semakin panik, karena pada kenyataannya tidak ada sang istri di sana. Ia pun lantas mendial nomor Evangeline, berharap kalau Evangeline menjawab. Namun, lagi-lagi Devan harus kecewa karena tidak ada jawaban dari Evangeline. Ia terus menghubungi, hingga merasa mendengar sesuatu. Devan menjauhkan ponsel dari telinga, dengan masih terus menghubungi nomor sang istri. Ia menajamkan pendengaran, hingga tatapannya tertuju pada tong sampah. Devan yakin jika sumber suara ponsel dari sana,