Devan mempersiapkan pesta yang dijanjikan untuk Evangeline. Meminta Sonia untuk mempersiapkan segalanya, Devan ingin memberikan kejutan pada Evangeline.
"Kenapa wajahmu masam seperti itu?" tanya Milea ketika melihat Evangeline yang tak bersemangat.
"Aku sedang kesal!" gerutu Evangeline. Ia mengaduk kasar jus jeruk yang dipesan.
Milea menahan tawa melihat sikap Evangeline, hingga kemudian kembali bertanya, "Memangnya kenapa kesal, hah?"
Evangeline menyedot jus, kemudian menjawab, " Kamu tahu, dia ada rapat siang ini, tapi tidak mengajakku. Bukankah dia aneh, aku sekretarisnya, bagaimana bisa dia tidak mengajakku rapat." Evangeline bicara sambil menepuk dada karena kesal.
"Ya, dia 'kan ada Danny, asistennya. Ya, ambil positifnya saja, mungkin nggak mau kamu kecapekan," ujar Milea mencoba menenangkan hati Evangeline.
Entah kenapa Evangeline tetap saja merasa kesal, biasanya dia tidak mempermasalahkan tapi hari ini rasanya dia ingin marah. Evang
Evangeline begitu terkejut ketika Danny membawanya ke sebuah hotel, bahkan langsung mengajaknya pergi ke kamar yang ada di lantai 8."Kenapa kamu mengajakku ke hotel? Apa Devan ada masalah di sini?" tanya Evangeline yang begitu kebingungan.Danny menghentikan langkah ketika mereka sudah sampai di depan salah satu kamar. Ia membuka pintu dan mempersilahkan Evangeline untuk masuk."Ap-apa ini? Kamu tidak menjawab dan sekarang memintaku masuk?" Evangeline masih tak mengerti.Danny menarik napas panjang, hingga kemudian menjawab, "Pak Devan ingin Anda didandani secantik mungkin, mengingat malam ini adalah malam pesta perayaan pernikahan kalian.""Hah!" Evangeline terkejut dengan mulut menganga.Evangeline melongok ke kamar yang dibuka oleh Danny, di sana sudah ada dua orang wanita yang sedang menyambut kedatangannya, bahkan melihat sebuah gaun yang terpajang di manikin."Jadi, ini yang dilakukannya seharian ini?" tanya Evangeline pada Dan
Devan dan yang lain langsung membawa Evangelina ke rumah sakit, sedangkan acara masih dilanjut sampai selesai agar tidak mengecewakan para tamu."Bagaimana keadaannya?" tanya Sonia yang baru saja datang bersama Jordan dan Milea.Tentu saja Sonia sangat mencemaskan menantunya itu, apalagi selama ini Evangeline dikenal sebagai wanita yang rajin dan pekerja keras."Dokter masih memeriksanya," jawab Devan menatap pintu ruang pemeriksaan dengan perasaan cemas.Devan menoleh ke arah Radhika yang juga ada di sana bersama keluarganya, hendak bertanya apakah Evangeline mengidap penyakit atau sejenisnya."Apa Ivi pernah sakit parah sebelumnya?" tanya Devan yang cemas sebab Evangeline tiba-tiba pinsan."Tidak, dia tidak memiliki riwayat sakit parah. Atau dia--" Radhika menjeda ucapannya, mengingat akan sesuatu di mana kejadian ini pernah terjadi sebelumnya."Atau apa?" tanya Devan semakin cemas.Baru saja Radhika akan membuka mulut untuk
Devan menatap Evangeline yang masih berbaring dan sudah dipindahkan ke ruang inap. Wanita itu masih melakukan perawatan karena tekanan darah rendah dan juga kekurangan cairan. Devan merasa bahagia karena akhirnya Evangeline bisa hamil, dan dirinya akan memiliki bayi mungil.Beberapa saat berlalu, Evangeline mulai menggerakkan kelopak mata. Devan yang melihat akan hal itu pun langsung bangkit dari duduk, berpindah ke tepian ranjang Evangeline."Hai, bagaimana perasaanmu?" tanya Devan seraya mengusap wajah Evangeline."Hmm ... sedikit pusing," jawab Evangeline lirih. Kelopak mata masih terasa berat untuk dibuka.Devan terus mengusap wajah Evangeline, bahkan mengecup kening istrinya itu."Aku mengacaukan pesta, ya?" tanya Evangeline yang merasa bersalah karena mengacaukan pesta kejutan dari Devan."Tidak, kamu tidak mengacaukan. Kamu malah memberikan hadiah yang sangat berharga untukku," jawab Devan dengan tatapan penuh kasih sayang.
Devan tak mengizinkan Evangeline pergi ke perusahaan sebelum kondisi tubuh benar-benar sehat. Bahkan sampai membawa pekerjaan ke rumah, hanya untuk menemani Evangeline."Van, kamu nggak harus gini juga." Evangeline menatap Devan yang tengah fokus dengan laptop."Gini gimana?" tanya Devan santai."Kamu nggak perlu di rumah, aku juga mau kerja. Aku bosan di rumah," keluh Evangeline.Devan menghentikan gerakan jari yang ada di atas keyboard laptop, lantas menoleh hingga mengusap kepala Evangeline yang bersandar di lengan."Aku cuma nggak mau kamu kecapean," ujar Devan. Pria itu hanya takut kalau Evangeline terlalu lelah da kemudian mempengaruhi kondisi janin. Ia hanya tak ingin Evangeline mengalami hal yang sama seperti saat mengandung anak Radhika..Apa yang dilakukan Devan sekarang bukan hanya sebuah ucapan semata. Ia sampai meminta pengurus rumah untuk membersihkan kamar mandi setelah dipakai, memastikan tidak ada air yang menggenang di lant
Devan kini semakin perhatian pada Evangeline, melakukan yang terbaik untuk istrinya itu. Bahkan Sonia hampir setiap hari datang ke rumah saat pagi, memastikan menantunya itu mendapatkan asupan gizi yang tepat di masa kehamilan."Ma! Mama nggak usah tiap hari ke sini," ujar Evangeline yang pagi itu melihat Sonia sudah di rumah.Sudah hampir tiga bulan semenjak Evangeline hamil, sejak itu pula Sonia terus memberi perhatian kepadanya, sama seperti Devan yang selalu mencemaskan Evangeline.Sonia yang baru saja datang dengan membawa rantang berisi makanan untuk Evangeline, hanya mengulas senyum menanggapi ucapan menantunya."Nggak apa-apa, Mama senang, kok." Sonia menyerahkan rantang yang dibawa kepada pelayan rumah Evangeline."Tapi, nanti Mama kecapean karena bolak-balik ke sini setiap hari," kata Evangeline lagi."Oh, benar juga." Sonia tampak berpikir.Evangeline tersenyum melihat Sonia sadar akan hal itu. Bukannya tak ingin diperhatik
Malam itu, Evangeline baru saja makan malam dengan Devan. Sekarang berakhir di kamar, Evangeline duduk di sofa panjang dengan meluruskan kaki.Devan yang baru saja dari kamar mandi, langsung ikut duduk bersama Evangeline, mengangkat kedua kaki Evangeline agar dirinya bisa duduk, hingga memosisikan kaki Evangeline di pangkuannya."Apa ini pegal?" tanya Devan seraya memijit betis Evangeline."Eh, jangan. Kamu jangan pijat kakiku!" tolak Evangeline, hendak menyingkirkan kaki dari pangkuan Devan, tapi dicegah oleh pria itu."Kenapa?" tanya Devan keheranan."Tidak sopan, seharusnya aku yang memijitmu, bukan malah sebaliknya." Tentu saja sebagai seorang istri, Evangeline paham kewajiban-kewajiban yang harus dijalani.Devan tersenyum kecil mendengar ucapan Evangeline, kedua tangan tetap memijat betis sang istri meski ditolak."Kata mama, wanita hamil akan mudah lelah. Dia harus menjaga tubuh dan bayi yang ada di perut, selalu berhati-h
Siang itu Evangeline bekerja seperti biasa, masih melakukan tugas meski Devan sudah melarang karena usia kandungan yang sudah masuk 7 bulan. Saat sedang menyusun berkas, ponselnya berdering dan sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal masuk. Karena merasa kalau siapa tahu jika itu dari perusahaan yang bekerjasama dengan Devan, membuat Evangeline menjawab panggilan itu."Halo." Evangeline bicara dengan ponsel yang diapit menggunakan pundak dan kepala."Halo, apa benar ini nyonya Rajendra?"Evangeline seketika menghentikan gerakan tangan yang sedang memilah berkas, kemudian memegangi ponsel dan duduk dengan posisi yang benar."Siapa ini?" tanya Evangeline karena mendengar suara seorang wanita di sana. Merasa aneh karena bertanya dan menyebut nama 'nyonya Rajendra'."Oh, jadi benar ini Anda. Anda tak perlu tahu siapa saya, yang perlu Anda ketahui adalah foto yang aku kirimkan ke Anda." Suara wanita terdengar dengan sedikit tawa.Evan
Devan merasa aneh dengan sikap Evangeline, hingga kemudian memilih pergi ke ruang Danny. Ia langsung masuk dan membuat Danny terkejut dengan kedatangannya."Ada apa, Pak?" tanya Danny begitu Devan sudah berdiri di samping mejanya.Devan tidak berkata apa-apa, langsung memutar posisi komputer yang ada di meja Danny, hendak mengecek sesuatu."Apa Angel menghilang?" tanya Danny lagi ketika melihat apa yang dibuka Devan dari komputer."Aku hanya merasa sikap Ivi aneh. Aku ingin mengecek apa dia masih berada di gedung," jawab Devan dengan tatapan yang masih tertuju pada layar.Akses keamanan cctv gedung memang terhubung ke komputer Danny, karena itulah Devan melihat dari sana dari pada turun ke ruang security.Devan dan Danny tampak mengamati setiap rekaman cctv dari lantai tempat mereka berada hingga lift dan lobi. Keduanya melihat wajah panik Evangeline, bahkan wanita itu terus menatap layar ponsel dan sesekali mengguncang benda pipih itu.
Setelah memantapkan hati, akhirnya Anira memutuskan untuk pergi. Hari itu Kenan dan keluarganya datang untuk berpamitan dengan Anira, setelah sebelumnya mendapat kabar dari Evangeline dan Devan. "Jangan lupakan kami," ucap Angel yang ingin melepas Anira. Anira mengangguk kemudian memeluk Angel, tak bisa berkata-kata karena dirinya begitu sedih meninggalkan keluarga itu. "Sering hubungi kami, oke!" pinta Angel lagi sebelum melepas pelukan. Anira lagi-lagi hanya mengangguk, sebelum kemudian beralih menatap Kenan yang sudah menatapnya sejak tadi. "Aku akan menunggumu kembali, Nira." Kenan langsung memeluk Anira, membuat gadis itu terkejut. Anira membalas pelukan Kenan, bahkan mengusap punggung pemuda itu karena tahu jika Kenan sama beratnya melepas. "Aku sangat menyayangimu, jangan lupakan aku," lirih Kenan sebelum melepas pelukan. Anira merasa jantungnya berdegup dengan cepat ketika Kenan mengucapkan kata itu, entah kenap
"Kamu tidak akan pergi, 'kan!" Kalandra bicara empat mata dengan Anira di kamar gadis itu. Ia menatap Anira yang duduk di tepian ranjang."Aku tidak tahu." Anira menjawab pertanyaan Kalandra seraya menundukkan kepala.Wanita yang bicara dengan Evangeline adalah ibu kandung Anira, setelah sekian tahun wanita itu datang dan ingin membawa Anira karena merasa berhak atas gadis itu."Nggak, aku nggak izinin kamu pergi!" Kalandra langsung memegang kedua lengan Anira, bahkan tanpa sengaja mencengkeram begitu erat."Al, sakit!" pekik Anira mencoba melepas tangan Kalandra dari lengannya.Kalandra berlutut di depan Anira, menggenggam kedua telapak tangan gadis itu begitu erat, kedua bola matanya terlihat berkaca."Jangan pergi, Nira. Aku mohon," pinta Kalandra.Anira terlihat bingung, setelah sekian tahun dia tidak tahu siapa orangtua kandungnya, serta bagaimana mereka, haruskah dia melewatkan kesempatan bersama orangtuanya."Aku bingung
"Apa maksudnya itu, hah?" Kalandra mendorong Kenan ke tembok.Kenan yang baru saja mengantar Anira ke kelas, cukup terkejut saat Kalandra langsung menarik dan membawanya ke samping gedung sekolah."Kamu kenapa sih, Al?" tanya Kenan bingung, apalagi ketika menatap amarah di mata saudaranya itu. Ia mengusap lengan yang sakit karena terbentur dinding."Apa maksudmu menciumnya?" Kalandra ternyata melihat dari jauh saat Kenan menangkup wajah Anira. Ia melihat punggung Kenan di mana saudaranya itu memiringkan kepala.Kenan terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, tak menyangka jika saudaranya itu melihat."Al, dengar dulu--" Kenan ingin menjelaskan, tapi terhenti karena Kalandra yang tiba-tiba memukulnya tepat di pipi, membuatnya sampai memalingkan wajah."Apa kamu kira, karena dekat dengannya maka bisa membuatmu sesuka hati menciumnya? Aku tidak setuju kamu bersikap seperti itu padanya!" Kalandra yang sudah terpancing emosi, tak bisa berpikiran je
Kenan berada di kamarnya setelah Kalandra dan Anira pulang. Ia menatap bingkai yang terdapat di meja belajarnya. Di sana terdapat foto dirinya, Anira, dan Kalandra.Kenan tiba-tiba menggelengkan kepala dengan senyum kecil di wajah, merasa lucu dengan hal yang dipikirkannya sekarang."Apa itu senyum-senyum sendiri?" tanya Angel yang ternyata melihat adiknya itu duduk melamun. Ia pun lantas berjalan masuk dan menghampiri Kenan.Kenan menoleh Angel yang kini sudah berdiri bersandar meja belajarnya."Siapa yang tersenyum?" Kenan mengelak dari pertanyaan sang kakak."Jangan bohong! Jelas-jelas tadi aku melihatmu tersenyum," ucap Angel."Hah, terserahlah." Kenan masih tidak mau mengakui. Ia malah membuka buku seakan ingin mengabaikan sang kakak.Angel menatap Kenan, seperti mengetahui sesuatu dari pandangan sang adik."Ke, apa kamu menyukai Anira?" tanya Angel tiba-tiba.Kenan langsung berhenti membalikkan buku saat mendengar
Kalandra tidak jadi belajar karena kasihan dengan Anira. Ia pun meminta sopir untuk menjemput mereka. Dalam perjalanan pulang, Kalandra hanya diam, membuat Anira sedikit merasa heran."Kamu baik-baik saja, Al?" tanya Anira.Kalandra tersadar dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Anira yang duduk di sampingnya."Aku tidak apa-apa," jawab remaja itu, mencoba mengulas senyum.Anira mengangguk karena Kalandra sudah mengatakan jika tidak apa-apa, mereka pun kembali menatap aspal jalanan.Sebenarnya Kalandra sedang memikirkan percakapannya dengan Kenan beberapa waktu lalu, saat Kenan sedang berganti pakaian.Di kamar tamu, beberapa waktu lalu."Ke, boleh aku tanya sesuatu?" Kalandra berdiri di samping pintu kamar mandi tempat Kenan berganti pakaian."Tanya saja!" Suara Kenan terdengar dari dalam kamar mandi."Aku melihat, akhir-akhir ini kamu sangat memperhatikan Nira. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Kala
Angel sangat terkejut saat melihat Anira tercebur ke kolam. Saat ingin melompat, ternyata Kenan sudah melompat duluan. Angel pun akhirnya menunggu di tepian dengan wajah panik.Kalandra meraih handuk yang tergantung di kursi, lantas berjongkok begitu melihat Kenan membawa Anira ke tepian, ia langsung menarik Anira keluar dari kolam, serta menutup tubuh gadis itu menggunakan handuk.Anira sangat ketakutan, itu karena dirinya trauma. Sejak kejadian banjir itu, tenggelam adalah mimpi buruk untuknya. Kejadian di masa kecil itu, ternyata melekat di hati dan pikiran gadis itu.Kenan keluar dari kolam, kemudian langsung mendekat ke arah Wira dan mendorong teman kakaknya itu. Membuat beberapa teman Angel terkejut dan panik karena takut ada perkelahian."Kenapa kamu mendorongnya, hah?" Kenan murka dengan kejadian yang menimpa Anira, menyalahkan Wira seakan tak takut dengan pemuda yang lebih dewasa darinya itu."Siapa yang mendorong? Dia terpeleset!" Bela Wi
Sore itu Anira dan Kalandra pergi ke rumah Kenan. Anira ke sana karena Kalandra yang mengajak, dua remaja itu ingin mengerjakan tugas."Rumah Kenan ramai amat?" tanya Anira ketika melihat beberapa mobil terparkir di halaman rumah."Palingan teman-teman Ica. Kata Kenan, tante dan om lagi ke luar kota, makanya di rumah bebas. Biasa kalau Ica suka ngundang teman kalau tidak ada om dan tante," jawab Kalandra seraya turun dari mobil, mereka diantar sopir.Anira hanya mengangguk, kemudian keluar dari mobil bersama Kalandra.Saat masuk, Anira melihat ke arah samping rumah, di mana kolam renang terlihat ramai dengan muda-mudi. Sepertinya Angel mengadakan pesta kolam renang."Nira!" panggil Angel saat melihat Anira."Kak!" sapa Anira sopan."Mau belajar?" tanya Angel. Ia membawa nampan berisi softdrink dan camilan."Ya, Al yang ingin belajar bersama Kenan," jawab Anira. "Apa mau aku bantu?" tanya Anira kemudian saat melihat Angel kerepo
Tahun demi tahun pun berlalu. Evangeline dan Devan menjalani hidup penuh kebahagiaan. Adanya Kalandra dan Anira, membuat hidup keduanya begitu sempurna.Kalandra kini hampir menginjak umur enam belas tahun, sedangkan Anira baru menginjak umur delapan belas tahun, gadis itu tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sama seperti tahun sebelumnya, Anira satu sekolah dengan Kalandra dan Kenan. Evangeline dan Milea memang sengaja menyekolahkan mereka bersama, agar ketiganya bisa terus saling menjaga."Nira! Dasiku di mana?" Kalandra berteriak dari kamarnya. Remaja itu sibuk mencari dasi sekolahnya.Anira yang baru saja selesai bersiap, lantas menyusul Kalandra begitu mendengar suara pemuda itu."Bukannya di laci kamar ganti, Al! Kenapa kamu suka lupa?" Anira yang baru masuk kamar, langsung berjalan ke arah kamar ganti.Kalandra sendiri hanya tersenyum melihat Anira yang langsung masuk ke kamar begitu dipanggil.Anira mengambilkan dasi Kaland
Hari berikutnya, Kalandra terpaksa tak ke sekolah karena kondisinya. Siang itu Kenan pulang bersama Anira dijemput Milea, Kenan ingin menjenguk Kalandra."Apa Al baik-baik saja?" tanya Kenan saat berada di mobil bersama Anira."Ya, hanya karena masih pusing, makanya dia tidak berangkat," jawab Anira dengan senyum kecil di wajah.Kenan mengangguk, kemudian memilih duduk dengan tenang bersama Anira, sampai mobil mereka sampai di rumah Evangeline.--Di rumah Evangeline, Kalandra terlihat kesepian karena berada di kamar sendirian."Ma, aku bosan," ucap Kalandra ketika melihat Evangeline masuk kamar."Nonton televisi kalau bosan," balas Evangeline santai. Wanita itu masuk membawa makanan dan minum untuk Kalandra.Kalandra mencebikkan bibir, tahu akan bosan di rumah sendirian, tentu dia akan memilih berangkat ke sekolah bersama Anira, meskipun kepala masih terasa pening.Evangeline meletakkan nampan ke atas nakas, seb