Evangeline memaksa bekerja meski Devan sudah melarangnya, wanita itu hanya tidak mau jika mendapatkan perlakuan khusus di perusahaan itu. Baginya sikap profesional adalah yang utama. Siang itu Evangeline harus pergi ke sekolah Angel, ia ingin menjemput gadis kecil itu karena Devan sedang keluar untuk menghadiri rapat di perusahaan lain. Devan sengaja tidak mengajak Evangeline karena takut kalau ada yang meliriknya seperti waktu itu.
Evangeline berjalan di lobi dengan langkah tertatih, tetap harus pergi karena tidak mau membuat Angel kecewa jika dirinya menyuruh orang lain.
Hingga ketika hendak melangkah di anak tangga depan lobi, Evangeline hampir terjatuh lagi. Beruntung ada seseorang yang menahan tubuhnya dari belakang.
"Ah, terima ka-sih." Evangeline menoleh dan menatap siapa yang berdiri di belakangnya.
"Kakimu sakit?" tanya Radhika yang memang kebetulan di sana dan melihat Evangeline hampir terj
Evangeline masih berusaha menjauhkan tubuh Radhika darinya, sedangkan tangan satunya mencoba membuka pintu yang ditahan pria itu."Ka, pembahasan tentang hubungan kita sudah berakhir, kenapa kamu masih terus mengingatkan akan hal itu?" tanya Evangeline yang mencoba mengalihkan topik yang ditujukan oleh Radhika."Kamu mengelak dan menghindar, apa itu bisa aku anggap kalau kamu sebenarnya masih mencintaiku?" Radhika terlihat senang dengan reaksi yang diberikan Evangeline.Evangeline menghela napas tidak percaya karena Radhika malah berpikir seperti itu, hingga akhirnya Evangeline harus mengulang kata tentang perasaannya sekarang ini."Tidak, aku sudah tidak mencintaimu, Ka! Antara kita benar-benar hanya ada kata 'mantan' tidak lebih dari itu!" ujar Evangeline seraya menatap kedua bola mata Radhika secara bergantian.Radhika tersenyum getir, tapi ia tetap tidak percaya dengan pengak
Evangeline menyembunyikan wajahnya di dada Devan, bagaimana tidak? Pria itu memaksa menggendong Evangeline menuju basement sepulang bekerja, ini gara-gara dokter yang mengatakan kalau Evangeline tidak boleh banyak berjalan, membuat Devan akhirnya memaksa menggendongnya."Van, aku malu," bisik Evangeline saat berada di lift.Sepanjang lorong menuju lift, para karyawan yang juga hendak pulang terus menatap keduanya, saling bisik menebak apakah hubungan antara atasan dan sekretaris itu sudah dalam tahap serius."Kenapa malu? Kamu tidak telanjang juga!" seloroh Devan.Evangeline yang mendengar candaan Devan pun langsung memukul dada pria itu, tidak menyangka kalau Devan bisa bercanda seperti itu."Ish, kamu ini! Aku merasa aneh kalau mereka menatapku seperti itu. Aku masih sanggup jalan, kenapa kamu harus menggendongku!" Evangeline mengerucutkan bibir, kedua tangannya melingkar di le
Devan pergi ke sebuah bar, entah kenapa ia mendatangi tempat itu. Devan sebelumnya tidak pernah pergi ke bar selain untuk urusan bisnis atau memang ada janji dengan Jordan. Namun, kedatangannya kali ini sepertinya bukanlah untuk kedua hal itu. Ada sedikit tatapan penuh amarah di wajahnya.Devan masuk ke sebuah ruangan yang terdapat di klub itu, ia menatap seseorang yang memang sedang menantikannya."Minum!" tawar pria yang duduk di bawah pencahayaan yang sangat minim."Tidak perlu berbasa-basi! Tidak ada Ivi di sini, jadi aku tidak akan mengalah atau kalah darimu," tolak Devan dengan telapak tangan yang mengepal.Radhika tersenyum getir, ia menenggak minuman yang sudah berada di gelas sloki, lantas meletakkan gelas kosong itu sedikit kasar ke atas meja."Apa kamu pikir aku juga akan mengalah atau kalah?" tanya Radhika menatap sinis pada Devan."Cepat katakan apa yang kamu inginkan?! Aku tidak punya banyak waktu!" ketus Devan.Meski me
Sonia masuk ke kamar Devan, wanita itu merasa heran kenapa putranya tidak bangun meski waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Itu bukanlah kebiasaan Devan, pria itu dikenal disiplin dan tidak suka menyia-nyiakan waktu, apalagi tidur berlebih."Dev, ini sudah jam berapa? Kenapa belum bangun?" tanya Sonia seraya membuka gordyn yang menutup cahaya matahari masuk ke kamar itu.Devan yang masih memejamkan mata, semakin menutup rapat kelopak matanya, ia bahkan menghalau sinar matahari yang masuk menyinari matanya menggunakan lengan.Sonia menghampiri putranya setelah membuka semua gordyn, alangkah terkejutnya dia ketika melihat wajah Devan yang penuh dengan luka lebam."Ya ampun, Dev! Kamu habis berkelahi?" tanya Sonia dengan nada suara panik.Wanita itu langsung duduk di tepian ranjang Devan, menyentuh dagu putranya dan menggerakkan kepala Devan ke kanan dan kiri agar bisa meliha
Evangeline duduk di tepian ranjang, wanita itu menggerakkan pergelangan kaki, memutar searah jarum jam kemudian berbalik lagi."Ah, akhirnya sembuh juga," gumam Evangeline yang merasa sangat senang.Evangeline mengambil ponselnya, lantas menghubungi Devan."Hai, kaki 'ku sudah sembuh. Hari ini aku akan pergi ke kantor," ucap Evangeline begitu panggilannya dijawab Devan.Sudah tiga hari Evangeline hanya di rumah saja, ia juga tidak melihat Devan sama sekali, hanya sesekali menghubungi pria itu melalui panggilan telpon karena Devan juga menolak melakukan panggilan video."Oh, oke. Aku tunggu," balas Evangeline ketika Devan mengatakan kalau pria itu juga sudah kembali dari dinas bohongannya dan akan menjemput dirinya.Evangeline bersiap pergi ke kantor, hari ini dirinya terlihat lebih bersemangat dan berusaha berpenampilan sebaik mungkin. Mungkin karena senang a
Evangeline menarik tangan Radhika, lantas meminta pria itu memuntahkan apa yang sudah masuk."Ka, kamu ini tidak sadar, hah! Makanan penutupnya menggunakan kacang!" ujar Evangeline panik.Radhika terkejut dengan penuturan Evangeline, ia pun sedikit membungkuk dan berusaha memuntahkan apa yang dimakan tapi sepertinya terlambat. Radhika hampir limbung, ia sudah merasakan rasa tidak nyaman di dada dan juga tubuhnya, kepalanya terasa pusing dan mulai tampak ruam di kulitnya."Mana kunci mobilmu?" tanya Evangeline panik.Evangeline merogoh saku jas bagian dalam sebelah kanan Radhika, tahu betul jika mantan suaminya selalu menyimpan kunci mobil di saku sebelah sana. Evangeline memapah Radhika menuju mobil, lantas membantu mantan suaminya itu masuk kemudian melajukan mobil itu meninggalkan area restoran. Evangeline sampai lupa jika meninggalkan Devan karena rasa paniknya.--
Radhika dirawat di rumah sakit sampai peradangan pada tenggorokannya menghilang. Ia menatap langit kamar rawat inapnya, mengingat bagaimana Evangeline masih memedulikannya, hingga wanita itu terlihat begitu mengkhawatirkan ketika dirinya hampir mengalami gagal napas. Namun, ia pun kembali teringat pembicaraannya dengan Evangeline."Kamu akan tinggal?" tanya Radhika pada Evangeline yang menunggunya di kamar inap."Tidak, aku harus pulang untuk melihat Devan," jawab Evangeline yang berdiri di samping ranjang."Ivi, perhatianmu ini apa bisa aku anggap--" Perkataan Radhika terjeda karena Evangeline memotongnya terlebih dahulu."Jangan menganggap ini sebagai sebuah perhatian, aku hanya tidak ingin melihat orang yang aku kenal celaka. Mungkin responku terlalu berlebih, tapi dibalik itu aku memiliki maksud tersendiri," ujar Evangeline.Evangeline mendesau, ia duduk di tepian ranjang Radhika menoleh pada pria itu, kemudian berkata, "Aku tidak mau hubungan
Devan duduk seraya menatap layar ponselnya, pria itu masih memikirkan tentang kejadian yang menimpa keluarga Evangeline, tidak menyangka kalau nasib sang kekasih sangat buruk. Devan mengingat setiap kata yang keluar dari bibir Evangeline."Saat itu aku baru saja pulang sekolah, hari itu aku datang terlambat karena menemani Milea membeli buku. Ketika aku pulang, kedua orangtuaku baru saja selesai makan siang, apa kamu tahu dengan yang terjadi? Kedua orangtuaku keracunan makanan, ketika aku berteriak panik mencari siapa saja yang bisa menolong, ternyata semua pelayan rumah mengalami hal yang sama. Aku melihat mulut mereka mengeluarkan busa dan muntah-muntah, saat itu aku hanya gadis kecil yang tidak tahu apa-apa. Aku berlarian di jalanan hendak meminta tolong, tapi tidak ada siapa pun yang lewat, membuatku benar-benar putus asa. Ketika aku kembali masuk, kedua orangtuaku sudah terkapar tak bernyawa. Menurutmu bagaimana perasaanku saat itu? Tidak cuman satu, ak