Devan pergi ke sebuah bar, entah kenapa ia mendatangi tempat itu. Devan sebelumnya tidak pernah pergi ke bar selain untuk urusan bisnis atau memang ada janji dengan Jordan. Namun, kedatangannya kali ini sepertinya bukanlah untuk kedua hal itu. Ada sedikit tatapan penuh amarah di wajahnya.
Devan masuk ke sebuah ruangan yang terdapat di klub itu, ia menatap seseorang yang memang sedang menantikannya.
"Minum!" tawar pria yang duduk di bawah pencahayaan yang sangat minim.
"Tidak perlu berbasa-basi! Tidak ada Ivi di sini, jadi aku tidak akan mengalah atau kalah darimu," tolak Devan dengan telapak tangan yang mengepal.
Radhika tersenyum getir, ia menenggak minuman yang sudah berada di gelas sloki, lantas meletakkan gelas kosong itu sedikit kasar ke atas meja.
"Apa kamu pikir aku juga akan mengalah atau kalah?" tanya Radhika menatap sinis pada Devan.
"Cepat katakan apa yang kamu inginkan?! Aku tidak punya banyak waktu!" ketus Devan.
Meski me
Sonia masuk ke kamar Devan, wanita itu merasa heran kenapa putranya tidak bangun meski waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Itu bukanlah kebiasaan Devan, pria itu dikenal disiplin dan tidak suka menyia-nyiakan waktu, apalagi tidur berlebih."Dev, ini sudah jam berapa? Kenapa belum bangun?" tanya Sonia seraya membuka gordyn yang menutup cahaya matahari masuk ke kamar itu.Devan yang masih memejamkan mata, semakin menutup rapat kelopak matanya, ia bahkan menghalau sinar matahari yang masuk menyinari matanya menggunakan lengan.Sonia menghampiri putranya setelah membuka semua gordyn, alangkah terkejutnya dia ketika melihat wajah Devan yang penuh dengan luka lebam."Ya ampun, Dev! Kamu habis berkelahi?" tanya Sonia dengan nada suara panik.Wanita itu langsung duduk di tepian ranjang Devan, menyentuh dagu putranya dan menggerakkan kepala Devan ke kanan dan kiri agar bisa meliha
Evangeline duduk di tepian ranjang, wanita itu menggerakkan pergelangan kaki, memutar searah jarum jam kemudian berbalik lagi."Ah, akhirnya sembuh juga," gumam Evangeline yang merasa sangat senang.Evangeline mengambil ponselnya, lantas menghubungi Devan."Hai, kaki 'ku sudah sembuh. Hari ini aku akan pergi ke kantor," ucap Evangeline begitu panggilannya dijawab Devan.Sudah tiga hari Evangeline hanya di rumah saja, ia juga tidak melihat Devan sama sekali, hanya sesekali menghubungi pria itu melalui panggilan telpon karena Devan juga menolak melakukan panggilan video."Oh, oke. Aku tunggu," balas Evangeline ketika Devan mengatakan kalau pria itu juga sudah kembali dari dinas bohongannya dan akan menjemput dirinya.Evangeline bersiap pergi ke kantor, hari ini dirinya terlihat lebih bersemangat dan berusaha berpenampilan sebaik mungkin. Mungkin karena senang a
Evangeline menarik tangan Radhika, lantas meminta pria itu memuntahkan apa yang sudah masuk."Ka, kamu ini tidak sadar, hah! Makanan penutupnya menggunakan kacang!" ujar Evangeline panik.Radhika terkejut dengan penuturan Evangeline, ia pun sedikit membungkuk dan berusaha memuntahkan apa yang dimakan tapi sepertinya terlambat. Radhika hampir limbung, ia sudah merasakan rasa tidak nyaman di dada dan juga tubuhnya, kepalanya terasa pusing dan mulai tampak ruam di kulitnya."Mana kunci mobilmu?" tanya Evangeline panik.Evangeline merogoh saku jas bagian dalam sebelah kanan Radhika, tahu betul jika mantan suaminya selalu menyimpan kunci mobil di saku sebelah sana. Evangeline memapah Radhika menuju mobil, lantas membantu mantan suaminya itu masuk kemudian melajukan mobil itu meninggalkan area restoran. Evangeline sampai lupa jika meninggalkan Devan karena rasa paniknya.--
Radhika dirawat di rumah sakit sampai peradangan pada tenggorokannya menghilang. Ia menatap langit kamar rawat inapnya, mengingat bagaimana Evangeline masih memedulikannya, hingga wanita itu terlihat begitu mengkhawatirkan ketika dirinya hampir mengalami gagal napas. Namun, ia pun kembali teringat pembicaraannya dengan Evangeline."Kamu akan tinggal?" tanya Radhika pada Evangeline yang menunggunya di kamar inap."Tidak, aku harus pulang untuk melihat Devan," jawab Evangeline yang berdiri di samping ranjang."Ivi, perhatianmu ini apa bisa aku anggap--" Perkataan Radhika terjeda karena Evangeline memotongnya terlebih dahulu."Jangan menganggap ini sebagai sebuah perhatian, aku hanya tidak ingin melihat orang yang aku kenal celaka. Mungkin responku terlalu berlebih, tapi dibalik itu aku memiliki maksud tersendiri," ujar Evangeline.Evangeline mendesau, ia duduk di tepian ranjang Radhika menoleh pada pria itu, kemudian berkata, "Aku tidak mau hubungan
Devan duduk seraya menatap layar ponselnya, pria itu masih memikirkan tentang kejadian yang menimpa keluarga Evangeline, tidak menyangka kalau nasib sang kekasih sangat buruk. Devan mengingat setiap kata yang keluar dari bibir Evangeline."Saat itu aku baru saja pulang sekolah, hari itu aku datang terlambat karena menemani Milea membeli buku. Ketika aku pulang, kedua orangtuaku baru saja selesai makan siang, apa kamu tahu dengan yang terjadi? Kedua orangtuaku keracunan makanan, ketika aku berteriak panik mencari siapa saja yang bisa menolong, ternyata semua pelayan rumah mengalami hal yang sama. Aku melihat mulut mereka mengeluarkan busa dan muntah-muntah, saat itu aku hanya gadis kecil yang tidak tahu apa-apa. Aku berlarian di jalanan hendak meminta tolong, tapi tidak ada siapa pun yang lewat, membuatku benar-benar putus asa. Ketika aku kembali masuk, kedua orangtuaku sudah terkapar tak bernyawa. Menurutmu bagaimana perasaanku saat itu? Tidak cuman satu, ak
Ketika sampai di rumah Sonia, Evangeline melihat Milea dan Jordan juga di sana, membuat dirinya sedikit merasa tenang karena setidaknya makan malam itu tidak terfokus padanya."Mama Ivi!" Angel langsung melompat dari kursi, gadis kecil itu menghampiri Evangeline yang baru datang.Tentu saja Evangeline langsung menyambutnya dengan rasa bahagia, ia bahkan menggendong gadis kecil itu."Mama Ivi cantik," puji Angel ketika sudah berada di dalam gendongan Evangeline.Evangeline tersenyum, kemudian mencolek hidung gadis kecil itu. "Kamu juga sangat cantik.""Besok kalau besar, Ica mau kayak Mama Ivi, cantik rambutnya panjang," ujar Angel seraya menyentuh rambut Evangeline.Milea yang mendengar ucapan Angel pun langsung bangun, ia kemudian menghampiri dua orang yang sangat disayangi."Ica nggak mau kayak Mama Milea?" tanya Milea mem
Evangeline mengedarkan pandangannya, menatap setiap sudut ruangan yang sekarang sedang dilihatnya. Sepanjang mata memandang, ia hanya melihat warna abu-abu."Tidak ada warna." Evangeline memberi komentar, ia sampai melipat satu tangan di bawah dada dan satu tangan digunakan untuk memegangi dagu."Memangnya harus diberi warna apa?" tanya Devan berbisik di telinga Evangeline."Mungkin merah hati, atau hijau tua, bisa juga putih," jawab Evangeline seraya menggerakkan tangan yang tadinya memegang dagu, ia kemudian menoleh pada Devan.Wanita itu tengah menilai kamar Devan yang didominasi warna abu-abu, dari sprei, gordyn hingga warna cat dinding kamar.Evangeline terkejut karena wajah Devan begitu dekat dengannya, membuat jantungnya hampir melompat dari tempatnya. Devan menahan tawa melihat ekpresi Evangeline, ia menggenggam tangan wanita itu lantas memintanya duduk diranjangnya.
Devan dan Evangeline sudah berada di mobil. Devan mengantar Evangeline pulang setelah mereka selesa makan malam keluarga. Pria itu terus melirik pada pergelangan tangan Evangeline, lantas ia berdeham seraya mengosok hidungnya dengan jari telunjuk. "Jadi, sudah ada peresmian!" goda Devan. "Hah, apa?" tanya Evangeline yang tidak mengerti. Devan melirik pada gelang yang dipakai Evangeline, lantas ia menjawab, "Gelang itu, bahkan mamah tidak pernah mengizinkan aku menyentuhnya, tapi kini malah sudah ada di tanganmu." Evangeline tersenyum, ia lantas menyentuh gelang itu dan berkata," Sepertinya aku benar-benar terjebak cintamu, ini gila." Devan menahan rasa bahagianya ketika Evangeline mengatakan kalau terjebak cintanya, entah kenapa kata itu sudah bisa membuatnya sangat bahagia. --- Setelah pertemuan makan malam itu, Devan mengajukan lamarannya ke keluarga wali Evangeline dan membicarakan masalah tanggal pernikahan mereka.