Evangeline berdiri di belakang Devan yang duduk menghadap cermin, wanita itu benar-benar memangkas rambut Devan agar terlihat sedikit rapi, jemarinya tampak menyisir helaian rambut yang sudah selesai ia pangkas.
"Bagaimana? Aku ahli, 'kan!" ujar Evangeline seraya mengulas senyum menatap wajah Devan lewat pantulan cermin.
Devan memperhatikan tatanan rambutnya, benar-benar rapi. Pria itu pun menatap Evangeline lewat bayangan yang terpantul dari cermin, Evangeline tampak menunduk dan masih menyisir rambutnya dengan jari. Devan memutar tubuhnya, lantas menatap Evangeline dengan menggenggam tangan kekasihnya itu.
"Ini mengingatkan kepada dia?" tanya Devan menyelidik, mencari tahu dari manik mata Evangeline yang terlihat begitu indah.
Evangeline mengulas senyum seraya menggelengkan kepala, ia pun mencoba bersikap biasa hingga kemudian melepas tangan Devan yang menggenggam lalu menangkup kedua sisi wajah pr
"Ivi," lirih Devan yang sadar jika kekasihnya itu sedang marah besar.Evangeline mengedarkan pandangan, memperhatikan para karyawan yang tatapan mulai tertuju pada mereka, ia pun sedikit merapat pada Devan."Jangan menjatuhkan wibawamu di depan karyawan, membuat keputusan yang tidak masuk akal hanya karena hal sepele. Aku tidak ingin kamu kehilangan muka di depan para karyawan, jadi pikirkan apa yang aku ucapkan." Evangeline langsung berjalan cepat setelah mengatakan hal itu, ia hanya tidak ingin sang kekasih dicap sebagai pria semena-mena hanya karena alasan yang benar-benar tidak masuk akal.Devan terlihat bingung, tidak menyangka jika Evangeline akan semarah itu dengan sikapnya. Ia pun melangkah untuk mengejar Evangeline."Pak, saya jadi dipecat?" tanya karyawan yang tadi mendekati Evangline."Tidak!" teriak Devan yang sudah berjalan cepat mengejar sang kekasih.Karyawan Devan mengusap dada, bahagia karena dirinya tidak jadi dipecat, tapi juga
Devan yang tidak menyadari tatapan Radhika maupun Evangeline pun langsung merangkul pundak kekasihnya itu. Devan pun memperkenalkan keduanya."Dik, ini Evangeline kekasihku.""Ivi, dia Radhika rekan bisnisku."Devan memperkenalkan keduanya, pria itu tidak curiga sama sekali dengan sikap sang kekasih dan temannya."Ivi? Dia memanggilnya dengan nama 'Ivi'?" Radhika bertanya-tanya dalam hati, seakan tidak terima jika panggilan yang diberikan olehnya diucapkan oleh pria lain.Namun, meski begitu ia tetap berusaha tenang. Radhika mengulurkan tangan ke arah Evangeline, ingin menjabat tangan mantan istrinya itu."Senang bertemu dengan Anda, Nona!"Evangeline menatap tangan Radhika, perasaannya kacau juga jantungnya terus berdebar begitu cepat."Ivi, Dika memperkenalkan dirinya," bisik Devan yang sadar jika kekasihnya itu malah termangu.Evangeline tersadar, ia menoleh pada Devan lantas mengulas senyum dengan terpaksa. Evangeline membala
Devan terlihat sesekali melirik Evangeline, melihat kekasihnya itu hanya diam menatap aspal jalanan."Vi, apa perlu ke rumah sakit?" tanya Devan yang cemas.Evangeline yang mendengar pertanyaan Devan pun menoleh, ia lantas mengulas senyum dengan menggelengkan kepala."Tidak perlu, aku hanya ingin cepat pulang dan tidur."Devan pun mengangguk, pria itu terlihat berpikir, merasa aneh dengan sikap Evangeline sejak bertemu rekan bisnisnya. Sejak awal berangkat kekasihnya itu baik-baik saja, tapi setelah bertemu Radhika, Evangeline terlihat gugup dan gelisah.___Devan mengantar Evangeline hingga ke depan pintu unit, ia mengkhawatirkan keadaan kekasihnya itu."Vi, yakin nggak mau ke dokter dulu?" tanya Devan sekali lagi menawari."Tidak perlu, aku benar-benar hanya butuh istirahat," tolak Evangeline sekali lagi."Oke, masuklah! Jangan sampai sakitmu semakin parah," ucap Devan yang langsung mendapat sebuah anggukan dar
Devan yang merasa cemas terhadap Evangeline pun memutuskan untuk datang ke apartemen sang kekasih meski pekerjaan dan rapat tengah menunggunya. Bukan hanya karena Evangeline mengatakan sakit, tapi rasa cemas sebab baru mengetahui jika rekan bisnisnya adalah mantan suami sang kekasih.Devan keluar dari lift yang terbuka di lantai tempat ruangan Evangeline berada, pria itu berjalan santai hingga ia menghentikan langkah ketika melihat pintu unit Evangeline terbuka, tapi sedetik kemudian Devan berjalan cepat karena mendengar suara gaduh."Lepas, Ka! Jangan keterlaluan!" teriak Evangeline dengan suara sedikit terisak."Nggak, aku tidak akan pernah melepaskanmu!" tolak Radhika.Devan yang melihat Radhika tengah memaksa Evangeline pun merasa murka, pria itu langsung menarik kerah kemeja bagian belakang Radhika lantas mendorong rekan bisnisnya itu keluar melewati pintu."Jangan menyentuhnya!" gera
Devan duduk bersama Evangeline, ia menunggu hingga kekasihnya itu tenang sebelum bertanya tentang hubungan Evangeline dan Radhika.Evangeline terdiam, ia masih terlihat sesekali mengusap ingus dan sisa buliran kristal bening di wajahnya. Hari yang paling ditakutinya adalah ketika bertemu lagi dengan mantan suaminya itu."Apa sudah lebih baik?" tanya Devan mengamati Evangeline.Evangeline menoleh pada Devan, ia mencoba mengulas senyum agar Devan tidak khawatir."Sudah mendingan," jawab Evangeline yang kemudian sedikit menunduk.Devan menatap pada kekasihnya itu, tahu jika sebenarnya Evangeline belum baik-baik saja."Ivi, kamu tidak mau menceritakan sesuatu padaku?" tanya Devan yang tidak mau langsung ke inti pertanyaannya.Evangeline meletakkan tisu yang dipegangnya, lantas menyandarkan punggung dengan kasar, ia sampai menutup kedua mata m
Milea tengah makan siang dengan Jordan, tapi gadis itu terlihat tidak fokus dengan makanan yang tersaji, pikirannya tengah melayang kepada kedatangan Radhika hari itu."Mil, kenapa tidak makan?" Pertanyaan Jordan membuyarkan lamunan Milea, gadis itu pun membetulkan posisi duduknya sebelum akhirnya menatap pada calon suaminya."Sedang memikirkan sesuatu," jawab Milea yang kemudian memasukkan potongan daging ke mulutnya."Memikirkan apa?" tanya Jordan penasaran, pria itu sampai meletakkan alat makan dan dengan serius menatap pada tunangannya itu.Milea terlihat bingung, ia sampai menggaruk kepala yang tidak gatal baru kemudian menatap pada Jordan yang sudah menantikan jawaban darinya."Mantan suami Evangeline mendatangi rumahku," jawab Milea.Jordan sedikit terkejut, tapi kemudian ia berpikir bagaimana perasaan mantan kakak iparnya kalau tahu, meski sebenarnya tanpa Jordan sadar
Jordan ingin mengantar Milea ke rumah setelah mereka selesai makan siang, tapi pria itu melihat betapa gelisahnya gadis itu hingga akhirnya memutuskan untuk mengajak Milea ke tempat Evangeline."Di mana lokasi apartemen Evangeline?" tanya Jordan seraya fokus ke jalanan."Memangnya kenapa?" tanya Milea bingung, ditatapnya Jordan yang terus menatap aspal jalanan."Kamu terlihat gelisah dan sepertinya masih mengkhawatirkan Evangeline, jadi alangkah baiknya kamu melihatnya sendiri keadaaanya agar tidak cemas," ujar Jordan yang menoleh sekilas pada Milea dengan mengulas senyum.Milea mengangguk mengerti, ia pun memberi tahu alamat Evangeline hingga Jordan melajukan mobil ke area yang disebutkan oleh tunangannya itu.---"Oh, mau ambil berkasnya?" tanya Devan ketika melihat siapa yang datang."Iya Pak!" jawab salah satu kurir perusahaan Devan.Devan pun berjalan masuk tanpa mempersilahkan kurirnya itu masuk dahulu, ia segera meng
Hari berikutnya, Milea mengajak Evangeline pergi ke sebuah butik untuk memilih gaun pengantin, tanggal pernikahan Milea dan Jordan memang sudah ditentukan. Karena Jordan masih ada rapat, membuat Milea mengajak Evangeline."Aku akan mencoba yang ini, kamu pilihlah gaunmu," ujar Milea yang sudah selesai memilih.Evangeline hanya mengangguk, ia melihat-lihat gaun pengantin juga gaun lainnya yang tergantung di sana. Entah kenapa ia tersenyum getir, semua itu mengingatkannya tentang Radhika, bagaimana pria itu dulu menemani memilih gaun pengantin untuk pernikahan mereka. Namun, tetap saja Evangeline harus bangun dari mimpi dan kembali pada kenyataan, bahwa Radhika mungkin benar-benar bukanlah pria yang akan menemaninya hingga tua."Apa ini mengingatkanmu pada kita?" Pertanyaan itu membuat Evangeline tertegun.Evangeline berdiri terpaku menatap kosong yang ada di hadapannya, terlalu takut untuk menol
Setelah memantapkan hati, akhirnya Anira memutuskan untuk pergi. Hari itu Kenan dan keluarganya datang untuk berpamitan dengan Anira, setelah sebelumnya mendapat kabar dari Evangeline dan Devan. "Jangan lupakan kami," ucap Angel yang ingin melepas Anira. Anira mengangguk kemudian memeluk Angel, tak bisa berkata-kata karena dirinya begitu sedih meninggalkan keluarga itu. "Sering hubungi kami, oke!" pinta Angel lagi sebelum melepas pelukan. Anira lagi-lagi hanya mengangguk, sebelum kemudian beralih menatap Kenan yang sudah menatapnya sejak tadi. "Aku akan menunggumu kembali, Nira." Kenan langsung memeluk Anira, membuat gadis itu terkejut. Anira membalas pelukan Kenan, bahkan mengusap punggung pemuda itu karena tahu jika Kenan sama beratnya melepas. "Aku sangat menyayangimu, jangan lupakan aku," lirih Kenan sebelum melepas pelukan. Anira merasa jantungnya berdegup dengan cepat ketika Kenan mengucapkan kata itu, entah kenap
"Kamu tidak akan pergi, 'kan!" Kalandra bicara empat mata dengan Anira di kamar gadis itu. Ia menatap Anira yang duduk di tepian ranjang."Aku tidak tahu." Anira menjawab pertanyaan Kalandra seraya menundukkan kepala.Wanita yang bicara dengan Evangeline adalah ibu kandung Anira, setelah sekian tahun wanita itu datang dan ingin membawa Anira karena merasa berhak atas gadis itu."Nggak, aku nggak izinin kamu pergi!" Kalandra langsung memegang kedua lengan Anira, bahkan tanpa sengaja mencengkeram begitu erat."Al, sakit!" pekik Anira mencoba melepas tangan Kalandra dari lengannya.Kalandra berlutut di depan Anira, menggenggam kedua telapak tangan gadis itu begitu erat, kedua bola matanya terlihat berkaca."Jangan pergi, Nira. Aku mohon," pinta Kalandra.Anira terlihat bingung, setelah sekian tahun dia tidak tahu siapa orangtua kandungnya, serta bagaimana mereka, haruskah dia melewatkan kesempatan bersama orangtuanya."Aku bingung
"Apa maksudnya itu, hah?" Kalandra mendorong Kenan ke tembok.Kenan yang baru saja mengantar Anira ke kelas, cukup terkejut saat Kalandra langsung menarik dan membawanya ke samping gedung sekolah."Kamu kenapa sih, Al?" tanya Kenan bingung, apalagi ketika menatap amarah di mata saudaranya itu. Ia mengusap lengan yang sakit karena terbentur dinding."Apa maksudmu menciumnya?" Kalandra ternyata melihat dari jauh saat Kenan menangkup wajah Anira. Ia melihat punggung Kenan di mana saudaranya itu memiringkan kepala.Kenan terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, tak menyangka jika saudaranya itu melihat."Al, dengar dulu--" Kenan ingin menjelaskan, tapi terhenti karena Kalandra yang tiba-tiba memukulnya tepat di pipi, membuatnya sampai memalingkan wajah."Apa kamu kira, karena dekat dengannya maka bisa membuatmu sesuka hati menciumnya? Aku tidak setuju kamu bersikap seperti itu padanya!" Kalandra yang sudah terpancing emosi, tak bisa berpikiran je
Kenan berada di kamarnya setelah Kalandra dan Anira pulang. Ia menatap bingkai yang terdapat di meja belajarnya. Di sana terdapat foto dirinya, Anira, dan Kalandra.Kenan tiba-tiba menggelengkan kepala dengan senyum kecil di wajah, merasa lucu dengan hal yang dipikirkannya sekarang."Apa itu senyum-senyum sendiri?" tanya Angel yang ternyata melihat adiknya itu duduk melamun. Ia pun lantas berjalan masuk dan menghampiri Kenan.Kenan menoleh Angel yang kini sudah berdiri bersandar meja belajarnya."Siapa yang tersenyum?" Kenan mengelak dari pertanyaan sang kakak."Jangan bohong! Jelas-jelas tadi aku melihatmu tersenyum," ucap Angel."Hah, terserahlah." Kenan masih tidak mau mengakui. Ia malah membuka buku seakan ingin mengabaikan sang kakak.Angel menatap Kenan, seperti mengetahui sesuatu dari pandangan sang adik."Ke, apa kamu menyukai Anira?" tanya Angel tiba-tiba.Kenan langsung berhenti membalikkan buku saat mendengar
Kalandra tidak jadi belajar karena kasihan dengan Anira. Ia pun meminta sopir untuk menjemput mereka. Dalam perjalanan pulang, Kalandra hanya diam, membuat Anira sedikit merasa heran."Kamu baik-baik saja, Al?" tanya Anira.Kalandra tersadar dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Anira yang duduk di sampingnya."Aku tidak apa-apa," jawab remaja itu, mencoba mengulas senyum.Anira mengangguk karena Kalandra sudah mengatakan jika tidak apa-apa, mereka pun kembali menatap aspal jalanan.Sebenarnya Kalandra sedang memikirkan percakapannya dengan Kenan beberapa waktu lalu, saat Kenan sedang berganti pakaian.Di kamar tamu, beberapa waktu lalu."Ke, boleh aku tanya sesuatu?" Kalandra berdiri di samping pintu kamar mandi tempat Kenan berganti pakaian."Tanya saja!" Suara Kenan terdengar dari dalam kamar mandi."Aku melihat, akhir-akhir ini kamu sangat memperhatikan Nira. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Kala
Angel sangat terkejut saat melihat Anira tercebur ke kolam. Saat ingin melompat, ternyata Kenan sudah melompat duluan. Angel pun akhirnya menunggu di tepian dengan wajah panik.Kalandra meraih handuk yang tergantung di kursi, lantas berjongkok begitu melihat Kenan membawa Anira ke tepian, ia langsung menarik Anira keluar dari kolam, serta menutup tubuh gadis itu menggunakan handuk.Anira sangat ketakutan, itu karena dirinya trauma. Sejak kejadian banjir itu, tenggelam adalah mimpi buruk untuknya. Kejadian di masa kecil itu, ternyata melekat di hati dan pikiran gadis itu.Kenan keluar dari kolam, kemudian langsung mendekat ke arah Wira dan mendorong teman kakaknya itu. Membuat beberapa teman Angel terkejut dan panik karena takut ada perkelahian."Kenapa kamu mendorongnya, hah?" Kenan murka dengan kejadian yang menimpa Anira, menyalahkan Wira seakan tak takut dengan pemuda yang lebih dewasa darinya itu."Siapa yang mendorong? Dia terpeleset!" Bela Wi
Sore itu Anira dan Kalandra pergi ke rumah Kenan. Anira ke sana karena Kalandra yang mengajak, dua remaja itu ingin mengerjakan tugas."Rumah Kenan ramai amat?" tanya Anira ketika melihat beberapa mobil terparkir di halaman rumah."Palingan teman-teman Ica. Kata Kenan, tante dan om lagi ke luar kota, makanya di rumah bebas. Biasa kalau Ica suka ngundang teman kalau tidak ada om dan tante," jawab Kalandra seraya turun dari mobil, mereka diantar sopir.Anira hanya mengangguk, kemudian keluar dari mobil bersama Kalandra.Saat masuk, Anira melihat ke arah samping rumah, di mana kolam renang terlihat ramai dengan muda-mudi. Sepertinya Angel mengadakan pesta kolam renang."Nira!" panggil Angel saat melihat Anira."Kak!" sapa Anira sopan."Mau belajar?" tanya Angel. Ia membawa nampan berisi softdrink dan camilan."Ya, Al yang ingin belajar bersama Kenan," jawab Anira. "Apa mau aku bantu?" tanya Anira kemudian saat melihat Angel kerepo
Tahun demi tahun pun berlalu. Evangeline dan Devan menjalani hidup penuh kebahagiaan. Adanya Kalandra dan Anira, membuat hidup keduanya begitu sempurna.Kalandra kini hampir menginjak umur enam belas tahun, sedangkan Anira baru menginjak umur delapan belas tahun, gadis itu tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sama seperti tahun sebelumnya, Anira satu sekolah dengan Kalandra dan Kenan. Evangeline dan Milea memang sengaja menyekolahkan mereka bersama, agar ketiganya bisa terus saling menjaga."Nira! Dasiku di mana?" Kalandra berteriak dari kamarnya. Remaja itu sibuk mencari dasi sekolahnya.Anira yang baru saja selesai bersiap, lantas menyusul Kalandra begitu mendengar suara pemuda itu."Bukannya di laci kamar ganti, Al! Kenapa kamu suka lupa?" Anira yang baru masuk kamar, langsung berjalan ke arah kamar ganti.Kalandra sendiri hanya tersenyum melihat Anira yang langsung masuk ke kamar begitu dipanggil.Anira mengambilkan dasi Kaland
Hari berikutnya, Kalandra terpaksa tak ke sekolah karena kondisinya. Siang itu Kenan pulang bersama Anira dijemput Milea, Kenan ingin menjenguk Kalandra."Apa Al baik-baik saja?" tanya Kenan saat berada di mobil bersama Anira."Ya, hanya karena masih pusing, makanya dia tidak berangkat," jawab Anira dengan senyum kecil di wajah.Kenan mengangguk, kemudian memilih duduk dengan tenang bersama Anira, sampai mobil mereka sampai di rumah Evangeline.--Di rumah Evangeline, Kalandra terlihat kesepian karena berada di kamar sendirian."Ma, aku bosan," ucap Kalandra ketika melihat Evangeline masuk kamar."Nonton televisi kalau bosan," balas Evangeline santai. Wanita itu masuk membawa makanan dan minum untuk Kalandra.Kalandra mencebikkan bibir, tahu akan bosan di rumah sendirian, tentu dia akan memilih berangkat ke sekolah bersama Anira, meskipun kepala masih terasa pening.Evangeline meletakkan nampan ke atas nakas, seb