Sesaat sebelum alarm kebakaran berbunyi. Seorang pria berpakaian teknisi tampak berjalan masuk ke gedung, menenteng perkakas menuju ruang kendali. Hingga beberapa menit kemudian alarm kebakaran berbunyi, sistem operasi listrik mati membuat semua orang panik.
Ketika Evangeline tengah berjibaku dengan orang-orang yang saling berdesakan untuk menyelamatkan diri, hingga membuatnya terpisah dari pengawal pribadinya, seseorang menarik Evangeline dan membuatnya kebingungan.
"Hei! Siapa kamu?" Evangeline berusaha melepas tangan yang digenggam pria itu tapi tidak berhasil.
Hingga ada pria lain yang muncul dari belakang dan membekap Evangeline menggunakan sapu tangan yang sudah diberi obat bius, membuat wanita itu langsung terkulai lemas dan tidak sadarkan diri.
"Bawa dia cepat!" Salah satu memerintah dan berjalan cepat menuju mobil membuka pintu, sedangkan pria satu yang menerima perintah langsung mengg
Dua pria yang membawa seorang pria berumur berumur 45 tahun dari sebuah kota kecil. Sudah masuk ke kota besar di mana orang yang memerintah tengah menunggu. Hingga suara ponsel terdengar terus berbunyi, membuat salah satu pria berbadan kekar itu menjawab."Halo!" Pria itu menjawab panggilan dari nomor tak dikenal."Lepaskan pria yang kalian bawa, atau kalian akan melihat wanita bernama Evangeline mati sia-sia." Suara dari seberang panggilan tampak terdengar seperti sebuah ancaman."Apa maksudmu? Kami tidak kenal dengan wanita yang kalian maksud!" Pria yang menjawab panggilan itu menoleh pada rekan yang tengah mengemudikan mobil, kemudian menoleh ke kursi penumpang di mana pria yang mereka bawa duduk dengan kepala tertutup kain hitam dan kedua tangan yang diikat jadi satu."Tanyakan pada orang yang menyuruh kalian! Jika sampai sore ini tidak ada kepastian, maka kami akan mengirimkan mayat wanita ini k
Baru akan menemui Jonathan, Devan dan Jordan bertemu dulu dengan pria itu di depan lobi hotel tempat menginap Jonathan."Tuan, kebetulan bertemu dengan Anda," ucap Devan yang terlihat senang karena bisa bertemu Jonathan.Raut wajah Jonathan terlihat gusar dan cemas, pria itu langsung menggandeng tangan Devan. "Ikutlah denganku!" ajaknya."Tunggu! Saya ke mari karena ingin meminta bantuan, ini tentang--""Evangeline, aku tahu. Karena itu aku ingin mengajakmu." Jonathan memotong ucapan Devan, membuat pria itu terkejut."Anda tahu?" tanya Devan mengernyitkan dahi. Jordan yang menemani Devan juga terkejut.Jonathan mengangguk, kemudian berkata, " Anak buahku berhasil menemukan dan membawa orang yang menjadi saksi kunci jawaban kematian keluarga Angel. Namun, sepertinya orang yang membayar pria itu mengetahui dan kini tengah mengancam," ujar Jonathan.
Devan menatap pria yang ada dihadapannya, kedua tangan terikat ke depan, tapi senyum seringai muncul di wajah pria itu, seakan sedang mengejek pada orang yang menangkapnya. "Apa aku boleh memukulnya?" tanya Devan pada Jonathan karena kesal. "Tahan, jika kita menyakiti pria ini, maka keselamatan Evangeline akan terancam," jawab Jonathan mencoba meredam amarah. Anak buah Jonathan sudah mencoba menginterogasi, berharap pria itu buka mulut dan mau bersaksi tentang kejadian kematian keluarga Evangeline. Namun, pria itu terlalu picik karena yakin jika orang yang menyuruhnya tidak akan tinggal diam. Kini mereka tengah dalam perjalanan menuju tempat Evangeline disekap, mengalah demi keselamatan Evangeline. Jonathan tidak menghubungi polisi karena orang suruhan Kelvin mengancam akan membunuh Evangeline ditempat, jika mereka melihat polisi ikut campur. - - C
Evangeline duduk dengan kepala menunduk, matanya menatap kedua telapak tangan yang berlumuran darah. Tubuhnya bergetar, kakinya terasa lemas. Melihat Cristian mengorbankan nyawa untuknya, membuat Evangeline benar-benar merasa bersalah.Devan berjongkok di depan sang istri, membuka tisu basah kemudian mengambil selembar. Meraih tangan Evangeline hingga kemudian mengusap telapak tangan dengan lembut. Devan melirik pada Evangeline, tapi tatapan mata wanita itu kosong. Devan terus membersihkan tangan Evangeline dari noda darah, hingga kemudian berpindah membersihkan wajah yang basah bercampur bercak merah."Dia akan baik-baik saja," ucap Devan mencoba menenangkan perasaan Evangeline.Mereka membawa Cristian ke rumah sakit, sampai di sana langsung dibawa masuk ke ruang operasi. Sedangkan Evangeline dan Devan menunggu di kursi selasar yang terdapat di koridor rumah sakit.Jordan dan Jonathan ada di sana, m
Hari pemakaman kedua orangtua Evangeline.Angin berembus pelan, menerpa tubuh yang berdiri terpaku. Evangeline menatap dua batu nisan yang tertancap di tanah. Hari ini gadis itu memakai pakaian serba hitam, tidak ada air mata yang mengalir dari kelopak mata. Semua cairan bening itu sudah habis dicurahkan, tidak ada yang tersisa, bahkan matanya terlihat merah dan bengkak, kini hanya ada kepedihan teramat dalam yang dirasakan karena ditinggal oleh dua orang yang sangat dicintai."Angel!"Suara sapaan itu terdengar penuh rasa iba, Cristian yang memang umurnya hanya terpaut beberapa tahun saja dengan Evangeline tampak berdiri di samping gadis itu. Ia juga memakai kemeja dan celana hitam, ikut mengantar orangtua Evangeline ke peristirahatan terakhir.Evangeline menoleh, ditatapnya Cristian yang menatapnya iba, hingga kemudian kembali menatap pada pusara kedua orangtuanya."Aku mau iku
"Hei, kalian."Suara lirih terdengar, Evangeline dan Devan menoleh bersamaan ke arah suara. Keduanya terkejut karena Cristian menggerakkan tangannya, pria itu sudah sadar. Evangeline langsung mendekat ke arah ranjang, ditatapnya Cristian yang masih memejamkan mata, tapi jemarinya sudah bergerak."Kak Cris, kamu sudah sadar." Evangeline memastikan."Hmm ... dan tragisnya aku harus mendengar kalian bermesraan, bahkan sampai membahas masalah bercinta. Sialnya aku," keluh Cristian dengan suara lirih dan mata belum mau terbuka.Evangeline menahan tawa, Devan sendiri buru-buru memanggil perawat untuk mengecek kondisi Cristian."Maaf," ucap Evangeline yang merasa canggung."Kamu benar-benar mencintainya," lirih Cristian. Pria itu berusaha membuka kelopak matanya, tapi merasa sangat berat. Sepertinya efek obat tidur masih mempengaruhi kesadarannya.
Evangeline mengubah posisi duduknya, dari miring kini saling berhadapan dengan Devan. Membelai bahkan meremas rambut hitam legam Devan berulang kali, matanya terus menatap wajah Devan, entah kenapa bersama pria itu membuatnya liar. Apa yang dirasakan Evangeline terhadap Devan sangat berbeda dengan yang dirasakan pada Radhika dulu. Ada sebuah medan magnet yang seakan menariknya untuk terus dekat dengan Devan. Pertama kali melihat Devan saat pertama kali masuk bekerja, Evangeline merasa jantungnya berdebar, meski pria itu dulu sering memarahinya, tapi entah kenapa saat Devan mulai bersikap lembut, ia tidak bisa menolak sikap dan perlakuan Devan. Sekarang Evangeline benar-benar terjebak dalam cinta Devan, rela melakukan apa pun demi pria itu. "Mau memulainya?" tanya Devan dengan tangan yang sudah mengusap punggung Evangeline sejak dari tadi. "Aku atau kamu?" tanya Evangeline balik. Devan tersenyum, sedikit mendongak m
Sonia terlihat duduk di ruang keluarga dengan wajah penuh kecemasan. Bagaimana tidak? Sejak siang tadi hingga malam, Devan tidak memberikan kabar, bahkan tidak datang ke rumah sesuai dengan janjinya siang tadi. "Mama jangan khawatir," ucap Milea mencoba menenangkan hati Sonia. Ia duduk di samping Sonia. Milea memang pergi ke rumah Sonia setelah Jordan pergi, tapi tidak memberitahu tentang hilangnya Evangeline. Milea ingin menunggu kabar dari Jordan. "Kamu sudah coba menghubungi Jordan? Tadi dia mengajak Devan dengan terburu-buru, bahkan Mama tidak sempat tanya apa yang sebenarnya terjadi." Sonia mencemaskan Devan, tidak biasanya pria itu menghilang dan tidak bisa dihubungi. "Jordan sedang dalam perjalanan ke mari, jadi Mama tenang saja," ucap Milea masih menenangkan. Sonia berusaha tenang, tapi hatinya memang begitu cemas. Tinggal Devan putra satu-satunya, Sonia tidak i
Setelah memantapkan hati, akhirnya Anira memutuskan untuk pergi. Hari itu Kenan dan keluarganya datang untuk berpamitan dengan Anira, setelah sebelumnya mendapat kabar dari Evangeline dan Devan. "Jangan lupakan kami," ucap Angel yang ingin melepas Anira. Anira mengangguk kemudian memeluk Angel, tak bisa berkata-kata karena dirinya begitu sedih meninggalkan keluarga itu. "Sering hubungi kami, oke!" pinta Angel lagi sebelum melepas pelukan. Anira lagi-lagi hanya mengangguk, sebelum kemudian beralih menatap Kenan yang sudah menatapnya sejak tadi. "Aku akan menunggumu kembali, Nira." Kenan langsung memeluk Anira, membuat gadis itu terkejut. Anira membalas pelukan Kenan, bahkan mengusap punggung pemuda itu karena tahu jika Kenan sama beratnya melepas. "Aku sangat menyayangimu, jangan lupakan aku," lirih Kenan sebelum melepas pelukan. Anira merasa jantungnya berdegup dengan cepat ketika Kenan mengucapkan kata itu, entah kenap
"Kamu tidak akan pergi, 'kan!" Kalandra bicara empat mata dengan Anira di kamar gadis itu. Ia menatap Anira yang duduk di tepian ranjang."Aku tidak tahu." Anira menjawab pertanyaan Kalandra seraya menundukkan kepala.Wanita yang bicara dengan Evangeline adalah ibu kandung Anira, setelah sekian tahun wanita itu datang dan ingin membawa Anira karena merasa berhak atas gadis itu."Nggak, aku nggak izinin kamu pergi!" Kalandra langsung memegang kedua lengan Anira, bahkan tanpa sengaja mencengkeram begitu erat."Al, sakit!" pekik Anira mencoba melepas tangan Kalandra dari lengannya.Kalandra berlutut di depan Anira, menggenggam kedua telapak tangan gadis itu begitu erat, kedua bola matanya terlihat berkaca."Jangan pergi, Nira. Aku mohon," pinta Kalandra.Anira terlihat bingung, setelah sekian tahun dia tidak tahu siapa orangtua kandungnya, serta bagaimana mereka, haruskah dia melewatkan kesempatan bersama orangtuanya."Aku bingung
"Apa maksudnya itu, hah?" Kalandra mendorong Kenan ke tembok.Kenan yang baru saja mengantar Anira ke kelas, cukup terkejut saat Kalandra langsung menarik dan membawanya ke samping gedung sekolah."Kamu kenapa sih, Al?" tanya Kenan bingung, apalagi ketika menatap amarah di mata saudaranya itu. Ia mengusap lengan yang sakit karena terbentur dinding."Apa maksudmu menciumnya?" Kalandra ternyata melihat dari jauh saat Kenan menangkup wajah Anira. Ia melihat punggung Kenan di mana saudaranya itu memiringkan kepala.Kenan terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, tak menyangka jika saudaranya itu melihat."Al, dengar dulu--" Kenan ingin menjelaskan, tapi terhenti karena Kalandra yang tiba-tiba memukulnya tepat di pipi, membuatnya sampai memalingkan wajah."Apa kamu kira, karena dekat dengannya maka bisa membuatmu sesuka hati menciumnya? Aku tidak setuju kamu bersikap seperti itu padanya!" Kalandra yang sudah terpancing emosi, tak bisa berpikiran je
Kenan berada di kamarnya setelah Kalandra dan Anira pulang. Ia menatap bingkai yang terdapat di meja belajarnya. Di sana terdapat foto dirinya, Anira, dan Kalandra.Kenan tiba-tiba menggelengkan kepala dengan senyum kecil di wajah, merasa lucu dengan hal yang dipikirkannya sekarang."Apa itu senyum-senyum sendiri?" tanya Angel yang ternyata melihat adiknya itu duduk melamun. Ia pun lantas berjalan masuk dan menghampiri Kenan.Kenan menoleh Angel yang kini sudah berdiri bersandar meja belajarnya."Siapa yang tersenyum?" Kenan mengelak dari pertanyaan sang kakak."Jangan bohong! Jelas-jelas tadi aku melihatmu tersenyum," ucap Angel."Hah, terserahlah." Kenan masih tidak mau mengakui. Ia malah membuka buku seakan ingin mengabaikan sang kakak.Angel menatap Kenan, seperti mengetahui sesuatu dari pandangan sang adik."Ke, apa kamu menyukai Anira?" tanya Angel tiba-tiba.Kenan langsung berhenti membalikkan buku saat mendengar
Kalandra tidak jadi belajar karena kasihan dengan Anira. Ia pun meminta sopir untuk menjemput mereka. Dalam perjalanan pulang, Kalandra hanya diam, membuat Anira sedikit merasa heran."Kamu baik-baik saja, Al?" tanya Anira.Kalandra tersadar dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Anira yang duduk di sampingnya."Aku tidak apa-apa," jawab remaja itu, mencoba mengulas senyum.Anira mengangguk karena Kalandra sudah mengatakan jika tidak apa-apa, mereka pun kembali menatap aspal jalanan.Sebenarnya Kalandra sedang memikirkan percakapannya dengan Kenan beberapa waktu lalu, saat Kenan sedang berganti pakaian.Di kamar tamu, beberapa waktu lalu."Ke, boleh aku tanya sesuatu?" Kalandra berdiri di samping pintu kamar mandi tempat Kenan berganti pakaian."Tanya saja!" Suara Kenan terdengar dari dalam kamar mandi."Aku melihat, akhir-akhir ini kamu sangat memperhatikan Nira. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Kala
Angel sangat terkejut saat melihat Anira tercebur ke kolam. Saat ingin melompat, ternyata Kenan sudah melompat duluan. Angel pun akhirnya menunggu di tepian dengan wajah panik.Kalandra meraih handuk yang tergantung di kursi, lantas berjongkok begitu melihat Kenan membawa Anira ke tepian, ia langsung menarik Anira keluar dari kolam, serta menutup tubuh gadis itu menggunakan handuk.Anira sangat ketakutan, itu karena dirinya trauma. Sejak kejadian banjir itu, tenggelam adalah mimpi buruk untuknya. Kejadian di masa kecil itu, ternyata melekat di hati dan pikiran gadis itu.Kenan keluar dari kolam, kemudian langsung mendekat ke arah Wira dan mendorong teman kakaknya itu. Membuat beberapa teman Angel terkejut dan panik karena takut ada perkelahian."Kenapa kamu mendorongnya, hah?" Kenan murka dengan kejadian yang menimpa Anira, menyalahkan Wira seakan tak takut dengan pemuda yang lebih dewasa darinya itu."Siapa yang mendorong? Dia terpeleset!" Bela Wi
Sore itu Anira dan Kalandra pergi ke rumah Kenan. Anira ke sana karena Kalandra yang mengajak, dua remaja itu ingin mengerjakan tugas."Rumah Kenan ramai amat?" tanya Anira ketika melihat beberapa mobil terparkir di halaman rumah."Palingan teman-teman Ica. Kata Kenan, tante dan om lagi ke luar kota, makanya di rumah bebas. Biasa kalau Ica suka ngundang teman kalau tidak ada om dan tante," jawab Kalandra seraya turun dari mobil, mereka diantar sopir.Anira hanya mengangguk, kemudian keluar dari mobil bersama Kalandra.Saat masuk, Anira melihat ke arah samping rumah, di mana kolam renang terlihat ramai dengan muda-mudi. Sepertinya Angel mengadakan pesta kolam renang."Nira!" panggil Angel saat melihat Anira."Kak!" sapa Anira sopan."Mau belajar?" tanya Angel. Ia membawa nampan berisi softdrink dan camilan."Ya, Al yang ingin belajar bersama Kenan," jawab Anira. "Apa mau aku bantu?" tanya Anira kemudian saat melihat Angel kerepo
Tahun demi tahun pun berlalu. Evangeline dan Devan menjalani hidup penuh kebahagiaan. Adanya Kalandra dan Anira, membuat hidup keduanya begitu sempurna.Kalandra kini hampir menginjak umur enam belas tahun, sedangkan Anira baru menginjak umur delapan belas tahun, gadis itu tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sama seperti tahun sebelumnya, Anira satu sekolah dengan Kalandra dan Kenan. Evangeline dan Milea memang sengaja menyekolahkan mereka bersama, agar ketiganya bisa terus saling menjaga."Nira! Dasiku di mana?" Kalandra berteriak dari kamarnya. Remaja itu sibuk mencari dasi sekolahnya.Anira yang baru saja selesai bersiap, lantas menyusul Kalandra begitu mendengar suara pemuda itu."Bukannya di laci kamar ganti, Al! Kenapa kamu suka lupa?" Anira yang baru masuk kamar, langsung berjalan ke arah kamar ganti.Kalandra sendiri hanya tersenyum melihat Anira yang langsung masuk ke kamar begitu dipanggil.Anira mengambilkan dasi Kaland
Hari berikutnya, Kalandra terpaksa tak ke sekolah karena kondisinya. Siang itu Kenan pulang bersama Anira dijemput Milea, Kenan ingin menjenguk Kalandra."Apa Al baik-baik saja?" tanya Kenan saat berada di mobil bersama Anira."Ya, hanya karena masih pusing, makanya dia tidak berangkat," jawab Anira dengan senyum kecil di wajah.Kenan mengangguk, kemudian memilih duduk dengan tenang bersama Anira, sampai mobil mereka sampai di rumah Evangeline.--Di rumah Evangeline, Kalandra terlihat kesepian karena berada di kamar sendirian."Ma, aku bosan," ucap Kalandra ketika melihat Evangeline masuk kamar."Nonton televisi kalau bosan," balas Evangeline santai. Wanita itu masuk membawa makanan dan minum untuk Kalandra.Kalandra mencebikkan bibir, tahu akan bosan di rumah sendirian, tentu dia akan memilih berangkat ke sekolah bersama Anira, meskipun kepala masih terasa pening.Evangeline meletakkan nampan ke atas nakas, seb