Dua pria yang membawa seorang pria berumur berumur 45 tahun dari sebuah kota kecil. Sudah masuk ke kota besar di mana orang yang memerintah tengah menunggu. Hingga suara ponsel terdengar terus berbunyi, membuat salah satu pria berbadan kekar itu menjawab.
"Halo!" Pria itu menjawab panggilan dari nomor tak dikenal.
"Lepaskan pria yang kalian bawa, atau kalian akan melihat wanita bernama Evangeline mati sia-sia." Suara dari seberang panggilan tampak terdengar seperti sebuah ancaman.
"Apa maksudmu? Kami tidak kenal dengan wanita yang kalian maksud!" Pria yang menjawab panggilan itu menoleh pada rekan yang tengah mengemudikan mobil, kemudian menoleh ke kursi penumpang di mana pria yang mereka bawa duduk dengan kepala tertutup kain hitam dan kedua tangan yang diikat jadi satu.
"Tanyakan pada orang yang menyuruh kalian! Jika sampai sore ini tidak ada kepastian, maka kami akan mengirimkan mayat wanita ini k
Baru akan menemui Jonathan, Devan dan Jordan bertemu dulu dengan pria itu di depan lobi hotel tempat menginap Jonathan."Tuan, kebetulan bertemu dengan Anda," ucap Devan yang terlihat senang karena bisa bertemu Jonathan.Raut wajah Jonathan terlihat gusar dan cemas, pria itu langsung menggandeng tangan Devan. "Ikutlah denganku!" ajaknya."Tunggu! Saya ke mari karena ingin meminta bantuan, ini tentang--""Evangeline, aku tahu. Karena itu aku ingin mengajakmu." Jonathan memotong ucapan Devan, membuat pria itu terkejut."Anda tahu?" tanya Devan mengernyitkan dahi. Jordan yang menemani Devan juga terkejut.Jonathan mengangguk, kemudian berkata, " Anak buahku berhasil menemukan dan membawa orang yang menjadi saksi kunci jawaban kematian keluarga Angel. Namun, sepertinya orang yang membayar pria itu mengetahui dan kini tengah mengancam," ujar Jonathan.
Devan menatap pria yang ada dihadapannya, kedua tangan terikat ke depan, tapi senyum seringai muncul di wajah pria itu, seakan sedang mengejek pada orang yang menangkapnya. "Apa aku boleh memukulnya?" tanya Devan pada Jonathan karena kesal. "Tahan, jika kita menyakiti pria ini, maka keselamatan Evangeline akan terancam," jawab Jonathan mencoba meredam amarah. Anak buah Jonathan sudah mencoba menginterogasi, berharap pria itu buka mulut dan mau bersaksi tentang kejadian kematian keluarga Evangeline. Namun, pria itu terlalu picik karena yakin jika orang yang menyuruhnya tidak akan tinggal diam. Kini mereka tengah dalam perjalanan menuju tempat Evangeline disekap, mengalah demi keselamatan Evangeline. Jonathan tidak menghubungi polisi karena orang suruhan Kelvin mengancam akan membunuh Evangeline ditempat, jika mereka melihat polisi ikut campur. - - C
Evangeline duduk dengan kepala menunduk, matanya menatap kedua telapak tangan yang berlumuran darah. Tubuhnya bergetar, kakinya terasa lemas. Melihat Cristian mengorbankan nyawa untuknya, membuat Evangeline benar-benar merasa bersalah.Devan berjongkok di depan sang istri, membuka tisu basah kemudian mengambil selembar. Meraih tangan Evangeline hingga kemudian mengusap telapak tangan dengan lembut. Devan melirik pada Evangeline, tapi tatapan mata wanita itu kosong. Devan terus membersihkan tangan Evangeline dari noda darah, hingga kemudian berpindah membersihkan wajah yang basah bercampur bercak merah."Dia akan baik-baik saja," ucap Devan mencoba menenangkan perasaan Evangeline.Mereka membawa Cristian ke rumah sakit, sampai di sana langsung dibawa masuk ke ruang operasi. Sedangkan Evangeline dan Devan menunggu di kursi selasar yang terdapat di koridor rumah sakit.Jordan dan Jonathan ada di sana, m
Hari pemakaman kedua orangtua Evangeline.Angin berembus pelan, menerpa tubuh yang berdiri terpaku. Evangeline menatap dua batu nisan yang tertancap di tanah. Hari ini gadis itu memakai pakaian serba hitam, tidak ada air mata yang mengalir dari kelopak mata. Semua cairan bening itu sudah habis dicurahkan, tidak ada yang tersisa, bahkan matanya terlihat merah dan bengkak, kini hanya ada kepedihan teramat dalam yang dirasakan karena ditinggal oleh dua orang yang sangat dicintai."Angel!"Suara sapaan itu terdengar penuh rasa iba, Cristian yang memang umurnya hanya terpaut beberapa tahun saja dengan Evangeline tampak berdiri di samping gadis itu. Ia juga memakai kemeja dan celana hitam, ikut mengantar orangtua Evangeline ke peristirahatan terakhir.Evangeline menoleh, ditatapnya Cristian yang menatapnya iba, hingga kemudian kembali menatap pada pusara kedua orangtuanya."Aku mau iku
"Hei, kalian."Suara lirih terdengar, Evangeline dan Devan menoleh bersamaan ke arah suara. Keduanya terkejut karena Cristian menggerakkan tangannya, pria itu sudah sadar. Evangeline langsung mendekat ke arah ranjang, ditatapnya Cristian yang masih memejamkan mata, tapi jemarinya sudah bergerak."Kak Cris, kamu sudah sadar." Evangeline memastikan."Hmm ... dan tragisnya aku harus mendengar kalian bermesraan, bahkan sampai membahas masalah bercinta. Sialnya aku," keluh Cristian dengan suara lirih dan mata belum mau terbuka.Evangeline menahan tawa, Devan sendiri buru-buru memanggil perawat untuk mengecek kondisi Cristian."Maaf," ucap Evangeline yang merasa canggung."Kamu benar-benar mencintainya," lirih Cristian. Pria itu berusaha membuka kelopak matanya, tapi merasa sangat berat. Sepertinya efek obat tidur masih mempengaruhi kesadarannya.
Evangeline mengubah posisi duduknya, dari miring kini saling berhadapan dengan Devan. Membelai bahkan meremas rambut hitam legam Devan berulang kali, matanya terus menatap wajah Devan, entah kenapa bersama pria itu membuatnya liar. Apa yang dirasakan Evangeline terhadap Devan sangat berbeda dengan yang dirasakan pada Radhika dulu. Ada sebuah medan magnet yang seakan menariknya untuk terus dekat dengan Devan. Pertama kali melihat Devan saat pertama kali masuk bekerja, Evangeline merasa jantungnya berdebar, meski pria itu dulu sering memarahinya, tapi entah kenapa saat Devan mulai bersikap lembut, ia tidak bisa menolak sikap dan perlakuan Devan. Sekarang Evangeline benar-benar terjebak dalam cinta Devan, rela melakukan apa pun demi pria itu. "Mau memulainya?" tanya Devan dengan tangan yang sudah mengusap punggung Evangeline sejak dari tadi. "Aku atau kamu?" tanya Evangeline balik. Devan tersenyum, sedikit mendongak m
Sonia terlihat duduk di ruang keluarga dengan wajah penuh kecemasan. Bagaimana tidak? Sejak siang tadi hingga malam, Devan tidak memberikan kabar, bahkan tidak datang ke rumah sesuai dengan janjinya siang tadi. "Mama jangan khawatir," ucap Milea mencoba menenangkan hati Sonia. Ia duduk di samping Sonia. Milea memang pergi ke rumah Sonia setelah Jordan pergi, tapi tidak memberitahu tentang hilangnya Evangeline. Milea ingin menunggu kabar dari Jordan. "Kamu sudah coba menghubungi Jordan? Tadi dia mengajak Devan dengan terburu-buru, bahkan Mama tidak sempat tanya apa yang sebenarnya terjadi." Sonia mencemaskan Devan, tidak biasanya pria itu menghilang dan tidak bisa dihubungi. "Jordan sedang dalam perjalanan ke mari, jadi Mama tenang saja," ucap Milea masih menenangkan. Sonia berusaha tenang, tapi hatinya memang begitu cemas. Tinggal Devan putra satu-satunya, Sonia tidak i
Hari berikutnya, Devan benar-benar mengajak Evangeline pergi ke dokter kandungan, ingin memeriksakan kondisi rahim sang istri agar tidak terlalu cemas memikirkan masalah itu. Keduanya sudah berkonsultasi dan menceritakan secara rinci tentang keguguran Evangeline.Dokter wanita itu tersenyum setelah selesai memeriksa Evangeline, terlihat seakan tidak ada masalah besar."Setelah keguguran, rahimnya terlihat baik-baik saja. Kemungkinan tidak hamil karena kualitas sperma yang sedang dalam keadaan tidak bagus, mungkin karena terlalu banyak mengonsumsi alkohol, makanan tidak sehat, atau banyak merokok. Kesehatan jasmani keduanya juga diperlukan, jika salah satu pasangan lelah, maka itu akan mempengaruhi tingkat kesuburan masing-masing," ulas dokter itu panjang lebar menjelaskan."Jadi!" Devan sangat penasaran, apakah intinya sang istri sebenarnya memang bisa hamil lagi pasca kegugurannya dulu."Jadi--" Dokter itu tak lantas bicara, m