Willi dan Kristina sedang berada di baby shop dekat dengan perusahaan. Keduanya sedang memilih kado untuk bayi Gistara. Keduanya sengaja memberikan kado lebih dulu agar kado mereka tidak tertumpuk dengan kado yang lain.
Gistara menginginkan stoller seperti milik Nagita Slavina. Willi dan Kristina meringis mendengar permintaan Gistara.
“Makanya jangan nanya gue. Gue pengen stoller itu. Tapi apapun yang kalian kasih, pasti gue terima.”
Kristina menghembuskan nafasnya lega saat mendengar jawaban sahabatnya saat itu.
“Ini lucu gak sih? Bayangin bayinya Gita pake kayak gini. Gue ngebayanginnya pasti lucu banget. Apa lagi dengan pipi gembul.”
Kristina menunjuk baju bayi dengan motif hewan dan berbentuk romper. Ada berbagai jenis hewan tapi Kristina jatuh cinta dengan bentuk bird-bees berwarna pink.
“Iyaa, ambil deh yang ini. Sama yang lain dong motifnya.” Willi memberikan berbagai motif kepada Kristina.
B
Hujan turun dengan derasnya seperti air mata Sagara yang berlomba-lomba untuk keluar. Dia tidak menyangka kalau makan siang kemarin adalah makan siang terakhirnya bersama calon putrinya.Sagara mengusap tangan Gistara dengan lembut. Istrinya masih kritis. Dokter bilang Gistara koma karena kecelakaan yang menimpanya. Alat-alat penunjang hidupnya terpasang di tubuhnya.“Bangun, Sayang.” Sagara berkata lirih.Keluarga Sagara dan Gistara menatap sedih keduanya dari luar ruang rawat Gistara. Novi pingsan saat mendengar putrinya kecelakaan.Kecelakaan satu hari yang lalu membuat semua orang terkejut. Willi dan Kristina yang sedang membeli keperluan untuk bayi Gistara menangis membuat pengunjung lain bingung. Keduanya berlari menuju rumah sakit dimana Gistara dibawa.Sagara yang tengah meeting, membatalkan meetingnya begitu saja. Tubuhnya hampir jatuh ke lantai kalau saja Tama tidak datang menemuinya yang sedang mengangkat telpon.Sagar
Wanita dengan gaun pink itu berjalan menyusuri taman bunga yang sangat indah. Senyumnya terbit saat melihat banyak anak-anak yang sedang bermain di taman itu.Bunga-bunga di taman itu terlihat sangat terawat. Dia belum pernah melihat taman secantik ini. Melihat bunga-bunga dengan berbagai warna membuat pikirannya damai. Semua bebannya seperti ditarik pergi.Anak-anak itu menggunakan dress berwarna putih. Semua terlihat cantik mengenakan dress itu. Wanita itu bisa melihat wajah anak-anak yang begitu bahagia. Mereka seperti tidak merasakan beban kehidupan.Senyumnya pudar saat melihat seorang anak duduk seorang diri di bawah pohon. Anak itu terlihat sedih menatap teman-temannya.Wanita itu berjalan menghampiri anak itu. Anak berusia lima tahun itu terlihat cantik. Wajahnya seperti tidak asing. Dia seperti melihat wajah anak itu.“Kamu kenapa?” tanyanya. Duduk di samping anak itu dengan perlahan.“Mama!” panggil anak itu
Sagara terbangun saat merasakan istrinya tidur dengan gelisah. Sejak keluar dari rumah sakit istrinya selalu mengigau memanggil putrinya. Gistara bilang dia bisa mengikhlaskan putrinya tapi kenyataannya tidak. Istrinya masih sering memanggil putrinya dalam tidurnya.Gistara sudah keluar dari rumah sakit dan sehat total dua minggu yang lalu. Gistara melakukan sedikit terapi berjalan karena komanya. Kurang lebih dua minggu melakukan terapi, Gistara sudah mulai berjalan dengan nyaman.Dokter menyarankan Sagara untuk membawa istrinya ke psikolog. Gistara menolak dengan keras saat Sagara memberitahu saran dari dokter. Gistara merasa dia baik-baik saja. Dia merasa sudah ikhlas dengan kepergian putrinya. Tapi tanpa sadar istrinya itu sering memanggil putrinya di dalam tidurnya.Sagara membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Istrinya akan berhenti memanggil putrinya jika Sagara membawa tubuhnya ke dalam pelukannya.“Huss
Nesa menahan tangisnya. Dia sudah menjadi istri Beni. Seorang pria yang selalu dia jadikan alat untuk melukai Gistara. Seorang pria yang diperintahkan papanya untuk menikah dengannya.Sejak kejadian di desa dua minggu yang lalu. Doni membawa Nesa pulang. Pria paruh baya itu memberikan tamparan kepada Nesa. Nesa gemetar melihat papanya yang terlihat murka. Pria itu menampar Nesa sampai pipi gadis itu biru.Beni menghentikan amarah Doni. Perkataan Beni membuat Nesa terkejut. Pria itu berkhianat.“Jangan sakiti Nesa, Om janji tidak menyakiti Nesa jika saya memberitahu keberadaan putri Om.”Doni menatap Beni dengan mata melotot. Nafas pria itu tidak teratur. Dia ingin membuat pelajaran kepada putrinya tapi janjinya kepada Beni membuat dia membatalkannya.Doni mendengus berjalan meninggalkan Nesa dan Beni. Sebelum menghilang di balik pintu perkataan Beni sukses membuat takdir Nesa berubah seperti sekarang.“Jangan lupa janji yan
Gistara Alivia Singgih, gadis bermata monolid itu tengah asik memperhatikan mahasiswa-mahasiwa bermain di kolam ikan -yang biasa disebut embung oleh anak-anak di kampusnya- yang berada di dekat gedung fakultas pendidikan. Seorang pria dilempar kedalam kolam dengan digendong oleh beberapa temannya, ia tebak pria itu sedang ulang tahun jadi teman-temannya memberikan surprise kepadanya dengan melemparkannya kedalam kolam ikan yang besar itu.Gistara tersenyum senang dan haru karena akhirnya dia akan wisuda dan berhasil selesai menempuh pendidikan sarjananya. Banyak rintangan yang harus dia hadapi sampai dia bisa di titik ini, mulai pergi dari desa ke kota ini dengan tekad yang kuat, bekerja part-time karena harus membiyayai sekolah dan kuliahnya. Dia juga bersyukur berkat otak cerdasnya yang diwarisi oleh kedua orangtuanya dia bisa mendapatkan beasiswa sejak sekolah menengah atas sampai kuliah.Bukan dari keluarga miskin. Ayah gadis itu adalah seorang guru honore
Jam setengah tujuh pagi pada hari minggu, Gistara sudah berada di sekolah. Hari ini merupakan test penerimaan siswa baru gelombang kedua. Panitia penerima siswa baru diharuskan berangkat lebih awal karena harus memeriksa kembali semua keperluan test, memastikan semuanya aman, tidak ada yang salah.Gistara berjalan seraya mengetikkan pesan kepada adiknya, kalau adiknya itu harus berangkat lebih awal agar tidak kena macet dan mudah mendapatkan taxi online. Karena kecerobohannya gadis itu hampir saja tersandung anak tangga kalau tidak ada tangan yang menahan tubuhnya.“Menyebalkan, ceroboh,” cibir pria jangkung, kemudian pergi meninggalkan Gistara dengan wajah tegangnya.Gistara merutuki dalam hati dengan tingkah cerobohnya itu, kalau saja pak Sagara tidak menolongnya, mungkin saja dia tidak bisa memandu para calon wali siswa Bimantaras’ School mengsisi questionernya.Gadis itu berjalan menuju ruangan para panitia, meletakkan tasnya kemudia
Gistara menggigit kukunya, perasaan gugup melingkupinya ketika sekarang waktu menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit, padahal ketika membaca pesan dari teman-temannya subuh tadi gadis itu tidak merasa gugup.Gadis bermata monolid itu berjalan untuk membukakan pintu kontrakannya yang diketuk. Willi dan Kristina mungkin sudah sampai karena kedua sahabatnya itu mengatakan kalau mereka akan sampai pukul enam lewat tiga puluh.“Lama banget kalian dat-” perkataannya terpotong ketika bukan kedua sahabatnya yang mengetuk pintu itu. Melainkan seorang pria paruh baya yang merupakan tukang kebersihan dikompleknya.“Ini Neng, ada buket bunga dari akang ganteng.” Pria paruh baya itu memberikan sebuket bunga kepada Gistara.Dengan bingung gadis itu menerima buket bunga itu, “siapa namanya Pak?” Tanya Gistara memperhatikan buket bunga yang sangat cantik itu.“Gak tau Neng, Bapak teh cuma disuruh ngasihin aja ke Ene
Sagara mengusap wajahnya dengan kasar. Merutuki perkataan bodohnya. Kenapa dia berkata hal seperti itu kepada Gistara. Dia tidak bermaksud menyakiti gadis itu tapi entah kenapa perkataan kurang ajar itu keluar begitu saja. Sagara mengambil ponselnya di atas meja. Mengirim pesan kepada kaka laki-lakinya. ‘Bang, aku udah buat Gita nangis. Maafin aku ya. Aku salah. Harusnya aku ngucapin selamat untuk dia bukan justru bikin dia nangis.’ Pria itu meletakkan ponselnya ketempat semula. Beberapa menit kemudian balasan dari abangnya masuk ke ponselnya. Dengan cepat dia membaca pesan itu. ‘Minta maaf sama Gita, bukan sama Abang. Btw hadiah kamu udah Abang kasih ke Gita.’ Sagara melempar ponselnya ke atas mejanya. Bagaimana dia meminta maaf kepada gadis itu. Lagi pula meminta maaf bukan lah gayanya. Sagara jembali merutuki mulut pedasnya yang di warisi oleh mamanya. *** Gistara berjalan menelusuri koridor sekolah masih dengan air
Nesa menahan tangisnya. Dia sudah menjadi istri Beni. Seorang pria yang selalu dia jadikan alat untuk melukai Gistara. Seorang pria yang diperintahkan papanya untuk menikah dengannya.Sejak kejadian di desa dua minggu yang lalu. Doni membawa Nesa pulang. Pria paruh baya itu memberikan tamparan kepada Nesa. Nesa gemetar melihat papanya yang terlihat murka. Pria itu menampar Nesa sampai pipi gadis itu biru.Beni menghentikan amarah Doni. Perkataan Beni membuat Nesa terkejut. Pria itu berkhianat.“Jangan sakiti Nesa, Om janji tidak menyakiti Nesa jika saya memberitahu keberadaan putri Om.”Doni menatap Beni dengan mata melotot. Nafas pria itu tidak teratur. Dia ingin membuat pelajaran kepada putrinya tapi janjinya kepada Beni membuat dia membatalkannya.Doni mendengus berjalan meninggalkan Nesa dan Beni. Sebelum menghilang di balik pintu perkataan Beni sukses membuat takdir Nesa berubah seperti sekarang.“Jangan lupa janji yan
Sagara terbangun saat merasakan istrinya tidur dengan gelisah. Sejak keluar dari rumah sakit istrinya selalu mengigau memanggil putrinya. Gistara bilang dia bisa mengikhlaskan putrinya tapi kenyataannya tidak. Istrinya masih sering memanggil putrinya dalam tidurnya.Gistara sudah keluar dari rumah sakit dan sehat total dua minggu yang lalu. Gistara melakukan sedikit terapi berjalan karena komanya. Kurang lebih dua minggu melakukan terapi, Gistara sudah mulai berjalan dengan nyaman.Dokter menyarankan Sagara untuk membawa istrinya ke psikolog. Gistara menolak dengan keras saat Sagara memberitahu saran dari dokter. Gistara merasa dia baik-baik saja. Dia merasa sudah ikhlas dengan kepergian putrinya. Tapi tanpa sadar istrinya itu sering memanggil putrinya di dalam tidurnya.Sagara membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Istrinya akan berhenti memanggil putrinya jika Sagara membawa tubuhnya ke dalam pelukannya.“Huss
Wanita dengan gaun pink itu berjalan menyusuri taman bunga yang sangat indah. Senyumnya terbit saat melihat banyak anak-anak yang sedang bermain di taman itu.Bunga-bunga di taman itu terlihat sangat terawat. Dia belum pernah melihat taman secantik ini. Melihat bunga-bunga dengan berbagai warna membuat pikirannya damai. Semua bebannya seperti ditarik pergi.Anak-anak itu menggunakan dress berwarna putih. Semua terlihat cantik mengenakan dress itu. Wanita itu bisa melihat wajah anak-anak yang begitu bahagia. Mereka seperti tidak merasakan beban kehidupan.Senyumnya pudar saat melihat seorang anak duduk seorang diri di bawah pohon. Anak itu terlihat sedih menatap teman-temannya.Wanita itu berjalan menghampiri anak itu. Anak berusia lima tahun itu terlihat cantik. Wajahnya seperti tidak asing. Dia seperti melihat wajah anak itu.“Kamu kenapa?” tanyanya. Duduk di samping anak itu dengan perlahan.“Mama!” panggil anak itu
Hujan turun dengan derasnya seperti air mata Sagara yang berlomba-lomba untuk keluar. Dia tidak menyangka kalau makan siang kemarin adalah makan siang terakhirnya bersama calon putrinya.Sagara mengusap tangan Gistara dengan lembut. Istrinya masih kritis. Dokter bilang Gistara koma karena kecelakaan yang menimpanya. Alat-alat penunjang hidupnya terpasang di tubuhnya.“Bangun, Sayang.” Sagara berkata lirih.Keluarga Sagara dan Gistara menatap sedih keduanya dari luar ruang rawat Gistara. Novi pingsan saat mendengar putrinya kecelakaan.Kecelakaan satu hari yang lalu membuat semua orang terkejut. Willi dan Kristina yang sedang membeli keperluan untuk bayi Gistara menangis membuat pengunjung lain bingung. Keduanya berlari menuju rumah sakit dimana Gistara dibawa.Sagara yang tengah meeting, membatalkan meetingnya begitu saja. Tubuhnya hampir jatuh ke lantai kalau saja Tama tidak datang menemuinya yang sedang mengangkat telpon.Sagar
Willi dan Kristina sedang berada di baby shop dekat dengan perusahaan. Keduanya sedang memilih kado untuk bayi Gistara. Keduanya sengaja memberikan kado lebih dulu agar kado mereka tidak tertumpuk dengan kado yang lain.Gistara menginginkan stoller seperti milik Nagita Slavina. Willi dan Kristina meringis mendengar permintaan Gistara.“Makanya jangan nanya gue. Gue pengen stoller itu. Tapi apapun yang kalian kasih, pasti gue terima.”Kristina menghembuskan nafasnya lega saat mendengar jawaban sahabatnya saat itu.“Ini lucu gak sih? Bayangin bayinya Gita pake kayak gini. Gue ngebayanginnya pasti lucu banget. Apa lagi dengan pipi gembul.”Kristina menunjuk baju bayi dengan motif hewan dan berbentuk romper. Ada berbagai jenis hewan tapi Kristina jatuh cinta dengan bentuk bird-bees berwarna pink.“Iyaa, ambil deh yang ini. Sama yang lain dong motifnya.” Willi memberikan berbagai motif kepada Kristina.B
Sagara menatap Gistara dengan bingung. Sejak dia pulang dari kantor. Istrinya itu lebih banyak diam. Gistara memintanya untuk pulang cepat, Sagara melakukannya tapi jalanan kota Bandung sangat macet karena adanya perbaikan jalan. Sehingga Sagara sampai rumah lebih lama.Sagara sudah meminta maaf. Dia juga sudah memberikan alasan, istrinya bilang kalau tidak apa-apa tapi Sagara merasa istrinya belum sepenuhnya memaafkannya.“Masih marah ya?” tanya Sagara. Membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya.Gistara tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya. Wanita itu mematikan ponselnya. Meletakkan di nakas samping kasurnya.“Gak marah. Aku lagi kepikiran pesan bunda.”Sagara mengecup pelipis istrinya. “Pesan apa? Tell me, Baby.”“Jovanka dan om Beno, mereka ada hubungan.” Gistara melirik Sagara sekilas.“Something like Affair?” tanya Sagara ragu. Melihat gelagat istrinya yang terlihat
Beni memperhatikan ponselnya yang menyala. Memperlihatkan foto seorang gadis yang dia cintai. Gadis yang terobsesi dengan pria lain.Nesa, gadis itu tidak bersalah karena terobsesi dengan Sagara. Yang harusnya disalahkan dalam hal ini adalah, Dina.Dina -wanita yang melahirkan Nesa- sejak kecil mendoktrin Nesa kalau Sagara dan dia akan menikah. Sagara adalah milik Nesa, begitupun sebaliknya. Hingga sampai dewasa Nesa meyakini itu, kalau Sagara selamanya milik Nesa.Doni, pria paruh baya yang selalu sibuk dengan pekerjaannya itu tidak memperdulikan perkataan Dina. Hingga dia mendengar istrinya berbicara pada Nesa kalau putrinya itu harus merebut Sagara dari Gistara tepat setelah Sagara menolak pertunangan mereka.Doni yang sedang mengikuti kampanye sebagai dewan perwakilan rakyat tidak terima dengan perkataan istrinya. Perkataan istrinya membahayakan jalannya menjadi salah satu dewan perwakilan rakyat. Dia tahu Nesa, putrinya sejak kecil selalu melakukan b
Suasana meja makan terlihat hangat tidak seperti semalam. Gian memperhatikan Sagara dan Gistara yang mulai memperlihatkan kemesraan mereka. Gian berpikir apakah secepat itu jika suami dan istri marahan? Dalam semalam mereka akan langsung berbaikan?“Gian, bareng Abang ya. Teteh gak ngajar hari ini.”Gian mengangguk. Dia tidak masalah bareng siapapun. Yang penting dia berangkat tanpa ongkos alias gratis.“By, ada duit cast gak?” tanya Gistara.“Ada, dua ratus kayaknya.” Sagara memberikan dompetnya kepada istrinya.“Aku pinjem ya. Nanti aku ganti, dompet aku di kamar, aku males ngambilnya.” Gistara nyengir memperlihatkan giginya yang rapi.“Ambil aja. Tapi cukup gak dua ratus?” tanyanya.“Cukup banget,” sahut Gian cepat, membuat Sagara dan Gistara terkekeh.“Bang, Gian tunggu depan ya. Mau bersihin sepatu dulu.”“Iya. Abang bentar lag
Warning!Mengandung Adegan Dewasa.***Beni memperhatikan Nesa yang berjalan menuju mobilnya yang terparkir. Nesa mengirim pesan setengah jam yang lalu. Wanita itu mengajaknya untuk makan siang bersama.Nesa membuka pintu mobil dengan perlahan. “Lo kenal sama bokap gue?” tanya Nesa tiba-tiba.“Gue tahu bokap lo.” Beni menjalankan mobilnya meninggalkan perkarangan Bramantas’ School.“Bukan itu yang gue tanyain. Lo deket atau enggak sama bokap gue. Karena dia bilang ke gue kalau dia mau ngomong sesuatu sama lo.”Nesa memincingkan matanya menatap Beni. Dia tidak tahu kalau papanya kenal dengan Beni. Karena selama ini, dia tidak pernah membawa Beni ke hadapan kedua orangtuanya. Sedangkan Beni menghembuskan nafasnya, berusaha menghilangkan kegugupannya.“Gue pernah sekali ketemu bokap lo, saat nganter lo dari acara reuni. Bokap lo nanya-nanya biasa, kayak kerjaan gue apa. Terus gue bil